Andreas masih terlihat sangat kesal. Pria muda itu menyugar rambutnya dengan kasar. Embusan napasnya pun terdengar tidak beraturan.
"Jo tahu, mungkin Pak Andre menganggap bahwa ciuman barusan tidak berarti apa-apa untuk Bapak. Tapi bagi Jo, ini sangat berarti, Pak, karena ini adalah ciuman pertama Jo." Joana semakin tersedu.
Andreas sejenak memejamkan mata untuk meredam amarahnya. "Bukan seperti itu kejadiannya, Pak Kepsek. Tadi itu, Joana ...." Andreas menghentikan perkataan, ketika Pak Bernardus mengisyaratkan dengan tangan agar pria berkacamata itu tidak melanjutkan bicara.
"Bapak juga meraba dada saya yang masih perawan, kan?" lanjut Joana, semakin mendramatisir keadaan. Air mata gadis itu bercucuran, mencoba meyakinkan sang kepala sekolah bahwa apa yang dia katakan adalah sebuah kebenaran.
"Lihat kancing baju saya, Pak Bernard. Pak Andre telah membukanya dan dia tadi, tadi ...." Joana yang masih tersedu, menutup wajah dengan kedua telapak tangan. "Saya malu mengatakannya, Pak," lanjutnya dengan bahu berguncang. Nampak jelas bahwa gadis itu mengalami kesedihan yang mendalam.
Andreas nampak hendak kembali membuka suara, tetapi Pak Bernardus mendahuluinya. Guru dan siswi itu kemudian diminta untuk datang ke ruangannya.
"Saya tunggu kalian berdua di ruang saya, sekarang!" titah Pak Berbasrdus tak mau dibantah. Beliau kemudian segera berlalu dari sana.
Andreas hanya bisa mengembus kasar napasnya. Sementara Joana tertawa penuh kemenangan, tetapi hanya dalam hati saja. 'Saya pastikan, kali ini Bapak akan jatuh ke pelukan saya.'
'Hari ini, aku benar-benar sial! Tadi pagi ban motor tiba-tiba bocor dan sekarang, gadis ingusan itu berulah!' Andreas melirik tajam pada Joana.
Gadis belia yang sudah berhenti menangis itu pura-pura masih kesakitan. Dia tiup-tiup dadanya sendiri yang tadi ketumpahan teh yang cukup panas untuk menghindari lirikan tajam sang guru tampan. Sementara Andreas hanya bisa menatapnya dengan kesal.
"Ya, Tuhan. Andai aku punya murid seperti dia tiga saja, pasti hidupku enggak bakal tenang," gumam Andreas seraya mengusap kasar wajahnya.
"Kalian masih mau berbuat mesum di sana!" Suara berat Pak Bernardus dari ambang pintu, memaksa Andreas melangkah mengikuti sang kepala sekolah seraya menyeret lengan Joana.
"Katakan sejujurnya, apa yang terjadi di antara kita tadi pada pamanmu. Atau, aku akan membencimu seumur hidupku, Joana Andarista!" ancam Andreas dengan menyorot tajam.
Joana mencebik, tidak percaya dengan gertakan sang guru matematika. "Mana ada cowok yang bisa benci sama Jo yang imut ini, Pak Andreas Sayang," balas Joana dengan lirikan serta senyumannya yang menggoda.
Langkah Andreas yang hendak menuju ke ruang kepala sekolah terhenti kala ada yang memanggil namanya. Andreas buru-buru melepaskan tangan Joana. Guru muda berkacamata itu lalu menoleh ke arah sumber suara.
"Ada apa, Bu Jannet?" tanya Andreas.
Guru anggun yang seusia Andreas itu mengerutkan dahi. Merasa heran karena tiba-tiba melihat teman gurunya yang spesial di hati Jannet tersebut, berjalan dengan murid yang tidak Andreas sukai. Murid centil yang mengejar-ngejar guru matematika dan selalu Andreas hindari.
"Pak Andre mau ke mana? Belum mau pulang, kah?" Bukannya menjawab, Jannet malah melontarkan pertanyaan.
"Saya ada perlu dengan pak Kepsek, Bu Jannet. Kebetulan mengenai pelajaran matematika untuk kelas Joana," balas Andreas mencari-cari alasan.
