Noah tetap melancarkan aksinya, melepaskan satu per satu pakaian yang dikenakan Jasmine. Menyadari bahwa Jasmine juga kelelahan, sentuhan Noah begitu lembut, seakan memanjakan tubuh Jasmine yang telah lelah. Di setiap gerakan, ada ketenangan yang disertai bisikan halus yang menenangkan.
"Apakah pesawatku bisa mendarat dengan mulus?" bisik Noah, suara rendahnya seperti menembus kesunyian malam.
Jasmine yang sempat tegang hanya mengangguk pelan, menggigit bibir bawahnya untuk menahan rasa malu yang datang begitu mendalam.
Namun, Noah tiba-tiba bertanya lagi, "Sepertinya landasannya basah, ya?" kata-katanya mengejutkan, membuat Jasmine semakin merunduk, menutup matanya, mencoba menghindari rasa malu yang semakin menyelimuti dirinya.
Noah tersenyum, memandang Jasmine dengan tatapan penuh percaya diri. "Tenang, Kapten Noah paham cara mendarat dengan mulus. Agar kamu tak tergelincir, kamu bersiap, nona."
Pagi itu, sebuah pesan singkat juga masuk ke ponsel Noah. Di tengah Jasmine menikmati sarapannya.Vanesia: ’Aku sudah di lobi. Kita harus segera berangkat ke proyek.’Noah mendengus kecil, kemudian bangkit dari tempat tidur dan bergegas menuju kamar mandi. Jasmine, yang masih sibuk dengan sarapan, hanya melirik sekilas sebelum kembali menikmati potongan croissantnya. Namun, begitu Noah keluar dari kamar mandi, Jasmine tertegun.Kemeja putih yang pas di tubuhnya, ditambah celana panjang hitam yang membentuk kaki panjangnya dengan sempurna, membuat Noah terlihat begitu menawan. Rambutnya yang masih sedikit basah semakin menambah pesona. Jasmine tidak bisa menahan diri untuk menatap lebih lama."Kamu mau ikut turun ke lobi?" tanya Noah sambil merapikan jam tangannya.Jasmine mengangguk tanpa pikir panjang. "Tentu saja."Mereka pun turun bersama menuju lobi.Di lobi, Vanesia duduk dengan anggun di salah satu sofa kulit yang mewah. Begitu melihat Noah datang, wajahnya berbinar, namun seny
Mr. Bulharm berdiri tegap di depan bangunan proyek yang sedang dalam tahap penyelesaian. Pagi itu, ia terlihat bersemangat menunggu kedatangan rombongan.Begitu mobil Rolls-Royce Phantom Limousine berhenti, pintu depan terbuka, dan Vanesia turun lebih dulu.Senyum bangga langsung menghiasi wajah Mr. Bulharm. “Putriku!” katanya dengan nada penuh kebanggaan. Ia membuka tangannya, bersiap memberikan pelukan, tetapi Vanesia hanya tersenyum tipis dan melirik ke belakang.Tak lama, Noah keluar dari mobil. Wajah Mr. Bulharm semakin berseri. Ia menyambut pria itu dengan penuh kehangatan.“Noah! Akhirnya kau datang juga.” Tangan besarnya menepuk bahu Noah dengan penuh rasa hormat, seolah menyambut seorang menantu ideal.Namun, momen itu berubah drastis ketika Jasmine melangkah keluar.Tatapan Mr. Bulharm langsung berubah, senyumnya sedikit memudar. Ekspresinya menunjukkan ketidaksukaan yang berusaha ia sembunyikan. Ia sempat melangkah maju, berniat memberikan sentuhan ala kebaratan—mungkin sek
Jasmine masih menikmati makanannya, memperhatikan bagaimana Noah berinteraksi dengan para pekerja dan insinyur. Mereka kembali ke area proyek setelah meeting singkat.Tatapan mata Jasmine tak bisa lepas dari sosok pria itu yang tampak begitu berwibawa dalam jas rapi dengan lengan kemeja yang sedikit tergulung. Setiap gerakannya memancarkan karisma, menandakan bahwa dia bukan hanya seorang investor, tetapi juga sosok pemimpin yang memahami detail pekerjaannya.Sesekali, Noah melirik ke arah Jasmine. “Kamu paham konsep ini, kan?” tanyanya sambil menunjuk salah satu bagian dari desain bangunan yang sedang dibahas.Jasmine tersenyum kecil dan mengangguk. “Tentu. Aku membuat konsep modernisasi sistem di dalam desain ini, walau itu bukan job-ku. Tujuannya agar orang yang melihat bangunan ini langsung tahu bahwa ini adalah perusahaan startup. Startup itu bisnis rintisan berbasis teknologi dan harus memiliki model bisnis yang scalable. Jadi, selain desain yang futuristik, aku juga mengusulkan
