Wajah Vanesia memucat. “Apa?! Tidak mungkin!”
Pria itu tidak peduli. Mereka langsung memborgol tangannya.
Dante, yang berdiri di sudut ruangan, menatap pemandangan itu tanpa ekspresi. Ia sudah tahu ini akan terjadi.
Vanesia mencoba memberontak. “Lepaskan aku! Aku tidak bersalah!”
Tapi semua itu sia-sia. Ia akhirnya diseret keluar kantor dengan wajah penuh kemarahan dan kepanikan.
Dan di luar, Noah sudah berdiri dengan jas hitamnya, menatapnya dengan tatapan dingin.
Vanesia menggigit bibirnya. “Kau yang melakukan ini?”
Noah tidak menjawab. Ia hanya memberi isyarat pada polisi untuk membawanya pergi.
Saat Vanesia dimasukkan ke dalam mobil polisi, ia menjerit. “Noah! Kau akan menyesal!”
Tapi Noah tetap diam, menatapnya pergi dengan ekspresi dingin.
Jasmine, ya
Hari-hari berlalu, dan hubungan Jasmine dengan Zora semakin dekat. Suatu hari, Zora mengajaknya untuk berbelanja.“Kita perlu membeli beberapa barang baru untuk rumah,” kata Zora dengan senyum lembut. “Bagaimana kalau kau ikut denganku? Sekalian kita mencari sesuatu yang kau butuhkan.”Jasmine sedikit ragu, tapi akhirnya mengangguk. “Baiklah.”Mereka pergi ke butik terkenal di pusat kota. Zora tampak sangat antusias memilih pakaian dan aksesori, sementara Jasmine hanya sesekali memberikan pendapat.Saat mereka berada di bagian gaun, Zora mengambil satu gaun berwarna biru tua dan menyerahkannya pada Jasmine.“Kau harus mencoba ini,” ucapnya penuh semangat.Jasmine mengambil gaun itu dengan sedikit canggung. “Aku?”Zora mengangguk. “Tentu saja. Aku yakin gaun in
“Itu… yang membuatku merasa bersalah,” ucap Zora lirih. “Tapi mau bagaimana lagi? Aku mencintaimu, Noah. Aku tidak bisa kehilanganmu.”Hening.Jasmine berdiri kaku di tempatnya, air matanya hampir jatuh. Ia menggigit bibirnya, berusaha keras menahan emosi yang meluap-luap di dalam dadanya. Perasaan sakit dan dikhianati membanjiri hatinya.Ia telah berusaha menjaga perasaan Zora, mencoba menghormati batasan mereka, bahkan mulai menganggap Zora segalanya. Tapi kini, ia menyadari bahwa semua perlakuan baik itu bukan karena tulus. Itu semua hanya bagian dari sebuah rencana untuk mempertahankan pernikahan Zora dan Noah.”Aku hanya alat.” Jasmine merasa nafasnya sesak. Ia harus pergi dari sini sebelum dirinya kehilangan kendali.Dengan langkah ringan namun tergesa, ia berjalan menjauh sebelum ada yang menyadari keberadaannya.&
Pagi-pagi sekali, sebelum siapa pun bangun, Jasmine mulai mengemasi barang-barangnya. Ia memasukkan pakaian dan barang-barang penting ke dalam koper kecil, memastikan bahwa ia tidak meninggalkan apa pun yang berarti.Setelah selesai, ia berdiri di depan cermin sekali lagi, menatap dirinya sendiri.”Saatnya pergi.”Jasmine menarik napas dalam-dalam, lalu meraih koper dan membuka pintu kamar dengan hati-hati. Langkahnya pelan dan terukur, memastikan bahwa tidak ada yang menyadari kepergiannya.Namun, saat ia hampir mencapai pintu utama, suara berat menghentikan langkahnya.“Noah?”Jantungnya berdetak lebih cepat saat melihat pria itu berdiri di ujung lorong, menatapnya dengan mata tajam.“Kau mau ke mana?” tanya Noah dingin.Jasmine menggenggam koper di tangannya lebih erat. “Aku… aku hanya ingin pergi sebentar.&rd
