Share

Part 3. Pilihan yang Sangat Menyulitkan

Fahran masih melangkah—menulusuri koridor rumah sakit yang memang begitu panjang. Ia terus berjalan, hendak kembali menemukan Humaira.

Benar, tadinya ia memang telah tahu di mana keberadaannya Humaira. Tadinya, sebelum Fahran memutuskan untuk mengabaikannya sejenak—lebih memilih lanjut memasuki rumah sakit, Humaira memang tengah berada di dalam masjid itu—tepatnya tengah berada di balik pintu masjid—di saat Fahran sempat melihat sekilas akan pergerakannya.

Itu yang tadi, tapi untuk saat ini, entah di mana keberadaannya Humaira. Fahran benar-benar kehilangan jejak. Fahran yang telah tepat berada di dalam masjid itu pun, ia sama sekali tak bisa menemukannya di dalam sana.

“Pergi ke mana dia?” gumam Fahran.

Kembali cekatan, Fahran pun lekas kembali mengambil sebuah masker yang tadinya ia kantongi, dan tak lupa membuka kemejanya—menampakkan kaos berwarna putih yang memang telah ia kenakan untuk bagian dalam.

“Mungkin kamu udah lihat aku dalam penampilan yang lain, tapi sekarang ... aku pasti bisa membawamu pergi, setelah mengenakan pakaian yang sama sekali belum pernah kamu lihat ini, kaos berwarna putih,” gumam Fahran kembali, sembari tampak tersenyum smirk.

Kaos berwarna putih adalah suatu ketidakbiasaan bagi Fahran. Bahkan setahu Humaira, Fahran benar-benar tidak menyukai warna tersebut. Baginya, warna putih terlihat menyedihkan—sama sekali tak hebat dalam menyembunyikan warna noda lainnya—berdasarkan filosofinya seorang Fahran.

Ya, Fahran yang begitu mahir dalam sebuah permainan manipulasi, memang benar-benar terasa anti mengenakan banyak hal berwarna putih—mengingat ia sama sekali tak ingin terlihat kotor, meski sejatinya permaianannya sangat teramat menjerumuskan, dan terkesan penuh noda.

Namun meskipun begitu, untuk saat ini, balik lagi pada pasal yang pertama. Apa pun alasannya, Humaira harus bisa resmi menjadi miliknya. Kini, ia tak lagi peduli dengan kaos berwarna putih itu pada badannya, bahkan ia telah merancanakan hal ini dari awal, agar Humaira tak lagi mampu menghindarinya.

Ia berharap, pikiran buruk Humaira mengenai ketidaksukaannya terhadap apa pun itu dengan warna terang, terutama warna putih, masih terus membenak—mengingat suatu kejadian, di mana Humaira hampir saja kehilangan nyawanya, akibat baju couple yang secara kebetulan bewarna putih, antara ia dan Tama pada saat itu—saat-saat di mana Fahran tak luput memantau keduanya, dan tak segan-segan menyergap Humaira, hanya karena hal sepele tersebut.

“Aku yakin, dia nggak akan mengenali aku dalam pakaian bewarna putihku ini. Dia pasti masih mengingat kejadian itu, sebuah kejadian di mana ia paham betul, bahwa aku benar-benar anti dengan warna ini. Aku yakin, penyamaran ini pasti berhasil. Aku nggak akan mudah dia kenali, dan di saat aku berhasil menemukannya, aku akan dengan mudah mempengaruhinya, bersiasat bahwa aku bukanlah Fahran, melainkan orang asing ... yang sama sekali nggak punya niat jahat apa pun,” tambah Fahran dalam gumamnya.

Fahran masih melangkah di sekitar area rumah sakit—memperluas upaya pencariannya, dan hingga saat ini, ia masih terlihat percaya diri, bahkan terlihat semakin yakin dalam hal ini.

Dia sangat teramat yakin, bahwa Humaira pasti akan resmi menjadi penghuni setia baru di mansion mewahnya, dan tak akan pernah bisa keluar lagi dari sana.

***

Setelah beberapa menit berlalu mencarinya, sepertinya nasib baik memang lagi tak berpihak pada Humaira.

Kini, ia telah berhasiil menemukan Humaira.

Sementara Humaira, saat ini ia tampak mengulas senyuman—melihat tiga buah tentengan yang tengah ia bawa. Entah apa itu, tapi sepertinya, ketiga tentengan itu telah berhasil membuat rasa cemasnya kian memudar.

“Alhamdulillah, akhirnya aku bisa lolos dari Fahran. Mengunjungi restoran serba ada itu, bahkan kembali melihatnya ada di sana, dan alhamdulillah-nya ... aku berhasil membeli beberapa menu makanan dan juga buah-buahan ini, lalu bisa kembali sampai ke sini dengan selamat. Alhamdulillah, semoga Ibu dan Zayana suka dengan ini semua.” Humaira tersenyum dalam gumamnya.

