Noah juga tak berkata apa-apa. Matanya masih terpejam, namun pelukannya semakin erat.Dalam keheningan yang nyaman itu, mereka akhirnya tertidur.Malam masih panjang, dan keheningan menyelimuti kamar mereka. Jasmine dapat merasakan ritme napas Noah yang mulai teratur, menunjukkan bahwa pria itu mulai terlelap. Namun, dirinya sendiri masih terjaga, matanya menatap samar ke arah langit-langit kamar yang remang.Pelukan Noah tetap erat, lengannya melingkari pinggangnya seolah tak ingin membiarkan Jasmine pergi ke mana pun.Jasmine menghela napas pelan, hatinya terasa sedikit aneh. Ia tahu ini bukan pertama kalinya mereka berada dalam situasi seperti ini, tetapi kali ini terasa berbeda. Ada sesuatu yang lebih dalam di mata Noah tadi sebelum ia benar-benar terlelap—sesuatu yang belum bisa ia pahami sepenuhnya.Pelan, Jasmine mengangkat tangannya, jemarinya menyentuh garis rahang Noah. Pria itu tetap diam, tetapi gerakan kecil dari napasnya membuat Jasmine menyadari bahwa ia belum benar-ben
Ketika mereka turun ke ruang makan, aroma makanan sudah menyambut mereka. Jasmine tersenyum lega melihat meja yang penuh dengan hidangan yang ia inginkan.Nikmah, yang sudah menyiapkan semuanya, segera menyambut mereka dengan ramah."Seperti yang Nona minta, ini beberapa hidangan yang sudah saya siapkan," kata Nikmah sambil mulai menyebutkan satu per satu nama makanannya. "Ada sup ayam dengan rempah, nasi goreng dengan sedikit cabai, tumis sayuran, dan tentu saja, dessert manisnya puding cokelat dan buah segar."Jasmine tersenyum senang. "Terima kasih, Nikmah. Seperti biasa, kamu memang tahu seleraku."Noah hanya duduk di kursinya sambil memperhatikan Jasmine dengan ekspresi yang sulit ditebak. Ia terlihat santai, tetapi jelas ada sesuatu di kepalanya yang sedang dipikirkan.Saat Jasmine mulai makan, Noah akhirnya membuka suara."Setelah ini, kita harus membahas sesuatu, Jasmine," katanya serius.Jasmine menghentikan gerakan sendoknya dan menatap Noah. "Membahas apa?"Noah tidak langs
Jasmine semakin ingin menghilang dari dunia ini saat dokter Wibisono menghela napas kecil, lalu berkata dengan nada bijak, "Saya sarankan agar sedikit dikurangi, terutama di trimester ini. Takutnya akan berdampak tidak baik pada janin. Jangan terlalu sering, terutama jika ada kontraksi ringan setelah berhubungan."Jasmine tidak berani menatap dokter, apalagi menatap Noah. Ia hanya mengangguk dengan malu-malu.Dokter kemudian mulai menjelaskan, "Pada trimester pertama, hubungan intim masih boleh dilakukan, tetapi dengan sangat hati-hati. Pada trimester kedua, intensitasnya bisa ditingkatkan karena kondisi janin sudah lebih stabil. Namun, saat memasuki trimester ketiga, apalagi menjelang bulan-bulan akhir, sebaiknya lebih dibatasi. Ada waktu-waktu tertentu di mana hubungan suami istri justru dapat membantu proses persalinan nanti, tetapi jangan terlalu sering atau terlalu berlebihan."Noah mendengarkan dengan serius. "Baik, Dok. Saya akan lebih berhati-hati."Jasmine mengerjap pelan. En