Jasmine sedikit tertegun, tetapi dengan cepat menyembunyikan keterkejutannya. “Kenapa tiba-tiba bertanya begitu?”Juan menyandarkan punggungnya ke kursi. “Aku hanya penasaran. Kau selalu datang sendiri untuk kontrol. Tidak ada suami yang menemani, tidak ada yang menanyakan kondisimu secara langsung di rumah sakit… dan yang paling mencurigakan, aku tidak pernah melihat cincin di jarimu.”Jasmine tersenyum kecil, lalu mengangkat tangannya seolah ingin menunjukkan sesuatu. “Aku memang jarang memakai cincin pernikahan.”Juan mengernyit. “Lalu, di mana suamimu sekarang?”Jasmine menatapnya dengan ekspresi tenang. “Seperti yang orang-orang tahu… suamiku sedang bertugas di daerah konflik.”Juan terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. “Jadi dia tentara?”Jasmine tersenyum samar. &ld
Zora menatapnya tajam. “Noah peduli padamu. Bahkan jika dia tidak menyadarinya sendiri.”Jasmine terdiam. Kata-kata itu seharusnya membuatnya merasa lebih baik, tetapi entah kenapa justru membuat dadanya semakin sesak.“Dia tidak mencariku,” gumam Jasmine lirih. “Bagaimana bisa kau mengatakan bahwa dia peduli?”Zora tersenyum tipis. “Karena Noah adalah pria yang keras kepala. Dia mungkin tidak mencarimu sekarang, tapi bukan berarti dia tidak memikirkanmu.”Jasmine menggigit bibirnya, merasa perasaannya semakin kacau.Zora menyesap kopinya pelan sebelum berkata, “Aku hanya ingin kau tahu, apa pun yang terjadi, aku tidak akan menghalangimu untuk mendapatkan kebahagiaanmu sendiri.”Jasmine menatapnya dengan ekspresi bingung.“Apa maksudmu?”Zora menghela napas panjang. &l
“Menghindari kenyataan bahwa aku tidak bisa mengabaikanmu.”Jantung Jasmine berdetak lebih cepat.Noah mengambil satu langkah mendekat. “Aku pikir dengan menjauh, aku bisa berpikir lebih jernih. Aku pikir dengan membiarkanmu sendiri, aku bisa menemukan jawabannya.”Jasmine menahan napas, menunggu kata-kata berikutnya.Noah menatap jasmine dalam, melanjutkan kalimatnya. “Tapi semakin aku menjauh, semakin aku menyadari bahwa aku tidak bisa berhenti memikirkanmu.”Jasmine menelan ludah. Ia tidak tahu harus merasa senang atau justru lebih terluka. “Noah…”Pria itu menatapnya dalam-dalam. “Aku tidak tahu apakah aku pantas untuk mengatakan ini sekarang, tetapi… aku merindukanmu, Jasmine.”Jasmine merasakan matanya memanas. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak ada kata-kata yang bisa kelua
Jasmine tertawa kecil. “Kenapa kau begitu penasaran?”Juan menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Karena aku mengenalmu, Jasmine. Dan aku tahu, ada sesuatu yang kau sembunyikan.”Jasmine mengangkat bahu, lalu menjawab dengan nada santai, “Seperti yang orang tahu, suamiku berada di daerah konflik. Dia sedang bertugas.”Juan memperhatikan ekspresi Jasmine dengan seksama, mencoba mencari kebohongan di sana. Tetapi Jasmine tetap tenang, tidak menunjukkan sedikit pun keraguan dalam kata-katanya.Juan menghela napas panjang. “Baiklah. Aku tidak akan memaksamu untuk memberitahuku jika kau tidak ingin.”Jasmine hanya tersenyum, menyesap jusnya dengan santai.Juan menatapnya sejenak sebelum berbicara lagi. “Tapi Jasmine… apa kau bahagia?”Pertanyaan itu membuat Jasmine terdiam. Ia menata
