"Wid. Jangan bikin ulah lagi. Ayo masuk!" ajak Abimana yang sudah keluar dari ruang tamu. Widya menghela napas. Dia tak mau berdebat dengan Abimana. Alhasil, wanita itu berjalan gontai mendekati sang pujaan hati. Berbagai hinaan dan cibiran terus berdatangan. Bahkan, Widya sudah menangis sesenggukan. Santi yang merasa bosan dengan ocehan para tetangga pun gegas menarik masuk sosok Widya hingga ketiganya langsung menutup pintu.Tubuh Widya luruh ke lantai. Sebenarnya, Santi merasa iba. Hanya saja, ketika mengingat Widya yang sudah bermain serong di belakang Abimana, rasanya wanita paruh baya itu ingin menggampar Widya. "Mas Abi. Aku capek banget, Mas. Bisa tidak sih kalau kita ngekost saja atau pindah rumah?" rengek Widya yang sudah tak sanggup bila harus menjalani hari demi hari yang menyesakkan seperti ini. "Ck, kamu pikir biaya kost murah, Wid? Kalau kamu atau bahkan Abi yang ikut ngekost, siapa yang mau bayarin? Saya? Untuk makan sehari-hari saja kalian masih numpang. Wajar ka
Pagi-pagi sekali Nenek Laksmi menyambangi kontrakan milik Respati. Wanita tua itu ingin melihat sosok penghuni baru salah satu unit kontrakan milik sang cucu. Sesampainya di sana, ia gegas bertanya pada salah satu dari mereka yang tinggal di kontrakan itu. Semua yang ditanya mengatakan jika penghuni baru itu tinggal di samping unit kontrakan yang dikhususkan untuk Hanifa. Bahkan, para tetangga kontrakan banyak menceritakan keluh kesalnya selama bertetangga dengan Delina. "Ibu Laksmi harus tau kalau si Delina itu genitnya minta ampun. Apalagi kalau Mas Pati datang ke sini. Sudah pasti itu perempuan gatal sekali!" "Bukan hanya ke Mas Pati, tapi ke satpam yang menjaga kontrakan ini saja juga genit. Makanya, kita suka was-was kalau si Delina ketemu sama suami-suami kita, Bu!" Nenek Laksmi menghela napas. Dia semakin penasaran seperti apa sosok Delina yang bahkan belum ada satu bulan tinggal di sini saja sudah membuat banyak orang resah. "Minta tolong sekali, ya, Bu. Kalau bisa, Bu
Respati telah sampai di area kontrakan miliknya bersama dengan Pak tukang. Delina yang memang sejak tadi menunggu kedatangan pemilik kontrakan pun sontak saja langsung memasang wajah sedih seraya mendekat ke arah Respati."Mas Pati. Aku mau bilang sesuatu sama kamu, Mas!" lirih Delina hingga membuat Respati menyerngit keheranan. "Mau bilang apa, Mbak?" tanya lelaki itu sembari mempersilakan Pak tukang masuk ke dalam rumah kontrakan yang di huni oleh Delina.Respati terlalu fokus pada tukang yang dia bawa ketimbang memperhatikan wajah sendu Delina. Hal ini tentu saja membuat sang empu kesal bukan main, tapi masih berusaha keras untuk mempertahankan raut wajah sendu. "Neneknya Mas Pati labrak aku, Mas. Aku takut sekali. Aku di ancam ini dan itu sama Neneknya Mas!" Ketika mendengar penuturan Delina yang satu ini, barulah Respati menatap terkejut ke arah wanita itu. "Maksudnya bagaimana?" tanya lelaki itu penasaran."Neneknya Mas Pati loh ke sini bikin ulah. Ngatain aku ini dan itu sa
