Noah mengerem mobilnya perlahan di depan rumah kecil Jasmine yang terletak tidak jauh dari Toserba milik Zora dan Universitas Artaloka.Rumah itu tampak sederhana, tetapi Jasmine selalu merasa nyaman di sana karena penuh kenangan bersama nenek Cahaya.“Hanya sebentar, aku cuma mau mengambil barang-barang nenek,” kata Jasmine sambil melepas seatbelt.Noah mengangguk tanpa banyak bicara, tetapi saat melihat cuaca di luar yang mulai mendung, ia mengernyit. “Kamu yakin ini cuma sebentar? Langitnya sudah gelap. Kalau hujan deras, kamu tidak akan bisa kembali ke Rafflesia Hills.”Jasmine hanya mendengus kecil. “Santai saja. Aku tahu cara mengatur waktu, kok. Kamu tunggu saja di sini.”Noah memutar bola matanya, tapi tetap mengikuti Jasmine keluar dari mobil. Ia tidak pernah membiarkan Jasmine berjalan sendirian, apalagi di daerah yang agak sepi seperti ini.Di dalam rumah kecil itu, Jasmine sibuk membuka lemari tua dan mengeluarkan beberapa barang milik nenek Cahaya. Ada selimut rajutan, fo
Pagi-pagi buta, suara gaduh dari dapur membangunkan Noah dari tidurnya yang tidak nyenyak di sofa kecil Jasmine. Ia mengerjap, mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan yang asing ini, sebelum suara berisik itu kembali terdengar.Dengan malas, Noah bangkit dan melangkah ke arah dapur. Jasmine, dengan rambut yang masih acak-acakan, terlihat sedang berjuang menyalakan kompor gas tua yang bunyinya berisik sekali.“Kamu mau bikin bom di pagi hari, Jasmine?” Noah menyindir sambil menyandarkan tubuhnya di pintu dapur.Jasmine mendongak, kaget, hampir menjatuhkan panci yang ada di tangannya. “Noah! Jangan tiba-tiba muncul seperti hantu!”Noah mengangkat alisnya, menahan tawa. “Aku muncul seperti manusia, Jasmine, bukan hantu. Dan apa yang kamu lakukan dengan kompor itu?”“Kompor ini memang suka rewel,” gumam Jasmine sambil mencoba menyalakan kembali. “Tapi aku nggak butuh bantuanmu, jadi jangan sok pahlawan di sini.”Noah mendekat, mengambil alih pemantik gas dari tangan Jasmine. “Minggir.
Hari yang cerah berubah menjadi petaka kecil saat mobil yang membawa Jasmine dan Noah melaju di jalan kecil menuju Rafflesia Hills.Suara letupan keras membuat Jasmine terlonjak dari kursinya, sementara Noah dengan sigap menepikan mobil ke bahu jalan.“Apa itu?” tanya Jasmine dengan nada panik, memegang erat sabuk pengamannya.“Ban pecah,” jawab Noah datar, keluar dari mobil untuk memeriksa.Jasmine membuka pintu dan ikut turun. Ia melihat Noah berdiri di dekat ban belakang, menggelengkan kepala sambil menendang pelan roda mobil yang sudah kempis total.“Jadi, gimana? Kamu bisa ganti ban?” tanya Jasmine dengan senyum penuh harap.Noah menatapnya sejenak sebelum berkata, “Aku punya banyak keahlian, Jasmine. Tapi ganti ban bukan salah satunya.”Jasmine mendengus. “Hebat. Ternyata Mr. Perfect, eh salah Es Batu Berbulu Domba, punya kelemahan juga.”“Diam saja dan biarkan aku berpikir,” balas Noah sambil membuka ponselnya.Namun, saat ia mencoba menghubungi seseorang, sinyal teleponnya nih
