Louis menarik ransel yang terisi penuh itu. Summer mencoba untuk menghalanginya, tetapi ia kalah cepat.
“Di mana kau menyembunyikan paspor ibumu?”
Summer melipat tangan di depan dada. Pipinya yang menggembung membuat wajahnya tampak lebih bulat.
“Apakah kau mengira aku membawanya di dalam ranselku? Kalau begitu, cari saja terus. Sampai gajah bisa bicara pun, kau tidak akan bisa menemukannya.”
Louis berhenti menggeledah ransel kecil itu. “Kau tidak membawanya?”
“Untuk apa? Nanti Mama tidak bisa datang ke sini kalau aku membawa paspornya.”
Louis menghela napas lelah. Ia kembalikan ransel kecil itu ke atas meja. Memang tidak ada paspor sejauh pengamatannya. Summer hanya membawa pakaian, kotak bekal, botol minum, dan perlengkapan dasar untuk bertualang.
“Kenapa kau bertindak sejauh ini, Manusia Mungil? Apakah kau sadar bahwa kelakuanmu ini merugikan orang lain? Kau mempersulit hidupku,” tutur Louis, terdengar putus asa.
“Harus berapa kali kukatakan? Aku mau kamu menikah dengan Mama,” celetuk Summer sembari merapikan isi tasnya.
“Kenapa? Kenapa harus aku? Kenapa kau tidak mencari laki-laki lain? Aku yakin ibumu punya banyak teman. Kau bilang dia orang yang menyenangkan. Pasti ada seseorang di luar sana yang mencintainya dan tidak keberatan menikahinya. Kenapa kau justru memaksa aku? Aku sudah punya kekasih, kau tahu? Aku dan Grace Evans sebentar lagi akan menikah.”
Summer termenung. Wajahnya mendadak redup. Usai menutup tas, ia berputar menghadap Louis. Dari sudut pandang yang jauh lebih tinggi, Louis bisa melihat mata balita itu mulai berkaca-kaca.
“Kudengar, orang menikah karena mereka saling mencintai. Mama mencintaimu, Tuan Louis Harper. Tidak bisakah kamu mencintai Mama juga? Aku akan sangat bahagia kalau kalian menikah.”
Dada Louis mendadak sesak. Suara kecil Summer telah menggoyahkan hatinya. Namun, teringat akan Grace yang menanti janjinya, ia cepat-cepat berdeham.
“Summer,” Louis menekuk lutut, memegangi pundak sang balita, “dengarkan aku baik-baik. Pernikahan itu butuh cinta dari dua belah pihak. Tidak bisa dari satu sisi saja. Karena itu, aku tidak bisa menikahi ibumu. Aku tidak mencintainya. Itu hanya akan menjadi cinta sepihak.”
“Kenapa kamu tidak mencintai Mama? Dia baik, cantik, seorang ibu yang hebat. Kenapa kamu tidak mencintainya saja?”
Louis menarik napas berat. Tatapan sendu Summer nyaris membius akal sehatnya. Ia hampir menyatakan kebenaran.
“Apakah kamu mencintai Grace Evans?” sela Summer ketika Louis masih sibuk merumuskan jawaban.
“Tentu saja.”
“Kenapa? Apa yang membuat kamu mencintai Grace Evans? Apa yang membedakannya dengan Mama?”
Tatapan Louis seketika menerawang. Sudut bibirnya meninggi sementara otaknya mengulas sosok sang kekasih.
“Kau tahu? Aku adalah pria nomor satu di L City. Untuk menjaga reputasiku, aku harus mencari istri yang sebanding. Grace adalah jawabannya.”
Alis Summer tertaut lucu. “Apa itu istri yang sebanding?”
“Istri yang kemampuannya sama denganku. Dia cantik, pintar, menarik. Meski terkadang bicaranya agak dingin dan ketus, hatinya baik.”
“Mama juga cantik, pintar, dan menarik. Mama juga baik hati dan tidak pernah berbicara ketus.”
Lengkung bibir Louis berubah kaku. “Ya, tapi aku mencari seseorang yang memiliki latar belakang sama denganku—seorang pebisnis hebat. Grace adalah pemimpin perusahaan besar.”
