Share

Rahasia Bram

Lega hatiku saat istriku yang gendut dan selalu nampak kucel itu pergi ke kampung. Apalagi dia minta waktu seminggu, waktu yang panjang untuk aku leluasa. 

Ya, akhir-akhir ini aku menjalin kasih dengan wanita lain. Tanpa Winda ketahui, wanita yang bernama Laras itu lebih menggoda. Kulitnya putih mulus dan body aduhai, membuatku selalu bernafsu memandangnya. 

Apalagi dukungan dari Ibu, yang memang tidak menyukai Winda sebagai  menantu. Aku sering mendengar Ibu selalu menjelekkan tubuh Winda yang berlemak. Barulah aku tau alasan Ibu begitu membencinya. 

Padahal dulu saat akan melamar Winda, aku tak pernah permasalahkan tubuhnya. Walaupun dia sedikit gemuk tapi di mataku tetap menarik, dia juga seorang gadis yang cantik dan gesit. 

Dahulu aku memang mencintai Winda, cinta itu bertambah saat kami mengontrak rumah. Winda menjalankan peran seorang istri dengan baik, selain rajin, masakannya juga enak dan cocok di lidahku. 

Namun, kami mengontrak tidak lama. Baru tiga bulan, tiba-tiba Ibu jatuh sakit. Aku yang merasa kasihan segera mengajak Winda pindah kerumah Ibu. Winda hanya menurut tanpa banyak bicara. 

Semenjak tinggal di rumah Ibu, kukira akan hidup lebih bahagia dan tentram. Namun, semua diluar dugaan Ibu sering marah dan teriak-teriak pada Winda. Walaupun Winda tidak melakukan kesalahan. 

Bahkan aku yang baru pulang kerja, ingin istirahat tapi selalu disambut dengan omelan Ibu. Bram, istrimu ginilah, Winda gitulah. Lama-lama aku pusing, di rumah ingin ketenangan tapi malah seperti di pasar, ribut terus. 

Pekerjaan kantor yang terus menguras energi dan otakku, terkadang membuatku malas pulang. Sengaja aku berlama-lama di kantor, entah itu sekedar ngopi atau tidur sebentar. 

Ibu yang melihat perubahan ku, suatu hari pernah mengutarakan niatnya agar aku nikah lagi dan menceraikan Winda. 

"Bram, sebaiknya kamu ceraikan aja istrimu. Ibu tidak suka dia sebagai menantu Ibu." Aku kaget mendengar perkataan Ibu. 

"Tapi kenapa, Bu? Winda kan tidak salah apa-apa, lagian semua pekerjaan rumah dia lakukan dengan baik," protesku saat itu. 

"Iya, tapi Ibu tetap tidak suka. Lihat badannya, kelebihan lemak, daster lusuh juga kucel jarang dandan. Kalo ada tamu Ibu yang datang, Ibu malu menantu Ibu seperti itu," gerutu Ibu kesal. 

Bram tidak bisa berkata apa-apa, yang dibilang Ibu juga ada benarnya. Padahal dia sudah memberi jatah tiap bulan pada Winda kenapa tidak di pergunakan. 

Bram baru ingat, selama di rumah Ibu uang gajiannya di pegang Ibu. Jadi Bram cuma memberi Winda 100 ribu, berkurang dari awalnya 300 ribu. Apa karena itu Winda jadi merajuk, gumam Bram. 

Ah, sudahlah yang penting aku memberi jatahnya ketimbang tidak sama sekali. Terserah dia mau dandan atau tidak,  tidak masalah buatku, toh dia tetap di rumah dan tidak kemana-mana. 

Winda pernah merengek minta pulang kampung, tapi Ibu tidak setuju. Alasannya siapa yang masak di rumah nanti, Ibu tidak mau capek dan dekil. 

Eka yang tinggal di sini juga tidak mau membantu Winda. Anak itu hanya tinggal numpang makan tidur saja, kadang aku kasihan juga dengan Winda. Tapi mau bagaimana lagi, daripada terus ribut lebih baik aku tak ikut campur. 

Winda semakin hari kulihat semakin kusam, tidak pernah perhatikan penampilannya. Aku lama-lama juga jenuh dan bosan melihatnya, sedikitpun tidak enak dipandang. Sering tiap aku pulang, dia masih sibuk dengan kerjaannya. Aroma bawang dan keringat menguar dari tubuhnya. 

Aku pun jadi males berdekatan dengannya dan menyuruhnya berjauhan bila duduk dekatku. Sore itu aku baru pulang kerja, dan seperti biasa Winda akan mengambilkan minum. 

Saat akan duduk di sebelahku, refleks ku suruh dia duduk agak jauh. Walaupun aku tau dia sudah mandi dan bersih, tapi tetap saja aku tidak ingin berdekatan. 

"Pa, kenapa? Mama udah mandi kok, lihat daster juga ganti," ucapnya kaget. 

