Suasana di dalam kamar VIP Anggrek Hitam terasa begitu sesak meskipun ruangannya luas dan nyaman. Udara di dalamnya terasa lebih berat dari biasanya, seakan dipenuhi oleh ketegangan yang tak terlihat.Jasmine duduk bersandar di tempat tidurnya, tubuhnya masih lemah, namun pikirannya penuh dengan kecemasan.Di sekelilingnya, beberapa pria yang pernah hadir dalam hidupnya kini berkumpul di satu ruangan—Noah, Ryan, Francis, dan dokter Juan.Tatapan mereka saling mengamati satu sama lain, seolah masing-masing ingin menegaskan keberadaannya di sana. Pram yang berdiri agak jauh di dekat jendela hanya bisa menghela napas dalam diam, merasa canggung di tengah suasana yang semakin tidak nyaman.Noah masih duduk di sofa dengan postur angkuh dan tatapan tajam, menilai satu per satu orang yang hadir di ruangan itu. Ia tidak menyukai keberadaan dokter Juan, terlebih lagi Ryan dan Francis yang tampaknya terlalu peduli pada Jasmine.Meskipun Noah sadar bahwa mereka semua memiliki perannya masing-mas
Noah masih duduk di kursi samping tempat tidur Jasmine, wajahnya mengeras. Kedua tangannya mengepal di atas pahanya, seolah menahan sesuatu yang mendidih di dalam dadanya.’Apa yang dipikirkan Noah, kenapa wajahnya masih kesal,’ batin Jasmine.Ruangan itu sunyi setelah semua tamu pergi, namun ketegangan masih menggantung di udara."Kenapa kau diam?" suara Jasmine pelan, namun penuh kehati-hatian.Noah menoleh cepat, matanya yang tajam berkilat. "Kau menikmatinya, kan? Dikelilingi pria-pria yang begitu peduli padamu?"Kalimat itu membuat Jasmine kesal. Dia selalu mendapatkan kritikan buruk dari Noah, apalagi jika ada pria-pria di dekatnya.Jasmine menghela napas, menyandarkan tubuhnya pada bantal. "Noah, kau tahu itu tidak benar.""Apa yang tidak benar? Fakta bahwa mereka semua ingin merebutmu?" Noah bangkit berdiri, mendekat ke tempat tidur. "Atau fakta bahwa aku tidak suka melihatnya?"Jasmine mengernyit. "Noah, kau cemburu?"Noah terkekeh rendah, tetapi tidak ada humor dalam suarany
Jasmine duduk perlahan di tempat tidur, mencoba menghilangkan rasa lelah yang masih tersisa. Setelah Noah pergi, suasana kamar kembali sunyi, namun kehadiran Zora di ambang pintu membawa atmosfer yang sedikit lebih ringan. Meski ketegangan masih terasa, Jasmine berusaha tetap tenang.Zora melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. Dengan gerakan lembut, ia duduk di sisi tempat tidur, menatap Jasmine dengan penuh perhatian."Bagaimana perasaanmu hari ini?" tanyanya, berusaha terdengar casual meski jelas ada sesuatu yang ingin ia pastikan. Zora mengupas buah apel untuk Jasmine, sambil memberikan potongan apel yang sudah terkupas pada Jasmine.Jasmine mengangguk kecil. "Aku baik-baik saja. Hanya sedikit lelah. Bayi ini membuatku cepat kehabisan tenaga." Rasa buah apel itu sangat enak, Zora memperhatikan Jasmine mengunyahnya perlahan, hingga senyuman terlukis di wajah Zora.Zora menatap perut Jasmine yang mulai membuncit, lalu tanpa ragu, ia meletakkan tangannya di sana. "Apa dia ak
