Noah duduk di samping tempat tidur, jemarinya masih menggenggam tangan Jasmine yang dingin. Napas perempuan itu lemah, dadanya naik turun dengan ritme yang lambat.Sudah hampir satu jam sejak mereka menyelamatkannya dari laut, tetapi Jasmine belum juga sadar.Setiap detik terasa begitu lambat. Noah menatap wajah Jasmine yang pucat, bibirnya kebiruan karena kedinginan."Cepat sadar, Jasmine," gumam Noah, hampir seperti doa.Pram berdiri tak jauh dari sana, menyandarkan tubuhnya ke dinding dengan tangan terlipat di dada. Matanya yang tajam mengamati Noah, membaca setiap ekspresi pria itu."Dokter bilang dia butuh istirahat," ujar Pram akhirnya.Noah tidak menoleh. "Aku tahu."Pram mendesah pelan. "Kau bisa keluar sebentar. Aku akan menjaganya."Noah akhirnya menoleh, menatap Pram dengan tajam. "Aku tidak akan pergi ke m
Malam semakin larut. Cahaya lampu di dalam kamar redup, memberikan suasana yang tenang, tetapi di dalam hati Noah, ketenangan itu tidak ada. Ia masih duduk di samping Jasmine, memperhatikan wajah perempuan itu yang kini tertidur lelap.Setiap kali mengingat Jasmine hampir kehilangan nyawanya, sesuatu di dalam dirinya terasa mendidih. Amarah, ketakutan, dan rasa bersalah bercampur menjadi satu. Ia mengepalkan tangannya, berusaha mengendalikan perasaan yang semakin kacau."Kau harus lebih waspada, Noah." Suara Pram memecah kesunyian.Pria itu masih berdiri di dekat jendela, menatap keluar ke hamparan laut yang tenang setelah badai.Noah mendongak, menatap Pram dengan sorot tajam. "Apa maksudmu?"Pram menghela napas panjang sebelum berbalik menatap Noah. "Ini bukan hanya soal Jasmine. Ini soal siapa yang ada di balik semua ini. Aku rasa kau tahu lebih banyak dari yang kau katakan."
Setelah perjalanan panjang dan menegangkan, akhirnya kapal mereka bersandar di Pelabuhan Selatan Arthaloka, AirplaGer. Malam masih pekat, tapi aktivitas di pelabuhan tak pernah benar-benar berhenti. Cahaya lampu-lampu dermaga berpendar, menerangi gelombang air yang beriak pelan.Saat pintu kapal terbuka, paramedis yang telah menunggu segera membawa Jasmine ke dalam ambulans. Noah ikut masuk ke dalam kendaraan medis itu, menggenggam tangan Jasmine yang lemah. Matanya tak pernah lepas dari wajah perempuan itu, penuh kekhawatiran yang semakin menghimpit dadanya.Zora yang juga berada di dermaga penuh cemas, ia kemudian bersama Pram ikut dalam mobil lain, duduk dengan gelisah. Ia menghubungi seseorang melalui ponselnya, memastikan semua persiapan di rumah sakit telah siap. Tak peduli seberapa besar kebenciannya terhadap situasi ini, satu hal yang ia tahu: bayi yang dikandung Jasmine harus selamat.***Setibanya di Rumah Sakit Internasional Romanove, tim medis segera membawa Jasmine ke rua