“Mama juga seorang pemimpin. Dia sering memimpin rombongan travel di berbagai tempat. Menurutku, Mama juga pemimpin yang hebat,” angguk Summer mantap.
Merasa gemas, Louis mengacak rambut sang balita. “Ya, ibumu memang pemimpin yang hebat.”
“Lalu, kenapa kamu tidak menikah dengan Mama saja?”
Louis menghela napas panjang. Ia mulai bingung harus bagaimana membuat sang balita paham.
Tidak mendapat jawaban, Summer kembali bicara, “Tuan, apakah kau pernah dengar? Katanya, kita akan lebih banyak tertawa ketika kita bersama orang yang kita cinta. Apakah Grace bisa membuatmu tertawa sebanyak Mama melakukannya?”
Mulut Louis sontak membuka tanpa kata. Pandangannya berkabut, tertutupi masa silam. Tawa Sky yang dulu selalu menggetarkan hatinya kini terngiang dalam ingatan. Biasanya, ia akan ikut tertawa setiap kali mendengarnya atau setidaknya, tersenyum dengan penuh kekaguman.
“Kurasa tidak,” Summer menggeleng lambat. “Menurut penilaianku, Grace itu orang yang cuek dan kaku. Dia berbanding terbalik dengan Mama. Orang-orang selalu bilang kalau Mama itu asyik dan periang. Dia suka menghibur semua orang. Selama bertahun-tahun kamu berteman dengan Mama, apakah kamu tidak menyadarinya?”
Louis tanpa sadar menggaruk hidung. Ia merasa tidak nyaman dengan pertanyaan tersebut. “Apakah kau baru saja merendahkan kekasihku?”
“Aku bukan merendahkan Grace. Aku hanya ingin mengatakan kalau Mama juga hebat. Dia juga layak kamu nikahi, dan menurutku, kamu lebih serasi jika bersama Mama.”
Sambil mendengus cepat, Louis menegakkan badan. Ia jauh lebih besar dari Summer. Tidak mungkin ia kalah pengaruh darinya.
“Ternyata kau ini keras kepala sekali. Tidak ada gunanya kita bicara. Aku lebih baik beristirahat.”
Summer terbelalak melihat Louis berjalan meninggalkannya. “Tuan, kau mau ke mana?”
“Istirahat!”
“Bagaimana denganku? Aku adalah tamu di sini. Tidak sopan kalau kamu mengabaikanku.”
Summer berkacak pinggang dan memiringkan kepala. Ia tidak sadar bahwa omelannya lebih terkesan lucu ketimbang menyeramkan.
“Kau adalah tamu yang tidak diundang. Untuk apa aku melayanimu? Lagi pula, kau bilang bisa mengurus dirimu sendiri. Jadi, lakukan saja. Aku sudah sangat lelah.”
Summer membuka mulut, hendak membantah. Akan tetapi, Louis sudah telanjur masuk ke kamar dan menutup pintu rapat-rapat. Sekarang, Summer hanya bisa berkedip-kedip mempelajari keadaan.
“Sepertinya Paman Louis marah kepadaku. Apakah itu pertanda buruk?” gumamnya pada diri sendiri. Selang keheningan sesaat, ia menggembungkan pipi.
“Setidaknya, aku sudah berhasil membatalkan lamaran tadi. Dia tidak akan menikah dengan Grace. Aku tinggal meyakinkan dia kalau Mama bisa menjadi istri yang baik untuknya, dan aku bisa menjadi putri yang manis untuknya. Sekarang, apa yang harus kulakukan?”
Summer mengamati sekeliling sambil mengetuk dagu dengan telunjuk. “Hari sudah malam dan aku habis melakukan perjalanan panjang. Aku juga harus beristirahat. Tapi, aku tidur di mana?”
Setelah berkedip-kedip sebentar, Summer mengambil kantung tidur dan membentangnya di atas sofa.
“Ini lebih empuk dari tanah di perkemahan. Aku pasti tidur nyenyak malam ini. Tapi sebelum itu,” ia menggosok-gosok perut.
“Kurasa aku harus mengisi energi. Ini sudah lewat jauh dari jam makan malam. Aku harus mencuci tangan, makan, mencuci muka dan menggosok gigi, lalu tidur yang nyenyak. Jadi, di mana wastafelnya?”