Malam tiba, dan hujan deras mulai turun tanpa ampun. Suara rintiknya membentur atap rumah sederhana itu, memberikan kesan bahwa badai tidak akan berhenti dalam waktu dekat.Jasmine dan Noah terpaksa menerima kenyataan bahwa mereka harus menginap di tempat asing ini.Bapak tua yang ramah tadi menyediakan satu kamar kecil untuk mereka. Namun, kamar itu jauh dari sempurna, hanya ada sebuah ranjang kayu tua dengan kasur tipis dan selimut usang.“Ini... tempat kita tidur?” Jasmine bertanya sambil melirik ranjang kecil itu dengan skeptis.Noah mengangguk, berdiri di pintu sambil memandangi hujan deras di luar. “Setidaknya kita punya atap.”“Atap yang bocor,” balas Jasmine dengan nada sarkastik. Ia menunjuk ke sudut ruangan yang sudah mulai tergenang air karena rembesan dari langit-langit.Noah mendesah panjang. “Kamu mau mengeluh sepanjang malam atau bantu cari ember untuk menampung air itu?”Jasmine mendelik padanya. “Kenapa aku? Kamu kan yang lebih kuat!”“Aku sudah cukup kuat membawa kit
Pagi hari datang membawa hawa segar setelah semalaman diguyur hujan deras. Jasmine yang terbangun lebih dulu merasa tubuhnya lebih hangat daripada sebelumnya.Jasmine menoleh ke arah Noah, yang masih duduk bersandar di dinding, tampak lelap dengan jaket tipis yang ia kenakan.“Hah, bahkan tidur saja kelihatan arogan,” gumam Jasmine pelan, sambil memutar matanya.Tidak lama kemudian, suara kendaraan mendekat dari kejauhan. Jasmine segera berdiri dan melihat ke luar. Sebuah SUV hitam berhenti di depan rumah kecil tempat mereka menginap. Dari dalamnya, Pram keluar dengan wajah bingung bercampur lega.“Jasmine! Noah!” panggil Pram, melangkah cepat mendekati rumah.Noah yang terbangun karena suara itu langsung berdiri, melirik Jasmine sejenak sebelum membuka pintu. “Akhirnya datang juga.”Begitu masuk, Pram tertegun melihat keadaan di dalam. Jasmine yang masih mengenakan pakaian kering dengan rambut terurai tampak begitu santai, sementara Noah terlihat acuh tak acuh seperti biasa.“Kalian.
Setelah perjalanan yang cukup panjang dan penuh drama, mobil Noah akhirnya berhenti di sebuah halte bis. Pram menoleh ke Noah dengan alis terangkat.“Kita antar Jasmine dulu, baru antar aku,” pintanya dengan nada santai, seolah memberi perintah.Namun, Noah hanya menatapnya sekilas melalui kaca spion, lalu menjawab dengan dingin, “Kau turun di sini saja.”“Apa?” Pram terkejut, mengira ia salah dengar. “Serius, Kak Noah? Ini halte, lho! Aku kan nggak—”Pram belum selesai berbicara ketika Noah membuka kunci pintu mobil dan menatapnya dengan tegas. “Cepat turun.”Jasmine yang duduk di kursi penumpang depan melirik ke arah Noah, merasa situasinya agak berlebihan. “Noah, kamu nggak bisa begitu. Kasihan Pram kalau harus naik bis dengan barang-barangnya.” Jasmine menunjukkan wajah tidak suka.“Aku sudah bilang, Pram turun di sini,” jawab Noah singkat, tidak memberi ruang untuk diskusi.Pram mendengus kesal, tetapi ia tahu lebih baik tidak membantah Noah saat pria itu sudah memutuskan sesuat
Noah tiba di rumah Zora dengan kepala penuh pikiran. Kompleks yang mewah dan terawat di dekat Raflesia Hills itu biasanya membuatnya merasa nyaman. Namun kali ini, langkahnya terasa berat.Saat ia memasuki rumah, Zora menyambutnya dengan senyuman lebar, mengenakan gaun santai yang membuatnya terlihat sangat menawan.“Noah! Akhirnya kamu pulang juga,” seru Zora, berdiri dan menghampirinya.Zora melingkarkan lengannya di leher Noah dengan mesra, namun Noah hanya memberikan respons datar, melepaskan diri dengan lembut.“Ya, aku hanya mampir untuk mengambil pakaian,” jawabnya singkat.Zora mengerutkan kening, merasa ada yang berbeda. Ia memiringkan kepala, menatap Noah penuh tanya. “Kamu kenapa? Biasanya kalau kita ketemu setelah beberapa hari, kamu lebih hangat dari ini.”Noah menghela napas panjang, lelah setelah perjalanan y
