Julia terperangah, sebab dia sama sekali tak punya bayangan akan identitas wanita cantik bertubuh indah, yang berdiri angkuh di depannya.
"Maaf, apakah saya mengenal Anda?" Wanita menakjubkan itu menyeringai aneh. Dengan anggun dia melepas kacamata yang bertengger manis di wajahnya, dan seketika Julia nyaris terpekik. Ternyata dia bintang film terkenal di Amerika, dan juga aktris idolanya sejak belia. "Anda.... Vivienne Miller?" Mata Julia mengerjap. Respon spontannya mengundang seringai sinis dari sang aktris. "Jadi, apakah kau sekarang sudah mengenalku?" Julia memperbaiki sikap tubuh dan nada bicaranya. Seulas senyum lebar terpatri di wajahnya. "Ma--maf, tidak langsung mengenali Anda. Apakah Anda bersedia mengambil foto dengan saya? Ini sungguh luar biasa!" "Bakery Lady, menurutmu aku datang kemari mau berfoto?" Suara Vivienne begitu ketus hingga dalam seketika Julia sadar bila sang aktris tengah menatap jijik. Menyadari tindakan noraknya membuat dia makin dipandang rendah, buru-buru Julia mengubah intonasi bicaranya. "Sejujurnya... aku tak tahu apa tujuan Anda datang kemari? Bisa Anda jelaskan?" "Tentu saja ingin tahu seperti apa perempuan yang dipilih Jhon untuk jadi penggantiku, dan ternyata... ." Sang bintang menggantung kalimatnya, dan dengan gaya dramatis menatap lawan bicaranya dari atas ke bawah, hingga yang bersangkutan jadi tak nyaman. "... kau tak lebih dari penjual kue bermuka pas-pasan. Sangat disayangkan!" lanjut Vivienne. Sekali lagi Julia terperangah, netranya yang coklat mengerjap cepat, ingin memastikan bahwa dirinya yang baru dijadikan objek hinaan oleh Vivienne. Menyadari bahwa aktris idola benar-benar tengah merendahkannya, hati Julia bergolak. Rasa kesal naik ke ubun-ubun, memenuhi setiap rongga tubuhnya. "Ms. Miller, apa hak Anda menghina saya? Lagipula sejak kapan Anda dengan Jhon? Setahuku Anda bahkan masih lajang?" Penyangkalan yang diutarakannya membuat Vivienne tersenyum samar. Perlahan, dia mendekat dan menatap Julia dengan mata birunya yang indah. "Tidak sepertimu, aku ini aktris besar. Seluruh Amerika, bahkan dunia mengenalku. Para fans tentu tak suka bila aku perempuan yang sudah kawin. Karena itulah, status pernikahanku dirahasiakan." Konyol! Hanya kata itu yang bisa dipikirkan Julia sekarang. Setelah melihat bagaimana Vivienne bersikap ditambah ambisinya yang kelewat batas -- rela menyangkal anak dan suami demi karir -- semua rasa hormat yang pernah dia miliki, menguap seketika. "Wah, kalau begitu Ms. Miller, kuucapkan selamat padamu. Sebab sebentar lagi, cita-citamu sebagai gadis lajang, akan benar-benar tercapai." "Tutup mulutmu!" Vivienne berseru marah. Mukanya yang seperti barbie merah padam. "Kau pikir Jhon akan bisa mencintaimu? Bermimpilah! Wanita berkulit gelap dan bertubuh penuh, tak pernah jadi seleranya." Serta-merta Julia bersedekap, menutup dadanya yang berukuran di atas rata-rata. Bila kebanyakan wanita dengan bangga akan pamer, dia justru sebaliknya. Gumpalan lemak beberapa pon itu adalah momok menakutkan baginya sejak belia. Kaum pria akan memandang