Sore itu, Noah melangkah cepat di lorong rumah sakit dengan wajah muram. Sejak kejadian tadi, emosinya tertahan, menahan kemarahan yang membara.Penolakan Jasmine masih terngiang di telinga Noah, menyesakkan dadanya. Tak pernah terlintas di benaknya bahwa wanita itu akan menolaknya.Setelah meninggalkan rumah sakit, ia langsung ke kantor, berharap kesibukan bisa meredam emosinya. Namun, rasa kesal tetap membara. ’Apa yang kurang darinya hingga Jasmine menolaknya begitu saja?’Begitu masuk ruang kerja, ia melepas jaket hitamnya dan melemparkannya ke kursi. Tatapannya tajam, berusaha fokus pada pekerjaan, tapi pikirannya tetap terpaku pada, Jasmine.“Tuan, Noah?” Maya, sekretarisnya, menghampiri dengan langkah cepat. “Ada yang bisa saya bantu?”Noah menatap Maya dengan tatapan tajam. Ia menghela napas dalam-dalam, mencoba menekan amarah yang masih menggelora di dalam dirinya.“Maya, tolong kumpulkan semua berkas dan jadwalku untuk seminggu ke depan,” perintahnya dengan suara yang datar,
Malam kembali menyelimuti langit kota, dan Noah melangkah masuk ke rumah sakit dengan langkah mantap.Setelah menyelesaikan pekerjaannya, dia memilih untuk kembali, memastikan Jasmine tidak sendirian di tempat ini. Ruangan itu masih sunyi seperti sebelumnya, hanya terdengar suara alat medis yang terus berbunyi pelan.Jasmine berbaring di tempat tidurnya, tubuhnya tampak lemah, namun matanya tetap terbuka, menatap kosong ke arah jendela.Zora sudah pulang, meninggalkan Noah seorang diri untuk menemani Jasmine. Tanpa banyak bicara, Noah mengambil tempat di sisi ranjang, lalu membuka kantong plastik berisi anggur hijau yang baru saja dibelinya dari luar.Dia membawanya ke wastafel kecil di sudut ruangan, mencuci setiap butirnya dengan hati-hati. Namun, saat kembali ke sisi ranjang, Jasmine tetap tidak menatapnya. Noah tidak tersinggung, dia tahu Jasmine masih belum ingin berbicara dengannya."Aku sudah mencucinya," ucap Noah pelan, meletakkan piring kecil berisi anggur di atas meja di sa
Pagi itu, cahaya matahari menerobos masuk melalui celah tirai rumah sakit, membangunkan Jasmine yang masih terbaring di ranjang.Matanya yang masih berat perlahan terbuka, dan saat kesadarannya pulih sepenuhnya, dia merasakan sesuatu yang hangat melingkari pinggangnya.Jasmine tersentak pelan. “Hm?” Gumamannya nyaris tak terdengar saat dia menoleh dan mendapati tangan Noah masih melingkar di tubuhnya. Detak jantungnya seketika berdetak lebih cepat.Wajah Noah terlihat tenang dalam tidurnya, tetapi ada garis-garis lelah yang jelas tergambar di sana.Jasmine menggigit bibir bawahnya, menahan dorongan untuk mengusap wajah pria itu. ’Kenapa dia ada di sini? Sejak kapan dia tidur di sebelahku?’Sejenak, Jasmine hanya memperhatikannya. Ada perasaan aneh yang menyelinap di hatinya, campuran antara kehangatan dan rasa bersalah. Meski begitu, bibirnya tanpa sadar membentuk senyuman kecil.’Noah terlihat begitu lelah... tapi tetap saja, dia masih menjagaku seperti ini,’ batin Jasmine.Namun, sa
Akhirnya, Noah melancarkan aksinya secara perlahan, dia melakukannya dari belakang, dengan sangat hati-hati. Tanpa waktu lama, kegiatan intim itu selesai.Kali ini, Jasmine merasa biasa saja. Dia juga merasa bahwa ini adalah balas budi karena Noah telah menjaganya saat demam. Setelah itu, Noah kembali menikmati bibir Jasmine sampai benar-benar puas.Noah merasakan bahwa Jasmine, saat hamil, sangat menggoda dan berbeda. “Maaf, aku sudah melewati batas. Kalau kamu mau marah setelah ini, silakan. Jangan salahkan aku, semua ini bukan kehendakku. Semua ini pasti akan terjadi,” ujar Noah, seolah menjelaskan.Jasmine, yang masih merasakan kehadiran Noah di dalam tubuhnya, tidak bisa berkata apa-apa, hanya bisa mengeliat dan mempertahankan perutnya yang sedikit terasa sensitif.“Noah, bisa cepat selesaikan? Sepertinya bayimu tidak betah dan kesempitan,” pinta Jasmine.Noah tersenyum, sedikit puas karena Jasmine tidak melawan. “Kenapa kamu tidak marah dan menolak?” tanya Noah, masih bergerak ma
