Aga menggeliat, dia mengerjap beberapa kali lalu meraba tempat di sampingnya.
Kosong.Kemana Selvi sepagi ini? pikirnya. Dia kembali menarik selimut saat mendengar suara engsel pintu kamar mandi bergerak, kembali dia memejam dan pura-pura tidur.Hampir setengah jam melihat gadis itu mondar-mandir. Aga menyerah, dia merasa ada yang berbeda dengan kekasihnya hari ini."Kamu mau ke mana?" Aga akhirnya membuka mata. Dia menyibak selimut sedikit dan menyandarkan punggung di kepala ranjang."Oh, udah bangun kamu, Yank?" Selvi menoleh dan segera menghampiri lelakinya, dia duduk di pinggir dipan setelah melayangkan sebuah kecupan.Aga menelan ludah karena Selvi memakai pakaian yang sedikit terbuka di bagian dada. Baru saja dia akan menarik tangan kekasihnya, tetapi Livia menghindar lebih dulu."Aku ada pemotretan hari ini. Kamu sarapan sendiri ya," ujar gadis dengan lekuk tubuh nyaris sempurna itu."Tapi, kau sudah berjanji akan menemaniku hari ini." Aga sontak bangkit. Lelaki yang hanya mengenakan celana boxer itu tampak tidak terima."Oh, ayolah. Aku mempunyai urusan yang lebih penting," ujar Selvi acuh. Bagaimana mungkin dia harus memenuhi permintaan konyol Aga dan menyia-nyiakan kesempatan untuk menapaki karirnya lebih tinggi?"Jadi, menurutmu, ini tidak penting?"Selvi memutar bola mata, lalu mengurungkan niat untuk segera pergi. Gadis itu memilih duduk di sofa panjang berwarna putih yang merapat ke dinding kamar apartemen. Posisi mereka kini saling berhadapan dengan jarak sekitar dua meter."Aku rasa tidak ada gunanya melanjutkan hubungan ini. Semakin hari kau semakin menyebalkan saja." Selvi menyilangkan kaki seraya mencebik.Aga mengernyit, tidak mengerti arah pembicaraan gadis itu."Kau yakin dengan rencanamu? Kau yakin kedua orang tuamu akan percaya dan membiarkanmu bebas?" Selvi mengibaskan rambutnya ke belakang dan menumpukan kedua telapak tangannya di sofa. Dia mulai menatap lawan bicaranya dengan serius, "Bagaimana jika mamamu malah menyuruh kita menikah?"Aga menghela napas dan kembali duduk di bibir ranjang. Lelaki berkulit putih itu mengacak rambutnya dengan kasar. "Lebih baik aku menikah denganmu daripada harus menikahi wanita yang tidak aku kenal sama sekali," jawab Aga pada akhirnya. Dia benar-benar berharap kekasihnya ini mau membantunya, untuk urusan pernikahan, bisa mereka rembukkan lagi nanti. Hal yang paling penting adalah dia harus keluar dari situasi ini."Kau yakin, bayi itu bukan anakmu?" Selvi bertanya mengejek."Tentu saja, aku bersumpah!" jawab Aga sengit. Dia tidak terima dituduh begitu saja."Kalaupun aku pernah melakukannya dengan seorang wanita, aku bisa menjamin bahwa itu tidak akan terjadi. Kau pasti paham maksudku." Aga menyunggingkan senyum remeh."Oke, baiklah. Aku percaya." Selvi bangkit dan kembali menyampirkan sebuah tas kecil di bahunya, "Bagaimana jika aku yang hamil? Apa kau percaya bahwa itu anakmu?""Ha?!""Jawab saja.""Itu tidak mungkin," pungkas Aga semakin frustasi. Kenapa pertanyaannya diganti dengan pertanyaan yang semakin tak masuk akal?Selvi perlahan memangkas jarak. "Begitulah, kita bersama karena memang memiliki prinsip hidup yang sama. Sama-sama pecinta kebebasan. Aku tidak ingin terikat, begitupun kau....Dan bagaimana mungkin aku memenuhi permintaanmu yang seperti jebakan ini?""Jangan berbelit-belit, aku tidak mengerti." Aga kembali berdecak frustasi."Aih, aku baru menyadari bahwa kau memang sangat bodoh." Selvi mendengkus kesal."Kalau aku menemui keluargamu, mungkin mereka akan membatalkan niatnya untuk memaksamu menikahi gadis itu. Akan tetapi, mereka bisa saja beralih dan malah memaksaku untuk menikah denganmu. Aku tidak mau mempersulit diri dengan hal-hal seperti itu." Selvi menatap kekasihnya dengan lekat sembari memeluk diri."Dengar, aku benar-benar harus pergi. Pekerjaan hari ini sangat berpengaruh untuk karirku ke depan, dan aku harap, kau tidak