"Oh, Pak Andre. Ini nikmat sekali." Joana yang tubuhnya ditindih oleh Andreas dengan sengaja mengeraskan suara. Gadis belia itu mendesah manja seraya memejamkan mata. Joana juga semakin mengeratkan pelukan di leher sang guru idola, membuat Andreas tidak dapat melepaskan dirinya.
Kepala sekolah yang kebetulan sedang melintas di depan ruangan Andreas dan mendengar suara aneh dari dalam lalu mendekati pintu yang tidak tertutup rapat itu. Pria paruh baya tersebut sangat terkejut, melihat apa yang terjadi di dalam sana. Di ambang pintu, tatapannya terpaku melihat ke dalam ruangan sang guru matematika.
Seketika, rahang laki-laki tambun itu mengeras. Netra keabuannya menyorot tajam ke arah sofa, di mana tubuh kedua anak manusia yang berlainan jenis berada dalam posisi yang sangat intim. "Apa yang kalian lakukan?"
Rupanya, suara keras kepala sekolah tenggelam oleh suara desahan Joana di telinga Andreas. Guru muda itu sama sekali tidak menyadari hadirnya sang kepala sekolah. Sejenak, Andreas seperti menikmati posisi mereka sekarang.
"Kamu apa-apaan, sih, Jo?" Sedetik kemudian, Andreas tersadar dan memaksa menyeret perasaannya yang hampir terhanyut karena ulah Joana. Pria muda itu kemudian berusaha melepaskan dekapan siswinya.
Sementara Joana yang dapat melihat kehadiran kepala sekolah, semakin berulah. Gadis belia yang masih mengenakan seragam putih abu-abu itu, mengeratkan pelukan dan semakin mendesah manja. "Pak Andre, ah ... terus, Pak! Jo suka."
Mendengar ocehan siswi yang sangat dia kenali, laki-laki paruh baya dengan dahi lebar yang berdiri di ambang pintu lalu mendekati mereka berdua. Pak Kepala Sekolah nampak sangat murka, melihat kejadian tidak senonoh yang dilakukan oleh seorang guru terhadap siswinya. Apalagi, siswi itu adalah keponakannya.
"Pak Andre! Apa yang Bapak lakukan?" Merah padam wajah Pak Bernardus, menatap tajam pada sang guru yang kelabakan sendiri dan berusaha untuk bangkit dari atas tubuh Joana.
Tentu saja Andreas sangat terkejut dengan kedatangan sang kepala sekolah, di saat yang tidak terduga. Guru muda itu lalu menoleh ke arah sofa dan kemudian menjauh dari Joana. Wajah guru tampan itu terlihat sangat pias.
"Pak Kepsek, silakan duduk. Saya bisa jelaskan semua," kata Andreas, berusaha untuk bersikap tenang karena memang dia tidak bersalah. Kejadiannya sangat tiba-tiba tadi dan semua di luar kuasa Andreas.
"Kancingkan dulu kemeja Pak Andre!" Kepala sekolah itu menunjuk dada Andreas yang terbuka.
Andreas kembali nampak terkejut lalu buru-buru membetulkan kancing baju bagian atas yang terbuka, akibat ulah siswinya. Andreas sendiri tidak sadar, kapan gadis belia itu membuka kancing bajunya.
"Pak Andre telah mencuri ciuman di bibir Jo, Pak Bernard," adu Joana tiba-tiba, seraya menangis tersedu.
Andreas sontak melotot tajam ke arah gadis yang baru saja ditolongnya, tetapi malah menjebak Andreas dengan menarik tubuh guru muda itu ke arah sofa. Ya, Andreas sangat yakin bahwa Joana tadi memang sengaja menjebaknya.
"Aduh, panas!" jerit Joana, gadis centil berseragam putih abu-abu yang sudah lama mengejar sang guru idola. Joana menerobos mengikuti Andreas, masuk ke dalam ruangan guru matematika. Dia masuk sambil membawa segelas teh panas dan di saat yang tepat, gadis itu sengaja menumpahkan teh tersebut ke dadanya.