Jannet mengangguk-anggukkan kepala, tetapi dengan tatapan curiga. Teman guru Andreas itu sepertinya tidak percaya begitu saja. Dia kemudian segera meneruskan langkah menuju parkiran, ketika Andreas dan Joana berlalu dari hadapannya.
Kini, Andreas dan Joana telah berada di dalam ruangan Pak Bernardus. Kepala sekolah yang disegani oleh semua guru dan siswa-siswi di sekolah swasta ternama tersebut. Andreas duduk dengan tidak nyaman di hadapan sang kepala sekolah karena dia tidak yakin bahwa Joana akan mengatakan dengan jujur.
Sementara Joana yang duduk di sampingnya, dalam hati tersenyum bahagia. Bayangan kemenangan untuk bisa mendapatkan sang guru idola, sudah ada di depan mata. Dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan baik ini untuk mendapatkan cintanya.
"Sekarang, kalian bisa jelaskan kepada saya, apa yang sebenarnya terjadi?" Pak Bernardus menatap guru dan murid itu bergantian.
"Maaf, Pak Kepsek. Bapak ingin mendengarkan penjelasan siapa dulu?" tanya Andreas yang tidak ingin berebut dengan Joana.
"Silakan. Pak Andre dulu, tidak apa-apa," sahut Joana seraya menoleh ke samping, di mana Andreas duduk dengan gelisah.
Pak Bernardus mengisyaratkan dengan tangan, mempersilakan pada Andreas. Laki-laki berkumis tebal itu lalu menyandarkan punggung pada sandaran sofa dan siap mendengarkan. Netra keabuannya menatap lekat pada guru muda di hadapan.
"Tadi sewaktu saya baru masuk ke dalam ruangan usai jam belajar mengajar di kelas Joana, dia tiba-tiba ikut nyelonong masuk ke ruangan saya, Pak." Andreas memulai ceritanya seraya melirik Joana sekilas.
Guru matematika itu lalu menjelaskan secara rinci dan sedetail-detailnya. Tidak ada satu pun adegan yang terlewat, mulai dari ketika dirinya masuk ke ruangan yang ternyata diikuti oleh Joana. Setelah itu, tiba-tiba Joana memekik kecil karena siswi centil yang mengejar-ngejarnya tersebut ketumpahan teh panas tepat di bagian dada.
"Saya hanya reflek membantunya saja tadi untuk mengeringkan baju Joana, tapi tiba-tiba dia menarik tangan saya dan kami terjatuh di sofa, Pak Kepsek," terang Andreas yang kembali melirik Joana.
"Apa benar demikian, Joana?" Kini, tatapan kepala sekolah itu tertuju pada siswi yang terkenal paling cerdas di sekolah tersebut yang sekaligus merupakan keponakannya.
Gadis belia itu menggeleng cepat. Air mata Joana tiba-tiba mengalir deras membasahi pipinya. Joana terisak di tempat duduknya.
"Awalnya memang demikian, Pak Kepsek. Pak Andre memang membantu saya mengusap dada saya yang basah dengan sapu tangannya. Tapi lambat laun, tangan Pak Andre mulai nakal dan jujur itu membuat saya terlena. Saya nurut saja ketika Pak Andre membawa saya ke sofa," terang Joana di sela isakan kecil.
"Bohong! Dia ber ...."
"Biarkan Joana menyelesaikan penjelasannya dulu, Pak Andre!" Pak Bernardus menatap tajam sang guru matematika yang dibanggakan di sekolahnya itu.
"Silakan dilanjutkan, Joana!" titah sang kepala sekolah yang menatap iba pada Joana.
"Pak Andre menindih saya, Pak. Dia lalu mencium bibir saya dan mulai mencumbui saya," lanjut Joana. Tangis gadis berseragam putih abu-abu itu semakin pecah.
Andreas menggelengkan kepala. "Tidak demikian kejadiannya, Pak Kepsek!" elaknya, tegas.
"Mungkin bagi Pak Andre, ciuman dan cumbuan seperti itu adalah hal yang biasa, Pak Kepsek. Tapi bagi saya ...." Joana semakin mendramatisir tangisnya, hingga tangis itu terdengar begitu pilu dan menyayat hati.
Punggung gadis yang biasanya selalu ceria tersebut sampai berguncang. Menandakan bahwa kesedihan hatinya begitu dalam. Andreas yang mendengar tangis Joana hanya dapat menghela napas panjang.
"Saya merasa ternodai, Pak Kepsek," lanjut Joana, setelah tangisnya sedikit mereda.