Noah tidak menunjukkan ekspresi terganggu. Ia malah tersenyum tipis, lalu menjawab santai, "Dia juga istriku, walau dalam waktu terbatas."Gleo tertawa kecil, menggelengkan kepalanya seolah tidak heran dengan jawaban Noah. "Aku selalu tahu kau punya cara unik dalam menjalani hidup, tapi yang satu ini menarik. Aku penasaran, Noah, kau benar-benar bisa melepaskannya setelah semuanya selesai?"Noah tidak langsung menjawab. Matanya melirik ke arah Jasmine yang masih diam, wajahnya tidak menunjukkan banyak ekspresi, tetapi Noah tahu pertanyaan Gleo barusan pasti meninggalkan sesuatu di pikirannya."Itu urusanku," jawab Noah akhirnya, dengan suara datar tetapi mengandung sesuatu yang sulit ditebak.Gleo hanya mengangkat bahu dan tidak bertanya lebih lanjut. Ia lalu masuk ke mobil, mengantar mereka kembali ke rumah.Selama perjalanan, Jasmine memilih diam. Kata-kata Noah tadi berputar di kepalanya. ’Dalam waktu terbatas…’Ia tahu sejak awal pernikahan ini hanyalah sebuah kontrak, tetapi mend
Jasmine menelan ludahnya, lalu melanjutkan, "Di perjalanan tadi, aku mendengar percakapanmu dengan Gleo. Kau mengatakan bahwa aku juga istrimu, walau dalam waktu terbatas."Noah tersadar. Kini dia mengerti kenapa Jasmine bersikap seperti ini."Jasmine…" Noah mengusap wajahnya. "Kau tahu hubungan kita seperti apa. Aku tidak bermaksud menyakitimu."Jasmine tersenyum kecil, tetapi tidak sampai ke matanya. "Aku tahu, Noah. Aku hanya ingin mendengar langsung darimu. Aku hanya ingin tahu, apakah aku benar-benar hanya seseorang yang kau nikmati dalam batas kontrak ini? Setelah semua yang terjadi di antara kita… aku hanya ingin tahu di mana posisiku."Noah terdiam. Kata-kata itu menusuk sesuatu dalam hatinya, sesuatu yang selama ini coba dia abaikan.Namun, sebelum dia sempat menjawab, Jasmine sudah berdiri."Aku lelah. Aku ingin tidur." katanya pelan, lalu beranjak ke tempat tidur, membelakangi Noah.Noah masih duduk di tepi ranjang, menatap punggung Jasmine dengan ekspresi penuh kebingungan
Noah menatapnya lama sebelum mengangguk. "Baiklah, kita akan menemui mereka sore ini."Jasmine tidak menanggapi lagi. Dia kembali menikmati sarapannya seolah percakapan itu tidak pernah terjadi.Sore harinya, Noah dan Jasmine tiba di salah satu restoran mewah di pusat kota, tempat pertemuan dengan keluarga Bulharm sudah diatur.Jasmine melangkah masuk bersama Noah dengan penuh percaya diri. Dia mengenakan gaun berwarna navy yang menonjolkan perutnya yang semakin membesar, membuatnya terlihat elegan sekaligus tegas.Di dalam, Vanesia sudah duduk bersama ayahnya, Tuan Bulharm, yang terkenal dingin dan penuh perhitungan.Saat melihat Jasmine berjalan masuk bersama Noah, Vanesia mendengus kecil. "Aku tidak mengira kau akan membawanya, Noah."Noah menarik kursi untuk Jasmine sebelum dia duduk di sebelahnya. "Jasmine berhak ada di sini. Apa yang ingin kalian bicarakan juga menya
Keesokan harinya, Oma Dursilla benar-benar datang seperti yang telah direncanakan. Wanita tua itu tampak anggun dengan balutan gaun elegan berwarna gading, dipadukan dengan perhiasan klasik yang menegaskan statusnya sebagai sosok terpandang di keluarga Dirgantara.Langkahnya mantap saat turun dari mobil, namun sorot matanya tajam dan penuh selidik. Kedatangannya ke klinik Dokter Wibisono bukan sekadar kunjungan biasa. Dia ingin memastikan dengan matanya sendiri bahwa janin yang dikandung Zora benar-benar ada.Bagi Noah dan Zora, hari ini adalah ujian yang sangat penting. Jika Oma Dursilla menemukan kejanggalan sedikit saja, kebohongan ini bisa runtuh seketika.Sesuai rencana, Noah berpura-pura sibuk dengan pekerjaan di kantor dan meminta Zora berangkat lebih dulu bersama Oma Dursilla.Di hadapan mereka, Noah harus terlihat sebagai pria yang mendukung kehamilan Zora, meskipun kenyataannya, ia sibuk mengatur strategi di belakang layar.Pagi itu, sebelum meninggalkan mansion Dirgantara, N