Pagi itu, suasana di rumah Jasmine terasa berbeda. Noah, dengan ekspresi dingin dan sikap tegas, berdiri di ruang tamu sambil memegang ponsel. Jasmine memperhatikan dari kejauhan, merasa ada sesuatu yang tidak beres.“Noah, ada apa?” tanyanya ragu.Tanpa menoleh, Noah menjawab dengan nada yang datar. “Nikmah libur hari ini. Aku sudah memintanya untuk tidak datang.”Jasmine terkejut. “Kenapa? Nikmah biasanya datang setiap hari. Aku butuh bantuannya untuk beres-beres.”Noah meletakkan ponselnya di meja dan menatap Jasmine dengan dingin. “Aku tidak ingin ada orang lain di rumah ini hari ini.”Jasmine merasa darahnya berdesir. “Apa maksudmu? Kamu tidak bisa memutuskan itu sepihak!”Noah mendekati Jasmine perlahan, auranya begitu menekan hingga membuat Jasmine melangkah mundur tanpa sadar.
Jasmine kembali terdiam, pikirannya kembali ke masa lalu. Setelah percakapan emosional itu, Jasmine dan Noah duduk di balkon rumah kecil itu. Hujan masih turun, tapi lebih ringan.“Aku tidak bisa janji semua akan mudah,” kata Noah, menatap gelap malam.“Aku tidak minta mudah,” balas Jasmine. “Aku cuma mau tahu... kamu akan ada di sini. Meski saat aku marah. Saat aku takut. Saat aku ragu.”Noah menoleh, lalu menyentuh perut Jasmine yang membulat.“Aku akan ada. Untuk kamu. Untuk dia.”Dan di bawah langit yang masih menangis, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Jasmine merasakan tenang. Bukan karena semua masalah selesai. Tapi karena ia tahu—ia tak lagi sendiri.Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Jasmine menoleh. Noah muncul dari balik pintu kamar, membawa selimut tambahan dan termos susu.“Sudah tidur?” tanyanya pelan.Jasmine mengangguk. “Baru saja.”Noah berjalan pelan, lalu duduk di sampingnya. Ia menatap bayi mereka, lalu mencium kening Jasmine.“Aku suka malam h
“Waktu kadang menyembuhkan luka, tapi ada jenis luka yang justru membuat kita ingin kembali… hanya untuk memastikan bahwa semuanya memang layak diperjuangkan.”Suara rintik hujan yang menghantam jendela terdengar bagai irama pilu yang menggema di seluruh ruangan. Lampu kamar menyala temaram. Di pelukannya, seorang bayi kecil tertidur dengan damai, napasnya ringan, dadanya naik turun perlahan.Jasmine duduk di kursi goyang dekat jendela, membiarkan matanya tertumbuk pada kegelapan malam di luar sana. Tangannya membelai lembut punggung bayi itu, tapi pikirannya melayang jauh… menuju malam hujan yang sama, tujuh bulan lalu. Malam yang ia kira hanya akan berakhir sebagai luka.Tujuh bulan sebelumnya.Rumah kecil tempat ia tinggal bersama Nina untuk sementara waktu terasa terlalu sunyi malam itu. Angin mengetuk jendela loteng dengan kasar. Jasmine memegangi perutnya yang membuncit—usia kehamilannya memasuki bulan ketujuh, dan setiap gerakan kecil dari dalam kandungannya menjadi pengingat b