Sudah dua hari ini Hanifa mendiami Respati. Tidur pun dia mengungsi di kamar Nenek Laksmi. Bukannya kekanakan, tapi dia hanya ingin memberi pelajaran pada sang suami yang seolah terlalu menyepelekan perasaannya. Walau begitu, Hanifa masih tetap melayani Respati dengan baik. Seperti pagi ini, dia masih mengisi piring sang suami walau tanpa mengucap sepatah dua patah kata pada lelaki itu. "Dek. Habis sarapan, Mas mau bicara sama kamu!" ujar Respati memelas, tapi sayangnya sama sekali tak digubris oleh sang empu. "Mampus kamu!" sinis Nenek Laksmi yang seperti memiliki dendam kesumat pada Respati. Handoko maupun Anisa sama sekali tak menegur kelakuan sang mantu maupun Nenek Laksmi. Keduanya pun juga sama jengkelnya pada sang anak."Sini, duduk samping Nenek saja!" pinta Nenek Laksmi seraya menepuk kursi di sampingnya.Ketika Hanifa hendak beranjak pergi, Respati pun lekas menahan tangan sang istri hingga membuat sang empu menoleh seraya menatap penuh keheranan kepada sang suami."Dudu
Widya telah sampai di kediaman keluarga Handoko dengan tampilan luar biasa yang begitu ngejreng. Bahkan, untuk penampilan saja sudah di atur oleh Abimana. Wanita itu hanya tinggal menurut saja. Persis seperti menjadi boneka Abimana yang mau di atur sana sini. "Maaf, Mbak. Ada keperluan apa, ya?" tanya Pak Satpam yang seketika membuat langkah Widya terhenti."Ini saya mau bertamu. Masa Bapak lupa sama saya? Saya sering ke sini loh, temannya Hanifa!" ujar Widya meyakinkan.Pak satpam menyerngit keheranan. Dia ingin tidak percaya, tapi melihat tampilan wanita di hadapannya ini sedang hamil, alhasil, Pak satpam itu membuka pintu gerbang. Widya tersenyum sumringah dan bahkan mengerlingkan mata dengan genit pada satpam rumah mewah itu. Sang empu hanya bisa menghela napas. Semoga saja si wanita hamil ini tidak membuat ulah hingga mengakibatkan dirinya ditegur oleh sang tuan rumah.Widya berjalan lenggak lenggok menuju teras rumah mewah itu. Ia mengetuk pintu dan beberapa saat kemudian pi
Di berbagai percobaan ketika mendekati Respati selalu gagal. Widya sampai stress sendiri dan ingin menyerah. Namun, ketika hendak menyerah, tapi Abimana akan selalu menyemangati dirinya. .Seperti malam ini, Widya menangis di pangkuan Abimana seraya memeluk erat tubuh lelaki itu. ."Aku capek, Mas Abi. Semua orang anggap aku sebagai pelakor!" rengek Widya seolah mengadukan keluh kesalnya kepada Abimana. Sang empu hanya menghela napas. Sedikit menggelikan juga ketika mendengar rengekan dari Widya. Bukannya wanita satu ini memang seorang pelakor?"Kamu yang sabar, dong, Wid. Kita ini lagi berjuang. Masa begitu saja langsung nyerah, sih?" kompor Respati yang seketika membuat tangisan Widya semakin menjadi. "Tapi, aku capek. Mau nyerah saja apa boleh?""Aku bakal coba temui pengacaranya Almarhum Kakek. Kalau memang syaratnya harus balikan sama Hanifa bagaimana? Kalau kamu nyerah bikin rumah tangga mereka bubar, berarti kita putus, dong? Kamu juga nggak akan mau nikah sama lelaki kere se
Respati memasuki kamar dan mendapati keberadaan sang istri yang sudah mengenakan baju dinas. Padahal siang tadi, Hanifa kemvali merajuk ketika mendapati suaminya pergi ke kontrakan karena Delina lagi dan lagi membuat ulah. "Kamu dari mana saja, Mas? Lama banget masuk kamarnya! Sini, aku pengen manja-manja sama kamu!"Mood wanita hamil memang berubah-ubah. Tadi marah, sekarang justru ingin terus menempel. Walau begitu, Respati tidak menolak dan justru senang dan menghampiri sang istri.Lelaki itu mengendusi aroma segar dari tubuh sang istri. Ia bahkan sampai ketagihan dengan wangi tubuh Hanifa yang tiada duanya. "Dari depan. Bicara sama Papa. Ini Mas mau bicara sama kamu. Ada hal penting yang mau Mas sampaikan! Mau?"Hanifa menghela napas. Perasaannya jadi tak enak. Malas sekali bila nantinya sang suami ujung-ujungnya akan membahas soal Delina. Dia kesal sekali, tapi mau tak mau ia pun mengangguk. "Mau bicara apa? Aku dengerin, tapi janji jangan lama-lama. Aku lagi pengen manja sama