Noah segera melangkah maju untuk mengalihkan perhatian. “Oma, kita harus segera pergi, kan? Kau pasti lelah setelah perjalanan jauh dari Beverly Hills.”Namun, wanita tua itu tetap menatap Jasmine dengan penuh selidik. “Kau...” katanya perlahan. “Kenapa kau ada di sini?”Jasmine menggigit bibir bawahnya, berusaha tetap tenang. “Saya... hanya ada janji konsultasi,” jawabnya akhirnya.Oma Dursilla menyipitkan mata. “Konsultasi untuk apa?”Ketegangan di antara mereka semakin memuncak. Zora menelan ludah, tangannya gemetar.Noah merasakan tangannya mengepal tanpa sadar, batinnya. ”Jika Jasmine mengatakan satu hal saja yang salah... semuanya akan berantakan.”Jasmine menarik napas dalam, lalu tersenyum kecil. “Konsultasi nutrisi, Oma.”Oma Dursilla masih menatapnya dengan curiga. Namun sebelum ia sempat bertanya lebih lanjut, dokter Wibisono keluar dari ruangannya.“Ah, Nona Jasmine,” katanya sambil membawa sebuah dokumen. “Ini hasil konsultasi yang Anda minta.”Jasmine mengambil dokumen i
Di sisi lain kota, Zora berdiri di depan cermin besar berbingkai emas di kamar utama rumah Dirgantara. Cermin itu telah menjadi saksi begitu banyak perubahan dalam hidupnya—dari wanita muda ambisius, menjadi istri dari pewaris kekaisaran bisnis, hingga kini... seorang istri yang mulai kehilangan pijakan. Ia merapikan blouse satin putih yang telah ia kenakan puluhan kali, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang makin lama makin sulit ditutupi.Matanya menatap pantulan diri dengan senyum yang hambar—senyum yang ia bentuk hanya sebagai formalitas sosial. Beberapa hari terakhir, gosip dan bisik-bisik di antara sosialita dan direksi perusahaan mulai membentuk luka kecil yang lambat tapi pasti merobek hatinya.Bukan hanya Noah yang berubah. Dunia pun ikut berputar, seolah tak ada tempat lagi untuknya. Mereka bilang Jasmine adalah ibu dari pewaris masa depan keluarga Dirgantara. Mereka menyambut wanita itu seolah-olah dia satu-satunya yang pantas berdiri di sisi Noah.Zora menggigit bibirnya
Jasmine kembali terdiam, pikirannya kembali ke masa lalu. Setelah percakapan emosional itu, Jasmine dan Noah duduk di balkon rumah kecil itu. Hujan masih turun, tapi lebih ringan.“Aku tidak bisa janji semua akan mudah,” kata Noah, menatap gelap malam.“Aku tidak minta mudah,” balas Jasmine. “Aku cuma mau tahu... kamu akan ada di sini. Meski saat aku marah. Saat aku takut. Saat aku ragu.”Noah menoleh, lalu menyentuh perut Jasmine yang membulat.“Aku akan ada. Untuk kamu. Untuk dia.”Dan di bawah langit yang masih menangis, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Jasmine merasakan tenang. Bukan karena semua masalah selesai. Tapi karena ia tahu—ia tak lagi sendiri.Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Jasmine menoleh. Noah muncul dari balik pintu kamar, membawa selimut tambahan dan termos susu.“Sudah tidur?” tanyanya pelan.Jasmine mengangguk. “Baru saja.”Noah berjalan pelan, lalu duduk di sampingnya. Ia menatap bayi mereka, lalu mencium kening Jasmine.“Aku suka malam h
