Tiga kali ketuk palu menandakan berakhirnya pernikahan antara Hanifa dan Abimana. Wajah semua orang yang ada di sana menunjukkan reaksi berbeda. Ada yang senang dengan hasil akhirnya. Ada pula yang merasa panas dan tak terima. Hanifa menitikkan air mata. Bukan air mata kepedihan, melainkan air mata bahagia lantaran dia sudah sampai di titik ini. Sudah sepenuhnya terlepas dari lelaki toxic seperti Abimana. Wanita itu bangkit dan berjalan mendekat ke arah Respati dan Kusuma yang memang sejak awal sudah menemaninya sejauh ini. "Terima kasih, Mas. Karena Mas dan keluarga, aku bisa sekuat ini," bisik Hanifa yang tak sungkan memeluk Respati di ruang persidangan."Foto dulu dong. Tunjukkan pada dunia kalau kamu sekarang ini janda perawan!" ujar Kusuma membuat pelukan antara saudara lelakinya dan Hanifa pun terlepas.Hanifa bahkan sudah mengantongi akta cerai. Dia sengaja menggandeng mesra lengan kekar Respati dan keduanya tersenyum di depan kamera.Lain halnya dengan Hanifa yang berbahagi
Menyanggupi tantangan dari Santi adalah suatu kebodohan dan hanya buang-buang waktu saja. Maka dari itu, Hanifa tentu saja menolak keras. Percuma juga membuktikan semuanya pada Santi yang bahkan tak memiliki kepentingan dengannya. "Maaf, waktu saya terlalu berharga untuk meladeni orang seperti Anda!" Sarkas Hanifa seraya menatap datar ke arah mantan mertuanya.Santi yang kepalang emosi pun langsung mendorong kasar tubuh Hanifa. Untungnya, Respati dengan sigap menahan tubuh tersebut hingga jatuh ke dalam dekapannya.Jantung mereka berdua berdetak tak karuan. Apalagi ketika posisi mereka yang sangat intim seperti ini. Bahkan, Hanifa mampu merasakan hembusan napas Respati. "Kamu nggak papa?" tanya Respati dengan nada khawatir."Nggak papa, Mas. Aku pengen pulang. Aku muak di sini!" balas Hanifa membuat Respati mengangguk. Keduanya pun mulai melepaskan diri masing-masing. Respati menarik tangan Hanifa supaya mendekat pada Kusuma."Dek, bawa Hanifa ke mobil. Kalian tunggu di sana."Kus
"Dek. Berikan Mas satu kesempatan lagi! Mas ingin memperbaiki semuanya. Kita bikin keluarga cemara, ya!" pinta Abimana memelas tanpa takut digampar oleh Hanifa.Sang empu yang sudah muak dengan tingkah laku Abimana pun langsung melempar keras kursi plasti itu sampai mengenai tubuh Abimana. "Aduh, Dek. Sakit! Kok beneran digampar, sih?" Hanifa memutar bola mata dengan malas. Giliran dia sudah berubah cantik saja mulut Abimana juga berumah manis. Sayangnya, gadis itu sama sekali tak tertarik untuk balikan lantaran dia tau betul jika Abimana melihat perempuan hanya dari fisiknya saja.Memangnya dikira perempuan jelek itu tidak butuh dihargai? Toh juga tidak semua perempuan ketika lahir langsung punya wajah cantik. Ada juga yang harus ekstra merawat diri dengan beberapa produk kecantikan. "Mau pulang atau aku teriak? Biar kamu digrebek sama warga kontrakan!" ancam Hanifa lagi, tapi Abimana tetap bebal pada pendiriannya. "Aku hitung sampai tiga. Kalau kamu nggak pergi, aku bakal teria
