Drt drt drt ....
Gawaiku berdering saat lagi cekcok dengan Mas Bram dan Ibu. Bergegas ke kamar dan melihat dilayarnya nama Mbok di kampung memanggil. Segera ku tekon tombol on, terdengar suara serak Mbok diujung sana.
"Assalamualaikum, Nak," sapa Mbok dengan suara pelan.
"Wa'alaikumussalam, mbok sehatkan. Kenapa suaranya, Mbok sakit?" tanyaku cemas.
"Mbok lagi demam, oh ya gimana kabar kamu dan Nak Bram?"
"Alhamdulillah, kami semua sehat Mbok. Winda baik-baik aja kok, Mbok jangan khawatir. Tapi sebaiknya lebih perhatikan kesehatan, jangan terus begadang."
"Ya, Mbok hanya mengerjakan tugas sedikit. Mungkin karena musim dan cuaca yang gak menentu jadi flu," jawab Mbok terbatuk-batuk.
Aku menghembus nafas pelan, terbesit juga rasa kasihan. Meninggalkan Mbok sendiri di kampung, bapak baru setahun yang lalu berpulang menghadap Yang Maha Kuasa, akibat penyakit paru-paru basah yang di idapnya.
Aku pernah mencoba merayu Mas Bram agar Mbok bisa tinggal disini denganku. Namun, mertua tidak mengizinkan dengan alasan rumah terlalu ramai. Dan Ibu malu jika tetangga tahu bahwa besannya yang orang miskin dari kampung berada di rumahnya.
"Gak, Ibu gak setuju kalo Mbok Winda yang miskin itu tinggal disini!" tolak Ibu keras saat aku dan Mas Bram mengutarakan niatku.
"Tapi kenapa, Bu? Mbok sendirian dikampung, gak ada yang menemani," tanyaku ingin tahu.
"Ibu malu di lihat tetangga, mau ditaruh mana buka Ibu kalo orang miskin itu tinggal disini, hah! Lagian rumah ini juga bukan tempat penampungan, enak aja," decak Ibu angkuh.
Aku hanya menggeleng, sangat geram melihat sikap Ibu mertua ini. Kesombongannya sudah menyundul langit saja, menganggap bahwa kami yang miskin ini hanya kotoran dimatanya. Saat itu aku sudah berjanji dalam hati, jika suatu saat aku kaya akan membalas semua kesombongannya.
"Nak, kok melamun. Apakah hubunganmu baik dengan mertua," tanya Mbok membuyarkan lamunanku.
Ah, Mbok memang sudah tahu kalo ibu tidak menyukaiku. Dulu saat Mas Bram akan melamar, aku sudah menceritakan. Namun, Mbok hanya menyerahkan semua keputusan di tanganku. Asal aku bahagia, Mbok pasti bahagia.
"Alhamdulillah, Winda baik dengan Ibu, Mbok," jawabku lirih. Namun, Mbok tau aku membohonginya.
"Nak, Mbok kangen. Pulanglah barang sehari dua hari kesini," isak Mbok. Hatiku terenyuh mendengarnya.
"Insha Allah, Mbok. Winda izin dulu sama Mas Bram, kalo di perbolehkan dua hari lagi Winda pulang kampung," jawabku menenangkan hati Mbok. Setelah puas bercakap, Mbok mematikan gawainya.
Selesai menelepon kembali ke depan, Ibu masih duduk bersama Mas Bram. Entah apa yang mereka bicarakan tadi saat aku sedang menelepon Mbok. Wajah Ibu terlihat sumringah, begitu juga dengan Mas Bram. Dahiku mengeriyitkan terhadap dua makhluk di depanku ini.
"Ada apa, Mas? Kok pada senyam senyum?" tanyaku heran.
"Winda, kami mendengar kamu telepon tadi. Apakah kamu ingin menjenguk Mbok dikampung?" tanya Mas Bram masih dengan senyum mengembang.
Aku mengangguk, tapi masih tidak mengerti. Kenapa mereka terlihat senang, bukankah dulu setiap aku ingin menjenguk Mbok dilarang.
"Kalo kamu mau pulang kampung, pergi aja. Kami tidak akan melarang, menginap hingga seminggu pun boleh," kata Ibu tegas.
"Benar, Mas?" tanyaku tidak percaya.
Mas Bram hanya mengangguk, aku senang bukan main dan refleks ingin memeluknya. Akan tetapi Mas Bram dengan gesit menghindar, aku yang kecewa segera duduk. Ku tatap Mas Bram masih tidak percaya, semudah itu dia mengizinkan aku menjenguk Mbok. Apa mungkin ada udang dibalik bakwan, eh batu.
Senyumnya yang begitu misterius menjadi tanda tanya di hatiku. Ada apa gerangan, apa yang mereka rencanakan?