Setelah beberapa jam perjalanan, mobil mereka melaju dengan tenang menuju hotel Zeronight. Jasmine, yang sejak tadi terlelap dalam perjalanan, akhirnya tertidur pulas dengan kepalanya bersandar di bahu Noah.Suasana dalam mobil itu hening, hanya terdengar suara lembut mesin yang meredam kegelisahan di hati Noah.Sesampainya di depan hotel, Noah berhenti di tempat parkir dan perlahan-lahan mengangkat tubuh Jasmine yang masih terlelap. Ia memandang wajah Jasmine dengan lembut, merasa khawatir karena jelas sekali gadis itu kelelahan.Dengan hati-hati, Noah membawa Jasmine ke dalam kamar hotel. Ketika dia meletakkan tubuh Jasmine di atas tempat tidur, dia sempat memperhatikan lebih dalam betapa letihnya gadis itu.Tanpa berpikir panjang, Noah mengecup kening Jasmine dengan penuh kasih sayang. Rasanya seperti sebuah pengingat bagi dirinya bahwa betapa pentingnya menjaga orang yang dia cintai. Jasmine tampaknya masih terbuai dalam tidurnya, tanpa menyadari kehadiran Noah yang sedang memperh
Setelah pergulatan panas malam itu, Noah dan Jasmine tertidur lelap di bawah selimut putih yang menyelimuti tubuh mereka. Kamar hotel terasa tenang, hanya suara pendingin ruangan yang samar-samar terdengar.Namun, tepat pukul 04.30 dini hari, Jasmine tiba-tiba terbangun. Dia mengerjap pelan, lalu mengguncang-guncang tubuh Noah dengan rengekan kecil seperti anak kecil yang sedang merengek manja."Noah... Noah..."Noah mengerang pelan, matanya masih setengah tertutup, tubuhnya masih hanya terbungkus selimut tipis yang hampir melorot dari pinggangnya. Suaranya terdengar serak karena kantuk."Ada apa, Jasmine? Aku masih mengantuk..."Jasmine mengerucutkan bibirnya dengan wajah imut, matanya berbinar seperti anak kecil yang menginginkan sesuatu."Aku lapar," ujarnya dengan nada manja.Noah menghela napas, lalu tersenyum sambil mengetuk pelan kening Jasmine."Kamu masih tidak berpakaian, dan sekarang mau mandi malam-malam hanya untuk mencari makan?" godanya, menatap tubuh Jasmine yang masih
Jasmine hanya mengangkat bahu. "Kenapa harus malu? Lagipula, itu kenyataan."Noah menggelengkan kepala, terkekeh pelan. Dia kemudian meraih tangan Jasmine di atas meja, menggenggamnya lembut. "Aku senang melihatmu ceria seperti ini."Jasmine tersenyum, tatapannya melembut. "Aku juga senang. Rasanya nyaman bisa bersamamu tanpa harus berpikir terlalu banyak."Mereka berbincang santai hingga pesanan mereka datang. Jasmine langsung menyeruput sup ayamnya dengan penuh semangat, matanya berbinar menikmati rasa hangat yang mengalir ke dalam tubuhnya.Noah mengamati Jasmine yang sedang makan dengan lahap. Dia menyandarkan tubuhnya ke kursi sambil menikmati kopinya."Jasmine," panggil Noah tiba-tiba."Hmm?" Jasmine menatapnya dengan pipi yang masih penuh makanan.Noah tersenyum kecil. "Bagaimana perasaanmu tentang ini semua? Tentang aku, tentang kita?"Jasmine berhenti mengunyah sejenak, menelan makanannya sebelum menjawab. "Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya... Tapi aku nyaman. Aku bahag