Sehari saja Widya tak menguras uang Abimana, sepertinya tidak bisa. Lengah sedikit, Abimana sudah keluar uang 5 juta hanya karena Widya berebut dress di mall dengan seorang wanita. Dress tersebut robek, karena ditarik oleh Widya. Alhasil, wanita itu harus mengganti rugi dan ujung-ujungnya, Abimana yang keluar uang. "Buat apa rebutan baju seperti itu, sih, Wid? Baju kamu di rumahku masih banyak!" hardik Abimana kepalang emosi.Setiap hari dia harus keluar uang demi menuruti gaya hidup sang kekasih yang sangat hedon. Sepertinya, besok dia harus kembali bekerja. Jika tidak, sudah pasti ujung-ujungnya harus menjual salah satu barang elektronik yang ada di rumahnya. "Itu dress inceranku, Mas. Lalu kamu nggak beliin aku heels yang aku mau, malah keduluan sama Hanifa." Widya mengecutkan bibir. Merasa tak terima dengan semua itu. Apalagi, semakin ke sini Hanifa sepertinya lebih unggul dari dirinya. Punya pawang super tajir melintir. Berbeda dengan Abimana yant kini super perhitungan dan s
Respati sudah menunggu Hanifa sejak tadi. Lelaki itu sepertinya tak sabar untuk melakukan kencan pertama dengan sang pujaan hati. Bahkan, dia hanya ke tempat fitness dari jam delapan pagi sampai jam sepuluh. Selebihnya, Respati gunakan untuk bersiap-siap seperti bercukur dan lain sebagainya. Kusuma yang sejak tadi melihat tingkah sang Kakak pun hanya menghela napas. Respati seperti remaja yang sedang masuk fase puber. Padahal lelaki itu usianya sudah memasuki kepala tiga. Astaga, ternyata efek jomblo selama itu membuat lelaki gagah macam Respati bisa segila ini. "Mas. Dari tadi aku lihatin kamu terus natap cermin, loh. Padahal sudah ganteng begitu!" tegur Kusuma seraya mendekati sang Kakak yang sedang duduk di ruang tunggu. Kebetulan, di depan sana ada cermin full body yang menempel di dinding hingga membuat Respati terus menerus bercermin."Mas kurang apa, Dek? Hari ini rencana mau ajak Nifa kencan." Respati meminta pendapat sang Adik yang hanya bisa menghela napas dengan sabar."
Bruk!"Siapa kamu, hah? Kenapa lancang sekali?" jerit Hanifa setelah berhasil mendorong kencang tubuh lelaki yang dengan teganya melakukan hal tercela padanya.Lelaki tersebut sengaja mengenakan topi dan kacamata hitam. Setelah semuanya dibuka, betapa kagetnya Hanifa ketika mengetahui siapa yang sudah melecehkannya. Dia adalah Abimana, mantan suaminya. Mengetahui hal tersebut tentu saja membuat Hanifa murka bukan main."Kenapa kamu lakuin semua itu ke aku, Mas? Bukannya kamu jijik sama aku, hah?" Jerit Hanifa merasa tak terima.Dulu dia memang mendambakan dicintai sepenuhnya oleh Abimana. Disentuh sesuka hati Abimana. Sayangnya, itu dulu. Sekarang sudah berbeda. Cinta untuk Abimana sudah menghilang. Jika tersisa, mungkin hanya sedikit sekali. Selebihnya, hanya ada rasa sakit."Aku nggak jijik sama kamu. Aku tarik kata-kataku dulu. Maaf, baru telat menyadari perasaanku!" Abimana menampilkan wajah sendu.Sayangnya, semua itu tak mampu membuat Hanifa melunak. Ia justru semakin kencang
Hanifa sudah kembali ke kontrakan dengan langkah gontai. Respati pun setelah mengantarnya langsung pergi begitu saja lantaran masih memiliki urusan. Perempuan itu ingin menjernihkan pikiran setelah tadi mengatakan hal yang begitu memalukan di depan Respati. Bisa-bisanya dia tadi menjawab jika seharusnya semua yang ada pada dirinya, Respati yang harus menjadi yang utama memilikinya. "Bodoh! Harusnya tadi jaga omongan. Supaya nggak ngelantur begitu. Ingat, Nifa! Kamu itu seorang janda. Jangan sampai dicap buruk oleh orang lain!" keluh Hanifa merasa menyesal.Walau bagaimana juga, Respati ini seorang lelaki yang bukan mahramnya. Tidak seharusnya dia berkata demikian. Toh juga takdir tak ada yang tau. Takutnya jika mereka sudah terlalu jauh, ujung-ujungnya tidak berjodoh. Malam pun tiba, seperti biasa, Respati sedang bertamu di salah satu rumah kontrakan miliknya. Tentu saja lelaki itu sedang menemui sang pujaan hati. Hanifa keluar dengan membawakan secangkir teh untuk Respati."Dimin
