Operasi nenek Cahaya berjalan lancar. Jasmine menghela napas lega saat dokter keluar dari ruang operasi dan memberikan kabar baik. Meski demikian, nenek Cahaya masih harus dirawat di ruang intensif untuk pemulihan.Jasmine menatap pintu ruang intensif itu dengan perasaan campur aduk. Ada rasa syukur, tetapi juga kekhawatiran yang belum sepenuhnya hilang.Zora, yang sejak tadi setia mendampingi Jasmine, menggenggam tangannya erat. “Semua akan baik-baik saja. Kita hanya perlu menunggu nenek Cahaya pulih sepenuhnya,” katanya dengan suara lembut.Jasmine mengangguk pelan. “Terima kasih, Zora. Kalau bukan karena kamu dan Noah, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.”Zora tersenyum kecil. “Kamu tidak perlu berterima kasih. Kita ini keluarga, Jasmine.”Setelah memastikan semuanya di rumah sakit terkendali, Zora memutuskan untuk membawa Jasmine pulang bersamanya.Mereka duduk di kursi belakang mobil yang dikemudikan oleh sopir Zora. Dalam perjalanan, percakapan ringan berubah menjadi diskusi
Noah mengerem mobilnya perlahan di depan rumah kecil Jasmine yang terletak tidak jauh dari Toserba milik Zora dan Universitas Artaloka.Rumah itu tampak sederhana, tetapi Jasmine selalu merasa nyaman di sana karena penuh kenangan bersama nenek Cahaya.“Hanya sebentar, aku cuma mau mengambil barang-barang nenek,” kata Jasmine sambil melepas seatbelt.Noah mengangguk tanpa banyak bicara, tetapi saat melihat cuaca di luar yang mulai mendung, ia mengernyit. “Kamu yakin ini cuma sebentar? Langitnya sudah gelap. Kalau hujan deras, kamu tidak akan bisa kembali ke Rafflesia Hills.”Jasmine hanya mendengus kecil. “Santai saja. Aku tahu cara mengatur waktu, kok. Kamu tunggu saja di sini.”Noah memutar bola matanya, tapi tetap mengikuti Jasmine keluar dari mobil. Ia tidak pernah membiarkan Jasmine berjalan sendirian, apalagi di daerah yang agak sepi seperti ini.Di dalam rumah kecil itu, Jasmine sibuk membuka lemari tua dan mengeluarkan beberapa barang milik nenek Cahaya. Ada selimut rajutan, fo
Pagi-pagi buta, suara gaduh dari dapur membangunkan Noah dari tidurnya yang tidak nyenyak di sofa kecil Jasmine. Ia mengerjap, mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan yang asing ini, sebelum suara berisik itu kembali terdengar.Dengan malas, Noah bangkit dan melangkah ke arah dapur. Jasmine, dengan rambut yang masih acak-acakan, terlihat sedang berjuang menyalakan kompor gas tua yang bunyinya berisik sekali.“Kamu mau bikin bom di pagi hari, Jasmine?” Noah menyindir sambil menyandarkan tubuhnya di pintu dapur.Jasmine mendongak, kaget, hampir menjatuhkan panci yang ada di tangannya. “Noah! Jangan tiba-tiba muncul seperti hantu!”Noah mengangkat alisnya, menahan tawa. “Aku muncul seperti manusia, Jasmine, bukan hantu. Dan apa yang kamu lakukan dengan kompor itu?”“Kompor ini memang suka rewel,” gumam Jasmine sambil mencoba menyalakan kembali. “Tapi aku nggak butuh bantuanmu, jadi jangan sok pahlawan di sini.”Noah mendekat, mengambil alih pemantik gas dari tangan Jasmine. “Minggir.
