Jasmine memandangi layar ponselnya dengan ragu. Pesan misterius yang baru saja masuk masih terpampang jelas di layar:
"Aku bisa memberimu bukti, tapi kau harus menemuiku sendirian."
Tangannya sedikit gemetar saat ia mengetik balasan. "Di mana?"
Beberapa detik berlalu sebelum pesan lain masuk. "Midtown Hotel, lantai 15, kamar 1507. Datang jam 10 malam. Jangan bawa siapa pun."
Jasmine menggigit bibirnya. Ini bisa jadi jebakan, tapi nalurinya mengatakan bahwa ini adalah kesempatan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang bisa benar-benar menghancurkan Zora, Juan, Leonard, dan Pradipta.
Ia menoleh ke arah Noah, yang masih berbicara di telepon dengan ekspresi tegang. Ia tahu Noah tidak akan membiarkannya pergi sendirian. Tapi untuk pertama kalinya, Jasmine merasa bahwa ini adalah sesuatu yang harus ia lakukan sendiri.
Dengan cepat, ia mengunci layar ponselnya dan memasukkannya ke dalam saku. Ia sudah men
Jasmine menoleh perlahan. Tatapan mereka bertemu.“Kamu nggak tidur?” tanya Noah, akhirnya bersuara.“Aku butuh udara segar,” jawab Jasmine, suaranya tenang tapi tidak dingin.Noah ragu sejenak, lalu duduk di bangku panjang di sebelahnya. Ada jeda panjang di antara mereka. Hanya suara malam yang menjadi saksi, dan detak jantung yang seakan menanti sesuatu terjadi.“Aku nemu ini,” kata Jasmine, mengangkat album kecil itu. “Waktu beberes tadi siang.”Noah mengangguk. “Itu album yang aku simpan... setelah kamu pergi.”Jasmine menatap satu halaman di mana mereka berdiri di tepi pantai, tertawa seperti tak ada hari esok.“Dulu, rasanya kita nggak akan pernah saling menyakiti,” bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri daripada untuk Noah.Noah menunduk. “Aku pun pernah berpikir begitu.”Keheningan kembali turun, kali ini lebih berat. Tapi tidak lagi penuh kebencian. Yang tersisa di antara mereka hanyalah kelelahan dan rasa kehilangan yang belum benar-benar sembuh.“Kadang... aku benci diriku
Noah mengangguk, ragu. “Itu yang sedang dia gali. Makanya dia mengutus Harness. Dan sekarang dia mulai menyebar pengaruhnya ke anggota keluarga yang lain.”Suasana mendadak jadi berat. Udara di ruangan itu seolah menebal.“Kalau memang benar aku... cucu dari wanita itu, apa artinya buat kita?” suara Jasmine lirih, hampir tak terdengar.Noah menatapnya, lalu mengambil tangannya. “Artinya kamu punya hak yang sama. Bukan berarti kamu musuh. Tapi Oma melihatnya berbeda. Dia menganggap itu sebagai ancaman.”“Aku bukan ancaman buat siapa-siapa, Noah,” kata Jasmine tegas, meski suaranya bergetar. “Aku nggak pernah minta lahir dari siapa pun. Aku bahkan nggak tahu siapa orang tuaku yang sebenarnya.”Noah meremas jemarinya lembut. “Dan kamu nggak sendirian. Kita akan telusuri ini. Bukan untuk membenarkan apa yang mereka katakan, tapi untuk menjawab semua yang selama ini digantungkan.”Jasmine mengangguk, meski pikirannya masih kacau. “Apa kamu... yakin kamu bisa hadapi Oma?”“Selama ini aku te
“Aku takut kamu pergi,” jawab Noah jujur. “Aku tahu kamu sudah terlalu sering disakiti, dan aku nggak mau jadi alasan kamu merasa hancur lagi.”Jasmine mengembuskan napas panjang, lalu memeluk tubuhnya sendiri. “Ini terlalu gila, Noah. Setelah semua yang kita lalui... sekarang malah muncul keraguan dari keluargamu sendiri.”“Aku tahu,” kata Noah. “Tapi dengar, Jas. Aku nggak peduli siapa kamu, dari mana kamu berasal, bahkan kalaupun benar kamu punya hubungan masa lalu dengan keluargaku, itu nggak mengubah apa pun.”Jasmine menggigit bibir bawahnya. Ada rasa getir yang menyesap pelan-pelan. “Tapi aku peduli, Noah. Kamu lupa? Seluruh hidupku pernah dipenuhi kebohongan. Dan sekarang, aku harus menghadapi kemungkinan bahwa semua ini... hanya lingkaran dari rahasia lama.”Noah menghela napas panjang, lalu berjalan mendekat dan menggenggam wajah Jasmine. “Kalau memang ada kebenaran di balik semua ini, kita cari tahu sama-sama. Tapi kamu nggak sendiri. Aku di sini. Aku nggak akan ke mana-man