Rumah Sakit Internasional Romanove dipenuhi aroma antiseptik yang menusuk hidung. Cahaya putih dari lampu-lampu koridor menambah kesan dingin, membuat suasana semakin mencekam. Di dalam kamar VIP, Jasmine terbaring dengan wajah pucat. Selang infus terpasang di tangannya, sementara alat pemantau detak jantung bayi terus berbunyi pelan.Noah duduk di kursi di samping ranjang, matanya tak lepas dari wajah Jasmine yang masih terlelap setelah diberikan obat penenang. Jemarinya menyentuh tangan perempuan itu, mengusapnya perlahan. Rasa bersalah semakin menghimpit dadanya.Zora berdiri di dekat jendela, menyilangkan tangan di depan dada. “Kalau kau berniat mengelak lagi, sebaiknya jangan,” ujarnya dingin, tanpa menoleh sedikit pun.Noah menghela napas berat. “Aku tidak akan mengelak.”Zora menoleh, ekspresinya keras. “Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang? Diam saja dan menunggu sampai Vanesia berbuat lebih gila lagi?”Noah mengepalkan tangannya. “Aku sudah menyuruh anak buahku menyelidiki
Rumah Sakit Internasional Romanove masih sunyi, hanya diisi suara alat-alat medis yang berdetak pelan. Di dalam kamar VIP, Jasmine masih tertidur dengan wajah pucat. Noah tetap duduk di sampingnya, menggenggam tangannya seolah takut kehilangan.Zora masih berada di ruangan yang sama, duduk di kursi dekat jendela. Matanya tak lepas dari Jasmine, meskipun pikirannya sedang penuh dengan ancaman Vanesia yang semakin nyata.Tiba-tiba, ponsel Zora kembali bergetar. Ia segera mengambilnya dan melihat nama kontak yang tertera di layarsalah satu informannya. Ia segera mengangkat panggilan itu. “Ada perkembangan?” tanyanya cepat.“Nona Zora, kami menemukan sesuatu. Vanesia Bulharm tidak hanya menghubungi kelompok kriminal, tapi ia juga diduga menyewa seseorang untuk mengawasi setiap pergerakan Anda dan Tuan Noah.” Laporan anak buahnya, dalam panggilan telepon.Darah Zora mendidih. “Apa maksudmu?!”Tidak lama pria di dalam panggilan itu menjawabanya: “Ada pria mencurigakan yang terlihat di sekit
“Kami masih mencari tahu. Tapi ada satu hal yang pasti… ini bukan ancaman biasa.”Zora mengepalkan tangannya. Matanya menajam, penuh kemarahan.Tanpa membuang waktu, ia segera masuk kembali ke kamar. “Noah,” panggilnya tegas.Noah menoleh, melihat ekspresi Zora yang semakin serius. “Apa lagi?”Zora menatapnya tajam. “Kita harus bergerak sekarang. Vanesia punya seseorang di belakangnya, dan kita tidak tahu seberapa jauh mereka bisa bertindak.”Noah berdiri, ekspresinya berubah lebih dingin. “Aku sudah menyiapkan segalanya.”Zora menyipitkan mata. “Kau akan melakukan apa?”Noah tidak menjawab. Ia menoleh ke arah Jasmine yang masih duduk di ranjang, menatap mereka dengan bingung.Zora menatap Noah dengan penuh kewaspadaan. “Katakan padaku kau tidak ak
Pria itu menelan ludah, lalu akhirnya berkata, “Dante.”Noah langsung menegang. Nama itu tidak asing baginya.Zora menatap Noah. “Kau kenal dia?”Noah mengangguk pelan. “Dante adalah salah satu orang yang bekerja untuk kelompok kriminal di Bulgarion.”Zora memutar bola matanya. “Jadi Vanesia benar-benar sudah masuk ke dunia bawah.”Noah mengepalkan tangannya. “Ini sudah melewati batas.”Zora menyeringai. “Apa kau mau kita mainkan permainan yang sama?”Noah menatapnya. “Kita buat mereka menyesal.”Di mansion Dirgantara, Jasmine berjalan pelan di taman belakang. Udara pagi terasa segar, tapi hatinya masih dipenuhi kekhawatiran. Ia merasa ada sesuatu yang besar akan terjadi.Langkahnya terhenti saat mendengar suara la
