Share

6. Mulai Peduli

Penulis: Pixie
last update Terakhir Diperbarui: 2024-09-03 07:50:19

Sambil duduk di tepi ranjang, Louis mulai membentur-benturkan kepala dengan kepalan tangan. Matanya tertutup, alisnya berkerut. Ia sadar, dirinya tidak boleh hanyut dalam pikiran keruh.

“Tidak. Sky tidak mungkin sejahat itu. Putri kecilnya itulah yang bermasalah. Kalau memang dia ingin punya ayah, kenapa dia tidak mencari ayah kandungnya saja? Kenapa malah mengacaukan rencana indahku? Kalau dia tidak datang, aku pasti sedang berbahagia bersama Grace.”

Selang keheningan sejenak, Louis mengangguk-angguk mantap. “Ya, dia pasti mewarisi sikap menjengkelkan itu dari ayahnya. Dia banyak tingkah, keras kepala, dan semena-mena. Pasti itu dia dapatkan dari sang ayah. Bukan Sky yang bersalah, tapi Summer dan ayahnya. Sekarang apa yang dia lakukan? Dia tidak sedang menghancurkan rumah, kan?”

Louis mengeluarkan ponsel, memantau kamera pengawas. Tidak mendapati Summer di ruang depan, ia terbelalak. “Ke mana perginya manusia mungil itu?”

Louis pun memeriksa kamera lain. Menemukan Summer sedang mencuci tangan di wastafel dapur, alisnya meninggi.

“Dia menggeser kursi itu supaya bisa naik? Cerdas juga dia.”

Louis tidak sadar kalau bibirnya melengkung tipis. Selama beberapa saat, ia perhatikan gerak-gerik gadis kecil itu. Summer tampak ceria dan menggemaskan. Namun, saat ia membawa kotak bekalnya mendekati kulkas, Louis kembali menautkan alis.

“Apa yang dia cari di situ? Apakah dia berencana untuk mencuri makanan?”

Tanpa terduga, gadis kecil itu meletakkan dua kotak susu di dalam kulkas. Setelah itu, ia duduk di meja makan. Ia nikmati roti yang ia beli di bandara. Kepalanya mengangguk-angguk riang.

“Apakah dia kenyang dengan sepotong roti itu?” gumam Louis spontan. Ketika tersadar, ia cepat-cepat menggelengkan kepala. “Untuk apa aku peduli padanya? Dia bukan anakku. Dia adalah pembawa sial dalam hubunganku dengan Grace. Aku tidak boleh mengasihaninya.”

Usai makan, Summer kembali membuka kulkas. Ia ambil satu kotak susu dari sana dan membawanya ke meja.

“Itu bahkan belum dingin. Kenapa dia meminumnya?” gerutu Louis, berusaha terdengar tak acuh.

Namun, saat Summer membersihkan meja dan mengembalikan kursi ke tempat semula, Louis tidak bisa menyangkal kalau ia terpukau. Saat balita itu membawa handuk, piama, dan sikat gigi ke kamar mandi, ia tidak bisa menyangkal kalau dirinya merasa was-was.

Banyak hal bisa terjadi di dalam sana. Summer bisa saja terpeleset. Kepalanya membentur sesuatu atau lututnya terluka. Saat sang balita keluar dengan piama lucu bergambar rusa, barulah Louis menghela napas lega.

“Dia betul-betul bisa mengurus diri sendiri? Syukurlah.”

Louis mengangguk-angguk bangga. Namun, menyadari apa yang baru saja ia katakan, senyumnya kembali datar.

“Tunggu dulu. Apa yang sedang kulakukan? Kenapa aku mengawasi manusia mungil itu? Meskipun dia putri dari Sky, dia tidak ada hubungannya denganku. Apakah ini karena sisi kemanusiaan?”

Tak ingin memikirkan alasan lain, Louis memaksakan diri untuk percaya. “Ya, aku mengawasinya karena rasa kemanusiaan. Aku ini pria baik. Aku tidak mungkin tega menelantarkan seorang anak kecil meskipun dia sangat menyebalkan.”

Sementara itu, Summer telah kembali ke ruang tamu. Ia merapikan tas, lalu menyisir rambut ikalnya dengan susah payah. Hati kecil Louis sempat tergerak untuk membantu. Namun, lagi-lagi, ia mengabaikan niat itu.

Tak lama setelah berbaring dalam kantung tidur, Summer terlelap. Ia sesekali menggaruk leher. Melihat itu, Louis kembali resah.

“Apakah dia kepanasan? Dia seharusnya tidak perlu menggunakan kantung tidur di dalam ruangan seperti itu.”