Jasmine terus melangkah cepat menuju hotel tanpa menoleh ke belakang. Hatinya masih bergetar karena ciuman Noah tadi. Bukan karena marah, tapi karena ada sesuatu yang terasa lebih dalam dari sekadar amarah dan gairah.Begitu tiba di depan pintu kamar hotel, Jasmine berhenti dan berbalik. Noah yang sedari tadi mengikutinya juga berhenti beberapa langkah di belakangnya.“Apa kau ingat sesuatu, Noah?” suara Jasmine terdengar pelan, tetapi menusuk.Noah mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”Jasmine menatapnya dalam-dalam, lalu mengulang dengan nada dingin, “Kamu jangan berharap lebih, bahkan kamu harus bisa merahasiakan hal ini.”Noah terdiam. Kata-kata itu terdengar begitu familiar, dan Jasmine mengatakannya dengan nada yang sama seperti dirinya dulu saat awal kontrak mereka.“Dulu kau mengatakannya dengan begitu
“Oh, kebetulan sekali! Aku ada jadwal meeting di sana juga. Senang bisa bertemu. Bisa kita bertukar pikiran nanti?”Jasmine tersenyum kecil. “Tentu. Akan sangat menyenangkan.”Setelah beberapa pertukaran kata, Pram akhirnya menutup telepon. Jasmine mengembalikan ponsel itu ke tangan Noah sambil melipat tangan di depan dada.Noah menatapnya tajam. “Jadi, Bulgarion?”Jasmine mengangkat bahu. “Kau tidak punya alasan lain, kan? Setidaknya sekarang Pram tidak curiga.”Noah mendengus frustrasi. “Kau tahu dia menyukaimu, bukan?”Jasmine menahan tawa. “Ya, aku tahu.”Noah mencengkram dagu Jasmine, memaksanya menatapnya. “Dan kau membiarkannya?”Jasmine tersenyum misterius. “Bukankah sejak awal kau yang berkata kalau aku tidak boleh berha
Di sisi lain kota, Zora berdiri di depan cermin besar berbingkai emas di kamar utama rumah Dirgantara. Cermin itu telah menjadi saksi begitu banyak perubahan dalam hidupnya—dari wanita muda ambisius, menjadi istri dari pewaris kekaisaran bisnis, hingga kini... seorang istri yang mulai kehilangan pijakan. Ia merapikan blouse satin putih yang telah ia kenakan puluhan kali, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang makin lama makin sulit ditutupi.Matanya menatap pantulan diri dengan senyum yang hambar—senyum yang ia bentuk hanya sebagai formalitas sosial. Beberapa hari terakhir, gosip dan bisik-bisik di antara sosialita dan direksi perusahaan mulai membentuk luka kecil yang lambat tapi pasti merobek hatinya.Bukan hanya Noah yang berubah. Dunia pun ikut berputar, seolah tak ada tempat lagi untuknya. Mereka bilang Jasmine adalah ibu dari pewaris masa depan keluarga Dirgantara. Mereka menyambut wanita itu seolah-olah dia satu-satunya yang pantas berdiri di sisi Noah.Zora menggigit bibirnya
Jasmine kembali terdiam, pikirannya kembali ke masa lalu. Setelah percakapan emosional itu, Jasmine dan Noah duduk di balkon rumah kecil itu. Hujan masih turun, tapi lebih ringan.“Aku tidak bisa janji semua akan mudah,” kata Noah, menatap gelap malam.“Aku tidak minta mudah,” balas Jasmine. “Aku cuma mau tahu... kamu akan ada di sini. Meski saat aku marah. Saat aku takut. Saat aku ragu.”Noah menoleh, lalu menyentuh perut Jasmine yang membulat.“Aku akan ada. Untuk kamu. Untuk dia.”Dan di bawah langit yang masih menangis, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Jasmine merasakan tenang. Bukan karena semua masalah selesai. Tapi karena ia tahu—ia tak lagi sendiri.Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Jasmine menoleh. Noah muncul dari balik pintu kamar, membawa selimut tambahan dan termos susu.“Sudah tidur?” tanyanya pelan.Jasmine mengangguk. “Baru saja.”Noah berjalan pelan, lalu duduk di sampingnya. Ia menatap bayi mereka, lalu mencium kening Jasmine.“Aku suka malam h