Juan menatap Jasmine dengan tatapan yang penuh arti. Dia tahu bahwa Jasmine sedang menghindari pembicaraan tentang masa lalu mereka, dan dia menghormati itu untuk saat ini. Juan tidak ingin memaksakan Jasmine untuk mengingat hal-hal yang mungkin terlalu berat untuknya saat ini.“Kamu bisa pulang setelah semuanya stabil dan aku yakin kamu bisa menghadapinya. Tapi, kita akan tetap memantau kondisi bayimu. Kesehatanmu adalah yang terpenting,” jawab Juan, sambil menulis sesuatu di catatan medisnya.Jasmine hanya mengangguk, merasa sedikit lega karena topik yang tak ingin dibahas sudah berlalu.Namun, dalam hatinya, ia merasa sedikit terganggu dengan kata-kata Juan tentang janji yang tidak pernah ia tepati. Jasmine tidak tahu kapan dia akan siap untuk berbicara tentang masa lalu itu.Namun, untuk saat ini, Jasmine hanya ingin fokus pada bayinya, pada kesehatannya, dan mencoba untuk menjalani hidup tanpa terus-menerus dihantui oleh kenangan itu.Jasmine terbaring dengan nyaman di ranjang ru
“Jasmine, Noah… kalian datang?” suara Marni pelan, penuh nada bertanya namun tidak mengusir.“Kami ingin bicara dengan Oma,” kata Jasmine sopan, tapi matanya tak bergeming dari dalam rumah, seolah ingin menembus dinding dan langsung bertemu wanita yang menjadi pusat dari segala pertanyaan di hatinya.Marni membuka pintu lebih lebar. “Masuklah. Beliau sedang di ruang lukis.”Ruang lukis.Sebuah ruangan yang dulu jarang mereka masuki. Tempat Dursila menghabiskan waktu ketika ingin menyendiri — atau ketika pikirannya terlalu penuh dan hanya kanvas yang bisa menampungnya.Jasmine dan Noah melangkah masuk. Aroma minyak cat dan kayu tua menyeruak menyambut mereka, membangkitkan kenangan masa kecil Noah — dan masa asing yang ingin dikenali oleh Jasmine.Di ujung ruangan, Dursila duduk membelakangi mereka, mengenakan kimono satin berwarna biru tua. Di depannya terbentang kanvas besar yang belum
“Aku ingin bertanya satu hal,” Jasmine akhirnya memecah keheningan. Suaranya terdengar lebih serius, penuh pertimbangan. “Bagaimana kalau kebenaran itu ternyata lebih sulit diterima daripada yang aku bayangkan? Apa kita masih bisa bertahan?”Noah menatapnya tanpa ragu. “Aku nggak tahu, Jas. Tapi aku yakin, kita nggak bisa menghindarinya. Mungkin kebenaran itu akan menghancurkan kita, mungkin juga akan menyatukan kita. Yang aku tahu, kita harus menghadapi ini bersama.”Jasmine mengangguk perlahan. Kata-kata Noah memang menenangkan, namun hatinya tetap terasa berat. Apakah dia benar-benar siap untuk mengungkapkan seluruh kenyataan, untuk menghadapi apa yang telah lama terkubur? Rasanya seperti menggali lubang yang dalam dan tidak tahu apa yang akan ditemukan di dalamnya.“Dan bagaimana dengan Oma Dursila?” tanya Jasmine, masih tidak bisa menghindari pikiran tentang wanita tua yang telah menggerakkan begitu banyak pot