Sambil terus memandangi Summer, Louis berkutat dalam perenungan. Lambat laun, ia mulai sadar. Meskipun ia benci dengan apa yang telah Summer lakukan, ia tidak bisa menyalahkannya. Mungkin saja, gadis kecil itu adalah jiwa yang tersiksa karena merindukan sosok ayah, sama seperti dirinya dulu bersama Emily, kembarannya.

Selang beberapa saat, Louis akhirnya keluar dari kamar. Ia perintahkan para pelayan untuk menyiapkan kamar tamu. Lalu, di dekat Summer, Louis berdiri dengan tatapan sendu. Wajah damai balita itu mengingatkannya pada masa lalu.

Dulu saat ibunya masih berstatus sebagai orang tua tunggal, ia dan Emily juga selalu merindukan sosok ayah. Mereka berdoa setiap malam agar Tuhan mengirimkan seorang malaikat untuk menjadi ayah mereka. Mungkinkah Summer merasakan hal yang sama?

“Aku bukan malaikat, Summer. Kenapa kau memilihku? Kenapa kau tidak mencari ayah kandungmu saja? Apakah Sky merahasiakan identitasnya darimu seperti yang ibuku lakukan dulu? Tapi untuk apa? Bagaimanapun, dia adalah ayah kandungmu. Aku yakin dia pasti akan menyayangimu kalau dia tahu kau anaknya. Sky seharusnya belajar dari kesalahan ibuku dulu. Kenapa malah meniru jejaknya?”

Selama beberapa saat, Louis termenung. Ia merasa iba pada sang balita hingga tiba-tiba, seorang pelayan berbisik padanya, “Tuan, kamar tamu sudah siap.”

Louis mengerjap. Ia mengangguk samar. “Terima kasih. Sekarang kembalilah ke kamar kalian.”

“Apakah kami masih harus bersembunyi, Tuan? Perlukah kami membuatkan makan malam untuk nona kecil ini? Kami sempat mengintip tadi. Dia hanya memakan sepotong roti. Dilihat dari caranya makan yang sangat lahap, sepertinya dia lapar sekali.”

Louis memandangi wajah Summer lagi. Mulut kecilnya sedikit menganga sekarang.

“Biarkan saja dia beristirahat. Dia pasti lelah setelah menempuh perjalanan panjang. Besok pagi, tolong siapkan sarapan yang biasanya disukai anak-anak.”

“Baiklah, Tuan.”

Setelah para pelayan kembali ke kamar masing-masing, Louis menekuk lutut dan memperhatikan wajah Summer. Pipi gembulnya tampak merona merah. Louis semakin yakin kalau ia kepanasan di dalam kantung tidur itu.

“Summer, kalau matamu terpejam begini, kau mirip sekali dengan ibumu,” gumam Louis sebelum menghela napas panjang. Tanpa sadar, tangannya bergerak mengusap rambut ikalnya.

“Kenapa ibumu harus terlibat dengan pria bermata abu-abu? Orang-orang jadi salah sangka karena warna mata kita sama,” bisiknya sebelum termenung sendu.

Dalam keheningan, pandangan Louis beralih ke buku jurnal di samping ransel. Ia raih buku itu dan membukanya. Banyak hal tertulis di sana. Pada lembaran awal, huruf-huruf tampak lebih berantakan.

“Halo, namaku Summer. Umurku tiga tahun. Nama ibuku Sky. Aku dan Mama suka bertualang keling dunia. Kadang-kadang, kami pergi megunjungi Kakek dan Nenek. Mereka juga suka bertualang. Kami adalah keluarga petualang.”

Louis tersenyum mendapati kesalahan eja itu. Gambar seorang wanita dewasa dan seorang anak kecil juga terlihat lucu di sana. Keduanya mengenakan hoodie, jumpsuit, dan tas ransel. Sambil menggeleng gemas, Louis memeriksa halaman lain.

“Hari ini, aku dan Mama berangkat ke Perancis. Mama bilang kami akan bekerja sebagai pemandu di sebuah kastil di atas laut. Aku tidak sabar ingin melihat tempat itu!”

“Mama mengajakku mengunjungi Kakek dan Nenek di NZ. Mama bilang sebentar lagi bulu-bulu domba harus dicukur. Aku jadi penasaran seperti apa domba-domba itu tanpa bulu. Mereka pasti akan malu.”

“Aku senang Mama bisa bertemu dengan Bibi Emily lagi. Mereka adalah sahabat yang telah lama berpisah. Suatu saat nanti, kuharap aku juga bisa memiliki sahabat. Aku tidak perlu bermain sendiri lagi kalau sudah punya teman.”