Ah, sudahlah masa bodoh. Yang penting aku bisa melepas kangen pada Mbok, sudah dua tahun aku tidak menjenguknya. Bahkan saat bapak meninggal dulu, aku tetap tidak boleh pulang. Dzolim memang, tapi mau bagaimana lagi. Mas Bram tidak memberi ongkos sekalipun aku nekat, jadi apa aku mesti jalan kaki ke kampung yang makan empat jam di perjalanan?
*****
Pagi-pagi, selesai membuat sarapan aku segera berkemas. Memasukkan baju kedalam tas, ini hari akan pulang kampung. Mumpung di izinkan, aku meminta seminggu berada di kampung dan Mas Bram mengiyakan.Mas Bram memberi ongkos satu juta padaku, dengan alasan untuk makan ku selama seminggu dikampung. Aku hanya melongo saat menerima uang darinya, seumur-umur baru kali ini Mas Bram memberikan banyak. "Ambil aja, itu Ibu yang memberinya." Ah, lagi-lagi selalu Ibunya yang mengatur soal uang.
Sudahlah, aku tak ingin berfikir banyak. Setelah menerima uang, bergegas aku keluar rumah. Pamit kepada Ibu tapi di tepisnya tanganku, begitu juga saat akan menyalami Mas Bram. Kecewa dan sakit di hati kurasakan kepada keduanya, terlebih pada suamiku. Begitu cepat dia berubah, hanya dalam dua tahun saja pernikahan kami.
Dengan membawa tas besar berisi pakaian, aku menyetop taksi yang lewat. Mas Bram tidak mau mengantar sampai terminal, dengan alasan Ibu sudah memberi uang yang banyak padaku. Uang satu juta lebih dari cukup katanya untuk ongkos dan makan.
Taksi segera melaju, masih kulihat kebelakang Ibu melambai tangannya sembari tertawa senang. Sepertinya begitu lega aku bisa keluar dari rumah itu, tunggu jangan-jangan mereka mengusirku hingga mereka sangat senang melihatku pergi. Seketika firasatku tidak enak.
Selama empat jam perjalanan menuju kampung, aku terus memikirkan arti senyuman Ibu dan Mas Bram. Hingga aku kelelahan dan tertidur di bus, suara kondektur yang menggelegar membuatku terbangun.
"Hayo, siap-siap sebentar lagi di tiba di Terminal. Periksa tiap barang anda, kami tidak bertanggung jawab bila ada yang hilang," teriak kondektur bus.
Bus berbelok memasuki terminal, ada juga bus penuh penumpang yang keluar . Hari ini sangat ramai dan padat, maklum hari Sabtu adalah akhir pekan.
Huft, leganya. Sambil menarik tas besar aku berjalan keluar terminal, menyusuri trotoar jalan. Dari situ aku menyetop ojek yang akan membawaku ke rumah Mbok.
"Ojek, Neng," tawar tukang ojek begitu berhenti di depanku. Aku mengangguk kemudian dibantu mengangkat tasku kedepannya.
"Masuk kampung melati ya, Mas," kataku pada tukang ojek yang di perkirakan berumur dua puluhan itu.
Tidak sampai dua puluh menit, ojek sampai di depan rumah Mbok. Terlihat rumah dalam keadaan sepi, Mbok pasti ada di dapur memasak. Sebelum pulang aku sudah mengabari Mbok, jadi Mbok bersemangat memasak buatku.
"Assalamualaikum," ucapku sembari mengetuk pintu.
"Wa'alaikumussalam," suara Mbok menyahut dari dalam. Tidak lama pintu terbuka, Mbok muncul dengan wajah dan pakaian yang masih belepotan minyak.
Tanpa malu segera menghambur dan kupeluk Mbok erat. "Mbok, Winda sangat kangen sama Mbok."
"Mbok juga kangen, Nak. Ayo masuk dulu," ajak Mbok sambil membantuku membawa tas.
Kutatap dalam rumah, keadaannya masih sama saat ku tinggal dulu. Tidak ada yang berubah, cuma perabot semakin usang. Mbok membawakan tas kedalam kamarku, masih tertata rapi karena Mbok selalu membersihkan kamarku. Untuk jaga-jaga jikalau aku pulang bareng suami, katanya dulu. Namun, Mbok selalu menunggu aku yang tak kunjung datang, hatiku terasa sedih.
Mbok menyuruhku istirahat dulu, mungkin capek di jalan selama empat jam. Aku pun merebahkan diri di kasur yang empuk, terbayang saat masih gadis dulu. Kamar yang selalu menemani dari kecil hingga dewasa. Tak lama aku terlelap, sungguh bebas kurasakan. Selama dua tahun aku jarang istirahat selama di rumah mertua. Kini selama seminggu aku bisa melakukan apapun yang ku mau sepuasnya. Tentunya bersama Mbok tercinta yang sangat menyayangiku dari siapapun.