Sementara Summer mulai menjelajahi ruangan lain, Louis berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Hatinya tak tenang. Pikirannya terlalu penuh dengan pertanyaan.
"Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Sky sudah lama menghilang, tapi kenapa sekarang dia muncul lagi? Apakah dia tidak rela aku menikah dengan Grace? Mungkinkah dia sengaja mengirim Summer kemari agar aku goyah?”
Sambil mengacak rambut, Louis mendesah cepat. Wajah Summer kini terbayang-bayang dalam ingatannya.
“Jika dihitung-hitung berdasarkan umur Summer, Sky pasti melakukannya bertepatan dengan waktu itu. Itukah alasan dia mengingkari janjinya padaku? Dia terlibat cinta satu malam dan lebih memilih untuk menghabiskan waktu bersama pria lain dibandingkan menghadiri kelulusanku? Memangnya siapa ayah dari bocah ajaib itu? Apa yang sebetulnya tidak kuketahui?”
"Halo, Malaikat Kecil," bisik Emily dengan senyum yang terlampau indah untuk dideskripsikan. "Mama senang sekali akhirnya bisa memeluk kalian." Kemudian, sementara Emily mengecup satu per satu bayinya, Summer bergumam, "Ini mengharukan sekali. Jantungku sampai berkeringat melihat Bibi dan anak-anaknya. Aku bisa merasakan kasih sayang ibu yang sangat besar." "Kasih sayang ayah juga, Summer," timpal River, sama pelannya. "Lihat! Paman Cayden juga menangis bahagia. Dia pasti sangat menyayangi istri dan anak-anaknya." River menunjuk Cayden yang berdiri di sisi ranjang. Tubuh pria itu agak membungkuk, mengelus rambut Emily. Tatapannya lembut, tertuju pada para bayi yang telungkup di dada ibu mereka. Saat matanya bertemu Emily, senyumnya mengembang sempurna. "Kau benar. Paman Cayden juga sangat menyayangi bayi-bayi. Tidak. Kita semua menyayangi mereka! Karena itu," Summer melangkah maju. Ia berdeham kecil. Saat perhatian Emily beralih padanya, ia berkata, "Bibi, maaf mengganggu.
Sambil tersenyum kecil, Sky mengelus pipi gembul putrinya. "Sabar, Sayang. Mungkin posisinya lebih sulit untuk dikeluarkan." "Apakah itu normal? Maksudku, Bibi Emily dan bayi ketiga baik-baik saja, kan?" celetuk bocah laki-laki yang berdiri di sisi Summer. "Ya, itu normal. Terkadang, melahirkan seorang bayi saja bisa berjam-jam. Apalagi tiga?" River dan Summer pun bertukar pandang. Raut mereka masih saja gelisah. Tiba-tiba, pintu terbuka. Seorang perawat mendorong kotak inkubator ke luar. Summer dan River terbelalak melihatnya. "Apakah itu para bayi? Ada berapa bayi di dalam sana?" gumam River. Summer menggeleng lucu. "Aku tidak tahu. Ayo kita lihat!" Dua bocah tersebut berlari menghampiri sang perawat. Kemudian, mereka berjalan sambil berjinjit, mengintai ke dalam kotak yang dibawanya. Begitu melihat bayi-bayi mungil sedang berbaring di dalam sana, mata mereka berbinar terang. "Bayi ketiga sudah lahir! Anak-anak Bibi Emily lahir dengan selamat!" seru Summer deng
Setibanya di rumah sakit, wajah Emily sudah sangat pucat. Air matanya terus mengalir. Tanpa berlama-lama lagi, para petugas medis membawanya ke ruang bersalin. Namun, hanya satu orang yang diperbolehkan menemani Emily, yaitu Louis. Yang lain hanya bisa menunggu di luar dengan wajah gelisah. "Apakah Bibi Emily akan baik-baik saja, Mama?" tanya Summer dengan suara kecilnya. Sky tersenyum lembut. "Ya, dia pasti akan baik-baik saja." "Tapi dia tampak kesakitan," timpal Summer lirih. "Dan dia mengeluarkan banyak cairan," lanjut River, tak kalah serius. "Bibi pasti sangat lemas dan haus. Dia butuh banyak minum." "Dan pelukan!" sambung Summer, sigap. "Bibi terlihat sangat ketakutan. Kuharap Papa memeluknya dengan benar di dalam sana." Alis River berkerut. "Memangnya ada pelukan yang salah?" "Pelukan itu berbeda-beda, River. Ketika seseorang sedang takut, kita harus memeluknya seperti ini," Summer merangkulnya. "Lalu kita harus memberikan tepukan hangat di punggung sepert