Tangannya menggenggam tangan Jasmine, erat. “Aku mencintaimu, Jas. Itu tidak berubah.”Jasmine menatap matanya. “Tapi kalau yang mereka bilang benar... kalau aku memang anak dari hubungan rahasia ayahmu—artinya...”“Kau tetap perempuan yang aku cintai.” Noah tak membiarkannya menyelesaikan kalimat. “Mau kau siapa pun, dari mana pun, masa lalu itu tidak membuatku berubah. Aku tahu hatimu. Aku tahu kamu bukan orang jahat.”Air mata Jasmine mengalir. “Aku hanya takut... semua ini terlalu rumit.”Noah mengangguk. “Memang rumit. Tapi kita hadapi. Bersama.”Di tempat lain, Oma Dursila duduk sendiri di ruang kerjanya. Di meja kayu antik yang telah menampung berbagai rahasia keluarga selama puluhan tahun, ia membuka satu amplop terakhir dari penyelidik pribadinya.Satu lembar foto tua. Seorang wanita muda dengan wajah yang sangat mirip Jasmine, berdiri di samping seorang pria yang tak asing baginya—Dirgantara Sr.Dan catatan di bawahnya: “Astari Wulandari. Perempuan yang pernah menghilang set
Langkah Noah terdengar mantap menyusuri lorong menuju ruang tamu, tapi di balik wajah tenangnya, pikirannya berkecamuk. Setelah semua percakapannya dengan Jasmine semalam—yang meskipun singkat, terasa begitu penting—ia tidak menduga pagi ini harus kembali berhadapan dengan masa lalu... dan dengan Harness.Begitu pintu ruang tamu dibuka, Noah menemukan Harness berdiri dekat jendela, memandangi taman depan seperti sedang menyusun strategi. Penampilannya rapi seperti biasa—kemeja putih tanpa kerutan, jas abu-abu ringan, dan aroma parfum mahal yang terlalu kentara. Tapi yang lebih mengganggu Noah bukan penampilan pria itu, melainkan ekspresi matanya yang terlalu tenang. Terlalu yakin.“Noah,” sapanya, menoleh dengan senyum lebar yang terasa dingin. “Akhirnya kita bisa bicara.”Noah tidak menjawab langsung. Ia melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. “Apa yang kamu mau, Harness?”“Santai dulu.” Harness duduk tanpa diminta, menyilangkan kaki dengan sikap familiar yang mengganggu. “Aku
Kabut pagi menggantung rendah ketika mobil yang dikendarai Noah melintasi jalan kecil berliku menuju sebuah desa tua di pinggiran kota. Tanah lapang dan hamparan sawah mengapit mereka di kiri kanan, menciptakan suasana tenang namun mencekam. Di sampingnya, Jasmine duduk diam, memeluk tasnya erat. Matanya tak lepas dari pemandangan luar, meski pikirannya jauh melayang ke masa lalu yang perlahan terkuak.“Mereka bilang Ibu Nur tinggal di sini setelah keluar dari rumah keluarga Dirgantara?” gumam Jasmine tanpa berpaling.Noah mengangguk. “Menurut catatan sipil, dia sempat mengajar mengaji dan jadi bidan di desa ini. Tapi setelah dia wafat, tak banyak yang tahu soal riwayatnya.”Mereka akhirnya tiba di sebuah rumah kayu sederhana dengan pagar kayu lapuk dan halaman kecil yang ditumbuhi rumput liar. Seorang wanita paruh baya keluar saat mendengar suara mobil berhenti.“Selamat pagi,” sapa Noah sopan sambil turun dari mobil. “Kami mencari informasi tentang Bu Nur Halimah... Apakah benar bel