Sesuai permintaan sang istri, Respati rela mendapatkan omelan pedas dari Nenek Laksmi yang selalu mengatakan ini dan itu ketika keduanya sedang memasak sup ayam keinginan Hanifa. "Kamu potong wortel kok jelek sekali, sih? Yang makan nanti nggak bakal selera kalau kayak gini. Jangan besar-besar!" omel wanita tua itu tanpa mau menatap ke arah wajah Respati yang sudah kusut.Lelaki itu berusaha untuk terlihat biasa saja, walau sebenarnya ingin berteriak kesal. Semua ini demi istri tercinta dan juga calon anaknya. "Ya sudah, aku kecilkan dulu!" balasnya dengan nelangsa. Nenek Laksmi yang melihatnya pun sontak saja melotot horor. "Kalau ini kekecilan, astaga. Kamu ini kok nggak punya bakat sama sekali di dapur. Mentang-mentang lelaki mau seenaknya begitu."Kepala Respati rasanya mau pecah. Apalagi ketika mendengar suara cekikikan dari Anisa dan juga Hanifa yang sedang menertawakan dirinya. Ingin marah pun juga tidak bisa. Dia ini serba salah. "Terus, maunya Nenek bagaimana? Perkara wor
"Masak apa kamu itu?" tegur Nenek Laksmi ketika melihat Maya mengeluarkan nasi sisa kemarin."Nasi goreng!" Walau sekesal apapun si Maya, dia akan tetap menjawab segala pertanyaan yang bersumber dari mulut wanita tua itu."Pakai nasi sisa kemarin? Astaga, jangan nasi goreng. Tidak baik untuk kesehatan janinnya Hanifa. Masak sup ayam saja. Itu nasi kemarin jangan dipakai, takutnya basi!"Maya menghela napas. Baru kemarin loh ada wanita tua itu, tapi rasanya seperti membuat Maya menyerah saja. "Jangan lupa juga kupaskan buah segar lalu dicuci. Takutnya nanti Hanifa butuh buat nyemil!"Hanifa, Hanifa dan Hanifa. Maya sampai muak dengarnya. Walau begitu, dia tetap mengangguk sebagai jawaban.Diam-diam, Nenek Laksmi tersenyum miring. Sangat bahagia bisa membuat Maya tersiksa dengan kecerewetannya. Beberapa saat kemudian, Hanifa dan Respati pun masuk ke dalam dapur. Maya yang tadinya tampak cemberut pun seketika wajahnya berbinar dengan sangat cerah. Ia pun berjalan mendekat dan lekas me
Nenek Laksmi dan Hanifa sudah tiba di kediaman mewah milik Respati. Mereka pun langsung melihat sosok Maya yang sedang bersantai ria di ruang tamu bak seorang majikan. Ehem ...Deheman dari Nenek Laksmi sukses membuat Maya terkejut bukan main. Apalagi ia tau betul jika Nenek Laksmi itu cerewetnya minta ampun. Bisa mampus dia nanti jika wanita tua itu bertindakWalau begitu, Maya tetap selalu memprioritaskan keanggunan. Siapa tau nenek dari lelaki yang dia taksir ini mau merestui dia dan Respati bersatu."Eh, ada Nenek—""Panggil saya nyonya, saya bukan nenek kamu!" balas Nenek Laksmi memotong ucapan dari Maya.Sang empu kesal bukan main. Sedangkan Hanifa hanya bisa meringis pelan. Dia memang sangat kesal pada pembantunya itu. Hanya saja, istri dari Respati ini bukan juga orang yang gila hormat. Walau begitu, dia akui jika nenek suaminya ini memang sangat keras."Maaf, Nyonya. Saya kira boleh pakai embel-embel Nek kayak Mas Pati!" Mas? Apa Hanifa tidak salah dengar? Medusa satu ini
