Share

Di luar Dugaan

"Dari mana saja kau?!!" Satu bentakan memecah indra pendengaran Aga. Tanpa menunggu lebih lama, Rosida menarik kuat daun telinga anak sulungnya. Sudahlah membuat malu seluruh anggota keluarga, anaknya itu masih berniat untuk melarikan diri.

"Kami sudah dua hari menunggu kedatanganmu Anak Durhaka!" Rosida semakin kuat menjewer telinga anaknnya. Tidak peduli dengan Aga yang terus meringis dan memohon agar sang Mama menghentikan tindakan konyolnya.

Terlalu banyak orang di sini. Sepertinya, seluruh keluarga besar telah berkumpul kenapa wanita yang telah melahirkannya ini masih memperlakukannya seperti anak kecil?

Aga masih bersungut-sungut saat neneknya datang menyelamatkan. Mengomeli putrinya karena telah menyakiti cucu kesayangannya.

"Ibu terlalu memanjakan dia. Lihatlah kelakuannya sekarang!" sentak Rosida. Bola matanya seakan melompat keluar saat menatap si sulung, "Dasar, Tak tahu malu!!"

"Kecilkan suaramu, kita tidak sedang berada di rumah. Kaulah yang tak tahu malu. Ajak dulu cucuku masuk ke rumah. Kita selesaikan semuanya hari ini," pungkas sang nenek mengambil alih keputusan.

Masuk ke dalam rumah kontrakan yang mendadak pengap ini membuat Aga semakin terkejut. Sinta, satu-satunya adik perempuannya sedang menimang bayi yang dia yakini milik Alina itu dengan penuh perhatian. Sedangkan ibu sang bayi, tidak terlihat di sudut mana pun.

"Ibunya sedang beristirahat, anakmu itu rewel semalaman, pasti karena kau tak pulang-pulang." Nenek berucap datar. Namun entah mengapa membuat dada cucu yang di gandengnya itu mendadak panas.

Tidak ada lagi kursi yang tersisa untuk diduduki. Pada akhirnya Aga terpaksa bergabung dengan ayah, adik dan tantenya selonjoran di lantai. Meskipun tebersit heran di kepala pemuda tampan itu, rumah ini sangat berbeda saat dia tinggalkan tempo hari. Jangankan lantai yang dialasi karpet, bahkan gorden saja tidak ada. Sekarang, rumah petak ini seakan lebih layak untuk ditinggali. Apakah ini semua ulah mamanya? Apa yang sedang mereka rencanakan sekarang?

Aga menyalami sang Papa sebelum dia mendapat teguran dari sang nenek. Berbeda dengan ibunya, papanya terlihat santai saja, seperti tidak ada masalah besar yang sedang menanti untuk di selesaikan. Sedangkan dua adiknya, Andi dan Gama, sibuk dengan ponselnya masing-masing.

"Sore ini, semuanya harus selesai, papamu tidak mungkin meninggalkan perkebunan terlalu lama." Sang nenek membuka suara.

"Percayalah padaku, Nek. Ini tidak seperti yang kalian pikirkan ...."

"Lalu, seperti apa? Kau ingin mengelak dari tanggung jawab seperti yang dikatakan Rumini, ha?!" Suara petir Rosida sudah menggema ke seisi rumah. Mahdi, suaminya, memberikan kode agar istrinya itu duduk di sampingnya. Setelahnya, dia menunggu sang putra sulung melanjutkan bicaranya.

"Sudah tertangkap basah masih mengelak, kau tidak boleh percaya ucapannya. Inilah mengapa aku tidak mengizikannya merantau seorang diri. Sekarang, terbukti kan, dia sudah kebablasan." Meski sudah menuruti keingin Mahdi untuk duduk, tidak sedikitpun membuat wanita paruh baya itu menurunkan nada suaranya.

"Bisakah kau bicara dengan lembut, Ros?!" tanya ibunya penuh penekanan, "Bagaimanapun juga, kita harus menyelesaikan semuanya dengan kepala dingin."

Rosida mencelos, berdebat dengan wanita yang telah melahirkannya itu tentu saja tidak akan pernah membuatnya menang.

"Apa maksudmu tidak seperti yang kami pikirkan? Jelaskan semuanya." Suara tenang Mahdi mengurai ketegangan di antara istri dan mertuanya. Masalah ini harus secepatnya diselesaikan, atau semua pekerjaannya akan terbengkalai dalam waktu yang lama.