Wajah Vanesia memucat. “Apa?! Tidak mungkin!”Pria itu tidak peduli. Mereka langsung memborgol tangannya.Dante, yang berdiri di sudut ruangan, menatap pemandangan itu tanpa ekspresi. Ia sudah tahu ini akan terjadi.Vanesia mencoba memberontak. “Lepaskan aku! Aku tidak bersalah!”Tapi semua itu sia-sia. Ia akhirnya diseret keluar kantor dengan wajah penuh kemarahan dan kepanikan.Dan di luar, Noah sudah berdiri dengan jas hitamnya, menatapnya dengan tatapan dingin.Vanesia menggigit bibirnya. “Kau yang melakukan ini?”Noah tidak menjawab. Ia hanya memberi isyarat pada polisi untuk membawanya pergi.Saat Vanesia dimasukkan ke dalam mobil polisi, ia menjerit. “Noah! Kau akan menyesal!”Tapi Noah tetap diam, menatapnya pergi dengan ekspresi dingin.Jasmine, ya
Noah menghela napas panjang, merasa bahwa setiap kata yang dia ucapkan kini terasa seperti beban yang tak bisa dilepaskan. “Jas, kamu harus tahu bahwa aku nggak ingin kamu merasa terjebak di dalam ini. Aku berjanji aku akan menceritakan semuanya.”Jasmine menunduk, matanya terpejam untuk menenangkan diri. “Aku nggak tahu, Noah. Aku... aku butuh waktu untuk memikirkan semuanya.”Noah merasakan hatinya hancur melihat Jasmine seperti itu. Tidak ada kata-kata yang bisa menghibur hatinya yang terluka. Apa yang bisa dia lakukan? Dia sudah berusaha, tapi kenyataannya selalu saja menghalanginya.“Jas,” Noah berkata pelan, hampir berbisik. “Aku akan melakukan apapun untuk kita. Aku janji.”Jasmine hanya mengangguk lemah, tak mampu berkata apa-apa lagi.Sore itu, keduanya terdiam, terjebak dalam perasaan yang tak bisa diungkapkan. Jasmine merasa hatinya terperangkap dalam labirin perasaan yang tak jelas arah tu
Hari itu terasa begitu berat bagi Jasmine. Setiap langkah yang diambil seolah terhenti oleh pikiran yang terus berputar dalam benaknya—semua yang baru saja dia dengar dari Harness. Kebenaran yang mengerikan itu seakan-akan merobek setiap potongan kenyamanan yang selama ini dia percayai. Bahwa dia—Jasmine Ayu Kartika—mungkin bukan siapa-siapa dalam dunia yang begitu besar dan rumit ini, hanya menjadi bagian dari sebuah rahasia yang lebih besar daripada dirinya sendiri.Dia mencoba untuk menenangkan diri, mengatur napas, namun setiap detik yang berlalu hanya menambah beban di dadanya. Ketika akhirnya dia sampai di rumah, rasanya seperti langkahnya terhambat oleh sesuatu yang tak terlihat. Rumah itu, yang biasanya memberikan rasa aman, kini terasa penuh dengan ketegangan. Semua kenyamanan itu hilang begitu saja setelah apa yang dia ketahui.Noah sedang duduk di ruang tamu, seperti biasa, namun ada sesuatu yang berbeda di wajahnya. Ekspresi gelisah yang t
Harness: "Ada yang ingin kamu bicarakan, Jas?"Jasmine menarik napas panjang, berpikir sejenak sebelum akhirnya mengetik balasan.Jasmine: "Apa yang sebenarnya terjadi antara kamu dan Noah? Kenapa kamu selalu ada di sekitar dia, bahkan sampai sekarang?"Beberapa detik berlalu, lalu balasan datang dengan cepat.Harness: "Kamu harus siap untuk mendengarnya. Ada banyak yang nggak kamu ketahui, Jas."Jasmine menelan ludah, merasakan kekhawatiran yang semakin mendalam. Dia bisa merasakan bahwa ini bukan hanya sekedar pertanyaan sederhana. Ada rahasia yang jauh lebih besar di balik semua itu—rahasia yang bisa mengubah segalanya.Tanpa memberi tahu Noah, Jasmine memutuskan untuk bertemu dengan Harness, merasakan sebuah dorongan kuat untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi antara mereka.Sore itu, Jasmine berjalan menyusuri jalan setapak menuju kafe yang sering digunakan oleh Harness untuk bertemu denga