berniat menghalangi." Gadis dengan setelan dress berwarna pastel itu berbalik dan keluar dari apartemen miliknya itu. Tidak peduli dengan laki-laki yang sudah membersamainya selama beberapa bulan ini.Aga berdecak, kepalanya benar-benar pusing. Apalagi, ponselnya tidak henti berdering sejak satu jam yang lalu. Pasti orang tuanya telah sampai, dia harus bagaimana sekarang?Entah kenapa perhatiannya malah tertuju pada sebuah laptop yang masih menyala. Selvi pasti lupa sudah menggunakannya. Aga membuka galeri dan melihat ribuan foto seksi Selvi di sana.'Sial! Kenapa gadis itu tidak mau membantunya?' Iseng. Akhirnya, dia mengotak atik barang elektronik itu. Ternyata Selvi berkomunikasi dengan calon partner-nya dari sini. Karena penasaran, dia membuka pesan elektronik.Heru?Semakin penasaran, dia membukanya. Seperti sebuah surat penawaran kerja sama. Selvi tidak berbohong, dia memang pergi untuk bekerja.Tetapi, dia merasa kenal dengan alamat email ini. 'Apakah ini orang yang sama?'Perhatian Aga teralih saat kembali terdengar suara dering ponsel. Dia kembali berdecak kesal saat membaca pesan yang baru saja diterima.[Kalau Abang tidak ke sini, maka bersiaplah untuk dikeluarkan dari silsilah keluarga]Sebuah pesan dari adiknya yang nomor dua. Pasti Mama sudah mengomel panjang di sana."Aaaghh!!!"Aga menyambar handuk dan beranjak ke kamar mandi. Dia harus bergegas sebelum sang ratu merealisasikan ultimatumnya.Dia harus menyusun rencana dengan cepat. Kalau dia tidak bisa meyakinkan mamanya, bisa dipastikan masa lajangnya akan segera berakhir.Semoga saja, Alina bisa diajak bekerja sama.Baru saja memarkirkan sepeda motornya di halaman kontrakan, wajah Aga mendadak pucat. Bagaimana mungkin mereka semua bisa datang ke sini?“Percayalah, Alina. Kau tidak akan menyesal, Ervan yang sekarang sudah sangat jauh berbeda.” Sandi melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Pria berkepala plontos itu cukup senang karena tidak ada drama lagi untuk membawa pergi Alina dari rumah itu. Bahkan, kekasih Ervan ini dengan sukarela memintanya untuk menjemput.“Apa kau punya kekasih, Sandi?” Wanita bergaun kuning gading yang duduk samping kemudi itu seolah tidak mempedulikan ucapan Sandi tadi. Dia melempar pandangan keluar jendela sejak pertama memasuki mobil, tidak sedikit pun menoleh pada pria kekar di sebelahnya. “Kenapa kau menanyakan hal itu?” Alis pria itu bertaut, menoleh sebentar, kemudian kembali fokus pada jalanan di depan.“Kau jawab saja.”“Tidak.”“Pantas saja.” Alina tersenyum miris sambil memperbaiki duduknya, pandangannya beralih ke depan.“Apa kau tidak ingin memiliki seorang pendamping?” “Kenapa kau bertanya hal seperti itu?”“Agar kau mengerti bahwa perihal hati tidak bisa dipaksakan.”“Apakah ini tentang
Alina membersihkan luka di sekujur tubuh Aga dengan air mata berlinang. Hati-hati sekali dia mengusap setiap bagian yang luka dan memar dengan kain lap yang sudah diperas setelah dicelupkan ke air hangat. Suaminya hanya bisa meringis karena bibirnya sedikit robek, jadi tidak ada sepatah kata pun yang terucap dari bibir yang hampir setiap pagi mengecup lembut dahi Alina.Sepanjang malam Alina terjaga dengan menatap langit-langit kamar. Sesekali dia memperhatikan Aga yang memejam. Entah suaminya itu benar-benar tertidur atau hanya sedang berusaha menghindari kontak mata dengannya.Air mata Alina kembali menggenang saat mengingat putranya, dia yakin bahwa Ervan tidak akan melukai Langit. Namun, sebagai seorang ibu yang 24 jam selalu menemani sang putra, tentu saja tetap khawatir karena Langit pasti akan menangis saat menyadari ibunya tidak berada di dekatnya.***“Pergilah.” Aga duduk dengan menyandar ke kepala tempat tidur. Menatap Alina sepanjang hari ini dengan menghabiskan waktu di d