Wajah Louis mendadak berubah kusut. Pikirannya terganggu bukan karena nama saudara kembarnya, melainkan karena fakta bahwa Summer mendambakan seorang sahabat.

“Apakah dia selama ini kesepian?” gumamnya lirih. Ia tidak bisa menyangkal bahwa ada kepedihan dalam hatinya.

Pixie

Halo, guys! Selamat datang di cerita baru Pixie. Gimana nih? Suka gak sama kegilaan Summer? Buku ini lagi ikut kontes, loh. Kalau kalian suka dan mau dukung, bisa dengan cara kasih komentar dan gems sebanyak mungkin. Kasih review dan bintang 5 juga. Biar Pixie tambah semangat juga ngetiknya. Kira-kira, apa sih yang disembunyikan Sky? Kenapa dia memilih jadi ibu tunggal? Dan siapa ayah Summer? Dan siapa yang akan Louis pilih nanti? Kepada pembaca analis dan detektif, silakan menduga-duga. Kita lihat tebakan kalian benar atau enggak. Selamat membaca! Stay healthy and happy, guys!

| 10
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (8)
goodnovel comment avatar
MariamMariam
summer sicilik pinter.....sipetualang....udh keliling dunia sama simama..........
goodnovel comment avatar
Rakel
bagus babget
goodnovel comment avatar
Pixie
Siaaap! Terima kasih, Kakak Cantiiik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Menikahlah dengan Mama, Tuan CEO   231. Kebahagiaan yang Sempurna (TAMAT)

    "Halo, Malaikat Kecil," bisik Emily dengan senyum yang terlampau indah untuk dideskripsikan. "Mama senang sekali akhirnya bisa memeluk kalian." Kemudian, sementara Emily mengecup satu per satu bayinya, Summer bergumam, "Ini mengharukan sekali. Jantungku sampai berkeringat melihat Bibi dan anak-anaknya. Aku bisa merasakan kasih sayang ibu yang sangat besar." "Kasih sayang ayah juga, Summer," timpal River, sama pelannya. "Lihat! Paman Cayden juga menangis bahagia. Dia pasti sangat menyayangi istri dan anak-anaknya." River menunjuk Cayden yang berdiri di sisi ranjang. Tubuh pria itu agak membungkuk, mengelus rambut Emily. Tatapannya lembut, tertuju pada para bayi yang telungkup di dada ibu mereka. Saat matanya bertemu Emily, senyumnya mengembang sempurna. "Kau benar. Paman Cayden juga sangat menyayangi bayi-bayi. Tidak. Kita semua menyayangi mereka! Karena itu," Summer melangkah maju. Ia berdeham kecil. Saat perhatian Emily beralih padanya, ia berkata, "Bibi, maaf mengganggu.

  • Menikahlah dengan Mama, Tuan CEO   230. Bayi-Bayi Mungil

    Sambil tersenyum kecil, Sky mengelus pipi gembul putrinya. "Sabar, Sayang. Mungkin posisinya lebih sulit untuk dikeluarkan." "Apakah itu normal? Maksudku, Bibi Emily dan bayi ketiga baik-baik saja, kan?" celetuk bocah laki-laki yang berdiri di sisi Summer. "Ya, itu normal. Terkadang, melahirkan seorang bayi saja bisa berjam-jam. Apalagi tiga?" River dan Summer pun bertukar pandang. Raut mereka masih saja gelisah. Tiba-tiba, pintu terbuka. Seorang perawat mendorong kotak inkubator ke luar. Summer dan River terbelalak melihatnya. "Apakah itu para bayi? Ada berapa bayi di dalam sana?" gumam River. Summer menggeleng lucu. "Aku tidak tahu. Ayo kita lihat!" Dua bocah tersebut berlari menghampiri sang perawat. Kemudian, mereka berjalan sambil berjinjit, mengintai ke dalam kotak yang dibawanya. Begitu melihat bayi-bayi mungil sedang berbaring di dalam sana, mata mereka berbinar terang. "Bayi ketiga sudah lahir! Anak-anak Bibi Emily lahir dengan selamat!" seru Summer deng