“Waktu kadang menyembuhkan luka, tapi ada jenis luka yang justru membuat kita ingin kembali… hanya untuk memastikan bahwa semuanya memang layak diperjuangkan.”Suara rintik hujan yang menghantam jendela terdengar bagai irama pilu yang menggema di seluruh ruangan. Lampu kamar menyala temaram. Di pelukannya, seorang bayi kecil tertidur dengan damai, napasnya ringan, dadanya naik turun perlahan.Jasmine duduk di kursi goyang dekat jendela, membiarkan matanya tertumbuk pada kegelapan malam di luar sana. Tangannya membelai lembut punggung bayi itu, tapi pikirannya melayang jauh… menuju malam hujan yang sama, tujuh bulan lalu. Malam yang ia kira hanya akan berakhir sebagai luka.Tujuh bulan sebelumnya.Rumah kecil tempat ia tinggal bersama Nina untuk sementara waktu terasa terlalu sunyi malam itu. Angin mengetuk jendela loteng dengan kasar. Jasmine memegangi perutnya yang membuncit—usia kehamilannya memasuki bulan ketujuh, dan setiap gerakan kecil dari dalam kandungannya menjadi pengingat ba
Sore itu, langit di atas rumah kaca menyimpan gradasi warna yang murung. Biru kelabu berbaur dengan oranye pucat, seolah alam pun ikut menyesali semua yang telah terjadi. Angin menyusup masuk lewat sela-sela jendela, membawa aroma bunga melati yang hampir layu. Jasmine berdiri di dekat balkon dengan tangan memeluk tubuhnya sendiri, seakan udara terlalu dingin untuk ditahan, padahal sebenarnya yang dingin adalah hatinya.Sudah berapa lama ia terjebak dalam pusaran luka yang tak pernah benar-benar bisa ia benahi? Sejak pertama kali menerima tawaran menjadi ibu pengganti, hidupnya seperti berubah menjadi cerita yang tak ia kenali.Noah mendekat perlahan, langkahnya nyaris tanpa suara. Ia tidak ingin mengganggu, tapi juga tak sanggup menahan keinginannya untuk bicara. Jasmine tahu dia datang—ia bisa mencium aroma parfum kayu cendana lembut yang biasa Noah pakai. Tapi ia tetap diam, masih terpaku menatap taman kecil yang mulai gelap.“Aku boleh bicara?” tanya Noah perlahan.Kepala Jasmine m
Langit Arenia berwarna keperakan pagi itu, menyelimuti kota dalam cahaya mendung yang lembut. Gedung pusat kebijakan internasional yang menjulang di jantung distrik Saphira tampak megah. Di dalamnya, ratusan kursi telah tertata rapi, mikrofon disiapkan, dan layar besar menampilkan satu kalimat: Forum Etika Global untuk Ibu Pengganti dan Hak Anak.Di kursi utama, Jasmine duduk tenang mengenakan setelan biru tua dengan aksen perak. Tak ada perhiasan mencolok, hanya liontin kecil yang tergantung di lehernya—hadiah terakhir dari ibunya, Sylvia. Di sampingnya, Noah dan Kiara mempersiapkan presentasi utama, sedangkan Evan memantau keamanan data dan jaringan digital.Forum ini bukan sekadar acara simbolik. Jasmine—dengan dukungan penuh dari Project Axis—berinisiatif mengadakan forum ini setelah tekanan internasional terhadap praktik kontrak ibu pengganti yang tidak adil mulai meningkat, menyusul pengakuannya dan penyelidikan terhadap Levara Group.“Sepuluh negara sudah mengirim delegasi,” la
