FAZER LOGIN"M-maksudnya, itu apa ya pak... dari atas sampai kaki?" Jennara mengeluarkan suara keberaniannya yang tersisa.
Jarinya mulai kaku, "s-saya... benar-benar bukan wanita murahan, Pak. Jadi, jangan berpikir bisa mengikat saya dengan hubungan yang tidak seharusnya," terusnya, menjelaskan prinsip yang dia genggam erat. Kali ini, meskipun Jennara takut, Jennara harus berani untuk membela dan menjaga kehormatan dirinya. Kontan, Chakra terkekeh. Terdengar berat, dan juga... agak mengerikan. "Kamu mudah sekali ya terbawa suasana? Saya cuman bercanda. Siapa juga yang minat melaksanakan hubungan tidak seharusnya dengan kamu?" lolos Chakra, menikam relung hati Jennara. Gadis itu menunduk. Melanjutkan pertanyaan. "Jadi, maksud bapak untuk klausul 5 itu lebih jelasnya bagaimana?" tanya Jennara. Menyembunyikan kesalnya. Melanjutkan catatan notepad di hp milik Chakra. "5. Perjanjian kontrak klausul berakhir dalam waktu 90 hari. Diwajibkan terlaksana, tanpa melibatkan perasaan nyata." Jantung Jennara melegah. Lagipula, segala point positif citra milik Chakra Ragantara yang dibacanya dari artikel, seharusnya benar. Pria ini tidak mungkin memiliki cela untuk sifat negatif. "Sudah saya tulis, Pak," ungkap Jennara, menyodorkan ponsel itu kepada pemiliknya. "Deal," kata Chakra, menerima ponsel nya "sekarang... kita temui wartawan." Chakra tampak melangkah mendekat pada Jennara. Membuat gadis itu menahan napasnya. Mencoba menahan gerakan Chakra. "T-tapi pak... saya takut ..." kata Jennara, jujur. Chakra mendengus. Menarik paksa tangan Jennara. "Apa yang ditakutkan? Setelah mengikuti skenario saya, kamu aman." Kalimat Chakra, cukup berkekuatan. Seolah, Jennara terkelu karenanya. Sampai tubuhnya mendadak pasrah. Saat Chakra mendekatinya, dan meraih lengannya. Membawa tubuh kecilnya melangkah. Sampai ke depan pintu kamar. Chakra menatap Jennara sekilas. "Perlihatkan kerja mu. Jangan sampai wartawan mengira, kita bukan pasangan." Jennara tak menjawab, tapi Chakra juga tak menunggu jawabannya. Hingga tangan Chakra sudah berposisi dengan baik. Mulai meraih handle pintu. Lalu memindai sorot matanya pada mesin scanning. Sampai pintu kamar terbuka. Langsung disambut dengan serbuan kamera. "Bagaimana, Pak Chakra, bisa jelaskan kondisi yang terjadi selama puluhan menit bersama Alinka Jennara?" "Bukankah Pak Chakra bilang tidak memiliki kekasih?" "Bu Alinka Jennara bisa jelaskan tentang kejadian di foto dan video yang beredar? Apa benar saat itu Bu Alinka Jennara sedang datang untuk menemui Pak Chakra juga? Jika iya, kenapa kamarnya berbeda?" "Iya Bu Alinka! Apa benar kamu calon istri Pak Chakra? Atau hanya wanita simpanan aja yang jadi salah satunya jualan ke Pak Chakra?" Semua pertanyaan itu menyeruak. Mengisi telinga Jennara dengan sangat keras. Napas bau keringat dari para wartawan yang sangat berdempetan di depannya kini pun tercium. Membuat rasanya Jennara ingin muntah. Tak jauh beda dengan Chakra. Merasakan sesak luar biasa saat tubuhnya dihimpit-himpit. Para wartawan itu sudah seperti lalat berebut makan. "Mbak Jennara! Ayo mbak jujur!" "Katakan ke kamera mbak!" "Saya sedang live sekarang... berikan jawaban yang memberikan kami semua pencerahan..." "Pak Chakra termasuk