Tidak tega melihat Joana menjerit kesakitan karena ketumpahan minuman panas, Andreas segera mendekat. "Ceroboh sekali kamu! Kenapa tidak hati-hati, sih, Jo? Lagian, ngapain juga kamu ke sini?" Wajah guru muda itu nampak sangat khawatir.
Andreas kemudian membantu Joana mengelap seragam putih siswi itu di bagian dada yang tersiram air teh panas dengan sapu tangannya. Joana sangat menikmati apa yang dilakukan oleh sang guru idola. Gadis centil itu tersenyum penuh kemenangan karena berhasil mendapatkan perhatian dari Andreas, guru muda yang memiliki garis wajah tegas.
"Saya cuma mau nganter teh manis untuk Pak Andre," balas Joana yang dibalas Andreas hanya dengan helaan napas kasar.
'Pak Andre benar-benar tampan. Aku jadi ingin berlama-lama seperti ini.' bisik Joana dalam hati, seraya tersenyum.
"Kenapa senyum-senyum?" selidik Andreas, curiga.
"Aw, Pak, sakit!" rintih Joana kemudian, pura-pura kesakitan. "Saya enggak senyum, Pak, tapi meringis menahan sakit dan panas, di sini," imbuh Joana menunjuk dadanya sendiri, meyakinkan.
Telaten, guru muda tersebut terus mengelap bagian dada Joana dengan sapu tangan. Andreas mengusap dengan sangat pelan karena gadis cantik itu merintih kesakitan. Joana sengaja mendramatisir keadaan dengan mengatakan bahwa kulitnya juga terasa panas seperti terbakar.
"Rasanya panas sekali, Pak Andre. Serius," rajuk Joana, hampir menangis untuk meyakinkan sang guru bahwa keadaannya saat ini, memang tidak baik-baik saja.
"Lagian, kamu kenapa aneh-aneh bawain minuman segala? Jadi begini, kan? Saya juga yang repot!"
Joana terdiam, tidak menanggapi gerutuan sang guru tampan. 'Meskipun marah-marah, Pak Andre tetap terlihat tampan dan makin menggemaskan. Aku jadi pengin ngekepin, biar Bu Jannet tidak bisa mengambilnya dariku.'
"Kita ke UKS saja, ya?" Suara berwibawa Andreas, mengurai lamunan Joana.
"Enggak usah, Pak. Malu jalan ke sananya kalau masih basah gini," tolak Joana.
Andreas berdecak kesal. "Kamu, sih, jalan enggak pakai mata! Kaki meja segala ditendang! Udah tahu bawa minuman panas, masih aja sembrono!"
Meskipun masih membantu Joana mengeringkan baju gadis centil itu, tetapi Andreas melakukannya sambil ngomel-ngomel tidak karuan. Namun, Joana tidak menanggapi omelan sang guru tampan. Gadis itu semakin lebar mengulas senyuman yang tidak dapat dilihat oleh Andreas yang sedang fokus di bagian dadanya yang besar.
"Jo jalan pakai kaki, Pak. Kalau lihat pakai mata. Tapi kalau lihat Pak Andre yang tampan, Jo pakai mata hati, bukan mata kaki," canda Joana, mencoba mencairkan suasana hati sang guru idola. Namun, usahanya sia-sia belaka karena sang guru masih jutek, meskipun tetap membantunya.
Joana tidak peduli. Baginya, bisa berdekatan seperti ini saja dengan Andreas, dia sudah sangat hepi. Apalagi jika dapat memiliki. 'Kapan, ya, aku bisa memilikimu, Pak Andre?'
Hembusan napas Andreas yang terasa hangat menerpa kulit wajah Joana, membuat gadis belia itu melayang. 'Ah ... andai bisa berdekatan terus seperti ini dengan Pak Andre, aku rela enggak dikasih uang jajan selama satu bulan oleh mama.' Joana terkikik sendiri dalam hati.
Guru matematika itu masih sibuk membantu Joana. Dia sama sekali tidak menaruh curiga bahwa semua ini hanyalah drama yang dibuat oleh siswinya. Andreas terus berusaha untuk mengeringkan dada sang siswi, dia sampai tidak memedulikan keringat yang mulai mengucur dari keningnya.