tubuhnya penuh hasrat sedangkan wanita jadi iri dan membencinya. Sebab itulah, dia pernah hampir melakukan operasi pengecilan dada, yang sampai sekarang belum terpenuhi gara-gara masalah dana. "Entah aku selera Jhon atau tidak, itu bukan urusan Anda. Dia yang datang menawarkan diri dan melamarku, paham?" Pengakuan Julia tak membuat Vivienne mundur. Dengan kepercayaan diri yang tinggi dia mengitari Julia, dan mencemooh terang-terangan. "Tubuhmu seperti wanita penghibur, cocok untuk bersenang-senang tapi bukan untuk dibawa ke perjamuan mewah. Lagi pula statusmu yang rendah, pastilah membuat Jhon malu setengah mati." Mati-matian Julia menahan diri. Ledakan emosi apapun hanya akan membuatnya makin malu di hadapan Vivienne. Menahan suaranya tetap tenang, dia berbalik dan menatap sang aktris penuh tantangan. "Apa gunanya Anda menghinaku? Hanya membuatmu terlihat seperti perempuan sirik yang putus asa." "Beraninya kau!" Mengabaikan ancaman dalam suara lawan, Julia tersenyum tenang. "Kalau memang Anda lebih unggul dariku, sebaiknya buat Jhon membatalkan lamarannya, bagaimana?" Vivienne yang sekejap tadi nampak gagah, kehilangan kata-kata. Matanya mengerjap, seolah sedang berpikir keras. Julia tak menyia-nyiakan kesempatan untuk memukul mental lawannya. "Bagaimana? Anda tak berani?" "Mengapa aku harus menerima tawaranmu? Memangnya kau siapa, hah?" Julia mengedik tak acuh. "Tentu saja Anda tak harus menerimanya. Akan tetapi... bila ini terjadi maka untuk seterusnya aku akan menganggap Anda pengecut yang payah." "Dasar perempuan kurang ajar. Lihat saja, kau harus membayar penghinaan ini." Usai menutup perjumpaan mereka dengan kalimat ancaman, Vivienne memakai kacamatanya kembali lalu beranjak pergi. Setelah mobilnya tak terlihat, barulah Julia menarik nafas dalam-dalam untuk mengendurkan urat sarafnya yang sempat menegang gara-gara pertempuran tak berdarah tadi. "Dasar perempuan bodoh!" gumamnya sembari menghirup aroma sillage parfum milik Vivienne yang masih terendus meski sang pemilik sudah tak tampak lagi. Setelah dirinya agak tenang, barulah Julia melanjutkan kegiatannya yang sempat terjeda sembari memikirkan betapa beruntung Vivienne sebagai seorang wanita. Terlahir dengan sendok perak di mulutnya, mantan istri Jhon terbiasa dikelilingi perhatian, terlebih karena parasnya yang cantik. Entah kenapa, selalu saja ada manusia yang memiliki segalanya. "Astaga, apa yang kaupikirkan?" Julia menepuk dahinya ketika sadar bahwa dia mulai menyesali hidupnya yang buruk lantaran memikirkan kehidupan glamor Vivienne. Dengan setumpuk kegiatan yang membuatnya sibuk, akhirnya hari Julia berakhir. Dia berkemas dan hendak menutup pintu gerai, ketika sebuah mobil mendekat dan berhenti tepat di depannya. Jantung Julia berdegup kencang karena bentuk dan warna mobil ini persis dengan yang dipakai Jose tempo hari. Tergesa dia melangkah ke meja counter, mengambil tongkat bisbol dari bawah, lalu bersiap menunggu dibalik pintu. Bulir keringat membasahi pelipisnya, menunggu si pengunjung baru dalam detik-detik yang terasa amat