Sore itu, langit di atas rumah kaca menyimpan gradasi warna yang murung. Biru kelabu berbaur dengan oranye pucat, seolah alam pun ikut menyesali semua yang telah terjadi. Angin menyusup masuk lewat sela-sela jendela, membawa aroma bunga melati yang hampir layu. Jasmine berdiri di dekat balkon dengan tangan memeluk tubuhnya sendiri, seakan udara terlalu dingin untuk ditahan, padahal sebenarnya yang dingin adalah hatinya.Sudah berapa lama ia terjebak dalam pusaran luka yang tak pernah benar-benar bisa ia benahi? Sejak pertama kali menerima tawaran menjadi ibu pengganti, hidupnya seperti berubah menjadi cerita yang tak ia kenali.Noah mendekat perlahan, langkahnya nyaris tanpa suara. Ia tidak ingin mengganggu, tapi juga tak sanggup menahan keinginannya untuk bicara. Jasmine tahu dia datang—ia bisa mencium aroma parfum kayu cendana lembut yang biasa Noah pakai. Tapi ia tetap diam, masih terpaku menatap taman kecil yang mulai gelap.“Aku boleh bicara?” tanya Noah perlahan.Kepala Jasmine
Langit Arenia berwarna keperakan pagi itu, menyelimuti kota dalam cahaya mendung yang lembut. Gedung pusat kebijakan internasional yang menjulang di jantung distrik Saphira tampak megah. Di dalamnya, ratusan kursi telah tertata rapi, mikrofon disiapkan, dan layar besar menampilkan satu kalimat: Forum Etika Global untuk Ibu Pengganti dan Hak Anak.Di kursi utama, Jasmine duduk tenang mengenakan setelan biru tua dengan aksen perak. Tak ada perhiasan mencolok, hanya liontin kecil yang tergantung di lehernya—hadiah terakhir dari ibunya, Sylvia. Di sampingnya, Noah dan Kiara mempersiapkan presentasi utama, sedangkan Evan memantau keamanan data dan jaringan digital.Forum ini bukan sekadar acara simbolik. Jasmine—dengan dukungan penuh dari Project Axis—berinisiatif mengadakan forum ini setelah tekanan internasional terhadap praktik kontrak ibu pengganti yang tidak adil mulai meningkat, menyusul pengakuannya dan penyelidikan terhadap Levara Group.“Sepuluh negara sudah mengirim delegasi,” la
Noah menoleh pada Jasmine. “Apa kamu siap jika Leonhart muncul kembali?”Jasmine menjawab pelan, tapi tegas, “Aku siap. Karena aku tidak lagi melawannya sendirian.”Dan hari itu, suara seorang ibu menggetarkan kota Arenia. Bukan dengan amarah. Tapi dengan keberanian yang lahir dari kasih.Hanya dua hari setelah pidato Jasmine mengguncang Arenia, dampaknya terasa seperti ombak besar yang menyapu seluruh jagat media. Hashtag #IbuUntukZai telah menembus tren global. Wawancara dari pakar hukum, aktivis perempuan, hingga influencer keluarga membanjiri lini masa dengan satu suara: Jasmine layak mendapatkan keadilan.Tapi di tengah dukungan itu, ada kekuatan yang bergerak diam-diam. Di ruang pertemuan bawah tanah sebuah kantor legal internasional di Kairo, seorang pria berambut perak duduk di ujung meja panjang. Ia mengenakan jas gelap yang pas, dan di tangan kirinya ada cincin berlambang burung hitam bersayap patah.Leonhart.“Jadi, gadis kecil itu sekarang memanfaatkan simpati publik?” uca
Matahari Arenia naik perlahan, memantulkan sinarnya pada jendela-jendela kaca yang berbaris rapi di gedung-gedung pusat kota. Tapi pagi itu, sorotan media bukan tertuju pada kemegahan bangunan atau kecanggihan teknologi kota modern tersebut. Fokus mereka adalah satu wanita muda yang berdiri di balik podium sederhana—Jasmine Ayu Kartika.Dalam balutan blazer putih yang elegan namun sederhana, Jasmine berdiri dengan tegak, wajahnya tenang. Di hadapannya, puluhan kamera dari berbagai media siap menangkap setiap kata yang keluar dari mulutnya. Suasana di luar gedung forum publik Arenia benar-benar hening untuk sesaat.“Terima kasih telah datang. Hari ini, saya berdiri bukan sebagai tokoh besar, bukan sebagai pemegang saham, bukan pula sebagai pion dalam perang kekuasaan,” ucap Jasmine membuka pidatonya. “Saya berdiri sebagai seorang ibu.”Beberapa wartawan langsung mengambil gambar, beberapa lainnya menunduk menulis cepat. Kata-kata Jasmine tajam, sederhana, dan langsung menancap ke hati