Hari yang cerah berubah menjadi petaka kecil saat mobil yang membawa Jasmine dan Noah melaju di jalan kecil menuju Rafflesia Hills.Suara letupan keras membuat Jasmine terlonjak dari kursinya, sementara Noah dengan sigap menepikan mobil ke bahu jalan.“Apa itu?” tanya Jasmine dengan nada panik, memegang erat sabuk pengamannya.“Ban pecah,” jawab Noah datar, keluar dari mobil untuk memeriksa.Jasmine membuka pintu dan ikut turun. Ia melihat Noah berdiri di dekat ban belakang, menggelengkan kepala sambil menendang pelan roda mobil yang sudah kempis total.“Jadi, gimana? Kamu bisa ganti ban?” tanya Jasmine dengan senyum penuh harap.Noah menatapnya sejenak sebelum berkata, “Aku punya banyak keahlian, Jasmine. Tapi ganti ban bukan salah satunya.”Jasmine mendengus. “Hebat. Ternyata Mr. Perfect, eh salah Es Batu Berbulu Domba, punya kelemahan juga.”“Diam saja dan biarkan aku berpikir,” balas Noah sambil membuka ponselnya.Namun, saat ia mencoba menghubungi seseorang, sinyal teleponnya nih
Malam tiba, dan hujan deras mulai turun tanpa ampun. Suara rintiknya membentur atap rumah sederhana itu, memberikan kesan bahwa badai tidak akan berhenti dalam waktu dekat.Jasmine dan Noah terpaksa menerima kenyataan bahwa mereka harus menginap di tempat asing ini.Bapak tua yang ramah tadi menyediakan satu kamar kecil untuk mereka. Namun, kamar itu jauh dari sempurna, hanya ada sebuah ranjang kayu tua dengan kasur tipis dan selimut usang.“Ini... tempat kita tidur?” Jasmine bertanya sambil melirik ranjang kecil itu dengan skeptis.Noah mengangguk, berdiri di pintu sambil memandangi hujan deras di luar. “Setidaknya kita punya atap.”“Atap yang bocor,” balas Jasmine dengan nada sarkastik. Ia menunjuk ke sudut ruangan yang sudah mulai tergenang air karena rembesan dari langit-langit.Noah mendesah panjang. “Kamu mau mengeluh sepanjang malam atau bantu cari ember untuk menampung air itu?”Jasmine mendelik padanya. “Kenapa aku? Kamu kan yang lebih kuat!”“Aku sudah cukup kuat membawa kit
Pagi hari datang membawa hawa segar setelah semalaman diguyur hujan deras. Jasmine yang terbangun lebih dulu merasa tubuhnya lebih hangat daripada sebelumnya.Jasmine menoleh ke arah Noah, yang masih duduk bersandar di dinding, tampak lelap dengan jaket tipis yang ia kenakan.“Hah, bahkan tidur saja kelihatan arogan,” gumam Jasmine pelan, sambil memutar matanya.Tidak lama kemudian, suara kendaraan mendekat dari kejauhan. Jasmine segera berdiri dan melihat ke luar. Sebuah SUV hitam berhenti di depan rumah kecil tempat mereka menginap. Dari dalamnya, Pram keluar dengan wajah bingung bercampur lega.“Jasmine! Noah!” panggil Pram, melangkah cepat mendekati rumah.Noah yang terbangun karena suara itu langsung berdiri, melirik Jasmine sejenak sebelum membuka pintu. “Akhirnya datang juga.”Begitu masuk, Pram tertegun melihat keadaan di dalam. Jasmine yang masih mengenakan pakaian kering dengan rambut terurai tampak begitu santai, sementara Noah terlihat acuh tak acuh seperti biasa.“Kalian.