"Joana! Kenapa kamu mengarang cerita dan sedari tadi terus menyudutkan saya, Jo!" Andreas nampak semakin kesal pada siswinya itu.
"Pak Kepsek. Anda sudah tahu reputasi saya seperti apa 'kan, Pak? Saya tidak mungkin melakukan hal yang di luar batas pada siswi saya sendiri, Pak!' Guru matematika itu menatap Pak Bernardus, mencoba meyakinkan sang kepala sekolah.
"Saya memang tahu kalau selama ini Pak Andre adalah guru yang baik. Tapi apa yang saya lihat tadi, membuat saya menjadi ragu karena bisa saja 'kan, seseorang berbuat khilaf?" Pak Bernardus menatap guru muda itu lalu menghela napas panjang.
Ya, baginya sagala kemungkinan bisa saja terjadi. Berduaan di dalam ruangan bersama siswi cantik dan seksi, bisa saja membuat guru muda itu tergoda. Begitulah kira-kira yang dipikirkan oleh sang kepala sekolah.
"Yang Bapak lihat tadi tidak benar, Pak! Saya tidak bohong dan saya mengatakan yang sebenarnya!"
Andreas terus saja mengelak dengan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya, tetapi pernyataan Joana yang berlawanan dengan keterangan guru matematika tersebut dan diucapkan sambil menangis, membuat kepala sekolah lebih memercayai siswi itu. Apalagi, Pak Bernardus juga melihat sendiri bagaimana tadi posisi mereka begitu intim. Ya, dari ambang pintu tempat kepala sekolah tadi berdiri, Andreas terlihat sangat menikmati ketika menindih tubuh Joana.
"Maaf, Pak Andre. Kali ini, saya tidak percaya pada Anda!" tegas kepala sekolah, membuat Andreas menyugar kasar rambutnya.
"Tapi saya benar-benar tidak melakukan apa pun pada Joana, Pak! Saya berani bersumpah!" tegas Andreas seraya melirik tajam pada Joana.
🌹🌹🌹
bersambung...
Wanita bertubuh kurus yang ada di dalam mobil taksi itu terus mengamati rumah Andreas. Dia nampak menimbang-nimbang. Entah apa yang dipikirkan."Maaf, Bu. Sampai kapan kita akan tetap di sini?" tanya sopir taksi tersebut, mengurai lamunan penumpangnya."Iya, tunggu sebentar, ya, Pak."Setelah berkata demikian pada sopir taksi, wanita tinggi semampai itu segera turun lalu berjalan perlahan memasuki gerbang kediaman Andreas yang memang tidak ditutup karena ada beberapa saudara Joana yang belum datang. Tanpa ragu, dia terus melangkah perlahan lalu menaiki teras rumah yang cukup tinggi dengan sangat hati-hati. Seolah, dia takut jika kaki jenjangnya akan tersandung, dan bisa menyebabkan tubuh ringkih itu terjatuh."Permisi." Terdengar sopan, wanita itu menyapa penghuni rumah.Tak perlu menunggu lama, sosok Andreas segera muncul lalu menghampiri tamunya. Andreas mengerutkan dahi kala m
Andreas kini dapat bernapas dengan lega, setelah sang istri tersadar. Tak henti, pria tampan itu mengecupi wajah istrinya yang sudah berangsur cerah dan tak sepucat tadi. Joana bahkan sudah bisa dipindahkan ke ruang perawatan, setelah dipastikan bahwa kondisinya sudah membaik.Di ruang perawatan pun, Andreas tak mau jauh-jauh dari sang istri tercinta. Dia bahkan tadi hanya menggendong anak-anaknya sebentar karena setelah itu, kedua bayi mungil itu sudah menjadi rebutan. Saat ini, bayi laki-laki berada di pangkuan Mama Anggie, sementara bayi perempuan berada di pangkuan Bibi Liana.Ya, Bibi Liana sebenarnya menginginkan cucu perempuan karena dia hanya memiliki anak laki-laki. Namun sayang, anak yang dilahirkan sang menantu, Melanie, malah laki-laki. Meski begitu, istri Pak Bernardus itu tetap menyayangi sang cucu."Kakak Ipar. Ryan belum kebagian gendong keponakan, nih. Bikin lagi, ya. Satu aja," pinta Ryan yang tiba-tiba
