Share

Selingkuh

Sudah dua hari ini Mbok terlihat sumringah, mungkin senang akhirnya aku bisa pulang menjenguknya. Yang pasti aku juga bahagia, terlebih lagi Mbok sangat memanjakan diriku. 

Kerjaku hanya makan dan tidur, Mbok melarang bila ingin mengerjakan sesuatu. Mbok melihatku agak kurusan sekarang, jadi tidak rela anak kesayangannya mesti menderita lagi saat bersamanya. 

Pagi itu, seusai sarapan aku pamit pada Mbok untuk jalan-jalan sekitar kampung. Menghirup udara segar sembari berolahraga. Sudah lama sekali rasanya tidak olahraga, selama di rumah mertua dari pagi sudah di sibukkan pekerjaan rutinitas. 

Aku berlari kecil sepanjang jalan yang di tumbuhi pohon pisang. Aroma wangi dari pisang matang tercium di hidungku, sayangnya Mbok tidak punya ladang pisang. Pasti enak makan pisang apalagi di goreng pake tepung krispi. Rasanya krenyes enak dan gurih. 

Puas olahraga aku balik ke rumah, tiap ketemu tetangga di jalan saling bertegur sapa. Kebanyakan dari mereka bertanya tentang Mas Bram, kenapa tidak ikut bersamaku. Aku hanya tersenyum dan menjawab kalo suamiku sibuk. 

Sesampainya di rumah, kulihat Mbok sedang mengupas singkong. Mbok biasa membuat camilan dari singkong yang di jualnya di warung-warung. Hasil dari jualan yang tak seberapa itulah untuk makan Mbok. Sebagai anak aku sudah durhaka dan tidak berbakti, selama menikah tidak bisa mengirimi Mbok uang. 

Tak terasa air mataku mengalir, Mbok yang melihatnya bangkit kemudian menarik tanganku dan duduk di balai dapur. "Nak, kenapa nangis? Apa kangen sama Nak Bram?" tanya Mbok sembari mengusap air mataku. 

Aku menggeleng lalu memeluk erat Mbok, terisak pelan. Mbok jadi heran dan mengelus pundakku, "Sudah, tak usah menangis. Keluarkan aja beban yang ada di hatimu," pinta Mbok. 

"Maafkan Winda, Mbok. Winda belum bisa berbakti pada Mbok, Winda udah jadi anak durhaka. Selama menikah Winda tak pernah mengirimi Mbok uang." 

"Ya Allah, Nak. Mbok pikir kamu nangis entah kenapa, rupanya masalah itu. Insha Allah Mbok gak apa-apa, Mbok ikhlas lahir batin. Lagian Mbok tau kamu disana juga kesulitan, Mbok lebih gak ikhlas melihatmu menderita," ucap Mbok tersenyum. 

Ah, Mbok paling bisa mengerti diriku. Di dunia ini yang ku punya cuma Mbok, beliaulah harta berhargaku. Seketika aku teringat kalau Mas Bram memberi uang satu juta saat pulang itu. Senyumku mengembang, ternyata berguna juga uang itu. Akan kuberi pada Mbok, agar bisa buka warung kecil-kecilan dengan begitu Mbok gak repot lagi mengupas singkong. 

"Mbok, tunggu ya. Ada sesuatu yang ingin kuberi untuk Mbok," ujarku seraya beranjak masuk kamar. 

Namun, baru saja akan mengambil uang di dompet terdengar bunyi panggilan di gawai. Terlihat dilayar Nina sahabatku  rupanya, dengan cepat ku jawab. 

"Assalamualaikum, Nina." 

"Wa'alaikumussalam, Win. Lo dimana? Lo baik ajakan? Lo gak bunuh dirikan? 

Ini anak main nyelonong apa, baru ngomong sudah rentetan pertanyaan panjang. "Eh, Lo itu kenapa Nin? Kek di kejar setan aja, nanya mulu," gerutu ku. 

"Abisnya aku khawatir, karna kata suamimu Lo minggat dari rumah," ledek Nina. 

"What? Mas Bram bilang aku minggat?," tanyaku kaget. 

"Iya, Win. Kemarin ulang tahun Bu Bos Angelina, saat Bram datang aku celingukan mencarimu. Ku pikir Lo datang sama Bram, ternyata gak. Jadi ku hampiri Bram dan dia bilang Lo tuh udah beberapa hari minggat," cerocos Nina panjang lebar kek kereta api. 

Mendadak aku geram pada lelaki manja itu, teganya dia bilang aku minggat. Aku jadi teringat senyum misterius mereka itu, pasti ada hubungannya dengan ini. Sebaiknya ku selidiki diam-diam apa yang sudah Mas Bram dan Ibu rencanakan. 

"Nin, Lo tenang aja. Aku gak apa-apa kok, aku sekarang di kampung di rumah Mbok." 