Pagi-pagi sekali Maya pergi begitu saja dari kediaman Respati untuk menemui seseorang. Tadinya dia mengatakan jika hendak pergi membeli sayur di pasar dan Hanifa yang memang sejak awal tak menyukai keberadaan Maya pun membiarkan saja. Di sinilah Maya berada. Di pinggir jalan sembari duduk memainkan ponsel. Beberapa saat kemudian, seseorang datang menghampiri dengan raut datarnya. "Gimana? Ada perkembangan apa?" tanya orang itu yang tak lain adalah Santi.Ya, Ibu dari almarhum Abimana itu memang dalang di balik semuanya. Bahkan, dia sengaja mengawasi gerak gerik keluarga Respati dari sebulan yang lalu. Sampai suatu ketika, Respati dan keluarganya sepakat mencari ART. Dari sanalah rencana di mulai. Dia bertemu dengan Maya yang saat itu baru tiba di kota hendak mencari pekerjaan. Sayangnya, saat itu Maya sudah sangat frustasi lantaran tak ada yang menerima lamaran pekerjaannya. Alhasil, Santi mempengaruhi wanita itu dan pada akhirnya mereka bekerja sama dengan iming-iming Maya bisa
Malam harinya, seperti biasa, Maya selalu saja mencari kesempatan dalam kesempitan. Seperti malam-malam sebelumnya, wanita itu ikut makan di meja makan. Hanifa sudah tidak mood. Apalagi Respati juga tidak menegur asisten rumah tangga itu dan terkesan membiarkan saja. "Pak Pati mau makan pakai apa?" tanya Maya yang mulai melancarkan aksinya. "Biar saja ambil sendiri—""Sudah, sini saya ambilkan saja, Pak!" Maya gegas menuangkan nasi ke dalam piring kosong milik Respati. Wajah Hanifa sudah tidak bisa di kondisikan lagi. Wanita itu menatap datar pemandangan yang tentu saja membuat hatinya bergejolak ingin mencekik perempuan bernama Maya itu. Sialan sekali. "Mas. Aku mau makan di luar. Nggak mood makan di sini!" ujar Hanifa."Tapi nanti mubazir loh, Dek. Dia sudah masak banyak!" balas Respati.Terkadang, Hanifa itu heran sekali. Respati terkesan selalu membela Maya. Padahal yang sebenarnya tidak begitu. Wanita hamil itu hanya sedang mengalami masa-masa sensitif dalam segi perasaan m
Setiap hari ada saja tingkah Maya yang selalu memancing emosi Hanifa. Seperti sekarang ini, Maya keluar dari kamar yang di khususkan untuk asisten rumah tangga dengan menggunakan baju milik Hanifa. Pantas saja wanita hamil itu tak menemukan baju kesayangannya, ternyata justru sudah dipakai oleh Maya."Mbak, itu bajuku kok dipakai? Mbak kok terlalu lancang?" Tegur Hanifa yang merasa tak suka dengan sikap Maya yang selalu seenaknya seperti ini.Maya yang di tegur seperti itu malah menaikkan sebelah alisnya. Dia menatap aneh ke arah Hanifa"Loh, kok Mbak Nifa malah bilang kayak gini? Ini loh bajunya saya! Memangnya cuma Mbak saja yang bisa beli?" tantang Maya, padahal jelas-jelas ini baju memang milik Hanifa, tapi mana mau pembantu itu mengaku?Sementara di sisi lain, Hanifa sudah menatap garang pada pembantu satu itu. "Mbak Maya jangan macam-macam, ya. Aku loh tau kalau Mbak ini yang nata baju aku buat di bawa ke lantai bawah. Jadi, ya, kemungkinan besar dan itu memang baju aku. Aku
Beberapa hari kemudian, keadaan Hanifa semakin membaik dan sudah bisa beraktivitas seperti sedia kala. Bedanya, perempuan itu sama sekali tak diperbolehkan untuk menyentuh peralatan dapur. Alhasil, semua pekerjaan rumah dikerjakan oleh Maya. Di mulai dari bersih-bersih dan juga memasak. Semua di lakukan oleh wanita yang usianya beberapa tahun di atas Hanifa. "Pak Pati, ini saya sudah masak sayur asem sama ikan goreng spesial buat Bapak!" ujar Maya dengan centilnya ketika Respati baru saja memasuki area dapur. Sang empu hanya mengangguk dan mulai sibuk membuka pintu kulkas. Maya yang merasa dicueki pun lekas mendekat ke arah sang empu dan menjawil lengannya."Pak Pati cari apa?"Respati terkejut bukan main dan sontak saja menjauh dari sosok Maya. Bisa gawat nanti jika Hanifa melihat, sudah pasti akan salah paham. "Mbak tolong jangan dekat-dekat seperti ini! Takutnya istri saya salah paham nantinya!" tegur Respati yang seketika membuat Maya memutar bola mata dengan malas. "Istri