Noah menghela napas panjang, jemarinya sedikit menegang di atas tangan Jasmine. “Aku tidak akan berbohong padamu, Jasmine. Aku dan Zora punya sejarah panjang. Tapi aku ingin kau tahu bahwa aku tidak berpura-pura saat bersamamu.”Hati Jasmine bergetar. Ia tidak tahu harus mengatakan apa.Lalu tiba-tiba, Noah bergerak lebih dekat, wajahnya hanya berjarak beberapa inci darinya. Jasmine bisa merasakan napas pria itu menyapu pipinya, menciptakan sensasi menggelitik yang membuat jantungnya berdebar lebih cepat.“Noah…” Suara jasmine terdengar lirih.“Bolehkah aku menciummu?” Noah bertanya dengan suara lembut, seolah memberi Jasmine kesempatan untuk menolak.Jasmine menatap matanya, dan dalam sekejap, semua logika runtuh. Tanpa menjawab, ia mengangguk pelan.Noah tidak menunggu lebih lama. Bibirnya menyentuh bibir Jasmine d
Di sisi lain kota, Zora berdiri di depan cermin besar berbingkai emas di kamar utama rumah Dirgantara. Cermin itu telah menjadi saksi begitu banyak perubahan dalam hidupnya—dari wanita muda ambisius, menjadi istri dari pewaris kekaisaran bisnis, hingga kini... seorang istri yang mulai kehilangan pijakan. Ia merapikan blouse satin putih yang telah ia kenakan puluhan kali, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang makin lama makin sulit ditutupi.Matanya menatap pantulan diri dengan senyum yang hambar—senyum yang ia bentuk hanya sebagai formalitas sosial. Beberapa hari terakhir, gosip dan bisik-bisik di antara sosialita dan direksi perusahaan mulai membentuk luka kecil yang lambat tapi pasti merobek hatinya.Bukan hanya Noah yang berubah. Dunia pun ikut berputar, seolah tak ada tempat lagi untuknya. Mereka bilang Jasmine adalah ibu dari pewaris masa depan keluarga Dirgantara. Mereka menyambut wanita itu seolah-olah dia satu-satunya yang pantas berdiri di sisi Noah.Zora menggigit bibirnya
Jasmine kembali terdiam, pikirannya kembali ke masa lalu. Setelah percakapan emosional itu, Jasmine dan Noah duduk di balkon rumah kecil itu. Hujan masih turun, tapi lebih ringan.“Aku tidak bisa janji semua akan mudah,” kata Noah, menatap gelap malam.“Aku tidak minta mudah,” balas Jasmine. “Aku cuma mau tahu... kamu akan ada di sini. Meski saat aku marah. Saat aku takut. Saat aku ragu.”Noah menoleh, lalu menyentuh perut Jasmine yang membulat.“Aku akan ada. Untuk kamu. Untuk dia.”Dan di bawah langit yang masih menangis, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Jasmine merasakan tenang. Bukan karena semua masalah selesai. Tapi karena ia tahu—ia tak lagi sendiri.Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Jasmine menoleh. Noah muncul dari balik pintu kamar, membawa selimut tambahan dan termos susu.“Sudah tidur?” tanyanya pelan.Jasmine mengangguk. “Baru saja.”Noah berjalan pelan, lalu duduk di sampingnya. Ia menatap bayi mereka, lalu mencium kening Jasmine.“Aku suka malam h
“Waktu kadang menyembuhkan luka, tapi ada jenis luka yang justru membuat kita ingin kembali… hanya untuk memastikan bahwa semuanya memang layak diperjuangkan.”Suara rintik hujan yang menghantam jendela terdengar bagai irama pilu yang menggema di seluruh ruangan. Lampu kamar menyala temaram. Di pelukannya, seorang bayi kecil tertidur dengan damai, napasnya ringan, dadanya naik turun perlahan.Jasmine duduk di kursi goyang dekat jendela, membiarkan matanya tertumbuk pada kegelapan malam di luar