“Jas,” Noah mulai, suaranya rendah, “apa yang kamu pikirkan sekarang? Aku ingin tahu lebih banyak tentang apa yang kamu rasakan. Apakah kamu merasa lebih baik, atau masih bingung?”Jasmine menatapnya, mencoba merangkai kata-kata. “Aku… masih merasa bingung, Noah. Aku ingin bisa melanjutkan, aku ingin kita bisa lebih bahagia. Tapi ada begitu banyak hal yang aku harus terima. Aku merasa terkadang aku nggak tahu siapa aku sebenarnya dalam keluargamu.”Noah mendekat, meraih tangannya dengan lembut. “Kamu adalah bagian dari keluarga ini, Jas. Aku tidak bisa mengubah masa lalu, tapi aku ingin kita melangkah maju bersama. Apa pun yang terjadi, kamu nggak perlu merasa sendirian.”Jasmine mengangkat kepala, melihat mata Noah dengan penuh keyakinan. “Aku tahu. Tapi aku juga harus menghadapi kenyataan yang sulit ini, tentang siapa aku dan apa yang benar-benar terjadi. Aku nggak bisa lari dari itu.”N
Jasmine duduk di balkon rumah besar mereka, menghadap langit yang mulai meredup dengan nuansa jingga keemasan. Angin sore yang sejuk menyapu wajahnya, namun perasaan di dalam hatinya masih jauh dari tenang. Setiap keputusan yang dia buat dalam beberapa hari terakhir terasa penuh dengan ketegangan, seperti mencoba menavigasi jalan sempit di antara jurang. Semua perasaan itu bersaing dalam dirinya—rasa cinta, kemarahan, kebingungannya, dan kerinduan akan ketenangan.Dia menatap ke depan, merasa seolah dirinya sedang berada di persimpangan jalan, dan tidak tahu arah mana yang harus dipilih.Ponselnya bergetar di saku celananya. Dengan enggan, dia mengeluarkan ponsel itu dan melihat nama Noah muncul di layar. Dia sudah tahu, ini pasti pesan dari Noah. Setiap kali mereka berbicara, selalu ada campuran antara keraguan dan harapan dalam suara Noah. Tetapi, Jasmine masih merasa perlu waktu untuk mengurai perasaannya sendiri.Pesan Noah kali ini tidak panjang, hany
Sore itu, saat dia kembali ke rumah, Noah sedang duduk di ruang tamu dengan tatapan kosong. Wajahnya terlihat lelah, namun matanya tetap memancarkan kekhawatiran yang mendalam. Ketika Jasmine masuk, dia langsung berdiri dan berjalan mendekat, namun langkahnya terhenti begitu melihat ekspresi di wajah Jasmine.“Kamu kembali,” Noah berkata, nada suaranya terdengar cemas. “Jas, apakah—”“Aku butuh waktu,” kata Jasmine cepat, memotong kalimat Noah. “Aku masih belum bisa memutuskan apa yang harus aku lakukan. Aku… aku bingung, Noah.”Noah mengangguk, meskipun ada rasa sakit yang jelas di wajahnya. “Aku paham, Jas. Aku nggak bisa memaksamu. Tapi aku ingin kamu tahu, aku menunggu apapun keputusan yang kamu ambil.”Jasmine menghela napas panjang, berjalan menuju jendela besar yang menghadap ke taman belakang. Dia melihat rerumputan hijau yang tumbuh rapi, seperti semuanya tampak sempurna. Na
“Jas, aku—” Noah berhenti sejenak, seolah kata-kata itu sulit keluar. “Aku nggak tahu harus mulai dari mana. Keluargaku punya sejarah yang rumit. Ada begitu banyak hal yang terjadi, dan aku nggak ingin kamu terjebak dalam semua ini. Aku hanya ingin kita berdua bahagia.”Jasmine menunduk, mencoba untuk mengumpulkan pikirannya. “Tapi, aku berhak tahu, Noah. Aku berhak tahu siapa aku sebenarnya. Apa yang terjadi di masa lalu itu nggak bisa terus disembunyikan.”Noah berjalan mendekat, berusaha meraih tangannya, namun Jasmine menarik tangannya. “Jas, tolong. Aku ingin kamu tahu bahwa aku tak pernah berniat menyakitimu. Aku ingin kita tetap bersama, tapi aku juga butuh waktu untuk menyelesaikan ini dengan keluarga.”Jasmine merasakan dada terasa sesak. “Tapi aku nggak tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Kamu bilang aku bagian dari keluargamu, tapi ternyata ada banyak hal yang tidak pernah kamu ceritakan