Emily hanya bisa mengangguk. Sambil menggenggam tangan Sky, ia menggigit bibir. Summer dan River pun berhenti bercanda. Mereka menghampiri Emily. "Ada apa, Bibi?" tanya mereka kompak. "Dia mengalami kontraksi lagi," sahut Sky pelan. Wajah Summer berubah sendu. Ia berjongkok di dekat kaki Emily. "Apakah ini bisa membuat Bibi lebih baik?" tanyanya seraya memijat. Di sisi Emily yang lain, River melakukan hal yang sama. "Mungkin para bayi merasa gerah akibat senam tadi. Jadi, mereka meronta. Perut Bibi jadi berkontraksi?" "Kalau begitu, Bibi jangan melanjutkan senam lagi," simpul Summer tegas. "Istirahat saja di sini. Anggap kita sedang piknik. Mama, kita membawa bekal, kan? Bagaimana kalau kita membentang karpet dan mulai menata? Begitu Bibi selesai kontraksi, dia bisa menikmati makanan dan minuman yang kita siapkan." Sky mengangguk kecil. "Terima kasih, Sayang. Idemu brilian sekali." "Kalau begitu, River, ayo kita ke mobil!" ajak Summer, penuh semangat. Akan tetapi
"Yuck! Itu sangat menjijikkan! Kenapa kalian menginjaknya? Apakah kalian tidak tahu bahwa itu kotoran penguin?" tanya River, tak habis pikir. "Itulah rute yang harus kami lalui kalau mau mengelilingi pulau," Sky mengedikkan bahu. "Kalau kalian berkunjung ke sana nanti, kalian juga akan melewatinya," ujar Louis dengan nada menakut-nakuti. Summer mengerucutkan bibir. "Kalau begini, kita harus menggencarkan kampanye perubahan iklim. Saat kita ke sana nanti, kuharap es dan salju sudah menebal lagi. Dengan begitu, para penguin punya lebih banyak tempat untuk membuang kotoran. Tidak perlu menumpuk di satu pulau!" "Apakah tidak ada rute yang aman dari kotoran? Itu sangat licin dan lengket. Bisa berbahaya kalau kita terpeleset di sana. Aku tidak bisa membayangkan betapa kotor dan bau baju kita," gumam River, was-was. "Tenang, River," Summer memegangi pundaknya lagi. "Kita bisa membeli sepatu roda dan berlatih keseimbangan setelah ini. Jadi, begitu kita ke sana nanti, kita tidak ak
Summer mengamati oleh-oleh yang ia dapat selama beberapa saat. Begitu ia selesai, ia langsung berlari menuju Sky yang kebetulan baru kembali dari membagikan hadiah. "Mama, terima kasih banyak! Aku suka semua barang yang Mama beli!" serunya seraya memberikan pelukan hangat. River mengangguk sepakat. "Ya, terima kasih banyak, Nyonya Harper. Oleh-oleh ini sangat keren! Terima kasih juga, Paman Louis." Dari sofanya, Louis terkekeh. "Sama-sama, River." Sedetik kemudian, Summer berlari dan melompat ke pangkuan sang ayah. Louis dengan sigap menangkapnya. "Terima kasih, Papa! Aku tahu, Papa pasti membantu Mama memilih barang-barangnya," ujar Summer sembari menempelkan pipinya di pundak sang ayah. "Ya, beberapa barang itu adalah pilihan Papa. Mana yang paling kamu suka?" Bibir Summer mengerucut. Telunjuknya mulai mengetuk dagu. "Itu pertanyaan sulit. Tapi kalau harus memilih, kalender itu yang paling berguna bagiku. Aku bisa memakainya untuk menentukan jadwal bersama River.