"Apa kelebihan dia dibanding aku?" Wajah Ervan merah padam. Bagaimana tidak, sang kekasih yang hampir setengah gila dicarinya selama ini, dengan mudahnya menolak merajut kembali impian mereka dulu. Sungguh sebuah penantian sia-sia dan sangat menyakitkan."Jawab, Alina!" Suara lantang kembali menggelegar, menggema ke seluruh ruang yang tidak terlalu luas itu. Alina semakin mengeratkan pelukan saat Langit kembali menjerit, terkejut dengan suara besar lelaki yang menjadi lawan bicara ibunya."Tidak ada." Alina menelan ludah. Tidak pernah dia melihat Ervan semengerikan ini. Meskipun tubuh tinggi kekarnya membuat banyak orang merasa takut, pria itu selalu memperlakukannya dengan lembut. Perlakuan yang membuat dirinya menyerahkan diri sepenuhnya lepada pria yqng memiliki tatapan setajam elang itu."Maaf. Aku tahu, aku yang bersalah di sini." Alina menjawab dengan gugup. "Tapi, apa kau tahu, bagaimana rasanya melahirkan sendirian? Tidak mengenal siapa pun yang bisa dimintai tolong. Sedangka
"Maaf." Aga duduk di tepi ranjang menatap tubuh telungkup Alina yang sesenggukan. Sedangkan Langit, ikut menangis sambil memeluk leher sang bunda. Seakan paham bahwa wanita yang melahirkannya itu sedang tidak baik-baik saja.Hampir 5 menit Aga menunggu, namun Alina belum juga merespon. Dia menyesal karena sudah keterlaluan memperlakukan istrinya."Alina ...." Pria itu sedikit memelas, membuat wanita yang sudah dua tahun membersamainya itu akhirnya duduk. Membawa Langit ke pangkuan, seolah melarang sang putra menghampiri sang Ayah."Aku yang seharusnya minta maaf." Alina mengusap kasar wajahnya dengan sebelah tangan dan memeluk Langit, sulit untuk bersikap baik-baik saja di saat dia tidak tahu kenapa dia harus disalahkan, "Aku tidak akan menemuinya," tegasnya lagi, sebelum Aga mengucapkan sesuatu kembali.Aga bergeming. Di satu sisi, dia merasa senang karena itu berarti Alina tidak ingin kembali bersama mantan kekasihnya. Namun, di sisi lain? Sebagai seorang ayah, dia tentu tidak bisa
"Jadi, kau menghilang karena pria itu?" Tatapan dingin Sandi membuat wajah Alina memucat. Dengan tangan yang saling menggenggam di pangkuan, wanita dengan dres rumahan itu duduk dengan gelisah, menyesalkan sikap sang suami yang memenuhi permintaan pria berkulit sawo matang di sampingnya ini agar mereka bisa bicara berdua saja.Angin malam yang bertiup kencang, membuat tubuhnya semakin menggigil, mereka memang duduk di bangku teras yang terbuka. Entah kenapa, Aga tidak membiarkan mereka untuk berbicara di dalam saja, apa sebenarnya yang sedang di pikirkan suaminya itu?"Bukan aku yang menghilang, dia yang meninggalkan aku." Alina menjawab pertanyaan itu dengan suara bergetar, dia ketakutan. Sangat ketakutan. Dan saat seperti ini, dia sangat mengharapkan Aga berada di sisinya untuk menenangkan, namun tidak ada tanda-tanda pria itu akan menyusulnya ke sini. Dan itu membuat Alina sangat kecewa. Berbagai pikiran buruk mulai mengganggu pikirannya."Kau tahu, kan? Dia sedang berusaha agar
Hari demi hari berjalan dengan begitu cepatnya. Tanpa terasa, Aga dan Alina telah menjalani biduk rumah hampir tiga tahun lamanya tanpa halangan yang berarti.Aga menjadi suami dan ayah yang bertanggung jawab serta perhatian membuat Alina begitu bersyukur karena takdir telah mempertemukan mereka. Tidak ada lagi pembicaraan tentang masa lalu, semuanya terkubur bersama kebahagiaan yang mereka nikmati bersama, meski bobot tubuh Alina merosot drastis karena Langit yang semakin aktif.Sore itu, Alina sedang menemani Langit untuk bermain di pekarangan sambil menyiram beberapa tanaman bunga. Sampai akhirnya, wanita berambut panjang itu merasa bahwa ada seseorang di balik pohon yang tumbuh di seberang jalan seperti memperhatikan mereka.Ini bukan kali pertama, dia juga sudah menyampaikan hal ini kepada sang suami, namun, tanggapan Aga tidak seperti yang diharapkan, pria itu beranggapan bahwa itu hanyalah pemulung yang biasa berkeliaran di sekitaran komplek.Alina masih ingin mendebat sebenar