Bruk!"Aduh!" pekik Hanifa ketika tubuhnya terjatuh dari ranjang.Perempuan itu mengerjap beberapa kali. Masih mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Setelah mengingat, barulah dia gegas melihat ke arah tubuhnya. Ternyata masih berpakaian lengkap. Berarti, yang barusan itu adalah mimpi? Hanifa sangat bersyukur dan gegas mengganti baju tidur yang lebih sopan. Sekalipun dia hanya tinggal sendiri, tapi tetap saja dia harus selalu waspada. Apalagi setelah memiliki mantan sinting seperti Abimana. Tak lupa juga dia mengintip ke arah luar jendela dan ternyata di sana masih ada dua satpam dan dua bodyguard untuk menjaga keamanan kontrakan. Syukurlah, karena semuanya masih aman terkendali.Hanifa melirik ponselnya yang berdering. Entah siapa yang menghubunginya malam-malam begini. Alhasil, ia memutuskan untuk mendekati nakas dan ternyata itu adalah panggilan dari Respati. "Halo, Mas Pati. Kenapa, Mas?" tanya Hanifa penasaran. Gadis itu memilih duduk di tepi ranjang seraya mengusap butiran k
"Masak apa kamu itu?" tegur Nenek Laksmi ketika melihat Maya mengeluarkan nasi sisa kemarin."Nasi goreng!" Walau sekesal apapun si Maya, dia akan tetap menjawab segala pertanyaan yang bersumber dari mulut wanita tua itu."Pakai nasi sisa kemarin? Astaga, jangan nasi goreng. Tidak baik untuk kesehatan janinnya Hanifa. Masak sup ayam saja. Itu nasi kemarin jangan dipakai, takutnya basi!"Maya menghela napas. Baru kemarin loh ada wanita tua itu, tapi rasanya seperti membuat Maya menyerah saja. "Jangan lupa juga kupaskan buah segar lalu dicuci. Takutnya nanti Hanifa butuh buat nyemil!"Hanifa, Hanifa dan Hanifa. Maya sampai muak dengarnya. Walau begitu, dia tetap mengangguk sebagai jawaban.Diam-diam, Nenek Laksmi tersenyum miring. Sangat bahagia bisa membuat Maya tersiksa dengan kecerewetannya. Beberapa saat kemudian, Hanifa dan Respati pun masuk ke dalam dapur. Maya yang tadinya tampak cemberut pun seketika wajahnya berbinar dengan sangat cerah. Ia pun berjalan mendekat dan lekas me
Nenek Laksmi dan Hanifa sudah tiba di kediaman mewah milik Respati. Mereka pun langsung melihat sosok Maya yang sedang bersantai ria di ruang tamu bak seorang majikan. Ehem ...Deheman dari Nenek Laksmi sukses membuat Maya terkejut bukan main. Apalagi ia tau betul jika Nenek Laksmi itu cerewetnya minta ampun. Bisa mampus dia nanti jika wanita tua itu bertindakWalau begitu, Maya tetap selalu memprioritaskan keanggunan. Siapa tau nenek dari lelaki yang dia taksir ini mau merestui dia dan Respati bersatu."Eh, ada Nenek—""Panggil saya nyonya, saya bukan nenek kamu!" balas Nenek Laksmi memotong ucapan dari Maya.Sang empu kesal bukan main. Sedangkan Hanifa hanya bisa meringis pelan. Dia memang sangat kesal pada pembantunya itu. Hanya saja, istri dari Respati ini bukan juga orang yang gila hormat. Walau begitu, dia akui jika nenek suaminya ini memang sangat keras."Maaf, Nyonya. Saya kira boleh pakai embel-embel Nek kayak Mas Pati!" Mas? Apa Hanifa tidak salah dengar? Medusa satu ini