"Pak Andre makin seksi kalau keringetan gini," gumam Joana sambil mengusap keringat Andreas dengan ibu jarinya.
"Bicara apa, kamu?" Andreas menghentikan aktifitasnya lalu menatap tajam Joana dengan dahi berkerut dalam.
"Sa-sakit, Pak. Dada Saya rasanya makin perih. Mungkin, ada kulitnya yang melepuh dan mengelupas karena Pak Andre terlalu keras menekan sapu tangan," kilah Joana. "Pak Andre mau lihat?" tanya Joana yang kemudian membuka kancing bajunya.
"No!" tolak Andreas, tegas.
Guru matematika itu memejamkan mata, seraya menghela napas panjang. Kesabarannya benar-benar teruji berhadapan dengan gadis centil di hadapan. Gadis yang sering membuatnya menjadi keki. Namun, sejauh ini dia berusaha untuk tidak peduli.
"Masih sakit?" tanya Andreas seraya sedikit menjauh.
"Masih, lah, Pak. Masih basah juga bajunya," balas Joana yang maju, mendekati sang guru.
Mau tidak mau, Andreas kembali mengusap dada siswinya. Di saat Andreas masih sibuk mengeringkan bagian dada Joana, ekor mata gadis itu melihat dari jauh kemunculan kepala sekolah yang sedang berjalan ke arah ruangan sang guru matematika. Gadis belia itu tidak menyia-nyiakan kesempatan, dia langsung menarik tubuh Andreas dan menjatuhkan di sofa, di atas tubuhnya.
Sejenak Andreas terpaku mendapatkan pelukan dari siswi yang terkenal memiliki wajah cantik dan bertubuh sintal itu. Dadanya berdebar dan naluri kelelakiannya bangkit seketika. Namun, Andreas segera menepisnya. 'Ini tidak benar. Dia masih anak-anak.'
"Benar, 'kan, Pak Andre. Tadi Bapak telah mencium bibir Jo dan Bapak juga meminta Jo untuk melayani Pak Andre?" Suara Joana yang diucapkan dengan terisak, menyeret Andres dari lamunan.
"Joana! Kenapa kamu bicara yang tidak-tidak? Jangan memfitnahku, Jo!" Dari nada bicaranya yang penuh penekanan, terdengar jelas bahwa guru muda itu sangat geram dengan ulah Joana. Sebab, gadis. belia tersebut sedari tadi terus saja menyudutkan dirinya dan mengarang cerita yang tidak benar.
🌹🌹🌹
bersambung...
Andreas masih terlihat sangat kesal. Pria muda itu menyugar rambutnya dengan kasar. Embusan napasnya pun terdengar tidak beraturan. "Jo tahu, mungkin Pak Andre menganggap bahwa ciuman barusan tidak berarti apa-apa untuk Bapak. Tapi bagi Jo, ini sangat berarti, Pak, karena ini adalah ciuman pertama Jo." Joana semakin tersedu. Andreas sejenak memejamkan mata untuk meredam amarahnya. "Bukan seperti itu kejadiannya, Pak Kepsek. Tadi itu, Joana ...." Andreas menghentikan perkataan, ketika Pak Bernardus mengisyaratkan dengan tangan agar pria berkacamata itu tidak melanjutkan bicara. "Bapak juga meraba dada saya yang masih perawan, kan?" lanjut Joana, semakin mendramatisir keadaan. Air mata gadis itu bercucuran, mencoba meyakinkan sang kepala sekolah bahwa apa yang dia katakan adalah sebuah kebenaran. "Lihat kancing baju saya, Pak Bernard. Pak Andre telah membukanya dan dia tadi, tadi ...." Joana yang masih tersedu, menutup wajah dengan kedua telapak tangan. "Saya malu mengatakannya, Pak
