Baik Julia maupun sang mantan sama-sama terkesiap, bahkan pegangan Jose pada rambutnya sampai terlepas.
"Bedebah sialan! Kau siapa, hah? Berani mengatur-atur hidupku?" Sorot mata Jhon dingin, penuh ancaman. "Kau tuli? Sudah kubilang dia istriku." Ternyata, bahasa tubuh Jhon tak membuat bocah Ramirez ciut. Dengan berani dia mendatangi pria yang berdiri tegak beberapa meter dari tempatnya. "Istrimu? Kalau kau tak bisa menunjukkan sertifikat perkawinan, jangan membual. Lagipula, apa peduliku kalau dia istrimu?" Mata Jhon menyipit, memindai muka Ramirez dengan seksama. Tato kecil di bagian kiri leher menunjukkan bahwa ini anggota geng mafia kecil di wilayah pantai timur. Penuh penekanan, Jhon bertanya sekali lagi. "Apa kau yakin ingin cari masalah denganku?" Bukannya bersurut langkah, Jose malah makin menjadi. Tangannya yang kekar menyentuh pipi Jhon, menepuk-nepuknya seperti memperlakukan seorang bocah. "Tentu saja. Bocah manja yang takut sinar matahari sepertimu tidak ada apa-apanya." Bugh! Sekali hantaman ke wajah, Jose langsung terhuyung ke belakang, sementara Julia yang berdiri tak jauh dari mereka berteriak histeris. "Wah, pukulanmu boleh juga." Jose menyeringai seraya mengusap pipi. Setelah itu dia mulai memasang kuda-kuda. "Sekarang giliranku menghajarmu, bedebah sombong!" Bersamaan dengan ini, dia melayangkan tinju ke bagian perut Jhon namun pria itu langsung berkelit dan membalasnya dengan tendangan telak. Untuk sesaat, kedua manusia yang dirasuk amarah saling pukul, saling tendang, hingga salah satu dari mereka terkapar di jalanan beraspal. Mukanya yang semula maskulin dengan kumis dan jambang tipis, kini tak karuan lagi bentuknya. "Bagaimana jagoan? Masih mau merebut istri orang?" ujar John sambil menatap Jose yang tergeletak menyedihkan. Mantan Julia itu tak menyahut. Sekuat tenaga dia mencoba bangkit, namun terjatuh lagi. Akhirnya, Jhon meninggalkannya begitu saja lalu menghampiri Julia yang tengah duduk dengan tubuh gemetar. Setelah memunguti barang yang berceceran, Jhon merangkul bahunya. "Ayo kuantar pulang." "Ta--tapi... ." Julia berkata gugup sambil memandang tubuh Jose yang terkapar. "Bajingan itu tak apa-apa. Aku sudah menelepon 911." Mendengar penuturan Jhon, akhirnya Julia berjalan tertatih sambil menggamit lengan calon suaminya. Penampilannya sekarang terlihat menyedihkan, seperti tawanan perang. Ketika mereka sudah tiba di gerai roti, Julia segera duduk di salah satu kursi sedangkan Jhon pergi ke dapur, mengambil dua gelas air hangat. "Minumlah," ujarnya sembari duduk di depan Julia. Sejurus lamanya mereka saling diam hingga Julia akhirnya buka mulut. "Namanya Jose Ramirez dan dia mantan pacarku." "Aku tahu. Tetapi kenapa bedebah itu masih mengincarmu." Julia mengusap wajahnya, lelah. Menceritakan hal mengerikan yang pernah dilakukan Jose seperti mengorek luka lama yang bernanah. Julia memulai kisahnya dengan kalimat yang menyayat hati. "Karena menyiksaku membuatnya terhibur." Dan seperti keran yang terbuka, mulutnya dengan lancar membuka kembali masa lalu yang kelam. Dalam cerita ini, Ramirez adalah kakak kelasnya di high school dan pemuda tampan ini menarik minat gadis-gadis, termasuklah Julia diantaranya. "Awalnya, dia romantis dan menarik tetapi lama-lama sikap gilanya mulai terlihat. Dia mengatur hidupku bahkan dengan siapa aku bertemu, berteman, dan kegiatan apa yang bisa kukerjakan. Ketika ada tindakanku yang bikin kesal, dia tak sungkan memukul, menyiksa, bahkan menyekapku." Wajah Jhon yang sekejap tadi tenang, mendadak sangat gelap, seperti awan nimbostratus. "Apa tak ada keluarga yang bisa membelamu?" Julia menggeleng lemah. "Kami perantau. Ibu sudah kabur dengan laki-laki lain waktu aku masih kecil. Kelakuan Jose berubah jadi brutal setelah ayahku meninggal." Tak tahu harus bilang apa, Jhon menenggak isi gelasnya hingga tandas. "Aku tak menyangka bila hidupmu sangat sulit." Julia tersenyum pahit. Dulu hidupnya pernah sangat manis, waktu ayahnya masih hidup. Semua terjadi gara-gara kebodohannya yang kelewat batas. Andaikan