Pagi-pagi sekali Maya pergi begitu saja dari kediaman Respati untuk menemui seseorang. Tadinya dia mengatakan jika hendak pergi membeli sayur di pasar dan Hanifa yang memang sejak awal tak menyukai keberadaan Maya pun membiarkan saja. Di sinilah Maya berada. Di pinggir jalan sembari duduk memainkan ponsel. Beberapa saat kemudian, seseorang datang menghampiri dengan raut datarnya. "Gimana? Ada perkembangan apa?" tanya orang itu yang tak lain adalah Santi.Ya, Ibu dari almarhum Abimana itu memang dalang di balik semuanya. Bahkan, dia sengaja mengawasi gerak gerik keluarga Respati dari sebulan yang lalu. Sampai suatu ketika, Respati dan keluarganya sepakat mencari ART. Dari sanalah rencana di mulai. Dia bertemu dengan Maya yang saat itu baru tiba di kota hendak mencari pekerjaan. Sayangnya, saat itu Maya sudah sangat frustasi lantaran tak ada yang menerima lamaran pekerjaannya. Alhasil, Santi mempengaruhi wanita itu dan pada akhirnya mereka bekerja sama dengan iming-iming Maya bisa
Malam harinya, seperti biasa, Maya selalu saja mencari kesempatan dalam kesempitan. Seperti malam-malam sebelumnya, wanita itu ikut makan di meja makan. Hanifa sudah tidak mood. Apalagi Respati juga tidak menegur asisten rumah tangga itu dan terkesan membiarkan saja. "Pak Pati mau makan pakai apa?" tanya Maya yang mulai melancarkan aksinya. "Biar saja ambil sendiri—""Sudah, sini saya ambilkan saja, Pak!" Maya gegas menuangkan nasi ke dalam piring kosong milik Respati. Wajah Hanifa sudah tidak bisa di kondisikan lagi. Wanita itu menatap datar pemandangan yang tentu saja membuat hatinya bergejolak ingin mencekik perempuan bernama Maya itu. Sialan sekali. "Mas. Aku mau makan di luar. Nggak mood makan di sini!" ujar Hanifa."Tapi nanti mubazir loh, Dek. Dia sudah masak banyak!" balas Respati.Terkadang, Hanifa itu heran sekali. Respati terkesan selalu membela Maya. Padahal yang sebenarnya tidak begitu. Wanita hamil itu hanya sedang mengalami masa-masa sensitif dalam segi perasaan m
Setiap hari ada saja tingkah Maya yang selalu memancing emosi Hanifa. Seperti sekarang ini, Maya keluar dari kamar yang di khususkan untuk asisten rumah tangga dengan menggunakan baju milik Hanifa. Pantas saja wanita hamil itu tak menemukan baju kesayangannya, ternyata justru sudah dipakai oleh Maya."Mbak, itu bajuku kok dipakai? Mbak kok terlalu lancang?" Tegur Hanifa yang merasa tak suka dengan sikap Maya yang selalu seenaknya seperti ini.Maya yang di tegur seperti itu malah menaikkan sebelah alisnya. Dia menatap aneh ke arah Hanifa"Loh, kok Mbak Nifa malah bilang kayak gini? Ini loh bajunya saya! Memangnya cuma Mbak saja yang bisa beli?" tantang Maya, padahal jelas-jelas ini baju memang milik Hanifa, tapi mana mau pembantu itu mengaku?Sementara di sisi lain, Hanifa sudah menatap garang pada pembantu satu itu. "Mbak Maya jangan macam-macam, ya. Aku loh tau kalau Mbak ini yang nata baju aku buat di bawa ke lantai bawah. Jadi, ya, kemungkinan besar dan itu memang baju aku. Aku
Beberapa hari kemudian, keadaan Hanifa semakin membaik dan sudah bisa beraktivitas seperti sedia kala. Bedanya, perempuan itu sama sekali tak diperbolehkan untuk menyentuh peralatan dapur. Alhasil, semua pekerjaan rumah dikerjakan oleh Maya. Di mulai dari bersih-bersih dan juga memasak. Semua di lakukan oleh wanita yang usianya beberapa tahun di atas Hanifa. "Pak Pati, ini saya sudah masak sayur asem sama ikan goreng spesial buat Bapak!" ujar Maya dengan centilnya ketika Respati baru saja memasuki area dapur. Sang empu hanya mengangguk dan mulai sibuk membuka pintu kulkas. Maya yang merasa dicueki pun lekas mendekat ke arah sang empu dan menjawil lengannya."Pak Pati cari apa?"Respati terkejut bukan main dan sontak saja menjauh dari sosok Maya. Bisa gawat nanti jika Hanifa melihat, sudah pasti akan salah paham. "Mbak tolong jangan dekat-dekat seperti ini! Takutnya istri saya salah paham nantinya!" tegur Respati yang seketika membuat Maya memutar bola mata dengan malas. "Istri