orang berharga di negara ini, tapi kenapa mau melakukan tindakan menyeleweng dengan perempuan penjual diri seperti mbak Alinka Jennara?!" Para wartawan rasanya semakin mendesak maju. Chakra dapat melihat, tubuh kecil Jennara di sisi kirinya terhimpit paksa. Sampai terdorong jauh ke belakang. Gadis itu tampak tak punya kekuatan untuk melawan. Chakra terus memperhatikan posisi Jennara. Sampai gadis itu benar-benar terantuk. Menghantam pinggiran pintu. "Argh... " ringis Jennara merasakan tulang iga belakangnya seperti tersengat. Chakra mengepalkan tangannya. Dia tak suka dominasinya direbut oleh orang lain. "Semuanya diam!" tukas Chakra. Dingin. Tegas. Memaksa. Sorot matanya menajam pada seluruh wartawan yang mendadak diam. Mereka semua seperti patung. Terkejut akan suara Chakra yang meninggi, juga gugur ketika mendapati tatapan menusuk dari laki-laki tampan itu. Chakra melirik Jennara. Gadis itu pun memandangnya. Sambil memegangi bagian belakang tubuhnya. Chakra tidak menunggu waktu lama. Dia menarik pinggang Jennara, hingga gadis itu tersentak. Membuat para wartawan mundur selangkah. Memberikan ruang untuk Chakra, yang sudah menggendong Jennara di dekapannya. Matanya melihat Jennara sekilas, seolah menanamkan keamanan di mata gadis itu. Lalu, secepat kilat mengarah pada semua wartawan. "Hubungan saya dengan Alinka Jennara itu benar. Kita adalah sepasang kekasih. Saya memang menyembunyikan hubungan, demi profesionalitas kerja. Tetapi, berita kotor menyerang calon istri saya. Tentu saja, saya tidak bisa tinggal diam. Saya harus mengklaim harga diri nama baik wanita yang saya sayangi..." Chakra menatap Jennara. Gadis itu diam. Mulutnya terkunci rapat. Chakra tersenyum. Senyuman yang tak sesuai dengan perasaannya. "Maaf ya, sayang. Sekarang kita pergi ke rumah." Chakra langsung melangkah. Masih menggendong Jennara. Sampai tindakan itu mempengaruhi seluruh wartawan. Mereka memotret Chakra. Merekam peristiwa itu. Dan mulai mengunggah postingan sensasional yang baru. Chakra menyadari itu semua. Sampai mulutnya tersenyum kecil. Memang itu yang diinginkannya. Langkahnya terus bertambah. Jennara yang masih berada di gendongan Chakra mengernyitkan dahinya. Mencoba menoleh ke belakang, melihat kesunyian. Lantas mendongak pada Chakra. "Pak... sudah tidak ada wartawan. Bapak mau gendong saya sampai kapan?" lolos Jennara. Kontan menghentikan langkah, saat Chakra mendengar kalimat Jennara. "Benar juga," kata Chakra. Langsung menegakkan tubuh Jennara tanpa hati-hati, sampai gadis itu nyaris terjatuh, jika tak segera menyeimbangkan diri dengan pinggiran dinding. "Gini banget sih Pak Chakra..." lirih Jennara dari dalam hatinya. "Tapi, kamu tetap ikut saya." Chakra berbicara, menunjuk hidung Jennara. "Ke rumah saya." Jennara mengerjapkan mata beberapa kali. "Rumah bapak? Ngapain? Kan cuman... tunangan, itu pun pura-pura, kenapa harus serumah?!" tanya Jennara, berani bertubi. "Pura-pura, juga harus totalitas!" tajam Chakra, "dan 90 hari selama kontrak, kamu harus tinggal satu atap dengan saya." "Tetapi... itu nggak ada di klausul kontrak, Pak. Dan ... wanita tidak boleh di rumah laki-laki yang bukan suaminya," kata Jennara, terus memegang prinsip. "Jennara... " kalimat Chakra