waktu itu dia langsung kabur ketika Jose sudah mulai bicara kasar, mungkin keterikatan mereka tidak separah ini. Tetapi apa? Dia selalu berpikir, suatu saat nanti Jose akan berubah selama dia tulus mencintai. Dia lari hanya ketika nyawanya sudah terancam. Dan Jose si penyiksa, sudah terlanjur menikmati ketakutan dan rasa tak berdayanya. Sebab itu, Jose tak mau melepas dirinya begitu saja. "Pulanglah, kurasa anak-anak sudah menunggumu," ujar Julia akhirnya. "Buat apa? Mereka tak pernah merindukan atau peduli dengan kehadiranku di rumah." Julia mendelik, sekarang dia tak heran kenapa Jim sampai mengatai ayahnya bodoh. Laki-laki ini terlalu percaya diri sehingga kerap melihat segala hal dari sudut pandangnya. Tak bisa menempatkan diri di posisi orang lain. "Pulanglah, mereka pasti merindukanmu. Waktu kecil dulu, memangnya kamu tak suka kalau orang tuamu di rumah?" Diluar ekspektasi, pria Westwood malah menggeleng. "Ketika mereka di rumah, tak ada ketenangan. Pertengkaran terus-menerus terjadi." Julia kehabisan kata-kata. Bingung harus berkomentar apa, dia meneguk sisa minumannya sampai tandas lalu mengalihkan pembicaraan. "Mau makan di sini? Biar kuhangatkan makanan." Alis Jhon bertaut. "Aku tak suka makanan yang dihangatkan apalagi makanan beku. It's disgust... ." Kalimatnya yang tajam berhenti tiba-tiba ketika netranya menatap air muka Julia. "Kalau begitu aku pulang dulu." Usai berkata demikian, dia buru-buru membuka pintu dan menghilang dari pemandangan. Ketika matahari terbit keesokan harinya, Julia tetap berjualan seperti biasa. Untuk berjaga-jaga jika Jose datang, dia meletakkan pemukul bisbol di bawah meja kasir. Sambil meliuk-liuk mengikuti musik hip hop dari pemutar lagu, Julia menyusun roti dan cupcake di etalase. Dia sedang menirukan gaya penyanyi favoritnya melempar microphone ke udara, ketika pintu gerai terbuka. "Selamat pagi, Ma'am. Ada yang bisa saya bantu?" sapanya ramah sambil buru-buru merapikan letak apron. Wanita berkacamata gelap itu tak menyahut. Dia mengamati dengan seksama sampai Julia grogi sendiri. Ketika bibirnya yang seksi terbuka, kalimat yang terdengar justru tuduhan. "Oh, jadi kau perempuan yang ingin mengambil posisiku?"Lima tahun kemudianJulia duduk santai di tepi danau. Matanya tak luput memandang suami dan kedua anaknya yang sedang naik perahu di tengah sana. Cahaya mentari memantul indah, membuat permukaan air seperti permata yang berkilauan. "Mom, lihat! Aku bisa mengayuh."Seruan si bungsu Jill membuat senyum lebar terbit di wajahnya. Ya, beberapa tahun terakhir, si kembar memutuskan untuk memanggilnya Mommy, sementara Vivienne mereka panggil Mother. Hal ini bikin hidup Julia terasa lengkap. Dia bisa saja kehilangan dua anak, tetapi dia mendapat dua anak juga sebagai gantinya. "Mom, aku jauh lebih kuat dari pada Jim." Seruan si bungsu terdengar lagi.Julia balas melambai sembari meneriakkan kata-kata penyemangat. Saat perahu makin jauh berlayar, barulah dia melirik pesan yang sudah sejak tadi singgah di gawainya. Pengirim pesan ini adalah Luke. [Dear July, aku bangga dengan pencapaianmu. Kulihat beberapa bukumu mas
Besok paginya, setelah memutuskan dengan penuh pertimbangan, Julia berangkat bersama Jhon. Saat akan naik ke mobil, Olivia tak hentinya menangis seraya berpesan. "Kalau suatu saat nanti hidupmu tak baik-baik saja, kembalilah kemari. Bibi akan selalu menerima."Tak ada yang bisa diucapkannya selain memeluk Olivia lebih erat. Setelah keduanya selesai melepas haru, Jhon pun pamit pada Olivia. "Kami pergi dulu. Di masa mendatang, kami akan berkunjung lagi."Usai berpamitan, mobil pun menderu, meninggalkan rumah pertanian semakin jauh. Julia terus menoleh ke belakang, hingga rumah tempatnya lahir dan menghabiskan masa muda, lenyap dari pandangan. "Kau sedih, Sayang?" tukas Jhon. "Sedikit. Bagaimana pun, aku sudah sebulan tinggal di sana.""Kapan-kapan kita kemari lagi."Jauh dalam hatinya, Julia tahu bahwa janji ini sulit ditepati. Begitu kembali ke Manhattan, sudah pasti Jhon akan kembali jadi robot gila kerja.