"Jadi Lo bukan minggat?" 

"Ya enggaklah, bahkan aku sudah pamit mereka. Ibu juga yang menyetujuinya, Lo kan tau dulu aku tidak pernah bisa menjenguk Mbok ku," kataku gusar. 

"Syukurlah kalo gitu, Win. Aku sudah jantungan soalnya, takut Lo kenapa-kenapa," Terdengar Nina menghela nafasnya. 

Aku tertawa, mana mungkin aku bertindak bodoh seperti bunuh diri. Lagipula kalo bunuh diri tidak akan menyelesaikan masalah, masuk neraka iya. Tidak pantas aku lemah di hadapan orang seperti Mas Bram dan Ibunya. Walaupun aku tidak punya apa-apa sekarang tapi aku tidak akan tunduk pada mereka. 

Aku juga tidak tau kenapa watakku beda dengan Mbok, aku sudah merasakan perbedaan saat kecil. Mbok yang berwatak luhur dan pasrah saat orang merendahkan dirinya. Namun, diriku ingin selalu melawan kesombongan mereka. 

Bukankah sombong kepada orang sombong itu bagus? 

"Halo, Win. Kok Lo diem aja? Maaf ya kalo aku menyinggung perasaan Lo," ucap Nina melas di seberang sana. 

"Gak apa-apa kok, Nin. Selow aja samaku, tapi aku minta tolong Lo mau kan?" 

"Minta tolong apa, Win. Aku akan bantu sebisaku." 

"Tolong bantu aku awasi terus suamiku selama aku masih di kampung," pintaku. 

"Memangnya Lo sampe berapa abad di kampung?" ujar Nina terkekeh. 

"Yaelah, dasar anak ini! Aku serius malah Lo becanda. Cuma seminggu di kampung, itu juga sudah izin Mas Bram. Aku curiga Nin, biasa kalo aku minta pulang kampung tak pernah di izinkan. Kali ini bahkan boleh sampe seminggu," kataku menjelaskan. 

"Lo hati-hati aja dari sekarang, Win. Bram itu sepertinya udah mulai berulah. Lo gak tau kan waktu acara ultahnya Bu Bos Angelina," ujar Nina mewanti-wanti. 

Aku jadi penasaran, ada berita apa lagi yang akan Nina laporkan. Anak itu ternyata berguna juga untuk jadi mata-mata, batinku terkekeh. 

"Halo, Win. Lo mau dengar gak? Diem mulu," gerutu Nina di ujung telepon sana. 

"Iya, Nina. Teruskan bosque," ledekku sembari tertawa. 

"Waktu itu, Bram datang tanpa Lo jadi saat ku perhatikan dari jauh dia mendekati seorang wanita. Memang sih dari penampilannya, wanita seksi. Lalu mereka cipika cipiki dan tangan Bram melingkar di pinggang wanita itu," Nina menjelaskan panjang lebar. 

Panas hatiku mendengar Mas Bram merangkul wanita lain, apakah dia sudah bosan padaku? Apa selama ini dia menjauh dan asing kepadaku karena wanita itu? 

Jadi, selama ini Mas Bram ternyata selingkuh? 

Dasar bedeb*h, kamu lihat saja Mas, bersenang-senang lah kamu dulu. Aku akan mengumpulkan semua bukti perselingkuhan mu, gumam ku menahan marah. 

"Nin, apa Lo ada bukti kalo Mas Bram dekat dengan wanita itu?" tanyaku penasaran. 

"Ada, Win. Kupikir Lo pasti butuh buat bukti, jadi aku sempat foto. Bentar aku kirim dulu fotonya." 

Ada sekitar lima foto yang di kirim Nina, foto pertama saat Mas Bram cipika cipiki. Foto kedua, tangan Mas Bram merangkul wanita itu, foto ketiga Mas Bram berbisik di telinga wanita itu seakan-akan seperti terlihat mencium pipi. Foto keempat dan kelima terlihat Mas Bram menggandeng tangan wanita itu. 

Bibirku menyinggung senyum, akan ku simpan foto ini sebagai bukti. Namun, aku akan berpura-pura tidak tau. Ingin melihat sampai mana Mas Bram akan terus menyembunyikan selingkuhannya. 

Ku kirim pesan melalui W******p

[Oke, makasih ya Nina. Kalo ada kabar lagi beritahu aku]  

[Ya, sama-sama, Win. Sebagai sahabat,  aku juga tidak ingin Lo di sakiti Bram] balasnya. 

Aku menyudahi obrolan dengan Nina, seketika aku teringat Mbok. Aku keluar kamar dan menyerahkan uang itu pada Mbok. Awalnya Mbok menolak, lalu ku jelaskan dengan uang itu Mbok bisa membuka warung kecil. Binar mata Mbok terlihat dan menerimanya dengan senang lalu memelukku erat. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status