“Waktu kadang menyembuhkan luka, tapi ada jenis luka yang justru membuat kita ingin kembali… hanya untuk memastikan bahwa semuanya memang layak diperjuangkan.”Suara rintik hujan yang menghantam jendela terdengar bagai irama pilu yang menggema di seluruh ruangan. Lampu kamar menyala temaram. Di pelukannya, seorang bayi kecil tertidur dengan damai, napasnya ringan, dadanya naik turun perlahan.Jasmine duduk di kursi goyang dekat jendela, membiarkan matanya tertumbuk pada kegelapan malam di luar sana. Tangannya membelai lembut punggung bayi itu, tapi pikirannya melayang jauh… menuju malam hujan yang sama, tujuh bulan lalu. Malam yang ia kira hanya akan berakhir sebagai luka.Tujuh bulan sebelumnya.Rumah kecil tempat ia tinggal bersama Nina untuk sementara waktu terasa terlalu sunyi malam itu. Angin mengetuk jendela loteng dengan kasar. Jasmine memegangi perutnya yang membuncit—usia kehamilannya memasuki bulan ketujuh, dan setiap gerakan kecil dari dalam kandungannya menjadi pengingat ba
Sore itu, langit di atas rumah kaca menyimpan gradasi warna yang murung. Biru kelabu berbaur dengan oranye pucat, seolah alam pun ikut menyesali semua yang telah terjadi. Angin menyusup masuk lewat sela-sela jendela, membawa aroma bunga melati yang hampir layu. Jasmine berdiri di dekat balkon dengan tangan memeluk tubuhnya sendiri, seakan udara terlalu dingin untuk ditahan, padahal sebenarnya yang dingin adalah hatinya.Sudah berapa lama ia terjebak dalam pusaran luka yang tak pernah benar-benar bisa ia benahi? Sejak pertama kali menerima tawaran menjadi ibu pengganti, hidupnya seperti berubah menjadi cerita yang tak ia kenali.Noah mendekat perlahan, langkahnya nyaris tanpa suara. Ia tidak ingin mengganggu, tapi juga tak sanggup menahan keinginannya untuk bicara. Jasmine tahu dia datang—ia bisa mencium aroma parfum kayu cendana lembut yang biasa Noah pakai. Tapi ia tetap diam, masih terpaku menatap taman kecil yang mulai gelap.“Aku boleh bicara?” tanya Noah perlahan.Kepala Jasmine m
Langit Arenia berwarna keperakan pagi itu, menyelimuti kota dalam cahaya mendung yang lembut. Gedung pusat kebijakan internasional yang menjulang di jantung distrik Saphira tampak megah. Di dalamnya, ratusan kursi telah tertata rapi, mikrofon disiapkan, dan layar besar menampilkan satu kalimat: Forum Etika Global untuk Ibu Pengganti dan Hak Anak.Di kursi utama, Jasmine duduk tenang mengenakan setelan biru tua dengan aksen perak. Tak ada perhiasan mencolok, hanya liontin kecil yang tergantung di lehernya—hadiah terakhir dari ibunya, Sylvia. Di sampingnya, Noah dan Kiara mempersiapkan presentasi utama, sedangkan Evan memantau keamanan data dan jaringan digital.Forum ini bukan sekadar acara simbolik. Jasmine—dengan dukungan penuh dari Project Axis—berinisiatif mengadakan forum ini setelah tekanan internasional terhadap praktik kontrak ibu pengganti yang tidak adil mulai meningkat, menyusul pengakuannya dan penyelidikan terhadap Levara Group.“Sepuluh negara sudah mengirim delegasi,” la
Noah menoleh pada Jasmine. “Apa kamu siap jika Leonhart muncul kembali?”Jasmine menjawab pelan, tapi tegas, “Aku siap. Karena aku tidak lagi melawannya sendirian.”Dan hari itu, suara seorang ibu menggetarkan kota Arenia. Bukan dengan amarah. Tapi dengan keberanian yang lahir dari kasih.Hanya dua hari setelah pidato Jasmine mengguncang Arenia, dampaknya terasa seperti ombak besar yang menyapu seluruh jagat media. Hashtag #IbuUntukZai telah menembus tren global. Wawancara dari pakar hukum, aktivis perempuan, hingga influencer keluarga membanjiri lini masa dengan satu suara: Jasmine layak mendapatkan keadilan.Tapi di tengah dukungan itu, ada kekuatan yang bergerak diam-diam. Di ruang pertemuan bawah tanah sebuah kantor legal internasional di Kairo, seorang pria berambut perak duduk di ujung meja panjang. Ia mengenakan jas gelap yang pas, dan di tangan kirinya ada cincin berlambang burung hitam bersayap patah.Leonhart.“Jadi, gadis kecil itu sekarang memanfaatkan simpati publik?” uca