Aku cuma diam saja dan menikmati minuman yang dibuatnya. Ku seruput pelan dan kemudian Winda dengan terus  menatapku seolah ingin bertanya. 

"Pa, Mama ikut ya ke acara ulang tahun Bu Bos Angelina Lee," rayunya. 

Aku yang mendengarnya tersedak, "Dari mana Mama tau kalo Bu Bos ulang tahun?" selidik ku. 

"Dari grup W******p," katanya lagi.

Aku cuma tertawa dan menyeringai mendengarnya. Mana mungkin aku membawa dia ke acara para bos besar, aku pasti malu. Apa kata mereka nanti bila melihat istrinya yang gemuk dan kucel, sedangkan baju pun dia gak punya yang bagus. 

Tiba-tiba Winda marah setelah aku katakan gak mungkin bawa dia yang seperti gembel itu. "Seharusnya itu sudah kewajiban, Papa. Membelikan Mama kosmetik dan baju. Ini cuma di jatah 100 ribu tiap bulan, mau dapat apa uang segitu?" 

Aku kaget tidak menyangka Winda bisa berkata keras di depanku. Disaat masih melongo, Ibu keluar dan memarahi Winda" Winda, kurang ajar kamu ya! Berani sama suamimu sekarang. Dasar menantu miskin dan gendut." 

Lagi-lagi Ibu mengatakan Winda gendut dan mereka kemudian adu muka. Suasana menjadi mencekam, tak lama terdengar bunyi gawai Winda dari kamar. Rupanya Mbok yang menelepon dan meminta Winda pulang menjenguknya. 

Saat Winda lagi asyik menelepon di kamar, Ibu berbisik padaku. "Bram, kita izinkan aja Winda pulang kampung." 

Aku melongo tak percaya, bukankah biasa Ibu yang melarang Winda pulang. Ibu melihat Bram tidak percaya lalu berbisik lagi sambil melihat kamar Winda. 

"Bram, biarkan aja dia pulang. Kalo bisa sampe seminggu, dengan begitu dia tidak bisa ikut ke acara Bos kamu," jelas Ibu. 

Bram manggut-manggut, seketika senyumnya mengembang. Kalo Winda ke kampung, Bram bisa pergi dengan Laras. Pasti gadis itu tidak akan membuat malu seperti Winda, gumam Bram. 

Winda sangat senang saat kubilang mengizinkan dia pulang kampung. Ibu memberi uang satu juta untuk ongkos dan makan dia di kampung. Sekali-kali  Ibu mau dianggap mertua yang baik tapi itu ada konsekuensinya. Uang itu hanya modus kami untuk membohongi Winda dan dia percaya saja. 

***** 

Hari ini acara ulang tahun Bu Bos Angelina, aku segera mematut diri di cermin. Sudah rapi dengan kemeja dan dasi, aku nampak seperti seorang Bos. 

Wajahku yang tampan didukung jabatan Manager sekarang, tidak sulit untuk mendapatkan wanita cantik manapun. Aku tersenyum sambil terus memutar tubuhku di cermin. 

"Wah, anak Ibu keren. Udah cakep, jabatan pun Manager pasti bisa gaet wanita cantik yang modis dan kaya," ujar Ibu memuji. 

"Iya dong, Bu. Tenang aja, Bram udah punya gebetan baru. Cantik dan aduhai sesuai selera Ibu," ucapku bangga. 

"Ya sudah sana pergi, keburu malam," titah Ibu. 

Aku pun berangkat naik mobil sendiri, soalnya Laras sudah tiba di sana. Sengaja kami pergi terpisah agar tidak ada siapapun yang curiga. 

Sampai disana ternyata si kunyuk Nina celingukan, pasti mencari Winda. Sahabat Winda itu begitu getol terus bertanya, jadi kujawab dengan enteng kalo Winda minggat dari rumah. Padahal niatku cuma becanda, dengan begitu dia tidak bertanya lagi. 

Betul saja dia langsung terdiam, aku tinggalkan  dia yang masih terbengong. Bagus aku cari tempat buat mojok bareng Laras nanti, aku hubungi dia. Tak lama Laras datang dan berjalan mendekat, ku cium pipinya dan  melingkarkan tanganku ke pinggangnya. 

Bahagianya seperti ini memeluk wanita yang kita idamkan. Laras memang mempesona, jauh bila dibandingkan dengan Winda. Ah, kenapa aku malah ingat wanita gembel itu, pasti dia bersenang-senang di kampung. 

Sudahlah tak usah ingat dia, lebih baik aku menikmati kebersamaan dengan Laras malam ini. Sehabis acara di rumah Bu Bos, aku mengajak Laras ke hotel. Tempat yang sudah beberapa kali kita datangi. Dari Laras aku mendapat kepuasan yang tidak bisa di kudapatkan dari Winda.  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status