sana. Tangannya membelai lembut punggung bayi itu, tapi pikirannya melayang jauh… menuju malam hujan yang sama, tujuh bulan lalu. Malam yang ia kira hanya akan berakhir sebagai luka.Tujuh bulan sebelumnya.Rumah kecil tempat ia tinggal bersama Nina untuk sementara waktu terasa terlalu sunyi malam itu. Angin mengetuk jendela loteng dengan kasar. Jasmine memegangi perutnya yang membuncit—usia kehamilannya memasuki bulan ketujuh, dan setiap gerakan kecil dari dalam kandungannya menjadi pengingat ba
Sore itu, langit di atas rumah kaca menyimpan gradasi warna yang murung. Biru kelabu berbaur dengan oranye pucat, seolah alam pun ikut menyesali semua yang telah terjadi. Angin menyusup masuk lewat sela-sela jendela, membawa aroma bunga melati yang hampir layu. Jasmine berdiri di dekat balkon dengan tangan memeluk tubuhnya sendiri, seakan udara terlalu dingin untuk ditahan, padahal sebenarnya yang dingin adalah hatinya.Sudah berapa lama ia terjebak dalam pusaran luka yang tak pernah benar-benar bisa ia benahi? Sejak pertama kali menerima tawaran menjadi ibu pengganti, hidupnya seperti berubah menjadi cerita yang tak ia kenali.Noah mendekat perlahan, langkahnya nyaris tanpa suara. Ia tidak ingin mengganggu, tapi juga tak sanggup menahan keinginannya untuk bicara. Jasmine tahu dia datang—ia bisa mencium aroma parfum kayu cendana lembut yang biasa Noah pakai. Tapi ia tetap diam, masih terpaku menatap taman kecil yang mulai gelap.“Aku boleh bicara?” tanya Noah perlahan.Kepala Jasmine m
Langit Arenia berwarna keperakan pagi itu, menyelimuti kota dalam cahaya mendung yang lembut. Gedung pusat kebijakan internasional yang menjulang di jantung distrik Saphira tampak megah. Di dalamnya, ratusan kursi telah tertata rapi, mikrofon disiapkan, dan layar besar menampilkan satu kalimat: Forum Etika Global untuk Ibu Pengganti dan Hak Anak.Di kursi utama, Jasmine duduk tenang mengenakan setelan biru tua dengan aksen perak. Tak ada perhiasan mencolok, hanya liontin kecil yang tergantung di lehernya—hadiah terakhir dari ibunya, Sylvia. Di sampingnya, Noah dan Kiara mempersiapkan presentasi utama, sedangkan Evan memantau keamanan data dan jaringan digital.Forum ini bukan sekadar acara simbolik. Jasmine—dengan dukungan penuh dari Project Axis—berinisiatif mengadakan forum ini setelah tekanan internasional terhadap praktik kontrak ibu pengganti yang tidak adil mulai meningkat, menyusul pengakuannya dan penyelidikan terhadap Levara Group.“Sepuluh negara sudah mengirim delegasi,” la
Noah menoleh pada Jasmine. “Apa kamu siap jika Leonhart muncul kembali?”Jasmine menjawab pelan, tapi tegas, “Aku siap. Karena aku tidak lagi melawannya sendirian.”Dan hari itu, suara seorang ibu menggetarkan kota Arenia. Bukan dengan amarah. Tapi dengan keberanian yang lahir dari kasih.Hanya dua hari setelah pidato Jasmine mengguncang Arenia, dampaknya terasa seperti ombak besar yang menyapu seluruh jagat media. Hashtag #IbuUntukZai telah menembus tren global. Wawancara dari pakar hukum, aktivis perempuan, hingga influencer keluarga membanjiri lini masa dengan satu suara: Jasmine layak mendapatkan keadilan.Tapi di tengah dukungan itu, ada kekuatan yang bergerak diam-diam. Di ruang pertemuan bawah tanah sebuah kantor legal internasional di Kairo, seorang pria berambut perak duduk di ujung meja panjang. Ia mengenakan jas gelap yang pas, dan di tangan kirinya ada cincin berlambang burung hitam bersayap patah.Leonhart.“Jadi, gadis kecil itu sekarang memanfaatkan simpati publik?” uca