Melihat kemarahan Andreas, nyali Joana sedikit menciut. Dia yang awalnya begitu antusias bahwa akan bisa mendapatkan sang guru idola dengan cara menjebak seperti itu, kini memilih pasrah. "Tidak mengapa jika Pak Andre tidak mau mengakuinya, Pak Kepsek. Tidak mengapa juga jika Pak Andre tidak mau memertanggung jawabkan perbuatannya. Tapi mulai hari ini, saya pamit keluar dari sekolah karena saya merasa malu jika bertemu dengan Pak Andre. Saya juga malu karena merasa sudah ternoda," isak Joana seraya menundukkan kepala.Andreas semakin frustrasi mendengar perkataan Joana. Sementara Pak Bernardus menghela napas berat. Kepala sekolah itu lalu menegakkan punggung dan wajahnya nampak sangat serius."Saya sebagai kepala sekolah di sekolah ini, sangat menyayangkan perbuatan amoral Pak Andre! Bapak itu seorang pendidik yang seharusnya memberikan contoh baik dan bukan malah melecehkan siswi sendiri! Dan sebagai bentuk pertanggung jawaban Anda pada Joana, juga demi tegaknya peraturan di sekolah
Bu Martha nampak termenung, setelah mendengar penjelasan sang putra. Sementara Ryan terlihat sedikit emosional dan merasa tidak terima sang abang diperlakukan demikian."Tidak masalah jika Ryan harus cuti dulu dan kemudian cari kerja mengumpulkan biaya buat kuliah Ryan, Bang," sahut Ryan kemudian yang tidak tega melihat sang abang harus menanggung semua sendirian.Andreas menggeleng cepat. "Tidak, Ryan! Selain karena keinginanmu, mendiang ayah juga menginginkan agar salah satu anaknya bisa menjadi dokter," tegas Andreas, melarang."Abang tidak dapat mewujudkan keinginan ayah karena saat itu, terbentur biaya. Sekarang, Abang bisa membiayai kamu dan kamu harus sungguh-sungguh belajar agar cepat selesai dan meraih gelar dokter seperti yang ayah dan Ibu inginkan," lanjut Andreas, seraya menatap sang adik. "Tapi, bagaimana dengan Abang? Maksud Ryan, masa depan rumah tangga Abang nantinya jika Abang menikah dengan ....""Jangan pikirkan tentang Abang, Ryan!" sahut Andreas. "Abang pasti bis
Waktu terus berjalan. Pagi berganti siang. Sore yang ditunggu Joana pun datang menjelang.Gadis belia itu nampak tengah mematut diri di dalam kamarnya. Bolak-balik Joana terlihat berganti pakaian, untuk memastikan bahwa penampilannya sempurna. Hal itu membuat sang Bibi yang memerhatikan dari ambang pintu, geleng-geleng kepala."Sudah, Jo. Kamu itu aslinya sudah cantik. Tidak perlu berdandan juga sudah cantik. Ayo, kita keluar. Takutnya, calon suami kamu sudah datang dan nanti kelamaan menunggumu di bawah," ajak Bi Liana, menghampiri sang keponakan."Bentar, Bi. Apa menurut Bibi, penampilan Jo sudah benar-benar bagus?" tanya Joana, memastikan.Adik kandung sang mama itu menganggukkan kepala. "Kamu cantik, Sayang," pujinya, tulus. "Tapi sebaiknya kamu mengenakan kulot dan blouse yang itu saja karena Pak Andre 'kan bawa motor." Wanita paruh baya tersebut menunjuk blouse berwarna salem yang tadi sudah dicoba oleh Joana.Joana menatap sang bibi, dengan
Ya. Setelah mengenalkan Joana pada sang ibu tadi, Andreas memang langsung pamit untuk ke kamar. Namun, hingga obrolan tersebut berlangsung lama, Andreas tidak juga muncul dan bergabung bersama mereka di ruang keluarga. Berbeda dengan Joana yang bersikap biasa saja karena sudah menyadari bahwa guru tampan itu memang tidak menyukainya."Kamu benar, Dik. Coba, kamu lihat abangmu sana. Takutnya, dia kenapa-napa," titah sang ibu kemudian, yang tidak ingin membuat Joana merasa diabaikan."Bang Andre capek kali, Bang Ryan," sahut Joana. "Birkan sajalah, Bang, jangan diganggu dulu. Nanti kalau mau mengantar Jo pulang, Bang Andre pasti keluar," lanjutnya yang kini ikut-ikutan memanggil Andreas dengan sebutan bang, seperti halnya Ryan.Perkataan Joana yang penuh pengertian pada sang putra, membuat Bu Martha tersenyum. "Tulus sekali hatimu, Nak."Ryan mengangguk membenarkan perkataan sang ibu. Sementara Joana tersenyum, tersipu malu."Kalau begitu, ibu mau me