Sudah lewat waktunya makan siang saat mereka sampai di sana. Suasana agak gelap karena tempat yang mereka datangi tertutup pepohonan besar. "Jadi, tempat ini yang kau maksud?" tanya Jhon seraya memandang sekelilingnya takjub. "Tentu saja. Waktu kecil, aku sering bersembunyi di sini agar tak disuruh mencuci piring."Dengan gesit, Julia masuk ke dalam celah bebatuan tersembunyi, lalu duduk pada ceruk yang dalam. Tak butuh waktu lama bagi Jhon menyusul sang istri. Pria itu langsung duduk di sisi Julia dan melanjutkan asmara yang sempat terjeda. Api kerinduan membuat keduanya terbakar gairah. Beberapa saat berselang, ketika mereka terbaring bersimbah peluh, barulah hasrat yang menggelora itu padam. "Terima kasih, Sayang." Jhon berbisik lembut seraya mengecup kening istrinya. Perlakuan yang begitu manis membuat Julia makin larut dalam dekapan Jhon. Hari ini, dia mempertaruhkan segenap keyakinan demi bisa mereg
Kata-kata bibinya tempo hari masih terngiang di benak Julia. Meski demikian, hatinya masih dilema, antara kembali ke Manhattan atau menetap di tanah kelahiran. Saat ini, dia sedang serius menekuni laptopnya, namun jumlah kata yang diketik pada jendela aplikasi, tak bertambah satu huruf pun. Alih-alih berpikir, dia malah sibuk berandai-andai, bagaimana jadinya jika dia tak bersama Jhon lagi untuk selamanya. Dia menarik nafas kesekian kali, dalam upaya sia-sia untuk mengumpulkan niat menulis. Tetapi, belum sempat terlaksana, deru halus mobil terdengar di pekarangan rumah, diikuti Ketukan pada daun pintu sejurus kemudian. "Siapa?!" serunya seraya beranjak dari duduknya. Orang asing yang berdiri di balik sana tidak menyahut. Hal ini bikin Julia was-was, sebab bukan cuma sekali dia nyaris mati dalam percobaan pembunuhan. "Siapa di sana?" ujarnya lagi. Kali ini lebih keras dari yang tadi. Ketika tamu tak diundang ini bu
"Papa, aku datang hari ini... ."Tangis Julia tak bisa dibendung saat berkunjung ke pusara laki-laki yang sangat dia kasihi. Pada nisan yang usang, tertulis nama Sebastian Hernandez beserta tahun kelahiran dan kematian. Sedangkan di baris paling akhir tertera kutipan ayat kitab suci : Segala jalan Tuhan adalah kasih setia dan kebenaran bagi orang yang berpegang pada perjanjianNya dan peringatan-peringatanNyaJulia tersenyum getir. Menjelang kematiannya, Sebastian memang kerap menyendiri di kamar, mengerjakan entah apa. Dan saat ajalnya tiba, Julia hanya menemukan tubuh yang terbujur beserta ayat yang ditandai dengan stabilo kuning pada kitab yang terbuka di sebelah tubuh kaku sang ayah. Apakah ayahnya tidak berpegang pada perintahNya sehingga Dia tidak menunjukkan belas kasihan? Pertanyaan ini berputar-putar di benak Julia untuk waktu yang lama, tetapi hingga detik ini dia belum menemukan jawaban. "Ah, Papa." Dia be
Dua pasang mata saling tatap, mencoba menyelami pikiran masing-masing. Sudah sepuluh menit berlalu, namun belum ada yang mulai bicara. Saat keheningan makin canggung, Jhon akhirnya menyerah. "July... kau sudah makan?"Dari begitu banyak kalimat yang mau diucapkan, yang keluar justru yang paling garing. Jhon langsung menyesal begitu mengatakannya. "Sudah."Hatinya melonjak girang saat Julia menyahut. Walau bukan jawaban paling ramah, setidaknya sudah mau bicara. Harap-harap cemas, Jhon melanjutkan lagi. "Kau mau keluar? Udara segar bisa bikin kesehatanmu cepat pulih."Julia tak mengangguk, tetapi bahasa tubuhnya menunjukkan bila dia tak keberatan. Jhon bergegas melepas selang dari kantung cairan infus, lalu memapah Julia ke atas kursi roda. Hatinya sakit saat menyadari betapa ringkih badan istrinya. Sudah memasuki musim gugur, namun udara di luar masih agak dingin. Jhon melepas coat panjangnya, lal