“Saya tidak berdiri di sini sebagai wanita sempurna,” ucapnya. “Saya bukan pahlawan. Tapi saya tahu, saya adalah seorang ibu. Dan tidak ada kontrak, manipulasi, atau rekayasa hukum yang bisa menghapus cinta seorang ibu dari hatinya.”Ia menatap langsung ke hakim. “Saya tidak meminta apa pun selain kesempatan untuk memeluk anak saya... dan membesarkannya tanpa harus bersembunyi.”Hening menyelimuti ruangan.Hakim mengangguk. “Saya akan memberi putusan sore ini.”Sore itu, seluruh ruangan kembali berkumpul. Cahaya matahari mulai menguning, menandai hari yang panjang akan segera berakhir.Hakim berdiri, membawa map berisi keputusan.“Setelah mempertimbangkan bukti tertulis, kesaksian di bawah sumpah, serta laporan psikologis anak... pengadilan menyatakan bahwa hak asuh penuh atas anak dengan inisial ZJ diberikan kepada Ny. Jasmine Jorse.”Terdengar isakan tertahan dari sisi pendukung Jasmine.Hakim melanjutkan, “Dengan supervisi kunjungan yang diatur terhadap pihak Ny. Zora Dirgantara, s
“Apakah Anda menyangkal bahwa Anda memalsukan keterangan medis Jasmine pasca melahirkan?” tanya hakim tegas.Zora tidak menjawab. Ia hanya menunduk.Noah akhirnya berdiri. “Yang Mulia, saya juga ingin berbicara. Saya sudah cukup lama diam. Tapi hari ini, saya berdiri bukan hanya sebagai ayah, tapi sebagai pria yang menyaksikan semua ketidakadilan ini.”Ia menatap Jasmine sebentar, lalu melanjutkan. “Anak saya... tidak boleh tumbuh besar dalam kebohongan. Ia berhak tahu siapa ibunya. Ia berhak dipeluk dan dicintai tanpa batas. Saya mendukung Jasmine. Bukan karena kami pernah mencintai. Tapi karena... tidak ada ibu yang lebih layak.”Ketika sidang diskors untuk makan siang, kabar dari dalam pengadilan sudah bocor ke media. Tagar #JusticeForJasmine dan #HakAsuhZai mulai trending di media sosial.Di luar gedung, para pendukung mulai berkumpul. Beberapa bahkan membawa papan bertuliskan “Seorang Ibu Adalah Ibu” dan “Zai Berhak Tahu Kebenaran.”Zora keluar lewat pintu samping, wajahnya ditut
“Sebagai tergugat, kami setuju,” ujar Jasmine. “Karena anak kecil bisa berbohong... tapi hati mereka tidak.”Noah, yang duduk mendampingi Jasmine, menambahkan, “Saya ingin masuk sebagai saksi. Dan sebagai ayah biologis, saya mengajukan revisi hak asuh bersama.”Zora menoleh cepat, matanya membelalak. “Noah?! Kau di pihaknya sekarang?”Noah menatapnya tanpa ampun. “Sudah lama aku bukan di pihakmu.”Sepulang dari pengadilan, Jasmine merasa tubuhnya seperti diseret waktu. Namun saat ia membuka pintu kamar hotel, suara kecil menyambutnya dari balik ruang tamu.“Ibu Jas?”Jasmine membeku. Tubuh kecil itu berlari dan memeluknya dari belakang. “Ibu Jas! Aku mimpikan Ibu tadi malam! Ibu peluk aku kayak waktu kita tinggal di rumah yang banyak bunga!”Jasmine membalik tubuhnya, dan Zai menatapnya dengan mata berbinar.“Kamu di sini?” bisik Jasmine, air matanya mengalir.Noah masuk dari belakang. “Dia... memaksa ikut. Aku tak bisa menolaknya. Dia ingin bertemu kamu. Hanya kamu.”Zai menempelkan