Hampir dua minggu lamanya Hanifa di rawat di rumah sakit dan syukurnya hari ini sudah diperbolehkan pulang. Respati sangat kelelahan lantaran sibuk bolak balik rumah sakit sekaligus memantau pekerjaan. Walau begitu, ia sama sekali tak pernah mengeluh lantaran semua ini dia lakukan demi keluarga kecilnya yang sebentar lagi akan bertambah dalam beberapa bulan kedepan. "Semua barang-barang sudah dipacking?" tanya Handoko. Anisa tidak ikut lantaran sibuk mengurus Kusuma yang beberapa waktu lalu sudah lahiran dan sekarang anak bayinya sedang demam dan rewel. Alhasil, Kusuma membutuhkan bantuan sang Mama."Sudah, Pa. Biaya administrasi juga sudah Pati lunasi!" balas Respati dengan lesu. Bukan karena sedih tapi karena lelaki itu benar-benar butuh istirahat. Handoko mengangguk dan mulai membantu mengeluarkan semua barang bawaan yang dua minggu ini di bawa ke rumah sakit. Sekitar lima belas menit perjalanan menuju ke rumah, pada akhirnya mereka tiba juga dan sudah di sambut oleh satu ART
Hanifa keluar dengan wajah sendu. Bibirnya bahkan sudah melengkung ke bawah. Respati yang melihat semua itu tentu saja langsung menghela napas. Ia gegas mendekat dan merangkul bahu sang istri untuk menenangkan. Lewat ekspresi Hanifa saja Respati bisa menebak hasilnya seperti apa. Mungkin saja memang tak seperti harapan mereka saat ini, tapi Respati tidak mempermasalahkan hal tersebut. "Jangan sedih, kita bisa coba lagi nanti. Masih ada banyak waktu. Ayo dong senyum!" hibur Respati.Nenek Laksmi yang melihat itu terharu bukan main. Dia tak menyangka jika cucu lelakinya yang satu ini sangat dewasa dalam segi pikiran."Maaf—""Kenapa minta maaf, sih, Sayang? Mas tidak masalah, loh! Itu artinya, kita kurang berusaha selama ini. Mas santai begini, kok. Tidak masalah ini!"Hanifa menghela napas. Padahal dia belum selesai bicara, tapi suaminya terus menerus mengoceh seperti ini. "Mas, aku belum selesai bicara, loh. Astaga, coba lihat ini hasilnya!" Hanifa melepas paksa pelukan dari Respat
Hanifa jatuh sakit setelah kemarin mendapati teror di rumahnya sendiri. Respati bahkan sampai menambah satpam untuk berjaga di halaman rumah lantaran takut sekali jika sampai ada kiriman teror lagi. "Mas, aku takut!" keluh Hanifa seraya menggenggam erat tangan sang suami. Keduanya sekarang ini berada di dalam kamar. Respati terpaksa menempelkan kompres instan di kening istrinya, lantaran terlampau khawatir. Pasalnya saja, Hanifa sama sekali tak mau di bawa ke rumah sakit. Minum obat pun juga harus ekstra dipaksa. Walau begitu, Hanifa masih belum mau minum obat lantaran mulutnya terasa pahit."Takut apa, Sayang? Mas di sini sama kamu. Di luar juga ada lima satpam yang berjaga. Percaya sama Mas, selama Mas masih ada di samping kamu, semuanya baik-baik saja. Oke?" Respati dengan lembut memberi pengertian kepada istrinya.Dengan terpaksa, Hanifa mengangguk pelan sebagai jawaban. Ia takut, tapi tetap harus yakin jika semuanya akan baik-baik saja seperti apa yang barusan di ucapkan oleh s