Sudah dua hari ini Mbok terlihat sumringah, mungkin senang akhirnya aku bisa pulang menjenguknya. Yang pasti aku juga bahagia, terlebih lagi Mbok sangat memanjakan diriku.Kerjaku hanya makan dan tidur, Mbok melarang bila ingin mengerjakan sesuatu. Mbok melihatku agak kurusan sekarang, jadi tidak rela anak kesayangannya mesti menderita lagi saat bersamanya.Pagi itu, seusai sarapan aku pamit pada Mbok untuk jalan-jalan sekitar kampung. Menghirup udara segar sembari berolahraga. Sudah lama sekali rasanya tidak olahraga, selama di rumah mertua dari pagi sudah di sibukkan pekerjaan rutinitas.Aku berlari kecil sepanjang jalan yang di tumbuhi pohon pisang. Aroma wangi dari pisang matang tercium di hidungku, sayangnya Mbok tidak punya ladang pisang. Pasti enak makan pisang apalagi di goreng pake tepung krispi. Rasanya krenyes enak dan gurih.Puas olahraga aku balik ke rumah, tiap ketemu tetangga di jalan saling bertegur sapa. Kebanyakan
Lega hatiku saat istriku yang gendut dan selalu nampak kucel itu pergi ke kampung. Apalagi dia minta waktu seminggu, waktu yang panjang untuk aku leluasa.Ya, akhir-akhir ini aku menjalin kasih dengan wanita lain. Tanpa Winda ketahui, wanita yang bernama Laras itu lebih menggoda. Kulitnya putih mulus dan body aduhai, membuatku selalu bernafsu memandangnya.Apalagi dukungan dari Ibu, yang memang tidak menyukai Winda sebagai menantu. Aku sering mendengar Ibu selalu menjelekkan tubuh Winda yang berlemak. Barulah aku tau alasan Ibu begitu membencinya.Padahal dulu saat akan melamar Winda, aku tak pernah permasalahkan tubuhnya. Walaupun dia sedikit gemuk tapi di mataku tetap menarik, dia juga seorang gadis yang cantik dan gesit.Dahulu aku memang mencintai Winda, cinta itu bertambah saat kami mengontrak rumah. Winda menjalankan peran seorang istri dengan baik, selain rajin, masakannya juga enak dan cocok di lidahku.N
"Assalamualaikum," Sapa ku begitu sampai di depan rumah mertua.Ya akhirnya aku balik lagi setelah seminggu di kampung. Lumayan juga untuk mengisi energi dan kekuatan agar aku dapat melawan dua manusia arogan itu. Aku akan berpura-pura tidak tahu, tetapi tetap terus mengawasi kelakuan mereka.Tetiba ingat foto yang dikirim Nina, membuatku menjadi jijik pada Mas Bram. Lelaki yang baru saja menjabat posisi tinggi itu sudah merasa hebat, merasa dengan jabatannya bisa melakukan semaunya. Mas Bram tidak tau, setiap perbuatan itu ada karmanya.Terdengar derit pintu terbuka, Ibu yang berdiri di depanku terkejut. "Winda?""Kenapa, Bu? Seperti melihat hantu aja, kenapa kaget?" tanyaku heran."Enggak, kok!" ucapnya gugup. Kemudian dengan cepat Ibu menguasai dirinya dan balik ke sikapnya yang angkuh."Eh, menantu miskin. Kenapa balik sini, apa udah bosan di kampung?" ejeknya."Ibu, apa-apaan? Winda masih
Buugghh !!"Aww, hati-hati dong kalo jalan. Mata di pake," ucapku kasar pada pria yang menabrak ku."Maaf, aku gak sengaja," katanya sembari membantuku berdiri.Sekilas aku menatap pria di depanku ini, wajahnya tidak asing. Oh, ternyata dia! Pria yang dulu pernah diam-diam aku suka, tetapi ditolaknya."Mas Bram?" kataku pura-pura terkejut.Bram menatap wanita yang ditabraknya dengan heran, kemudian mencoba mengingat. Namun, Bram tidak mengenalinya. "Maaf, kamu sapa? Kok tau nama saya?""Bram, aku Laras. Yang dulu pernah kamu tolak," jawabku menunduk sedih karena dia tidak mengenaliku lagi."Laras? Teman kuliahku dulu kan, yang dulu asyik ngejar aku terus tapi ku tolak," tebak Bram sembari tertawa."Ish, lucu ya Mas?" ujarku manyun."Nggak, cuma aku memang tidak tanda. Sekarang kamu tambah cantik, Ras," ucap Bram memuji. Aku pun tersipu mendengar pujiannya.