"Bagaimana kalau kita tanyakan saja pada ibu bayi itu?" Aga menatap Sinta yang masih sibuk menimang, adik perempuannya itu mengernyit karena merasa menjadi pusat perhatian.

"Dia masih beristirahat, dia pasti lelah karena mengurus sendiri bayinya. Sungguh lelaki yang tidak bertanggung jawab yang tega membiarkan wanita yang telah melahirkan anaknya kepayahan seorang diri," sentak Rosida geram.

"Ma! Mama enggak ngerti, itu bukan anakku!" Aga tidak tahan lagi dengan semua tuduhan yang dilayangkan kepadanya, "Tanya pada ibu bayi itu kalau Mama tidak percaya!"

"Aduh, aduh." Aga menahan sakit ditelinga yang tadi dijewer sang mama. Mengapa neneknya juga ikut melakukan hal serupa.

"Jangan keterlaluan seperti ini, nenek tidak akan membelamu jika kau berbohong." Nenek Aga menarik telinga cucunya semakin kuat karena jengkel. Aga kian meringis, merutuk semua orang yang ada di sini karena tidak mempercayainya sama sekali.

"Dia berkata benar, Nek." Tiba-tiba saja Alina sudah berdiri di depan pintu kamar. Penampilannya sangat kusut, bagian lingkar matanya menghitam.

"Kau mandilah dulu, nanti kita bicarakan semuanya." Rosida bangkit dan menghampiri wanita yang diyakininya sebagai kekasih Aga itu, "Mau Mama bantu mandikan?" tanyanya lembut. Alina menggeleng.

"Dia tidak berbohong, Tante ...."

"Kau ini, masih juga memanggil Tante, mandi dulu sana. Setelah itu makan, mama sudah menyiapkan makanan untukmu di dapur." Rosida mendorong Alina untuk kembali ke kamar agar perempuan itu segera bersiap, "Kita akan membicarakan tentang pernikahan kalian malam ini." Ucapan Rosida membuat Alina tidak bisa berkata-kata. Wanita itu melirik Aga sejenak, dia merasa sangat bersalah pada lelaki itu.

Sinta menghampiri abangnya dengan bayi yang terus didekapnya, "Dia mirip sekali dengan Abang." Satu kalimat yang keluar dari gadis berambut ikal itu membuat Aga membeliak kaget.

"Jangan mengada-ada!" protesnya tergesa. Meskipun tak urung dia melayangkan pandangan pada bayi mungil yang tenang dalam dekapan adiknya.

"Tentu saja." Sang nenek ikut menimpali, "Kalian harus segera mengikat hubungan agar tidak terus berbuat dosa." Wanita yang masih terlihat sehat di usia senja itu menatap sang cucu penuh arti. Namun, Aga malah mencelos.

"Kalian semua salah paham ...," ujarnya putus asa. Bagaimana mungkin seluruh anggota keluarga ini kompak mengakui bayi yang tidak diketahui asal usulnya itu adalah anaknya. Sungguh sangat tidak masuk akal. Apa mungkin wanita itu yang telah memfitnahnya macam-macam? Awas saja kalau begitu, akan dia buat perhitungan dengannya nanti.

"Kau belum memberinya nama?" Sang Papa kembali membuka suara.

Apa? Nama? Untuk bayi itu?

Ah, yang benar saja.

"Bagaimana pun cara dia hadir, dia tetap bagian dari keluarga kita. Kalau kau tidak bisa memberinya nama, biar papa yang mencarikannya." Aga menatap ayahnya tak percaya. Apakah itu berarti, Papa juga setuju dengan pemikiran tak masuk akal Mama dan Nenek?

"Bang, aku mau ke toilet." Sinta kembali menyodorkan bayi itu kepada abangnya, membuat Aga bergidik.

"Aku tidak mau," tolaknya cepat.

"Kemarikan dia, Sinta. Abangmu memang sudah kehilangan akal, makanya dia tega tidak mempedulikan darah dagingnya sendiri." Rosida menyambut bayi itu dari tangan anak bungsunya Seketika wajah wanita itu merekah, bayi mungil itu seakan membuatnya muda kembali. Dia merasa, sedang menimang Aga saat baru melahirkan dulu.

"Kita harus menikahkan mereka malam ini. Kalau Aga dan Alina tidak mau menjaga bayi ini. Aku akan membawanya serta bersama kita," tegas Rosida berucap, tanpa mempedulikan anak sulungnya yang semakin pucat pasi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status