FAZER LOGINKeberanian Jennara seakan hilang entah kemana. Melihat dengan mata kepalanya dengan nyata. Postingan Chakra di lembar halaman Website Sky Star Technology itu sudah terunggah dan memiliki reaksi kontan. Langsung populer begitu saja hanya dalam waktu singkat.
Jennara memandang Chakra dengan mata yang sedikit berkaca-kaca, "pak... tolong hapus saja... itu nggak bener, kita bahkan baru saling ketemu detik ini, pak ..." suara Jennara terasa agak lemah. Seakan serak tak berdaya. "Bisa saya hapus." Singkat Chakra, menyorot pandang mata dingin kepada Jennara. "Benarkah, pak?!" Jennara langsung semangat. Seakan mendapat asa hidupnya lagi. "Dengan dua pilihan." Suara Chakra tetap datar. Tapi, cukup terdengar menenangkan saat ini. "M-Maksud bapak?" "Pilihan pertama. Mengakui hubungan, temui wartawan bersama saya," kata Chakra semakin melangkah, mendekati Jennara. Gadis itu menelan ludahnya. Saat merasakan aura dominasi Chakra kian meninggi. "Pilihan kedua?" tanya Jennara, sangat memberanikan dirinya sendiri. Walau memang... dia gugup setengah mati. "Pilihan kedua. Konfirmasi kejadian asli, kamu akan dicap sebagai wanita nakal. Saya... juga akan kena imbas citra buruk yang merusak karir saya. Dan kamu, pasti akan saya kejar sampai kemanapun untuk bisa memulihkan kerugian saya di masa depan." Kalimat panjang Chakra telah berkuasa. Seakan memaksa Jennara bungkam dalam kebingungan yang menyesakkan jiwa. Sampai akhir, otaknya tersinkronisasi. Sedikit berani membalas tatapan Chakra lebih lekat. "Tapi... pak, setelah mengakui hubungan. Kita bagaimana?" tanya Jennara. Otaknya waras. Tidak mungkin dia mengambil pilihan kedua. Jennara tahu batas kemampuannya, dan Jennara tidak ingin menjadi incaran Chakra jika kali ini tidak bekerja sama dengannya. "Sudah setuju untuk status baru kamu sekarang?" sahutan tanya dari Chakra melayang. "Lagipula... nasi sudah menjadi bubur, Pak. Asalkan... dengan ini, Bapak nggak akan menuntut saya lebih banyak dengan dalih kerugian bapak, saya bersedia..." lolos Jennara, mendapatkan sedikit prinsipnya bertahan hidup. Tak lagi terlalu terkungkung takut. "Tenang saja. Semua ini akan ada klausulnya," kata Chakra. Pria itu menjauh, menuju sebuah meja di pojok hotel. Menyeret laci dari sana. Segala tindakannya, Jennara cermati dengan baik. Apa gerangan yang akan dilakukan lagi oleh Chakra? Hingga beberapa saat kemudian. Chakra sudah kembali. Menyerahkan sebuah kertas kosong kepada Jennara. "Apa ini, Pak?" tanya Jennara, sambil melongo melihat kertas di tangan Chakra yang disodorkan untuknya. "Kamu tulis kontrak." "Kontrak?!" ulang Jennara. Melangkah mundur, terkejut dengan kata itu, "kontrak apa maksudnya, Pak? Saya... naik jabatan?" tebak Jennara, seperti ingin segera mengadakan syukuran. "Bukan." Singkat Chakra. Menajam pada Jennara. Langsung membuat hati Jennara mencelos. Tertatih dia bicara lagi, "t-terus, kontrak buat apa, Pak?" "Tentang perjanjian tunangan pura-pura," kata Chakra, melirik Jennara, mulai serius kali ini raut wajahnya. Raut wajah tegas milik lelaki itu membuat Jennara terpagut. Menyerapi kalimat Chakra. Mengulanginya dalam hati, "perjanjian tunangan pura-pura... maksutnya... seperti kisah cinta kawin kontrak?! Amazing ... aku bisa rasakan sekarang?" "Kenapa melamun?" Jennara terkesiap. Sadar dari lamunannya. Menatap Chakra dengan saksama. "Tidak melamun, Pak. Lalu... bagaimana klausulnya?" "Catat. Bolpoin pasti punya kan?" Jennara menggeleng. "Saya tidak bawa, Pak. Bapak lihat penampilan saya..." Karena kalimat itu, Chakra kontan memindai penampilan Jennara. Tak sadar, dia menuruti kalimat gadis itu. Sampai berdecak kasar. Merasa konyol, "buat apa? Saya nggak tertarik sama kamu." "Saya juga... nggak berusaha buat menarik bapak, kok..." Jennara menggaruk tengkuknya sendiri. Membuat keadaan kini sedikit ringan. Tidak setegang tadi. "Sudah. Kembali saja pada topik. Apa hubungannya dengan penampilan kamu?" kata Chakra, merebut kembali dominasi. "Saya... lagi pakai setelan baju untuk jalan-jalan dan healing, Pak. Saya bukan pakai setelan kerja. Jadi... saya nggak bawa bolpoin seperti yang bapak bilang," jelas Jennara, mulai bisa menetralkan rasa detak jantungnya. Energi yang dipancarkan oleh Chakra tak sekejam beberapa belas menit yang lalu. Semenjak, Jennara bilang bersedia untuk menurutinya. "Kalau begitu, tulis di hp. Nanti salin kontrak lagi. Tapi, nggak boleh dianggap tidak sah walau sekarang sementara ditulis di hp," kata Chakra, memberi jalan pintas, serta wanti-wanti untuk masalah kontrak perjanjian ini. "I-Iya Pak ..." "Catat di hp saya saja." Chakra menyodorkan ponselnya. Kepada Jennara. Melihat ponsel itu Jennara membeku sejenak. Benda pipih itu mulus sekali. Jauh dari milik laki-laki kebanyakan yang biasanya sudah tidak berbentuk ponsel dengan segala keretakan layar. Apakah, ini jenis perbedaan sosial? Jennara mengambil ponsel itu hati-hati. Membuka panel ponsel. Dan menyalakan fitur. "Tidak ada kata sandinya?" heran Jennara dari dalam hati. Melirik sekilas pada Chakra. Lalu kembali fokus saat laki-laki itu ternyata sedang menatapnya dengan teliti. "Jangan curi-curi pandang," kata Chakra. Jennara berdehem karena itu. "Nggak, Pak. Maaf..." "Langsung buka notepad. Catat klausulnya." "Sudah, Pak." "1. Bersedia bersandiwara di depan seluruh publik." Jennara langsung menuliskan itu, di aplikasi catatan milik ponsel Chakra. Memasang lebar telinganya, untuk mendengar klausul selanjutnya. "2. Bersedia pegang tangan, ataupun berpelukan di depan publik demi kepentingan perjanjian." Klausul itu, cukup membuat Jennara melirik Chakra. Kecil saja liriknya. Memastikan Chakra tidak menyadarinya. "3. Alinka Jennara mendapatkan kompensasi seratus juta untuk perjanjian ini." "SERIUS PAK?!" teriak Jennara, tersenyum lebar seketika. Mendongak ceria. Matanya berbinar memandang Chakra. Membuat Chakra agak terkejut. Bahunya tersentak, saat nada Jennara tiba-tiba meninggi. Pria itu langsung melanjutkan kalimat, usai menetralkan detak jantungnya. "Cepat tulis, Jennara... atau saya ralat klausul 3." "Siap, Pak! Aku tulis langsung... jangan diralat," sahut Jennara kontan. Tangannya semakin semangat menuliskan klausul Perjanjian. "4. Kapanpun Alinka Jennara dibutuhkan Chakra Ragantara untuk kepentingan perjanjian, Alinka Jennara dilarang mangkir." "Siap, pak! Tertulis!" kata Jennara, mulutnya tak berhenti untuk tersenyum lebar. Chakra berdecih kecil. "Uang selalu bisa membuat wanita