  • Menikahlah dengan Mama, Tuan CEO   229. Pengorbanan Seorang Ibu

    Setibanya di rumah sakit, wajah Emily sudah sangat pucat. Air matanya terus mengalir. Tanpa berlama-lama lagi, para petugas medis membawanya ke ruang bersalin. Namun, hanya satu orang yang diperbolehkan menemani Emily, yaitu Louis. Yang lain hanya bisa menunggu di luar dengan wajah gelisah. "Apakah Bibi Emily akan baik-baik saja, Mama?" tanya Summer dengan suara kecilnya. Sky tersenyum lembut. "Ya, dia pasti akan baik-baik saja." "Tapi dia tampak kesakitan," timpal Summer lirih. "Dan dia mengeluarkan banyak cairan," lanjut River, tak kalah serius. "Bibi pasti sangat lemas dan haus. Dia butuh banyak minum." "Dan pelukan!" sambung Summer, sigap. "Bibi terlihat sangat ketakutan. Kuharap Papa memeluknya dengan benar di dalam sana." Alis River berkerut. "Memangnya ada pelukan yang salah?" "Pelukan itu berbeda-beda, River. Ketika seseorang sedang takut, kita harus memeluknya seperti ini," Summer merangkulnya. "Lalu kita harus memberikan tepukan hangat di punggung sepert

  • Menikahlah dengan Mama, Tuan CEO   228. Kehebohan di Taman

    Emily hanya bisa mengangguk. Sambil menggenggam tangan Sky, ia menggigit bibir. Summer dan River pun berhenti bercanda. Mereka menghampiri Emily. "Ada apa, Bibi?" tanya mereka kompak. "Dia mengalami kontraksi lagi," sahut Sky pelan. Wajah Summer berubah sendu. Ia berjongkok di dekat kaki Emily. "Apakah ini bisa membuat Bibi lebih baik?" tanyanya seraya memijat. Di sisi Emily yang lain, River melakukan hal yang sama. "Mungkin para bayi merasa gerah akibat senam tadi. Jadi, mereka meronta. Perut Bibi jadi berkontraksi?" "Kalau begitu, Bibi jangan melanjutkan senam lagi," simpul Summer tegas. "Istirahat saja di sini. Anggap kita sedang piknik. Mama, kita membawa bekal, kan? Bagaimana kalau kita membentang karpet dan mulai menata? Begitu Bibi selesai kontraksi, dia bisa menikmati makanan dan minuman yang kita siapkan." Sky mengangguk kecil. "Terima kasih, Sayang. Idemu brilian sekali." "Kalau begitu, River, ayo kita ke mobil!" ajak Summer, penuh semangat. Akan tetapi

  • Menikahlah dengan Mama, Tuan CEO   227. Perhatikan Aku

    "Yuck! Itu sangat menjijikkan! Kenapa kalian menginjaknya? Apakah kalian tidak tahu bahwa itu kotoran penguin?" tanya River, tak habis pikir. "Itulah rute yang harus kami lalui kalau mau mengelilingi pulau," Sky mengedikkan bahu. "Kalau kalian berkunjung ke sana nanti, kalian juga akan melewatinya," ujar Louis dengan nada menakut-nakuti. Summer mengerucutkan bibir. "Kalau begini, kita harus menggencarkan kampanye perubahan iklim. Saat kita ke sana nanti, kuharap es dan salju sudah menebal lagi. Dengan begitu, para penguin punya lebih banyak tempat untuk membuang kotoran. Tidak perlu menumpuk di satu pulau!" "Apakah tidak ada rute yang aman dari kotoran? Itu sangat licin dan lengket. Bisa berbahaya kalau kita terpeleset di sana. Aku tidak bisa membayangkan betapa kotor dan bau baju kita," gumam River, was-was. "Tenang, River," Summer memegangi pundaknya lagi. "Kita bisa membeli sepatu roda dan berlatih keseimbangan setelah ini. Jadi, begitu kita ke sana nanti, kita tidak ak

  • Menikahlah dengan Mama, Tuan CEO   226. Keseruan di Antartika

    Summer mengamati oleh-oleh yang ia dapat selama beberapa saat. Begitu ia selesai, ia langsung berlari menuju Sky yang kebetulan baru kembali dari membagikan hadiah. "Mama, terima kasih banyak! Aku suka semua barang yang Mama beli!" serunya seraya memberikan pelukan hangat. River mengangguk sepakat. "Ya, terima kasih banyak, Nyonya Harper. Oleh-oleh ini sangat keren! Terima kasih juga, Paman Louis." Dari sofanya, Louis terkekeh. "Sama-sama, River." Sedetik kemudian, Summer berlari dan melompat ke pangkuan sang ayah. Louis dengan sigap menangkapnya. "Terima kasih, Papa! Aku tahu, Papa pasti membantu Mama memilih barang-barangnya," ujar Summer sembari menempelkan pipinya di pundak sang ayah. "Ya, beberapa barang itu adalah pilihan Papa. Mana yang paling kamu suka?" Bibir Summer mengerucut. Telunjuknya mulai mengetuk dagu. "Itu pertanyaan sulit. Tapi kalau harus memilih, kalender itu yang paling berguna bagiku. Aku bisa memakainya untuk menentukan jadwal bersama River.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status