Share

Pengkhianat

"Kenapa?!!" Bentakan Aga membuat Silvi terlonjak kaget.

"Kenapa harus dengan dia?! Apa kau tidak bisa mencari pria brengsek lainnya di luar sana?!" suara Aga kian meninggi. Tubuh Silvi gemetar karena tidak menyangka Aga bisa marah semengerikan ini.

"Bajingan!" Aga kembali melayangkan pukulan terakhir sebelum meludahi wajah sahabatnya itu dan bangkit dari tubuhnya.

"Kalian benar-benar pengkhianat!" Giginya gemeretak dengan tangan yang terus terkepal. Bahkan, buku jarinyanya masih menyisakan tetes darah yang berasal dari mulut lelaki yang baru saja dia hajar.

Silvi yang sebenarnya sudah mempersiapkan kata-kata untuk mewanti-wanti jika Aga mengetahui hubungannya dengan salah satu sahabat dekat kekasihnya itu, kini hanya bisa bungkam. Dia benar-benar ketakutan melihat kemarahan pria itu. Wajah cantik itu pucat pasi.

Heru meringis dan mulai beringsut menjauh, wajahnya yang telah babak belur membuat Aga tersenyum sinis.

"Pantas saja, kau begitu bersemangat saat menanyakat pekerjaannya. Dasar brengsek!" raung Aga memenuhi seiisi ruangan. Kini dia baru menyadari alasan rekan kerjanya itu sering menanyakan sejauh mana hubungannya dengan Silvi. Ternyata serigala itu mengincar wanitanya.

"Apa yang membuatmu berpaling padanya?" tanya Aga geram. Tatapan matanya bagaikan pedang yang siap menebas lawan.

Silvi tidak berani menjawab, dia sibuk menenangkan detak jatungnya. Wanita itu memilih untuk menunduk.

Melihat sang kekasih bergeming, Aga kembali mengalihkan perhatian. Namun, baru saja dia mengayun melangkah untuk menambahkan sebuah tendangan, Silvi tiba-tiba saja menahan lengannya.

"Sudah, Ga. Ini bukan hanya kesalahan dia."

Rahang Aga mengeras karena kembali terpancing amarah, tatapan yang kembali tajam dengan mata memerah membuat Silvi sontak melepaskan cekalan tangannya, kemudian wanita cantik itu mundur selangkah, antara takut dan khawatir.

"Kau terlalu berlebihan untuk seorang pria yang baru saja mengelar acara pernikahan." Dengan suara bergetar, Silvi kembali memberanikan diri untuk membuka suara. Bukan karena bersedih atas pernikahan kekasihnya itu, tetapi lebih kepada ketakutannya jika tiba-tiba Aga juga melayangkan pukulan kepadanya.

Namun, pria yang berada di depannya itu malah tersentak, matanya membola saat menyadari ucapan Silvia.

"Dan kau tidak berlebihan dengan tidur bersama sahabatku di saat aku sedang terjebak masalah rumit?!" Aga berusaha berkelit.

"Aku memintamu untuk bersabar, Silvi! Dan ini yang kau lakukan?!" Aga mencengkram bahu wanitanya dengan kedua tangan, lalu mengguncang tubuh perempuan yang telah cukup lama membersamainya itu.

"Lepaskan, dia. Kau pengecut jika hanya berani dengan perempuan!" Dengan napas terngah, Heru memotong pembicaraan mereka.

Emosi Aga semakin memuncak saat mendengar kalimat menohok dari Heru. Dengan cepat, dia memutar badan dan menghadiahkan sebuah hantaman di perut lelaki yang masih duduk menyandar pada pinggiran ranjang.

Seketika, Heru memuntahkan darah dari mulutnya. Namun, seringai kemenangan tetap dia sunggingkan dan membuat Aga kembali kalap.

"Aga! Berhenti!! Sebelum aku memanggil petugas keamanan untuk mengusirmu!" ancam Silvi. Wanita yang hanya memakai tang-top dan hotpant itu kembali memasang badan untuk menghentikan aksi brutal Aga.

"Kita berakhir! Keluarlah!" bentak Silvi dengan suara keras. Dia tidak ingin pria yang baru saja menghabiskan malam bersamanya ini meregang nyawa ditangan kekasihnya.

"Kau ...!" Telunjuk Aga terangkat tepat di depan wajah Silvi. Namun dia tidak melanjutkan ucapannya.

"Pergilah! Kau sudah memiliki kehidupan sendiri, berhentilah mengusikku!" tambahnya lagi.

"Jadi, kau lebih memilih dia? Begitu?!"