senang," pikirnya. "Klausul 5, Pak? Bagaimana?" Chakra memandang Jennara. Meneliti binar mata gadis itu yang berubah cukup cepat. Awalnya, gadis itu terlihat amat ketakutan. Tetapi sekarang, lebih seperti orang yang sedang semangat. Seperti sales barang yang menawarkan produk elektronik. Chakra jadi terpancing untuk mempermainkan emosi Jennara. Senyum miring pria itu timbul. Tampak begitu penuh dengan kuasanya. "5. Alinka Jennara harus bersedia menangani segala kebutuhan Chakra Ragantara, dari atas sampai kaki."Jennara membeku di tempat. Jantungnya seperti lompat sendiri dari rongganya. Bahkan, pertahanan kakinya berguncang. "Calon istri bagaimana maksud, Pak Chakra? Jelas jelas... perjanjian awal kita adalah tunangan pura-pura. Pak..." Jennara mendera Chakra dengan pertanyaan paniknya. Tetapi, Chakra tak menjawab. Dia hanya tersenyum singkat, tetapi bukan senyuman yang hangat. Seolah memberikan sinyal penyiksaan bagi Jennara. Gadis itu mengepalkan tangannya kuat, saat melihat Chakra berlalu begitu saja. Masih diam, tanpa menjawab pertanyaannya. "Pak Chakra!" teriak Jennara, mengejar langkah Chakra yang sudah selangkah lebih maju dengannya, "Pak... tolong jelaskan, Pak. Ini mengenai nasib hidup saya..." geger Jennara. Langkahnya cepat, sangat teratur mengikuti tubuh Chakra yang berjalan tenang. Bahkan, tak mempedulikan tatapan orang di kanan-kirinya. Hanya fokus pada Chakra yang masih diam tidak menjawabnya. "Pak Chakra... tolong jawab pertanyaan saya dengan baik," pinta Jennar
"M-maksudnya, itu apa ya pak... dari atas sampai kaki?" Jennara mengeluarkan suara keberaniannya yang tersisa. Jarinya mulai kaku, "s-saya... benar-benar bukan wanita murahan, Pak. Jadi, jangan berpikir bisa mengikat saya dengan hubungan yang tidak seharusnya," terusnya, menjelaskan prinsip yang dia genggam erat. Kali ini, meskipun Jennara takut, Jennara harus berani untuk membela dan menjaga kehormatan dirinya. Kontan, Chakra terkekeh. Terdengar berat, dan juga... agak mengerikan. "Kamu mudah sekali ya terbawa suasana? Saya cuman bercanda. Siapa juga yang minat melaksanakan hubungan tidak seharusnya dengan kamu?" lolos Chakra, menikam relung hati Jennara. Gadis itu menunduk. Melanjutkan pertanyaan. "Jadi, maksud bapak untuk klausul 5 itu lebih jelasnya bagaimana?" tanya Jennara. Menyembunyikan kesalnya. Melanjutkan catatan notepad di hp milik Chakra. "5. Perjanjian kontrak klausul berakhir dalam waktu 90 hari. Diwajibkan terlaksana, tanpa melibatkan perasaan nyata." Jan
Keberanian Jennara seakan hilang entah kemana. Melihat dengan mata kepalanya dengan nyata. Postingan Chakra di lembar halaman Website Sky Star Technology itu sudah terunggah dan memiliki reaksi kontan. Langsung populer begitu saja hanya dalam waktu singkat. Jennara memandang Chakra dengan mata yang sedikit berkaca-kaca, "pak... tolong hapus saja... itu nggak bener, kita bahkan baru saling ketemu detik ini, pak ..." suara Jennara terasa agak lemah. Seakan serak tak berdaya. "Bisa saya hapus." Singkat Chakra, menyorot pandang mata dingin kepada Jennara. "Benarkah, pak?!" Jennara langsung semangat. Seakan mendapat asa hidupnya lagi. "Dengan dua pilihan." Suara Chakra tetap datar. Tapi, cukup terdengar menenangkan saat ini. "M-Maksud bapak?" "Pilihan pertama. Mengakui hubungan, temui wartawan bersama saya," kata Chakra semakin melangkah, mendekati Jennara. Gadis itu menelan ludahnya. Saat merasakan aura dominasi Chakra kian meninggi. "Pilihan kedua?" tanya Jennara, sangat m