panjang. "Kreeekk... ." Ketika bunyi daun pintu terdengar, Julia langsung mengayunkan tongkat di tangannya sekuat tenaga. "Arrrggghhh!" Raungan kesakitan terdengar diiringi suara maskulin yang akrab. "Julia, apa yang kaulakukan?" Suara bentakan Jhon membuat Julia langsung membuka mata dan menatap pria malang yang sedang kesakitan itu salah tingkah. "Ma--maaf, kukira bukan kau yang datang." Sembari berkata demikian, dia tergesa menutup pintu gerai lalu menghela Jhon ke lantai dua. "Apa maksudmu menyeretku kemari? Kau sudah tak sabar lagi?" "Hush, diamlah. Duduk di sini." Dengan kekuatan penuh, dia menekan Jhon hingga pria itu terduduk pada salah satu kursi yang ada di dapur kecilnya. Setelah itu Julia mencari kotak P3K dan sebongkah es batu. "Sekarang buka bajumu!" perintahnya tanpa ampun. Jhon menatap tak percaya. Mulutnya membuka dan menutup, seolah mencari kalimat yang tepat. Namun setelah sekian lama, tak ada kalimat yang terdengar. Melihatnya begitu, Julia mendecih sebal. "Dasar pria mesum. Menurutmu, untuk apa aku menyuruhmu membuka baju? Tentu saja mau memeriksa lukamu." Pikirannya yang sudah melantur jauh, bikin Jhon berdehem tak nyaman. "Siapa suruh kau bicara sepotong-sepotong? Isinya ambigu pula."Lima tahun kemudianJulia duduk santai di tepi danau. Matanya tak luput memandang suami dan kedua anaknya yang sedang naik perahu di tengah sana. Cahaya mentari memantul indah, membuat permukaan air seperti permata yang berkilauan. "Mom, lihat! Aku bisa mengayuh."Seruan si bungsu Jill membuat senyum lebar terbit di wajahnya. Ya, beberapa tahun terakhir, si kembar memutuskan untuk memanggilnya Mommy, sementara Vivienne mereka panggil Mother. Hal ini bikin hidup Julia terasa lengkap. Dia bisa saja kehilangan dua anak, tetapi dia mendapat dua anak juga sebagai gantinya. "Mom, aku jauh lebih kuat dari pada Jim." Seruan si bungsu terdengar lagi.Julia balas melambai sembari meneriakkan kata-kata penyemangat. Saat perahu makin jauh berlayar, barulah dia melirik pesan yang sudah sejak tadi singgah di gawainya. Pengirim pesan ini adalah Luke. [Dear July, aku bangga dengan pencapaianmu. Kulihat beberapa bukumu mas
Besok paginya, setelah memutuskan dengan penuh pertimbangan, Julia berangkat bersama Jhon. Saat akan naik ke mobil, Olivia tak hentinya menangis seraya berpesan. "Kalau suatu saat nanti hidupmu tak baik-baik saja, kembalilah kemari. Bibi akan selalu menerima."Tak ada yang bisa diucapkannya selain memeluk Olivia lebih erat. Setelah keduanya selesai melepas haru, Jhon pun pamit pada Olivia. "Kami pergi dulu. Di masa mendatang, kami akan berkunjung lagi."Usai berpamitan, mobil pun menderu, meninggalkan rumah pertanian semakin jauh. Julia terus menoleh ke belakang, hingga rumah tempatnya lahir dan menghabiskan masa muda, lenyap dari pandangan. "Kau sedih, Sayang?" tukas Jhon. "Sedikit. Bagaimana pun, aku sudah sebulan tinggal di sana.""Kapan-kapan kita kemari lagi."Jauh dalam hatinya, Julia tahu bahwa janji ini sulit ditepati. Begitu kembali ke Manhattan, sudah pasti Jhon akan kembali jadi robot gila kerja.