Semenjak Laras tinggal di rumah Ibu dan berpura-pura sebagai sepupu, perhatian Mas Bram mulai berkurang. Jika dulu Mas Bram sering mengajakku berbicara, namun kini dia pelit bicara sekedar untuk bertanya.Ibu juga yang biasa suka teriak, kini menjadi kalem sejak ada Laras. Apakah Ibu sedang menutupi kelakuan jeleknya di hadapan Laras, demi mendapat perhatian wanita hina itu.Aku tak tahu sampai berapa lama Laras tinggal, rasanya sungguh jengah. Aku mulai kesepian, terkadang dalam kesendirian kutumpahkan keluh kesah pada sang Khaliq. Mengadu segala beban dan deritaku, semoga aku diberi kekuatan untuk menghadapi manusia-manusia dzolim ini.Walaupun merasa dikucilkan, aku tetap melakukan pekerjaan seperti biasa. Setiap pagi selesai salat Subuh, aku memasak lauk dan mencuci piring.Belum ada seorangpun yang bangun, juga Laras si wanita kebanggaan Ibu. Kadang aku tidak habis pikir, wanita seperti Laras yang tidak pernah bangun pagi juga
Namun, saat melewati kamar Eka aku mendengar suara desahan dari dalam. Siapa di dalam dan sedang apa mereka, di dorong rasa penasaran aku intip dari lubang kunci.Astaghfirullah .....Jeritku tertahan, apa yang barusan kulihat? Aku mengucek mataku untuk memperjelas pemandangan di depan. Tidak salah, dua manusia hina dan mesum itu sedang asyik bergumul di atas ranjang. Mas Bram tanpa sehelai pakaian pun sedang menindih Laras di bawah yang keenakan.Suara desahan itu masih terus terdengar sesekali di iringi tawa cekikikan. Darahku mendidih seketika, berani-beraninya mereka berbuat mesum di rumah ini. Apalagi mereka bukan muhrim, tidak sepantasnya berbuat asusila.Aku yang sudah tak tahan, segera menggedor kamar itu. "Mas ... Buka pintu! Apa yang Mas lakukan didalam. Keluar!" teriakku.Bram dan Laras terkejut, keduanya segera memakai pakaian. Ibu juga terbangun mendengar teriakan ku, keluar kamar dan menghidupkan lampu. B
"Winda ...," teriak Mas Bram mendekatiku. Kemudian tanpa kusadari Mas Bram mengayunkan tangannya ke pipiku.Plak !!"Jangan keterlaluan kamu, selama ini aku sudah berusaha menahan dirimu karena Ibu. Aku sudah lama muak padamu, kini aku hanya mencintai Laras seorang bukan lagi kamu. Pergi kamu dari rumah ini, Pergi!" teriak Mas Bram yang membuat semua penghuni rumah terkejut termasuk aku.Aku terpana tidak percaya, benarkah Mas Bram mengusirku? Hanya demi wanita ini dia sampai hati menampar dan mengusirku. Seketika bulir-bulir air merembes, runtuh sudah perlawanan ku.Tadinya aku berbuat kasar hanya demi mempertahankan rumah tanggaku. Namun, tak kuduga Mas Bram malah tega melukaiku."Kenapa Mas? Kenapa kamu lakukan semua ini padaku, demi wanita hina ini kamu tega menampar bahkan mengusirku. Kenapa?" teriakku mendorong tubuhnya."Karena aku udah gak cinta kamu lagi, aku udah muak melihatmu yang tak pernah se
Aku melangkahkan kaki menuju trotoar, kulihat kebelakang rumah yang sudah dua tahun ditinggali. Kini semua tinggal kenangan, kebahagiaan yang baru seteguk di rasakan hancur berkeping-keping karena ulah seorang wanita.Impian untuk menua bersama sang suami hanya dongeng belaka, yang tidak sedikit pun terbesit di hati mantan suamiku. Entah apa tujuan dia dulu menikahi ku, kalo memang dasar cinta kenapa baru dua tahun saja sikapnya sudah berubah.Andai dulu tidak menyetujui permintaan Ibu untuk tinggal bersamanya, pasti sekarang aku masih hidup bahagia bersama Mas Bram. Ibu ikut andil dalam menyesatkan Mas Bram hingga membuat dia berpaling dariku.Ah, sudahlah. Semua sudah berlalu, walaupun aku lega tapi tetap saja sakit masih menguasai hatiku. Ingatlah Bram, Ibu suatu saat nanti aku akan datang dan membalas semua perbuatan kalian, gumam ku bertekad.Ku stop taksi yang lewat dan ku pinta menuju terminal. Ya lebih baik aku pulang kampu