terdengar rendah, tapi menusuk hati Jennara, "bisa tidak, menurut saja? Perlu saya tambahkan bayaran perjanjian kamu?" "Kasih saya alasan yang jelas, Pak. Kenapa saya harus tinggal serumah dengan Bapak?!" Pertanyaan panas dari Jennara, memancing Chakra untuk merengkuh bahu Jennara. Menekan sedikit ke sana, untuk menyalurkan tekad kuat Chakra. Sepenuh mungkin, untuk mendominasi Jennara. Chakra menatap lekat dan dalam kepada Jennara. Mulutnya terbuka untuk berbicara lagi. "Karena kamu calon istri saya."Jennara membeku di tempat. Jantungnya seperti lompat sendiri dari rongganya. Bahkan, pertahanan kakinya berguncang. "Calon istri bagaimana maksud, Pak Chakra? Jelas jelas... perjanjian awal kita adalah tunangan pura-pura. Pak..." Jennara mendera Chakra dengan pertanyaan paniknya. Tetapi, Chakra tak menjawab. Dia hanya tersenyum singkat, tetapi bukan senyuman yang hangat. Seolah memberikan sinyal penyiksaan bagi Jennara. Gadis itu mengepalkan tangannya kuat, saat melihat Chakra berlalu begitu saja. Masih diam, tanpa menjawab pertanyaannya. "Pak Chakra!" teriak Jennara, mengejar langkah Chakra yang sudah selangkah lebih maju dengannya, "Pak... tolong jelaskan, Pak. Ini mengenai nasib hidup saya..." geger Jennara. Langkahnya cepat, sangat teratur mengikuti tubuh Chakra yang berjalan tenang. Bahkan, tak mempedulikan tatapan orang di kanan-kirinya. Hanya fokus pada Chakra yang masih diam tidak menjawabnya. "Pak Chakra... tolong jawab pertanyaan saya dengan baik," pinta Jennar
"M-maksudnya, itu apa ya pak... dari atas sampai kaki?" Jennara mengeluarkan suara keberaniannya yang tersisa. Jarinya mulai kaku, "s-saya... benar-benar bukan wanita murahan, Pak. Jadi, jangan berpikir bisa mengikat saya dengan hubungan yang tidak seharusnya," terusnya, menjelaskan prinsip yang dia genggam erat. Kali ini, meskipun Jennara takut, Jennara harus berani untuk membela dan menjaga kehormatan dirinya. Kontan, Chakra terkekeh. Terdengar berat, dan juga... agak mengerikan. "Kamu mudah sekali ya terbawa suasana? Saya cuman bercanda. Siapa juga yang minat melaksanakan hubungan tidak seharusnya dengan kamu?" lolos Chakra, menikam relung hati Jennara. Gadis itu menunduk. Melanjutkan pertanyaan. "Jadi, maksud bapak untuk klausul 5 itu lebih jelasnya bagaimana?" tanya Jennara. Menyembunyikan kesalnya. Melanjutkan catatan notepad di hp milik Chakra. "5. Perjanjian kontrak klausul berakhir dalam waktu 90 hari. Diwajibkan terlaksana, tanpa melibatkan perasaan nyata." Jan
Keberanian Jennara seakan hilang entah kemana. Melihat dengan mata kepalanya dengan nyata. Postingan Chakra di lembar halaman Website Sky Star Technology itu sudah terunggah dan memiliki reaksi kontan. Langsung populer begitu saja hanya dalam waktu singkat. Jennara memandang Chakra dengan mata yang sedikit berkaca-kaca, "pak... tolong hapus saja... itu nggak bener, kita bahkan baru saling ketemu detik ini, pak ..." suara Jennara terasa agak lemah. Seakan serak tak berdaya. "Bisa saya hapus." Singkat Chakra, menyorot pandang mata dingin kepada Jennara. "Benarkah, pak?!" Jennara langsung semangat. Seakan mendapat asa hidupnya lagi. "Dengan dua pilihan." Suara Chakra tetap datar. Tapi, cukup terdengar menenangkan saat ini. "M-Maksud bapak?" "Pilihan pertama. Mengakui hubungan, temui wartawan bersama saya," kata Chakra semakin melangkah, mendekati Jennara. Gadis itu menelan ludahnya. Saat merasakan aura dominasi Chakra kian meninggi. "Pilihan kedua?" tanya Jennara, sangat m