Kata-kata itu seperti menampar wajah Noah. Sakit. Bahkan lebih sakit daripada yang dia kira. Namun, di balik rasa sakit itu, ada sebuah kebenaran yang sulit dia terima. “Aku... aku takut kehilangan kamu, Jas,” jawab Noah dengan suara pelan. “Aku tahu aku nggak sempurna, dan aku juga tahu aku punya banyak kesalahan. Tapi aku nggak ingin kamu pergi.”Jasmine menarik napas, rasanya ada banyak kata yang ingin dia ucapkan, tapi bibirnya terasa terbungkam. Semua perasaan itu berkecamuk dalam hatinya. “Kamu bisa bilang itu, Noah, tapi aku nggak tahu lagi mana yang lebih nyata—kamu atau kenanganmu tentang semua yang telah terjadi sebelumnya. Kamu nggak bisa terus menghubung-hubungkan aku dengan masa lalu kamu.”Noah terdiam, rasa frustrasi merayapi dirinya. Dia sudah berusaha menjaga semuanya tetap utuh, tapi ada banyak hal yang belum dia ceritakan pada Jasmine—rahasia yang lebih dalam dari yang dia kira. Tentang Oma, tentang Harness, tentang masa lalu yang tak pernah benar-benar hilang.“Apa
“Kamu nggak perlu khawatir soal dia, Jas,” kata Noah tiba-tiba.Jasmine menoleh cepat. “Aku... nggak mikirin itu.”Noah menatap lurus ke arahnya, ekspresi serius. “Aku nggak bisa ngendaliin masa lalu. Tapi aku tahu siapa yang aku mau ada di masa depan.”Hening sesaat. Hanya suara angin dari jendela yang terbuka, menggoyang tirai tipis yang menggantung setengah kusam.“Aku nggak biasa dikasih kata-kata kayak gitu,” ucap Jasmine pelan.“Ya udah, aku ubah pakai bahasa teknik.”“Oh no.”Noah tersenyum kecil. “Kalau hubungan ini ibarat mesin, kamu tuh gear paling utama. Tanpa kamu, semua sistem nggak jalan.”Jasmine menahan tawa, tapi air matanya menggenang tanpa izin. “Kamu norak banget.”“Tapi berhasil bikin kamu nangis.”Dia menghapus air mata Jasmine dengan ibu jarinya, lembut, tidak memaksa.“Aku takut semua ini terlalu indah buat nyata,” bisik Jasmine. “Kita bahagia, lalu tiba-tiba...”Noah menggenggam tangannya, erat. “Aku juga takut. Tapi kita nggak harus jadi sempurna untuk jadi n
Noah yang mulai merasa ada yang aneh dengan pembicaraan ini menatap Harness dengan serius. "Apa yang kau maksud, Harness?" tanya Noah, suaranya mulai penuh dengan kecurigaan.Harness tidak langsung menjawab, melainkan menatap mereka berdua sejenak. "Mungkin ini saat yang tepat untuk lebih banyak memahami satu sama lain," jawabnya pelan, kemudian berbalik dan berjalan keluar dari ruangan.Noah menatapnya dengan tatapan bingung. "Ada apa dengan dia?" gumamnya pelan.Jasmine hanya diam, merasa semakin tertekan dengan keadaan yang semakin membingungkan. "Aku harus pergi," katanya dengan suara pelan, berbalik menuju pintu. "Aku tidak bisa terus seperti ini."Noah hendak mengejarnya, namun Jasmine sudah lebih dulu keluar dari ruangan. Perasaannya semakin kacau, tidak tahu harus bagaimana.Jasmine keluar dan berjalan cepat menuju taman belakang, menghindari tatapan Noah yang semakin membuatnya merasa tertekan. Ia tahu, ada sesuatu yang menghalangi hubungan mereka, tapi ia juga merasa seperti