"Kau yang lebih dahulu mengambil keputusan. Jadi berhentilah bersikap sebagai korban." Silvi mendengkus sinis, mengabaikan detak jantungnya yang terus berpacu.

"Ini bukan keinginanku. Seharusnya kau bisa mengerti Silvi." Nada bicara Aga melunak, dia kembali beralih pada wanita seksi yang berdiri tak jauh darinya.

"Aku sudah memutuskan. Jangan pernah menemuiku lagi setelah ini." Silvi membuang pandangan ke samping, mengabaikan tatapan dari pria di depannya.

"Baiklah. Aku akan menuruti keinginanmu. Tapi kau harus tahu, urusanku dengannya belum selesai." Aga menoleh ke belakang, menatap tajam pada pria yang sudah tergeletak tak berdaya di sudut ruangan. Dengan bara yang masih menyala di dalam dada, dia memenuhi keinginan Silvi untuk keluar dari apartemen itu.

Berkali-kali Aga menendang tiang penyangga di tempat sepeda motornya terparkir, berusaha meluapkan emosinya yang masih tersisa. Dengan kasar dia mengacak rambutnya, berharap semua itu bisa membuatnya masalah yang dihadapinya ini selesai dengan sendirinya.

Sepeda motor sport itu melaju dengan kecepatan tinggi tanpa tujuan yang pasti. Klakson beruntun dari para penggguna jalan raya yang merasa terganggu dengan caranya yang berkendara secara ugal-ugalan, tidak membuat Aga memelankan laju kendaraannya. Dia baru berhenti saat menemukan sebuah tempat yang menurutnya bisa menghilangkan kesemrawutan yang terus berputar di kepalanya.

🍉🍉🍉

Alina tersentak saat mendengar pintu depan kontrakannya diketuk secara berulang. Setelah memastikan bayinya masih terlelap, dia bergegas keluar kamar.

"Kenapa kau lama sekali?"

Alina terkejut saat lelaki yang baru saja menggedor pintu itu terhuyung ke arahnya. Tubuh yang sempoyongan itu menguarkan aroma alkohol yang sangat kentara.

Tanpa bertanya lagi, wanita itu membantu Aga untuk membaringkan tubuhnya di sofa.

"Kau cantik sekali. Maukah kau menikah denganku?" Aga meracau, tangannya membelai lembut wajah Alina, membuat wanita berwajah tirus itu sedikit khawatir.

"Tentu saja kau tidak menolak, kan? Aku terlalu tampan untuk kau tolak ..."

Alina menepis pelan tangan Aga yang sudah mulai kehilangan kendali, pria dengan kemeja separoh terbuka itu mulai meraba bagian tubuh sensitifnya. Alina sontak bangkit untuk menghindar.

"Kenapa kau menolak? Kau bahkan sudah menjebakku dan sekarang kau berani menolakku?!"

Alina menelan ludah, dia sering melihat seorang pria yang sedang mabuk. Dan pria itu sangat tidak bisa mengendalikan diri meskipun tidak sepenuhnya kehilangan kesadaran. Dan berbicara dengan orang dalam kondisi seperti itu, sama sekali tidak ada gunanya.

Tubuh Alina menegang saat Aga memeluknya dari belakang dan menciumi lehernya. Bulu kuduknya seketika meremang, dengan cepat dia berbalik dan mendorong tubuh Aga sampai pria itu terjungkal.

"Brengsek! Kalian sama saja!" Aga berteriak keras. Matanya yang sudah merah semakin berkilat tajam.

Tanpa pikir panjang, Alina berlari ke kamarnya dan menutup pintu dengan cepat. Wainta itu bahkan kepayahan memutar kunci karena gugup. Dengan terengah, dia bersandar di daun pintu sambil mengusap dada, mencoba untuk menormalkan detak jantung.

"Keluar kau brengsek!"

Gedoran terus-menerus membuat bayi Alina terbangun dan langsung menjerit kuat, Alina dengan cepat mengambil dan mendekapnya erat. Dia benar-benar ketakutan.

Masih dengan suara teriakan di depan pintu kamar, Alina berusaha menenangkan bayinya dengan menimang buah hatinya itu tanpa henti.

Syukurnya, beberapa saat kemudian, suara Aga menghilang dan bayinya pun ikut tenang. Alina baru sadar bahwa air matanya telah meluncur bebas. Tubuhnya tidak henti bergetar karena ketakutannya tidak juga berkurang.

Lelaki seperti apa yang telah mengikat tali pernikahan dengannya?

Sepanjang malam, Alina terus terjaga karena khawatir Aga akan mendobrak masuk dan mencelakai mereka berdua.

Seumur hidup, dia belum pernah merasakan ketakutan sehebat ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status