Noah menghela napas panjang, merasa bahwa setiap kata yang dia ucapkan kini terasa seperti beban yang tak bisa dilepaskan. “Jas, kamu harus tahu bahwa aku nggak ingin kamu merasa terjebak di dalam ini. Aku berjanji aku akan menceritakan semuanya.”Jasmine menunduk, matanya terpejam untuk menenangkan diri. “Aku nggak tahu, Noah. Aku... aku butuh waktu untuk memikirkan semuanya.”Noah merasakan hatinya hancur melihat Jasmine seperti itu. Tidak ada kata-kata yang bisa menghibur hatinya yang terluka. Apa yang bisa dia lakukan? Dia sudah berusaha, tapi kenyataannya selalu saja menghalanginya.“Jas,” Noah berkata pelan, hampir berbisik. “Aku akan melakukan apapun untuk kita. Aku janji.”Jasmine hanya mengangguk lemah, tak mampu berkata apa-apa lagi.Sore itu, keduanya terdiam, terjebak dalam perasaan yang tak bisa diungkapkan. Jasmine merasa hatinya terperangkap dalam labirin perasaan yang tak jelas arah tu
Hari itu terasa begitu berat bagi Jasmine. Setiap langkah yang diambil seolah terhenti oleh pikiran yang terus berputar dalam benaknya—semua yang baru saja dia dengar dari Harness. Kebenaran yang mengerikan itu seakan-akan merobek setiap potongan kenyamanan yang selama ini dia percayai. Bahwa dia—Jasmine Ayu Kartika—mungkin bukan siapa-siapa dalam dunia yang begitu besar dan rumit ini, hanya menjadi bagian dari sebuah rahasia yang lebih besar daripada dirinya sendiri.Dia mencoba untuk menenangkan diri, mengatur napas, namun setiap detik yang berlalu hanya menambah beban di dadanya. Ketika akhirnya dia sampai di rumah, rasanya seperti langkahnya terhambat oleh sesuatu yang tak terlihat. Rumah itu, yang biasanya memberikan rasa aman, kini terasa penuh dengan ketegangan. Semua kenyamanan itu hilang begitu saja setelah apa yang dia ketahui.Noah sedang duduk di ruang tamu, seperti biasa, namun ada sesuatu yang berbeda di wajahnya. Ekspresi gelisah yang t
Harness: "Ada yang ingin kamu bicarakan, Jas?"Jasmine menarik napas panjang, berpikir sejenak sebelum akhirnya mengetik balasan.Jasmine: "Apa yang sebenarnya terjadi antara kamu dan Noah? Kenapa kamu selalu ada di sekitar dia, bahkan sampai sekarang?"Beberapa detik berlalu, lalu balasan datang dengan cepat.Harness: "Kamu harus siap untuk mendengarnya. Ada banyak yang nggak kamu ketahui, Jas."Jasmine menelan ludah, merasakan kekhawatiran yang semakin mendalam. Dia bisa merasakan bahwa ini bukan hanya sekedar pertanyaan sederhana. Ada rahasia yang jauh lebih besar di balik semua itu—rahasia yang bisa mengubah segalanya.Tanpa memberi tahu Noah, Jasmine memutuskan untuk bertemu dengan Harness, merasakan sebuah dorongan kuat untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi antara mereka.Sore itu, Jasmine berjalan menyusuri jalan setapak menuju kafe yang sering digunakan oleh Harness untuk bertemu denga