Pagi itu terasa lebih sepi dari biasanya. Jasmine duduk di ruang tamu besar, tangan terlipat di atas meja, menatap pemandangan taman yang tampak redup karena hujan yang baru saja reda. Matanya terlihat kosong, seolah tidak ada hal yang benar-benar menarik perhatiannya. Namun, dalam diamnya itu, pikirannya penuh dengan kebingungan."Kenapa aku merasa seperti ini?" gumamnya pelan, meraba perasaannya yang semakin terhimpit oleh ketegangan yang ia ciptakan sendiri.Pintu ruang tamu terbuka perlahan, dan Noah muncul di ambang pintu. Ia menatap Jasmine dengan ekspresi cemas, tampak sedikit gelisah. "Jasmine," panggilnya, suara itu lembut, penuh kekhawatiran. "Kau baik-baik saja?"Jasmine menoleh pelan, namun tidak mengatakan apa-apa. "Aku baik-baik saja." Jawabnya, namun suaranya terdengar hampa, hampir tak ada gairah.Noah berjalan mendekat, menatap wajahnya dengan penuh perhatian. "Aku tahu kau bilang baik-baik saja, tapi..." Ia berhenti sejenak, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "K
“Jasmine, kau harus mendengarku,” suara Noah terdengar serak. Ia baru saja masuk ke ruang makan setelah berbicara dengan keluarganya. Jasmine sedang duduk di meja, menatap langit lewat jendela, tampak merenung dengan wajah yang jauh.Jasmine menoleh perlahan, matanya mengisyaratkan pertanyaan tanpa kata. "Ada apa, Noah?"Noah berjalan mendekat, duduk di sebelahnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Kau tampak berbeda belakangan ini. Ada yang mengganggumu?"Jasmine menghela napas, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. "Aku baik-baik saja." Ia berusaha tersenyum, meski senyum itu terasa terpaksa. "Hanya sedikit lelah."Noah menatapnya lebih dalam, merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Jasmine, jangan menutupi perasaanmu dariku. Apa yang sebenarnya terjadi?"Jasmine mengalihkan pandangannya lagi ke luar jendela, mengamati riak-riak air di kolam. "Aku cuma merasa... cemas." Suaranya terdengar pelan, hampir seperti bisikan. "Kau tahu, aku datang ke sini dengan harapan bisa menjadi ba
Di sisi lain kota, Zora berdiri di depan cermin besar berbingkai emas di kamar utama rumah Dirgantara. Cermin itu telah menjadi saksi begitu banyak perubahan dalam hidupnya—dari wanita muda ambisius, menjadi istri dari pewaris kekaisaran bisnis, hingga kini... seorang istri yang mulai kehilangan pijakan. Ia merapikan blouse satin putih yang telah ia kenakan puluhan kali, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang makin lama makin sulit ditutupi.Matanya menatap pantulan diri dengan senyum yang hambar—senyum yang ia bentuk hanya sebagai formalitas sosial. Beberapa hari terakhir, gosip dan bisik-bisik di antara sosialita dan direksi perusahaan mulai membentuk luka kecil yang lambat tapi pasti merobek hatinya.Bukan hanya Noah yang berubah. Dunia pun ikut berputar, seolah tak ada tempat lagi untuknya. Mereka bilang Jasmine adalah ibu dari pewaris masa depan keluarga Dirgantara. Mereka menyambut wanita itu seolah-olah dia satu-satunya yang pantas berdiri di sisi Noah.Zora menggigit bibirnya