Setelah perjalanan yang cukup panjang dan penuh drama, mobil Noah akhirnya berhenti di sebuah halte bis. Pram menoleh ke Noah dengan alis terangkat.“Kita antar Jasmine dulu, baru antar aku,” pintanya dengan nada santai, seolah memberi perintah.Namun, Noah hanya menatapnya sekilas melalui kaca spion, lalu menjawab dengan dingin, “Kau turun di sini saja.”“Apa?” Pram terkejut, mengira ia salah dengar. “Serius, Kak Noah? Ini halte, lho! Aku kan nggak—”Pram belum selesai berbicara ketika Noah membuka kunci pintu mobil dan menatapnya dengan tegas. “Cepat turun.”Jasmine yang duduk di kursi penumpang depan melirik ke arah Noah, merasa situasinya agak berlebihan. “Noah, kamu nggak bisa begitu. Kasihan Pram kalau harus naik bis dengan barang-barangnya.” Jasmine menunjukkan wajah tidak suka.“Aku sudah bilang, Pram turun di sini,” jawab Noah singkat, tidak memberi ruang untuk diskusi.Pram mendengus kesal, tetapi ia tahu lebih baik tidak membantah Noah saat pria itu sudah memutuskan sesuat
Noah tiba di rumah Zora dengan kepala penuh pikiran. Kompleks yang mewah dan terawat di dekat Raflesia Hills itu biasanya membuatnya merasa nyaman. Namun kali ini, langkahnya terasa berat.Saat ia memasuki rumah, Zora menyambutnya dengan senyuman lebar, mengenakan gaun santai yang membuatnya terlihat sangat menawan.“Noah! Akhirnya kamu pulang juga,” seru Zora, berdiri dan menghampirinya.Zora melingkarkan lengannya di leher Noah dengan mesra, namun Noah hanya memberikan respons datar, melepaskan diri dengan lembut.“Ya, aku hanya mampir untuk mengambil pakaian,” jawabnya singkat.Zora mengerutkan kening, merasa ada yang berbeda. Ia memiringkan kepala, menatap Noah penuh tanya. “Kamu kenapa? Biasanya kalau kita ketemu setelah beberapa hari, kamu lebih hangat dari ini.”Noah menghela napas panjang, lelah setelah perjalanan y
Kata-kata itu seperti menampar wajah Noah. Sakit. Bahkan lebih sakit daripada yang dia kira. Namun, di balik rasa sakit itu, ada sebuah kebenaran yang sulit dia terima. “Aku... aku takut kehilangan kamu, Jas,” jawab Noah dengan suara pelan. “Aku tahu aku nggak sempurna, dan aku juga tahu aku punya banyak kesalahan. Tapi aku nggak ingin kamu pergi.”Jasmine menarik napas, rasanya ada banyak kata yang ingin dia ucapkan, tapi bibirnya terasa terbungkam. Semua perasaan itu berkecamuk dalam hatinya. “Kamu bisa bilang itu, Noah, tapi aku nggak tahu lagi mana yang lebih nyata—kamu atau kenanganmu tentang semua yang telah terjadi sebelumnya. Kamu nggak bisa terus menghubung-hubungkan aku dengan masa lalu kamu.”Noah terdiam, rasa frustrasi merayapi dirinya. Dia sudah berusaha menjaga semuanya tetap utuh, tapi ada banyak hal yang belum dia ceritakan pada Jasmine—rahasia yang lebih dalam dari yang dia kira. Tentang Oma, tentang Harness, tentang masa lalu yang tak pernah benar-benar hilang.“Apa
“Kamu nggak perlu khawatir soal dia, Jas,” kata Noah tiba-tiba.Jasmine menoleh cepat. “Aku... nggak mikirin itu.”Noah menatap lurus ke arahnya, ekspresi serius. “Aku nggak bisa ngendaliin masa lalu. Tapi aku tahu siapa yang aku mau ada di masa depan.”Hening sesaat. Hanya suara angin dari jendela yang terbuka, menggoyang tirai tipis yang menggantung setengah kusam.“Aku nggak biasa dikasih kata-kata kayak gitu,” ucap Jasmine pelan.“Ya udah, aku ubah pakai bahasa teknik.”“Oh no.”Noah tersenyum kecil. “Kalau hubungan ini ibarat mesin, kamu tuh gear paling utama. Tanpa kamu, semua sistem nggak jalan.”Jasmine menahan tawa, tapi air matanya menggenang tanpa izin. “Kamu norak banget.”“Tapi berhasil bikin kamu nangis.”Dia menghapus air mata Jasmine dengan ibu jarinya, lembut, tidak memaksa.“Aku takut semua ini terlalu indah buat nyata,” bisik Jasmine. “Kita bahagia, lalu tiba-tiba...”Noah menggenggam tangannya, erat. “Aku juga takut. Tapi kita nggak harus jadi sempurna untuk jadi n