Noah menoleh pada Jasmine. “Apa kamu siap jika Leonhart muncul kembali?”Jasmine menjawab pelan, tapi tegas, “Aku siap. Karena aku tidak lagi melawannya sendirian.”Dan hari itu, suara seorang ibu menggetarkan kota Arenia. Bukan dengan amarah. Tapi dengan keberanian yang lahir dari kasih.Hanya dua hari setelah pidato Jasmine mengguncang Arenia, dampaknya terasa seperti ombak besar yang menyapu seluruh jagat media. Hashtag #IbuUntukZai telah menembus tren global. Wawancara dari pakar hukum, aktivis perempuan, hingga influencer keluarga membanjiri lini masa dengan satu suara: Jasmine layak mendapatkan keadilan.Tapi di tengah dukungan itu, ada kekuatan yang bergerak diam-diam. Di ruang pertemuan bawah tanah sebuah kantor legal internasional di Kairo, seorang pria berambut perak duduk di ujung meja panjang. Ia mengenakan jas gelap yang pas, dan di tangan kirinya ada cincin berlambang burung hitam bersayap patah.Leonhart.“Jadi, gadis kecil itu sekarang memanfaatkan simpati publik?” uca
Matahari Arenia naik perlahan, memantulkan sinarnya pada jendela-jendela kaca yang berbaris rapi di gedung-gedung pusat kota. Tapi pagi itu, sorotan media bukan tertuju pada kemegahan bangunan atau kecanggihan teknologi kota modern tersebut. Fokus mereka adalah satu wanita muda yang berdiri di balik podium sederhana—Jasmine Ayu Kartika.Dalam balutan blazer putih yang elegan namun sederhana, Jasmine berdiri dengan tegak, wajahnya tenang. Di hadapannya, puluhan kamera dari berbagai media siap menangkap setiap kata yang keluar dari mulutnya. Suasana di luar gedung forum publik Arenia benar-benar hening untuk sesaat.“Terima kasih telah datang. Hari ini, saya berdiri bukan sebagai tokoh besar, bukan sebagai pemegang saham, bukan pula sebagai pion dalam perang kekuasaan,” ucap Jasmine membuka pidatonya. “Saya berdiri sebagai seorang ibu.”Beberapa wartawan langsung mengambil gambar, beberapa lainnya menunduk menulis cepat. Kata-kata Jasmine tajam, sederhana, dan langsung menancap ke hati
“Saya tidak berdiri di sini sebagai wanita sempurna,” ucapnya. “Saya bukan pahlawan. Tapi saya tahu, saya adalah seorang ibu. Dan tidak ada kontrak, manipulasi, atau rekayasa hukum yang bisa menghapus cinta seorang ibu dari hatinya.”Ia menatap langsung ke hakim. “Saya tidak meminta apa pun selain kesempatan untuk memeluk anak saya... dan membesarkannya tanpa harus bersembunyi.”Hening menyelimuti ruangan.Hakim mengangguk. “Saya akan memberi putusan sore ini.”Sore itu, seluruh ruangan kembali berkumpul. Cahaya matahari mulai menguning, menandai hari yang panjang akan segera berakhir.Hakim berdiri, membawa map berisi keputusan.“Setelah mempertimbangkan bukti tertulis, kesaksian di bawah sumpah, serta laporan psikologis anak... pengadilan menyatakan bahwa hak asuh penuh atas anak dengan inisial ZJ diberikan kepada Ny. Jasmine Jorse.”Terdengar isakan tertahan dari sisi pendukung Jasmine.Hakim melanjutkan, “Dengan supervisi kunjungan yang diatur terhadap pihak Ny. Zora Dirgantara, s
“Apakah Anda menyangkal bahwa Anda memalsukan keterangan medis Jasmine pasca melahirkan?” tanya hakim tegas.Zora tidak menjawab. Ia hanya menunduk.Noah akhirnya berdiri. “Yang Mulia, saya juga ingin berbicara. Saya sudah cukup lama diam. Tapi hari ini, saya berdiri bukan hanya sebagai ayah, tapi sebagai pria yang menyaksikan semua ketidakadilan ini.”Ia menatap Jasmine sebentar, lalu melanjutkan. “Anak saya... tidak boleh tumbuh besar dalam kebohongan. Ia berhak tahu siapa ibunya. Ia berhak dipeluk dan dicintai tanpa batas. Saya mendukung Jasmine. Bukan karena kami pernah mencintai. Tapi karena... tidak ada ibu yang lebih layak.”Ketika sidang diskors untuk makan siang, kabar dari dalam pengadilan sudah bocor ke media. Tagar #JusticeForJasmine dan #HakAsuhZai mulai trending di media sosial.Di luar gedung, para pendukung mulai berkumpul. Beberapa bahkan membawa papan bertuliskan “Seorang Ibu Adalah Ibu” dan “Zai Berhak Tahu Kebenaran.”Zora keluar lewat pintu samping, wajahnya ditut