Andreas yang ikut menemani sang istri di dalam ruang persalinan, sebenarnya sangat tegang. Namun, pria itu mencoba untuk menutupi ketegangannya dengan menciumi puncak kepala Joana. Andreas terus memberikan semangat kepada istrinya."Kamu pasti bisa, Yang. Kamu wanita yang hebat. Aku mencintaimu, Yang," bisik Andreas, terus menerus. Memberikan kebahagiaan semangat, sekaligus mengungkapkan perasaannya yang terdalam.Di tengah rasa sakit yang mendera, Joana mencoba untuk tersenyum. Meski wanita cantik itu tak dapat berkata-kata, tetapi melalui tatapan matanya, Joana mengungkapkan rasa syukur karena memiliki suami seperti Andreas. Dia eratkan genggaman tangan, kala kontraksi kembali datang.Ya, Joana memilih proses persalinan normal untuk melahirkan kedua bayinya. Dokter yang menangani Joana jauh-jauh hari pun setuju karena baik kondisi ibu maupun kedua janin, sama-sama sehat. Meski awalnya Andreas menyarankan untuk operasi cesar saja karena pria itu tak sanggup melihat sang istri kesakit
Joana benar-benar ikut pulang dengan kedua orang tua, beserta kakaknya, Sandy. Segala bujuk rayu Andreas, tak dia hiraukan karena wanita hamil itu ingin selalu berdekatan dengan sang mama. Bahkan sepanjang perjalanan menuju bandara, Joana terus bergelayut manja dengan mamanya dan mengabaikan sang suami yang ikut mengantar.Andreas sengaja ikut mengantar ke bandara karena berharap, sang istri akan berubah pikiran. Suami Joana itu masih berharap, sang istri mengurungkan niatnya. Sebab, Andreas tidak dapat membayangkan bagaimana hari-harinya nanti tanpa sang istri."Abang kalau kangen 'kan, bisa nyusul Jo ke sana," jawab Joana dengan santai ketika sang suami masih berusaha membujuknya."Yaelah, Jo. Kamu pikir, Jakarta Bandung. Bisa nyusul sewaktu-waktu." Ricky yang juga ikut mengantar ke bandara, menyahut."Demi cinta, pasti jarak bukan halangan. Benar begitu 'kan, Bang?" Joana m
Semua orang dibuat panik karena Joana yang tadinya baik-baik saja, tiba-tiba ambruk, dan tak sadarkan diri. Andreas langsung membopong tubuh ramping istrinya dan membawanya berlari menuju mobil. Sandi yang baru saja datang, berteriak menyuruh sang adik ipar agar membawa Joana ke mobilnya.Sandi memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Sang mama yang duduk di samping kemudi, sampai harus mengingatkan sang putra sulung agar berhati-hati. Sementara di bangku belakang, Andreas yang memangku kepala sang istri, nampak sangat khawatir."Bangun, dong, Sayang. Kamu kenapa, sih?" Andreas menepuk lembut pipi Joana yang matanya terus terpejam.Sementara di belakang mobil Sandy, nampak tiga mobil lain mengiringi. Mobil yang dikendarai papanya Joana, berada tepat di belakang mobil Sandy. Diikuti mobil Ricky dan terakhir mobil Ryan.Tak berapa lama, iring-iringan mobil itu memasuki kawasan rumah sakit. Setelah berh
Belum juga ada tanda-tanda kehamilan meski sudah lebih dari satu bulan Joana dan Andreas pulang dari berbulan madu ke negara matahari terbit kala itu, membuat Joana kembali murung. Wanita cantik itu bahkan tak bersemangat, menyambut wisudanya minggu depan. Joana akhir-akhir ini juga sering mengurung diri di dalam kamar.Tentu saja sikap istrinya tersebut membuat Andreas khawatir. Pria muda itu dibuat bingung sendiri dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Padahal, dia sudah seringkali mengatakan pada sang istri bahwa tidak kunjung hamilnya Joana, tak masalah bagi Andreas."Sudah, dong, Yang. Jangan begini terus!" Andreas mencoba membujuk sang istri. "Kita makan malam di luar, yuk. Sekalian nonton film," lanjutnya menawarkan karena ingin membuat mood sang istri kembali membaik.Joana menggeleng. "Jo lagi enggak pengin ke mana-mana, Bang."Andreas menghela napas panjang. "Yang. Jangan terlalu dipikirkan