Tak butuh waktu lama bagi Fahran, untuk bisa merenggut senyuman itu darinya. Merasa tak sabar, setelah sekian lama mencarinya, Fahran pun tak lagi ingin basa-basi melalui penyamaran. Rencananya tak lagi sesuai dengan apa yang sempat ia gumamkan pada sebelumnya.

Kini, Fahran telah berhasil meraih tangannya dan turut menariknya.

Rencananya yang tadi, telah tak lagi ia ulungkan, tak peduli lagi dengan keadaan sekitar, meskipun saat itu, masih ada beberapa orang yang tengah berlalu lalang.

Deg!

Hanya dalam beberapa detik setelahnya, tarikan itu pun mulai dilakukan kasar oleh Fahran. Tentunya hal ini telah semakin membuat Humaira merasa terkejut.

“Ikut denganku!” ucap Fahran di balik masker yang tengah ia kenakan.

Humaira tampak teramat shock—matanya membulat—benar-benar merasa tak percaya. Selain itu, ia pun begitu ingat, bagaimana suara dengan intonasi kemarahan itu, sempat hampir saja mencelakainya.

“F-Fahran ....” Suaranya gemetar—tak tahu lagi harus berbuat apa.

Cengkraman pada pergelangan tangannya sangat teramat kuat, bahkan sempat membuatnya meneteskan air mata.

Ia paham betul, bagaimana cengkraman itu bisa perlahan dihentikan. Dengan diam dan sama sekali tak merintih, apalagi sampai memberontak, hal-hal itulah yang harus Humaira lakukan.

Ya, Humaira telah cukup sering mengalami hal ini, dan tentunya ia paham, bahwa jika saja ia berani melakukan hal-hal tersebut—hal-hal yang sangat dibenci itu oleh Fahran, maka entah apa yang akan terjadi dengannya, dan juga dengan calon buah hatinya nanti.

Lantas itulah mengapa, hanya air mata-lah yang mampu Humaira tampilkan—menyuarakan rasa sakit itu secara spontan.

Bugh!

Tepat di saat Fahran berhenti melangkah—menemukan sebuah ruangan minim cahaya di dekat sana, lantas ia pun menghempaskan tubuh Humaira pada sebuah dinding yang ada di dalam sana.

Sakit tentunya, tapi untungnya Humaira berhasil menahan hempasan itu, untuk tak begitu membuatnya terdorong dengan hebat—menggunakan sisa tenaganya yang masih ada.

“Aghhh!” Rintih Humaira dengan teramat pelan, tepat setelah Fahran kembali menarik pergelangan tangannya—menyisakan lingkar setengah goresan yang telah tercap merahnya darah, hanya dalam sekali cengkraman kembali.

“Udah kubilang, jangan sesekali melawanku! Kamu pikir aku sebodoh itu? Kamu pergi dari mansionku, dan aku hanya diam saja, menyaksikan itu semua??!” Fahran mulai kembali bersuara, sembari menatap tajam ke arah Humaira yang tengah tersedu-sedu.

Kala itu, Humaira masih saja setia, menenteng tiga paper bag bawaannya yang tadi—berharap ia bisa segera lepas darinya.

“M-maaf ....” Hanya satu kata itu yang bisa Humaira katakan. Hatinya benar-benar hancur, merasa ia telah kalah dari seorang monster layaknya Fahran.

“Aku nggak butuh ucapan maaf itu! Apa pun alasannya, kamu harus penuhi semua keinginanku! Kamu harus hidup setia bersamaku, seutuhnya menjadi milikku, dan aku akan menerima anakmu itu, sebagai bayaran dari persetujuan di antara kita. Bagaimana?”

Setelah mengatakan hal itu padanya, Fahran pun kembali melepas cengkraman itu pada pergelangan tangannya Humaira, dan kini ia beralih posisi dengan semakin mendekatinya, turut menatap dekat wajahnya Humaira—menanti jawaban persetujuan—yang sejatinya hanya akan menguntungkan dirinya sepihak.

“Ng-nggak. Aku nggak bisa lakukan itu.” Dengan menundukkan pandangannya, Humaira pun lekas mengatakan hal itu secara spontan, dan terdengar sedikit lirih.

Mendengar hal itu darinya, Fahran pun tampak tersenyum smirk dan turut berdengus—tak terima. Kala itu, ia pun lebih memillih menjauhi Humaira dalam sejenak, sebelum ia akan kembali melakukan sesuatu—hendak membuat Humaira semakin merasa tak karuan.

“Baiklah,” -satu kata penghantar kecemasan yang sesungguhnya. Kini Fahran kembali mendekati wajah Humaira, lalu beralih posisi dalam beberapa detik, menuju ke arah telinganya- “ada satu syarat untuk itu. Bagaimana, jika kita akan melakukan hal itu di sini, dan aku akan membuat calon anakmu bersama Tama ... benar-benar akan tiada pada hari ini juga! Kamu setuju?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status