Share

Nikah Dadakan

Sudah di penghujung sore saat ayah dan anak itu menikmati secangkir kopi di teras. Seluruh penghuni rumah sedang keluar dan hanya menyisakan mereka berdua--serta Alina dan bayinya tentunya--yang terus mengurung diri di kamar.

"Papa juga tidak percaya padaku?" Aga menatap papanya yang tetap saja terlihat santai. Dia ingin seseorang untuk bertukar pikiran, dan menikahi Alina bukanlah sebuah rencana yang baik. Setidaknya, begitulah menurutnya.

Lelaki paruh baya dengan rambut yang sudah ditumbuhi uban itu terkekeh, "Jangankan Papa, bahkan mamamu sendiri tidak yakin kau akan bertindak seceroboh itu."

"Lalu? Apa maksudnya semua ini?" Aga memiringkan tubuhnya menghadap Mahdi. Apakah ini lelucon?

"Umurmu sudah hampir kepala tiga dan kau masih mengelak untuk berumah tangga. Bukankah calon yang ditawarkan mamamu bukan perempuan sembarangan?"

"Pa, aku belum ingin terikat ...."

"Mama dan nenekmu telah memutuskan untuk memanfaatkan situasi ini. Jadi, terima saja. Kau tidak akan bisa mengelak lagi sekarang. Papa lihat, Alina cukup cantik. Kalau masalah asal-usul dan harta, yang kita miliki sudah cukup untuk lima keturunan mendatang." Mahdi berucap enteng, membuat wajah anak sulungnya semakin kusut.

"Terima saja keputusan ini. Kami hanya ingin hidupmu lebih terarah sekalian berbuat baik kepada orang yang terkena musibah."

"Musibah?! Pa ..."

"Sudah papa bilang, kau sedang berurusan dengan mamamu, kau pasti tidak akan menang kali ini."

Aga membuang pandang, menatapi secangkir kopi yang sudah dingin. Ini jebakan, bagaimana mungkin keluarganya memaksa dirinya menikah dengan perempuan yang tidak jelas dan baru saja melahirkan seorang bayi yang entah siapa ayahnya.

Tidak berapa lama, Rombongan keluarga yang sedari tadi perhi entah kemana, kembali tiba di rumah kontrakan yang tidak seberapa luas itu.

Semua seakan bergerak begitu cepat, sampai-sampai Aga tidak percaya bahwa dia telah duduk di depan seorang penghulu.

Lelaki itu pasrah. Entah bagaimana nenek dan mamanya bisa mempersiapkan semuanya begitu cepat. Oh, tentu saja campur tangan ibu kos-nya turut serta membuat acara gila ini bisa dipersiapkan secara kilat. Dia bahkan tidak sempat berbicara lagi dengan Alina.

Menarik napas sedalam-dalamnya. Hanya itulah yang dapat dia perbuat sekarang.

Di samping Penghulu, Bapak kos, selaku wali dari Alina tampak memasang raut wajah datar. Tentu saja paksaan istrinya yang membuat pria berwajah kaku itu bersedia menerima ini semua.

Semua berjalan begitu cepat sampai terdengar kata "Sah" yang membuat seorang wanita yang belum lama menjadi seorang ibu itu menelan ludah berulang kali. Bersembunyi dengan alasan bayi yang kini didekapnya tetap saja membuat pikirannya semakin kacau.

Apa yang akan dipikirkan ayah dari bayinya ini kelak jika lelaki itu tahu bahwa dia telah menikah? Sedangkan pria itu terjebak masalah ini karena dirinya juga?

Alina terisak sambil memandangi bayi mungil yang telah terlelap dalam pangkuannya. Bagaimana dia bisa keluar dari situasi ini?

Kriet.

Pintu kamar terbuka, seorang gadis dengan gamis berwarna pastel dan pasmina dengan warna senada datang menghampiri, "Ayok keluar Kak." Seulas senyum yang terukir indah itu membuat Alina memaksakan diri untuk membalasnya. Bersyukur dia sempat mengusap matanya yang basah sebelum Sinta membuka pintu tadi.

Ibu muda itu menurut, dia menata hatinya untuk menjumpai lelaki yang kini berstatus suaminya. Lelaki yang tentu saja tidak akan bisa menerimanya seperti yang diucapkannya beberapa waktu lalu. Bagaimanapun juga, semuanya telah terjadi begitu cepat tanpa mereka bisa menolak.

Wanita dengan gaun berwarna kuning gading itu perlahan mendekati Aga setelah menghembuskan napas panjang. Rambut indah dan lebat yang dibentuk sanggul itu membuat wajah ovalnya terekspos. Polesan sederhana yang menghiasi wajahnya membuat kecantikannya semakin terpancar. Aga bahkan sempat terpana melihat wanita yang berjalan ke arahnya. Namun, saat Alina duduk bersimpuh di depannya, seketika itu juga dadanya terasa membara, wajahnya menegang. Berani-beraninya wanita ini menerima lamaran dari keluarganya, lebih tepat lagi, mamanya. Pria bermata elang itu membuang pandang untuk meredakan gemuruh di dadanya.