Hampir dua minggu lamanya Hanifa di rawat di rumah sakit dan syukurnya hari ini sudah diperbolehkan pulang. Respati sangat kelelahan lantaran sibuk bolak balik rumah sakit sekaligus memantau pekerjaan. Walau begitu, ia sama sekali tak pernah mengeluh lantaran semua ini dia lakukan demi keluarga kecilnya yang sebentar lagi akan bertambah dalam beberapa bulan kedepan. "Semua barang-barang sudah dipacking?" tanya Handoko. Anisa tidak ikut lantaran sibuk mengurus Kusuma yang beberapa waktu lalu sudah lahiran dan sekarang anak bayinya sedang demam dan rewel. Alhasil, Kusuma membutuhkan bantuan sang Mama."Sudah, Pa. Biaya administrasi juga sudah Pati lunasi!" balas Respati dengan lesu. Bukan karena sedih tapi karena lelaki itu benar-benar butuh istirahat. Handoko mengangguk dan mulai membantu mengeluarkan semua barang bawaan yang dua minggu ini di bawa ke rumah sakit. Sekitar lima belas menit perjalanan menuju ke rumah, pada akhirnya mereka tiba juga dan sudah di sambut oleh satu ART
Hanifa keluar dengan wajah sendu. Bibirnya bahkan sudah melengkung ke bawah. Respati yang melihat semua itu tentu saja langsung menghela napas. Ia gegas mendekat dan merangkul bahu sang istri untuk menenangkan. Lewat ekspresi Hanifa saja Respati bisa menebak hasilnya seperti apa. Mungkin saja memang tak seperti harapan mereka saat ini, tapi Respati tidak mempermasalahkan hal tersebut. "Jangan sedih, kita bisa coba lagi nanti. Masih ada banyak waktu. Ayo dong senyum!" hibur Respati.Nenek Laksmi yang melihat itu terharu bukan main. Dia tak menyangka jika cucu lelakinya yang satu ini sangat dewasa dalam segi pikiran."Maaf—""Kenapa minta maaf, sih, Sayang? Mas tidak masalah, loh! Itu artinya, kita kurang berusaha selama ini. Mas santai begini, kok. Tidak masalah ini!"Hanifa menghela napas. Padahal dia belum selesai bicara, tapi suaminya terus menerus mengoceh seperti ini. "Mas, aku belum selesai bicara, loh. Astaga, coba lihat ini hasilnya!" Hanifa melepas paksa pelukan dari Respat
Hanifa jatuh sakit setelah kemarin mendapati teror di rumahnya sendiri. Respati bahkan sampai menambah satpam untuk berjaga di halaman rumah lantaran takut sekali jika sampai ada kiriman teror lagi. "Mas, aku takut!" keluh Hanifa seraya menggenggam erat tangan sang suami. Keduanya sekarang ini berada di dalam kamar. Respati terpaksa menempelkan kompres instan di kening istrinya, lantaran terlampau khawatir. Pasalnya saja, Hanifa sama sekali tak mau di bawa ke rumah sakit. Minum obat pun juga harus ekstra dipaksa. Walau begitu, Hanifa masih belum mau minum obat lantaran mulutnya terasa pahit."Takut apa, Sayang? Mas di sini sama kamu. Di luar juga ada lima satpam yang berjaga. Percaya sama Mas, selama Mas masih ada di samping kamu, semuanya baik-baik saja. Oke?" Respati dengan lembut memberi pengertian kepada istrinya.Dengan terpaksa, Hanifa mengangguk pelan sebagai jawaban. Ia takut, tapi tetap harus yakin jika semuanya akan baik-baik saja seperti apa yang barusan di ucapkan oleh s