Sudah lewat waktunya makan siang saat mereka sampai di sana. Suasana agak gelap karena tempat yang mereka datangi tertutup pepohonan besar. "Jadi, tempat ini yang kau maksud?" tanya Jhon seraya memandang sekelilingnya takjub. "Tentu saja. Waktu kecil, aku sering bersembunyi di sini agar tak disuruh mencuci piring."Dengan gesit, Julia masuk ke dalam celah bebatuan tersembunyi, lalu duduk pada ceruk yang dalam. Tak butuh waktu lama bagi Jhon menyusul sang istri. Pria itu langsung duduk di sisi Julia dan melanjutkan asmara yang sempat terjeda. Api kerinduan membuat keduanya terbakar gairah. Beberapa saat berselang, ketika mereka terbaring bersimbah peluh, barulah hasrat yang menggelora itu padam. "Terima kasih, Sayang." Jhon berbisik lembut seraya mengecup kening istrinya. Perlakuan yang begitu manis membuat Julia makin larut dalam dekapan Jhon. Hari ini, dia mempertaruhkan segenap keyakinan demi bisa mereg
Kata-kata bibinya tempo hari masih terngiang di benak Julia. Meski demikian, hatinya masih dilema, antara kembali ke Manhattan atau menetap di tanah kelahiran. Saat ini, dia sedang serius menekuni laptopnya, namun jumlah kata yang diketik pada jendela aplikasi, tak bertambah satu huruf pun. Alih-alih berpikir, dia malah sibuk berandai-andai, bagaimana jadinya jika dia tak bersama Jhon lagi untuk selamanya. Dia menarik nafas kesekian kali, dalam upaya sia-sia untuk mengumpulkan niat menulis. Tetapi, belum sempat terlaksana, deru halus mobil terdengar di pekarangan rumah, diikuti Ketukan pada daun pintu sejurus kemudian. "Siapa?!" serunya seraya beranjak dari duduknya. Orang asing yang berdiri di balik sana tidak menyahut. Hal ini bikin Julia was-was, sebab bukan cuma sekali dia nyaris mati dalam percobaan pembunuhan. "Siapa di sana?" ujarnya lagi. Kali ini lebih keras dari yang tadi. Ketika tamu tak diundang ini bu
"Papa, aku datang hari ini... ."Tangis Julia tak bisa dibendung saat berkunjung ke pusara laki-laki yang sangat dia kasihi. Pada nisan yang usang, tertulis nama Sebastian Hernandez beserta tahun kelahiran dan kematian. Sedangkan di baris paling akhir tertera kutipan ayat kitab suci : Segala jalan Tuhan adalah kasih setia dan kebenaran bagi orang yang berpegang pada perjanjianNya dan peringatan-peringatanNyaJulia tersenyum getir. Menjelang kematiannya, Sebastian memang kerap menyendiri di kamar, mengerjakan entah apa. Dan saat ajalnya tiba, Julia hanya menemukan tubuh yang terbujur beserta ayat yang ditandai dengan stabilo kuning pada kitab yang terbuka di sebelah tubuh kaku sang ayah. Apakah ayahnya tidak berpegang pada perintahNya sehingga Dia tidak menunjukkan belas kasihan? Pertanyaan ini berputar-putar di benak Julia untuk waktu yang lama, tetapi hingga detik ini dia belum menemukan jawaban. "Ah, Papa." Dia be
Dua pasang mata saling tatap, mencoba menyelami pikiran masing-masing. Sudah sepuluh menit berlalu, namun belum ada yang mulai bicara. Saat keheningan makin canggung, Jhon akhirnya menyerah. "July... kau sudah makan?"Dari begitu banyak kalimat yang mau diucapkan, yang keluar justru yang paling garing. Jhon langsung menyesal begitu mengatakannya. "Sudah."Hatinya melonjak girang saat Julia menyahut. Walau bukan jawaban paling ramah, setidaknya sudah mau bicara. Harap-harap cemas, Jhon melanjutkan lagi. "Kau mau keluar? Udara segar bisa bikin kesehatanmu cepat pulih."Julia tak mengangguk, tetapi bahasa tubuhnya menunjukkan bila dia tak keberatan. Jhon bergegas melepas selang dari kantung cairan infus, lalu memapah Julia ke atas kursi roda. Hatinya sakit saat menyadari betapa ringkih badan istrinya. Sudah memasuki musim gugur, namun udara di luar masih agak dingin. Jhon melepas coat panjangnya, lal