Suara itu kontak membuat tubuh Jennara membalik. Terhampar bersandar di pintu itu. Jennara mendongak pelan. Dan dunia seolah berhenti berputar. Pria di depannya berdiri dengan kemeja putih digulung sampai siku, rambut masih basah menetes-netes, dan sorot matanya… seperti bisa membunuh sekaligus menyelamatkan dalam satu detik yang sama. Jennara ingat wajah itu. "C-Chakra Ragantara?!" tuturnya terkejut, langsung menutup mulutnya sendiri. Kedua mata pria itu menusuknya tanpa jeda. Langkah tenangnya maju. Tiga langkah, tanpa suara. Lalu berjongkok tetap di depan Jennara. Menggeser tubuh Jennara enteng, seolah Jennara hanyalah benda ringan. Lalu, berdiri lagi. Mengintip sebuah panel digital kecil dari pintu. Monitornya memberitahukan, di luar pintu sudah ada sekerumunan manusia heboh membawa banyak kamera. Pria itu adalah Chakra. Yang sudah dikenali oleh Jennara ketika berita positifnya menguasai perhatian publik. Tetapi, kini Chakra berada di tengah amukan para wartaw
Kalut membaca artikel itu, Jennara tak sadar Snack kentangnya sudah tumpah berserakan ke ranjang. Fokusnya berpusat total pada sisipan video dan foto yang ada di artikel. Jennara memutar sisipan Video. Itu adalah rekaman dirinya yang memasuki kamar 111. Juga saat setelah dia keluar dari sana. Bahkan, ada zoom untuk melihat lebih detail penampilannya. Jelas sekali, bagian bahu putih dan sepotong tali bra miliknya terpampang dari video itu. Jennara menggigit bibirnya. Keluar dari video itu, berlanjut melihat beberapa foto. Dari saat dirinya berada di meja resepsionis. Hingga sampai memasuki kamar. Semuanya ada! "Penguntit dari mana yang kurang kerjaan ngerekam aku cuman buat berita bohong kayak gini, sih?!" monolog Jennara sangat marah. Otak kepala Jennara mulai semakin panas. Mencoba mengklik tautan artikel itu berkali-kali. Berharap bisa terhapus dari layar laptopnya. Tapi, nihil. Yang ada, malah laporan statistik baca artikel tersebut sudah 99.877 kali dibaca. Tentu saja
Sayangnya, Michael langsung keluar dari toilet lagi. Membuat tangan Jennara yang nyaris memegang ponsel urung secepat kilat. Hampir saja napasnya hilang. Takut jikalau laki-laki itu memergokinya. Tapi... sepertinya ekspresi Michael biasa saja.Lantas, gadis itu tersenyum manis pada Michael yang sudah berjalan ke arahnya lagi.“Nggak ada baby… harus beli sendiri. Nggak papa, aku terima kamu apa adanya kok.” Michael langsung mengungkung Jennara begitu saja.Tidak memberikan kesempatan sedetik pun pada Jennara untuk menghindar. Laki-laki itu kini membungkuk, mulai melepas blazer hitam Jennara dan melemparnya asal. Menyisakan kemeja putih milik Jennara, lalu juga membukanya pelan-pelan sambil tak berhenti memandang Jennara penuh dengan nafsu.Jennara panas dingin, tetapi dia menahan tubuhnya tetap diam. Setiap sentuhan Michael membuat kulitnya merinding, itu bukan karena nikmat, tapi karena rasa jijik yang ingin meledak. Dia menunggu celah. Begitu tengkuk Michael turun, Jennara lang