Noah yang mulai merasa ada yang aneh dengan pembicaraan ini menatap Harness dengan serius. "Apa yang kau maksud, Harness?" tanya Noah, suaranya mulai penuh dengan kecurigaan.Harness tidak langsung menjawab, melainkan menatap mereka berdua sejenak. "Mungkin ini saat yang tepat untuk lebih banyak memahami satu sama lain," jawabnya pelan, kemudian berbalik dan berjalan keluar dari ruangan.Noah menatapnya dengan tatapan bingung. "Ada apa dengan dia?" gumamnya pelan.Jasmine hanya diam, merasa semakin tertekan dengan keadaan yang semakin membingungkan. "Aku harus pergi," katanya dengan suara pelan, berbalik menuju pintu. "Aku tidak bisa terus seperti ini."Noah hendak mengejarnya, namun Jasmine sudah lebih dulu keluar dari ruangan. Perasaannya semakin kacau, tidak tahu harus bagaimana.Jasmine keluar dan berjalan cepat menuju taman belakang, menghindari tatapan Noah yang semakin membuatnya merasa tertekan. Ia tahu, ada sesuatu yang menghalangi hubungan mereka, tapi ia juga merasa seperti
Pagi itu terasa lebih sepi dari biasanya. Jasmine duduk di ruang tamu besar, tangan terlipat di atas meja, menatap pemandangan taman yang tampak redup karena hujan yang baru saja reda. Matanya terlihat kosong, seolah tidak ada hal yang benar-benar menarik perhatiannya. Namun, dalam diamnya itu, pikirannya penuh dengan kebingungan."Kenapa aku merasa seperti ini?" gumamnya pelan, meraba perasaannya yang semakin terhimpit oleh ketegangan yang ia ciptakan sendiri.Pintu ruang tamu terbuka perlahan, dan Noah muncul di ambang pintu. Ia menatap Jasmine dengan ekspresi cemas, tampak sedikit gelisah. "Jasmine," panggilnya, suara itu lembut, penuh kekhawatiran. "Kau baik-baik saja?"Jasmine menoleh pelan, namun tidak mengatakan apa-apa. "Aku baik-baik saja." Jawabnya, namun suaranya terdengar hampa, hampir tak ada gairah.Noah berjalan mendekat, menatap wajahnya dengan penuh perhatian. "Aku tahu kau bilang baik-baik saja, tapi..." Ia berhenti sejenak, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "K
“Jasmine, kau harus mendengarku,” suara Noah terdengar serak. Ia baru saja masuk ke ruang makan setelah berbicara dengan keluarganya. Jasmine sedang duduk di meja, menatap langit lewat jendela, tampak merenung dengan wajah yang jauh.Jasmine menoleh perlahan, matanya mengisyaratkan pertanyaan tanpa kata. "Ada apa, Noah?"Noah berjalan mendekat, duduk di sebelahnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Kau tampak berbeda belakangan ini. Ada yang mengganggumu?"Jasmine menghela napas, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. "Aku baik-baik saja." Ia berusaha tersenyum, meski senyum itu terasa terpaksa. "Hanya sedikit lelah."Noah menatapnya lebih dalam, merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Jasmine, jangan menutupi perasaanmu dariku. Apa yang sebenarnya terjadi?"Jasmine mengalihkan pandangannya lagi ke luar jendela, mengamati riak-riak air di kolam. "Aku cuma merasa... cemas." Suaranya terdengar pelan, hampir seperti bisikan. "Kau tahu, aku datang ke sini dengan harapan bisa menjadi ba