Tidak ada perayaan, hanya sebuah makan malam sederhana yang disiapkan Rosida yang tentu saja dibantu oleh sahabat lamanya sekaligus ibu kos Aga, Rumi.

Dunia berputar seakan begitu cepat, dan siang ini, Aga sudah mengantar seluruh anggota keluarganya ke Bandara. Tidak ada peluk haru, tidak ada salam perpisahan, pria yang belum lama bergelar suami itu terus menekuk wajah. Meskipun sang nenek terus membujuk dan saudara-saudarinya menggoda, dia bergeming. Dia ingin, mereka semua tahu bahwa dia sangat kesal dengan keputusan sepihak keluarganya.

"Jaga dirimu dan keluarga kecil kalian." Pesan sang Papa kembali membuatnya menghela napas.

Taksi yang ditumpangi keluarga kecil yang baru saja terbentuk itu melaju dengan kecepatan sedang. Aga sudah tak sabar ingin segera sampai di kontrakan mereka, ingin mencecar wanita dengan bayi dalam dekapannya itu dengan berbagaoli umpatan. Dia masih terus menahan gemuruh di dadanya.

30 menit berselang, dengan tergesa meski masih ragu dalam mempercepat langkah, Alina langsung menuju kamar. Bayi mungilnya mulai gelisah, rengekan khas yang seketika membuyarkan emosi pria yang mengekori ibunya dari belakan seketika teredam.

"Kenapa?" Alih-alih menumpahkan amarah seperti yang telah diniatkannya sedari awal, wajah Aga malah terlihat khawatir.

"Tidak apa, mungkin dia gerah." Alina meletakkan bayinya di atas kasur dan mengecek kondisi pampers. Pantas saja, aroma anyir menguar dari sana.

Perut Aga bergejolak, dia segera berbalik dan meninggalkan ibu dan bayi itu sendirian.

Lagi, Aga menghela napas. Dia harus membicarakan hal ini dengan Alina, sebelum wanita itu berharap lebih dan memanfaatkan kondisi ini.

"Huh!" Pria yang bertubuh tegap itu kembali memeberanikan diri untuk masuk ke kamar.

Belum sempat mengeluarkan sepatah kata, dia sontak berbalik.

"Ada apa?" Suara pelan Alina menghentikan langkah kaki Aga. Wanita itu membenahi baju dasternya dan meletakkan bayi yang baru saja dia di-asi-hi.

Aga yang baru saja akan berlalu, menelan ludah. Dia mengatur napas sejenak, sekaligus menyembunyikan wajahnya yang pasti sudah memerah karena melihat pemandangan barusan.

"Aku akan ke luar. Apa kau ingin menitip sesuatu?" Aga berdeham untuk mengendalikan detak jantungnya. Dia kembali membalikkan badan dan menatap Alina yang masih duduk di pinggir dipan.

"Tidak, ...." Wanita itu seperti akan mengucapkan sesuatu. Namun, setelah beberapa saat menunggu, tidak sepatah kata pun keluar dari bibirnya.

"Baiklah. Aku pergi dulu." Aga memilih berlalu. Sepertinya dia buruh mendinginkan otak sejenak, sebelum dia membahas tentang status hubungan mereka ke depannya.

Masih dengan motor sport miliknya, Aga berhenti di sebuah kawasan apartemen. Di sini, setidaknya dia bisa sejenak menengangkan diri. syukur-syukur, Silvi telah kembali dan mereka bisa saling berbagi peluh untuk menghilangkan stress.

Seperti biasa, tanpa perlu meminta izin dari sang pemilik kamar, Aga langsung menekan beberapa angka di depan pintu. Namun, dahinya mengernyit, sudah tiga kali dia salah memasukkan kode. Padahal, dia yakin itu nomornya. Apa Silvi menggantinya? Kenapa?

Aga berdecak dan memilih untuk memencet bel. Setelah cukup lama tidak ada tanda-tanda sang penghuni kamar akan keluar, dia memutuskan untuk berbalik.

Bertepatan dengan itu, pintu apartemen terbuka. Rona senyum yang semula merekah di wajah Aga perlahan memudar. Tanpa basa-basi dia menerjang lelaki yang baru saja membukakan pintu. Dia tidak perlu lagi bertanya, melihat pria yang sangat dikenalinya bertelanjang dada hanya dengan sehelai handuk menutupi tubuh bagian bawahnya. Aga sudah sangat mengerti apa yang telah terjadi di kediaman kekasihnya ini.

"Brengsek!!" Pukulan bertubi-tubi tanpa perlawan berarti itu menarik perhatian penghuni rumah.

"Aga, hentikan! Apa kau gila?!" Silvi berteriak histeris, "kau bisa membunuhnya!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status