Matahari Arenia naik perlahan, memantulkan sinarnya pada jendela-jendela kaca yang berbaris rapi di gedung-gedung pusat kota. Tapi pagi itu, sorotan media bukan tertuju pada kemegahan bangunan atau kecanggihan teknologi kota modern tersebut. Fokus mereka adalah satu wanita muda yang berdiri di balik podium sederhana—Jasmine Ayu Kartika.Dalam balutan blazer putih yang elegan namun sederhana, Jasmine berdiri dengan tegak, wajahnya tenang. Di hadapannya, puluhan kamera dari berbagai media siap menangkap setiap kata yang keluar dari mulutnya. Suasana di luar gedung forum publik Arenia benar-benar hening untuk sesaat.“Terima kasih telah datang. Hari ini, saya berdiri bukan sebagai tokoh besar, bukan sebagai pemegang saham, bukan pula sebagai pion dalam perang kekuasaan,” ucap Jasmine membuka pidatonya. “Saya berdiri sebagai seorang ibu.”Beberapa wartawan langsung mengambil gambar, beberapa lainnya menunduk menulis cepat. Kata-kata Jasmine tajam, sederhana, dan langsung menancap ke hati
“Saya tidak berdiri di sini sebagai wanita sempurna,” ucapnya. “Saya bukan pahlawan. Tapi saya tahu, saya adalah seorang ibu. Dan tidak ada kontrak, manipulasi, atau rekayasa hukum yang bisa menghapus cinta seorang ibu dari hatinya.”Ia menatap langsung ke hakim. “Saya tidak meminta apa pun selain kesempatan untuk memeluk anak saya... dan membesarkannya tanpa harus bersembunyi.”Hening menyelimuti ruangan.Hakim mengangguk. “Saya akan memberi putusan sore ini.”Sore itu, seluruh ruangan kembali berkumpul. Cahaya matahari mulai menguning, menandai hari yang panjang akan segera berakhir.Hakim berdiri, membawa map berisi keputusan.“Setelah mempertimbangkan bukti tertulis, kesaksian di bawah sumpah, serta laporan psikologis anak... pengadilan menyatakan bahwa hak asuh penuh atas anak dengan inisial ZJ diberikan kepada Ny. Jasmine Jorse.”Terdengar isakan tertahan dari sisi pendukung Jasmine.Hakim melanjutkan, “Dengan supervisi kunjungan yang diatur terhadap pihak Ny. Zora Dirgantara, s
“Apakah Anda menyangkal bahwa Anda memalsukan keterangan medis Jasmine pasca melahirkan?” tanya hakim tegas.Zora tidak menjawab. Ia hanya menunduk.Noah akhirnya berdiri. “Yang Mulia, saya juga ingin berbicara. Saya sudah cukup lama diam. Tapi hari ini, saya berdiri bukan hanya sebagai ayah, tapi sebagai pria yang menyaksikan semua ketidakadilan ini.”Ia menatap Jasmine sebentar, lalu melanjutkan. “Anak saya... tidak boleh tumbuh besar dalam kebohongan. Ia berhak tahu siapa ibunya. Ia berhak dipeluk dan dicintai tanpa batas. Saya mendukung Jasmine. Bukan karena kami pernah mencintai. Tapi karena... tidak ada ibu yang lebih layak.”Ketika sidang diskors untuk makan siang, kabar dari dalam pengadilan sudah bocor ke media. Tagar #JusticeForJasmine dan #HakAsuhZai mulai trending di media sosial.Di luar gedung, para pendukung mulai berkumpul. Beberapa bahkan membawa papan bertuliskan “Seorang Ibu Adalah Ibu” dan “Zai Berhak Tahu Kebenaran.”Zora keluar lewat pintu samping, wajahnya ditut