Di sisi lain kota, Zora berdiri di depan cermin besar berbingkai emas di kamar utama rumah Dirgantara. Cermin itu telah menjadi saksi begitu banyak perubahan dalam hidupnya—dari wanita muda ambisius, menjadi istri dari pewaris kekaisaran bisnis, hingga kini... seorang istri yang mulai kehilangan pijakan. Ia merapikan blouse satin putih yang telah ia kenakan puluhan kali, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang makin lama makin sulit ditutupi.Matanya menatap pantulan diri dengan senyum yang hambar—senyum yang ia bentuk hanya sebagai formalitas sosial. Beberapa hari terakhir, gosip dan bisik-bisik di antara sosialita dan direksi perusahaan mulai membentuk luka kecil yang lambat tapi pasti merobek hatinya.Bukan hanya Noah yang berubah. Dunia pun ikut berputar, seolah tak ada tempat lagi untuknya. Mereka bilang Jasmine adalah ibu dari pewaris masa depan keluarga Dirgantara. Mereka menyambut wanita itu seolah-olah dia satu-satunya yang pantas berdiri di sisi Noah.Zora menggigit bibirnya
Jasmine kembali terdiam, pikirannya kembali ke masa lalu. Setelah percakapan emosional itu, Jasmine dan Noah duduk di balkon rumah kecil itu. Hujan masih turun, tapi lebih ringan.“Aku tidak bisa janji semua akan mudah,” kata Noah, menatap gelap malam.“Aku tidak minta mudah,” balas Jasmine. “Aku cuma mau tahu... kamu akan ada di sini. Meski saat aku marah. Saat aku takut. Saat aku ragu.”Noah menoleh, lalu menyentuh perut Jasmine yang membulat.“Aku akan ada. Untuk kamu. Untuk dia.”Dan di bawah langit yang masih menangis, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Jasmine merasakan tenang. Bukan karena semua masalah selesai. Tapi karena ia tahu—ia tak lagi sendiri.Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Jasmine menoleh. Noah muncul dari balik pintu kamar, membawa selimut tambahan dan termos susu.“Sudah tidur?” tanyanya pelan.Jasmine mengangguk. “Baru saja.”Noah berjalan pelan, lalu duduk di sampingnya. Ia menatap bayi mereka, lalu mencium kening Jasmine.“Aku suka malam h
“Waktu kadang menyembuhkan luka, tapi ada jenis luka yang justru membuat kita ingin kembali… hanya untuk memastikan bahwa semuanya memang layak diperjuangkan.”Suara rintik hujan yang menghantam jendela terdengar bagai irama pilu yang menggema di seluruh ruangan. Lampu kamar menyala temaram. Di pelukannya, seorang bayi kecil tertidur dengan damai, napasnya ringan, dadanya naik turun perlahan.Jasmine duduk di kursi goyang dekat jendela, membiarkan matanya tertumbuk pada kegelapan malam di luar sana. Tangannya membelai lembut punggung bayi itu, tapi pikirannya melayang jauh… menuju malam hujan yang sama, tujuh bulan lalu. Malam yang ia kira hanya akan berakhir sebagai luka.Tujuh bulan sebelumnya.Rumah kecil tempat ia tinggal bersama Nina untuk sementara waktu terasa terlalu sunyi malam itu. Angin mengetuk jendela loteng dengan kasar. Jasmine memegangi perutnya yang membuncit—usia kehamilannya memasuki bulan ketujuh, dan setiap gerakan kecil dari dalam kandungannya menjadi pengingat ba
Sore itu, langit di atas rumah kaca menyimpan gradasi warna yang murung. Biru kelabu berbaur dengan oranye pucat, seolah alam pun ikut menyesali semua yang telah terjadi. Angin menyusup masuk lewat sela-sela jendela, membawa aroma bunga melati yang hampir layu. Jasmine berdiri di dekat balkon dengan tangan memeluk tubuhnya sendiri, seakan udara terlalu dingin untuk ditahan, padahal sebenarnya yang dingin adalah hatinya.Sudah berapa lama ia terjebak dalam pusaran luka yang tak pernah benar-benar bisa ia benahi? Sejak pertama kali menerima tawaran menjadi ibu pengganti, hidupnya seperti berubah menjadi cerita yang tak ia kenali.Noah mendekat perlahan, langkahnya nyaris tanpa suara. Ia tidak ingin mengganggu, tapi juga tak sanggup menahan keinginannya untuk bicara. Jasmine tahu dia datang—ia bisa mencium aroma parfum kayu cendana lembut yang biasa Noah pakai. Tapi ia tetap diam, masih terpaku menatap taman kecil yang mulai gelap.“Aku boleh bicara?” tanya Noah perlahan.Kepala Jasmine m