Sejenak keheningan tercipta di kamar Andreas. Pria tampan itu mengenakan kacamata lalu kembali fokus dengan layar ponselnya. Sementara Ryan meneliti wajah sang abang seolah mencari kebenaran dari perasaan abangnya terhadap Joana."Bang Andre mau cari yang kayak gimana, sih?" tanya Ryan, mengurai keheningan."Abang sudah memiliki pekerjaan bagus. Bisa dibilang, sudah mapan, lah. Usia juga sudah pantas untuk menikah. Apa, karena Abang masih memiliki tanggungan untuk membiayai kuliah Ryan dan juga membiayai kami? Makanya, Abang berusaha untuk menutup diri dari Joana?"Andreas menggeleng. "Bukan karena itu, Dik. Abang juga tidak merasa terbebani sama sekali. Hanya saja, untuk saat ini abang memang belum memikirkan untuk menikah. Apalagi, menikah dengan gadis kecil seperti dia.""Siapa gadis kecil?" Pertanyaan Joana yang tiba-tiba muncul di ambang pintu kamar Andreas, mengalihkan perhatian abang dan adik tersebut."Kamu. Siapa lagi, memang?" balas Andre
Hari begitu cepat berganti dirasakan oleh Andreas. Hal itu dia rasakan karena sebenarnya Andreas memang belum siap untuk menikah. Dia terpaksa harus menikahi Joana karena jebakan dari siswinya yang terkenal centil di sekolah.Berbeda dengan apa yang dirasakan oleh Joana. Bagi gadis belia itu, menunggu hari ini di mana pernikahannya akan dilangsungkan, terasa sangat lama. Tidak sabar rasanya, dia menunggu hari berganti petang dan pernikahan mereka berdua segera dilaksanakan.Sedari pagi, Joana telah memersiapkan diri dengan serangkaian perawatan untuk menyambut malam pertamanya. Malam panjang yang akan dia lewatkan dengan pria pujaan. Seorang guru muda yang menjadi idola di sekolahnya.Kini, Joana sedang dirias oleh mamanya sendiri yang memang pandai merias. Riasan tipis yang membuat Joana semakin terlihat anggun dan sedikit lebih dewasa dari usianya. Gadis belia itu menatap senang melihat hasil riasan sang mama."Bagus banget, Cik. Natural dan elegan," pu
Menyaksikan sang putra bergeming, wanita paruh baya itu lalu menuntun Joana dan Andreas masuk ke dalam gereja. Di sana keluarga besar dan Imam gereja sudah menyambut kedatangan calon mempelai berdua. Seremonial pemberkatan pernikahan pun segera dilangsungkan, sesuai permintaan pihak keluarga. Satu per satu acara berjalan dengan lancar. Setelah pendeta membacakan doa, Andreas lalu membuka veil yang menutupi wajah cantik Joana yang sekarang telah sah menjadi istrinya. Andreas nampak ragu, ketika hendak melakukan wedding kiss. Pria muda itu sejenak memejamkan mata lalu menghela napas panjang. Desakan dari para orang tua melalui sorot mata mereka yang menatap tajam pada Andreas, memaksanya mendekatkan wajah. Joana memejamkan mata ketika Andreas menempelkan bibir dan istri Andreas itu tersenyum dalam hati, seraya berharap banyak. Cukup lama Joana menanti, tetapi tidak ada tindakan apa-apa yang dilakukan oleh Andreas kepadanya. Pemuda itu hanya menempelkan bibir da