Suara itu kontak membuat tubuh Jennara membalik. Terhampar bersandar di pintu itu. Jennara mendongak pelan. Dan dunia seolah berhenti berputar. Pria di depannya berdiri dengan kemeja putih digulung sampai siku, rambut masih basah menetes-netes, dan sorot matanya… seperti bisa membunuh sekaligus menyelamatkan dalam satu detik yang sama. Jennara ingat wajah itu. "C-Chakra Ragantara?!" tuturnya terkejut, langsung menutup mulutnya sendiri. Kedua mata pria itu menusuknya tanpa jeda. Langkah tenangnya maju. Tiga langkah, tanpa suara. Lalu berjongkok tetap di depan Jennara. Menggeser tubuh Jennara enteng, seolah Jennara hanyalah benda ringan. Lalu, berdiri lagi. Mengintip sebuah panel digital kecil dari pintu. Monitornya memberitahukan, di luar pintu sudah ada sekerumunan manusia heboh membawa banyak kamera. Pria itu adalah Chakra. Yang sudah dikenali oleh Jennara ketika berita positifnya menguasai perhatian publik. Tetapi, kini Chakra berada di tengah amukan para wartaw
Kalut membaca artikel itu, Jennara tak sadar Snack kentangnya sudah tumpah berserakan ke ranjang. Fokusnya berpusat total pada sisipan video dan foto yang ada di artikel. Jennara memutar sisipan Video. Itu adalah rekaman dirinya yang memasuki kamar 111. Juga saat setelah dia keluar dari sana. Bahkan, ada zoom untuk melihat lebih detail penampilannya. Jelas sekali, bagian bahu putih dan sepotong tali bra miliknya terpampang dari video itu. Jennara menggigit bibirnya. Keluar dari video itu, berlanjut melihat beberapa foto. Dari saat dirinya berada di meja resepsionis. Hingga sampai memasuki kamar. Semuanya ada! "Penguntit dari mana yang kurang kerjaan ngerekam aku cuman buat berita bohong kayak gini, sih?!" monolog Jennara sangat marah. Otak kepala Jennara mulai semakin panas. Mencoba mengklik tautan artikel itu berkali-kali. Berharap bisa terhapus dari layar laptopnya. Tapi, nihil. Yang ada, malah laporan statistik baca artikel tersebut sudah 99.877 kali dibaca. Tentu saja
Sayangnya, Michael langsung keluar dari toilet lagi. Membuat tangan Jennara yang nyaris memegang ponsel urung secepat kilat. Hampir saja napasnya hilang. Takut jikalau laki-laki itu memergokinya. Tapi... sepertinya ekspresi Michael biasa saja.Lantas, gadis itu tersenyum manis pada Michael yang sudah berjalan ke arahnya lagi.“Nggak ada baby… harus beli sendiri. Nggak papa, aku terima kamu apa adanya kok.” Michael langsung mengungkung Jennara begitu saja.Tidak memberikan kesempatan sedetik pun pada Jennara untuk menghindar. Laki-laki itu kini membungkuk, mulai melepas blazer hitam Jennara dan melemparnya asal. Menyisakan kemeja putih milik Jennara, lalu juga membukanya pelan-pelan sambil tak berhenti memandang Jennara penuh dengan nafsu.Jennara panas dingin, tetapi dia menahan tubuhnya tetap diam. Setiap sentuhan Michael membuat kulitnya merinding, itu bukan karena nikmat, tapi karena rasa jijik yang ingin meledak. Dia menunggu celah. Begitu tengkuk Michael turun, Jennara lang