Matahari Arenia naik perlahan, memantulkan sinarnya pada jendela-jendela kaca yang berbaris rapi di gedung-gedung pusat kota. Tapi pagi itu, sorotan media bukan tertuju pada kemegahan bangunan atau kecanggihan teknologi kota modern tersebut. Fokus mereka adalah satu wanita muda yang berdiri di balik podium sederhana—Jasmine Ayu Kartika.Dalam balutan blazer putih yang elegan namun sederhana, Jasmine berdiri dengan tegak, wajahnya tenang. Di hadapannya, puluhan kamera dari berbagai media siap menangkap setiap kata yang keluar dari mulutnya. Suasana di luar gedung forum publik Arenia benar-benar hening untuk sesaat.“Terima kasih telah datang. Hari ini, saya berdiri bukan sebagai tokoh besar, bukan sebagai pemegang saham, bukan pula sebagai pion dalam perang kekuasaan,” ucap Jasmine membuka pidatonya. “Saya berdiri sebagai seorang ibu.”Beberapa wartawan langsung mengambil gambar, beberapa lainnya menunduk menulis cepat. Kata-kata Jasmine tajam, sederhana, dan langsung menancap ke hati
“Saya tidak berdiri di sini sebagai wanita sempurna,” ucapnya. “Saya bukan pahlawan. Tapi saya tahu, saya adalah seorang ibu. Dan tidak ada kontrak, manipulasi, atau rekayasa hukum yang bisa menghapus cinta seorang ibu dari hatinya.”Ia menatap langsung ke hakim. “Saya tidak meminta apa pun selain kesempatan untuk memeluk anak saya... dan membesarkannya tanpa harus bersembunyi.”Hening menyelimuti ruangan.Hakim mengangguk. “Saya akan memberi putusan sore ini.”Sore itu, seluruh ruangan kembali berkumpul. Cahaya matahari mulai menguning, menandai hari yang panjang akan segera berakhir.Hakim berdiri, membawa map berisi keputusan.“Setelah mempertimbangkan bukti tertulis, kesaksian di bawah sumpah, serta laporan psikologis anak... pengadilan menyatakan bahwa hak asuh penuh atas anak dengan inisial ZJ diberikan kepada Ny. Jasmine Jorse.”Terdengar isakan tertahan dari sisi pendukung Jasmine.Hakim melanjutkan, “Dengan supervisi kunjungan yang diatur terhadap pihak Ny. Zora Dirgantara, s
“Apakah Anda menyangkal bahwa Anda memalsukan keterangan medis Jasmine pasca melahirkan?” tanya hakim tegas.Zora tidak menjawab. Ia hanya menunduk.Noah akhirnya berdiri. “Yang Mulia, saya juga ingin berbicara. Saya sudah cukup lama diam. Tapi hari ini, saya berdiri bukan hanya sebagai ayah, tapi sebagai pria yang menyaksikan semua ketidakadilan ini.”Ia menatap Jasmine sebentar, lalu melanjutkan. “Anak saya... tidak boleh tumbuh besar dalam kebohongan. Ia berhak tahu siapa ibunya. Ia berhak dipeluk dan dicintai tanpa batas. Saya mendukung Jasmine. Bukan karena kami pernah mencintai. Tapi karena... tidak ada ibu yang lebih layak.”Ketika sidang diskors untuk makan siang, kabar dari dalam pengadilan sudah bocor ke media. Tagar #JusticeForJasmine dan #HakAsuhZai mulai trending di media sosial.Di luar gedung, para pendukung mulai berkumpul. Beberapa bahkan membawa papan bertuliskan “Seorang Ibu Adalah Ibu” dan “Zai Berhak Tahu Kebenaran.”Zora keluar lewat pintu samping, wajahnya ditut