Share

02. Dia Bukan Anakku!

"Bu Rara, maaf kami jadi merepotkan. Terima kasih sudah mau menemani Valerie sampai saya datang," kata Brandon.

"Nggak masalah, Pak. Sudah termasuk tugas saya sebagai guru Valerie," sahut Adora mengulas sebuah senyuman.

"Ayo, pulang! Aku mau tempel gambar aku di kamar, Pa," ajak Valerie sambil narik-narik ujung kemeja Brandon.

"Iya, sebentar. Papa 'kan harus pamitan sama Bu Rara dulu," kata Brandon.

"Oke, deh. Ibu, besok ketemu lagi sama aku, ya!" Mata Valerie menyipit seiring lengkungan bibir yang menghadap ke atas itu muncul.

"Tentu. Besok kita main bersama lagi, ya!" jawab Adora sambil beberapa kali mengelus pucuk kepala muridnya.

"Kalau begitu, kami pamit, Bu. Sekali lagi makasih sudah mau temani Valerie. Sampai bertemu besok," pamit Brandon.

"Sama-sama, Pak. Baik, hati-hati di jalan, ya. Dah, Valerie, jangan lupa cuci tangan dan kaki kalau sudah sampai rumah, ya!" Adora melambaikan tangannya.

Valerie pun mengangguk. Ia membalas lambaian tangan gurunya sebelum benar-benar meninggalkan Adora yang masih berdiri di taman bermain sekolah.

Setelah memastikan murid dan orang tuanya pergi, Adora pun menuju ruang pertemuan. Hari ini sebenarnya di sekolah diadakan pertemuan antara para pengajar bersama kepala sekolah. Namun, karena Valerie telat dijemput, maka Adora harus menemani muridnya tersebut sampai orang tuanya datang dan baru bisa bergabung bersama rekan kerjanya yang lain di ruang pertemuan.

Adora mengetuk pintu sebelum ia memasuki ruangan tersebut. Begitu mendapatkan jawaban dan izin untuk masuk, wanita itu pun baru membuka pintu tersebut dan bergabung dalam pertemuan itu.

"Maaf, Bu, lama. Orang tuanya tadi sempat mengajak berbicara sebenta," ucap Adora kepada kepala sekolah karena merasa tidak enak.

"Pasti sudah menggatal, mau jadi pelakor lagi kayaknya kayak tahun lalu," celetuk Siska, rekan seprofesinya yang memang dari awal tidak menyukai Adora.

Adora hanya bisa menghela napasnya. Sambil berucap sabar dalam hati, ia pun duduk di samping Ayumi. Linda yang merupakan kepala sekolah di TK Gemilang Cahaya pun mencoba menegur Siska agar tidak berkata yang tidak baik dalam pertemuan mereka kali ini.

"Ibu Siska, tolong dijaga ucapannya! Bagaimanapun kamu adalah pengajar di sekolah ini. Tidak baik bagi profesi kita berbicara seperti itu apalagi kepada rekan sendiri," tegur Linda.

Siska pun memalingkan wajahnya acuh. Ia tidak meminta maaf sama sekali kepada Adora ataupun Linda. Tingkahnya memang terkesan menyebalkan. Dia merasa lebih unggul hanya karena Linda adalah kenalan mamanya.

Dari awal bergabungnya Adora di sekolah tersebut, Siska memang langsung membencinya tanpa sebab. Ia merasa mendapat saingan ketika Adora mampu merebut hati anak-anak beserta para orang tuanya. Atas sikap penyayang dan perhatian yang dimiliki Adora, ia berhasil menjadi guru populer di kalangan muridnya.

Di tahun terakhir ajaran sekolah kemarin, Adora banjir hadiah dari orang tua murid. Mereka sangat berterima kasih atas dedikasinya sebagai guru yang mengajar dengan tulus kepada anak-anak. Hal itu, membuat Siska terbakar api cemburu. Menurutnya posisi itu seharusnya menjadi miliknya.

Ditambah tahun lalu, ada salah satu orang tua murid yang memang berusaha mendekati Adora secara lebih walau ia telah beristri. Hal tersebut sempat membuat sedikit keributan, untung saja istrinya tahu betul bagaimana Adora selama ini. Sehingga semuanya diselesaikan dengan cara baik-baik.

"Kita kembali bahas beberapa rencana kegiatan yang akan dilaksanakan pada tahun ajaran ini, ya. Jangan ada yang keluar topik, fokus pada hal yang seharusnya!" Linda memberikan intruksi dengan tegas.

***

Kediaman Brandon

Valerie masuk ke dalam rumah dengan hati yang riang. Ia begitu tidak sabar untuk memajang karya pertamanya di dinding kamar. Saat memasuki ruang keluarga, ia melihat sosok yang tak asing baginya.

"Hai, Tante! Aku balu pulang sekolah, loh!" pamernya dengan bangga.

"Ck, ngomong yang benar dulu, Ri! Cadel gitu mau sekolah," ledek Laluna, adik kandung Brandon.

"Huh, Tante nyebelin! Jay mana, Tan?" Ia mencari sepupunya yang tak kelihatan di sekitar Laluna.

"Di rumah, ngapain juga Tante ajak dia?" tanya balik Laluna.

"Kenapa nggak diajak? Padahal aku mau main sama Jayden," timpal Valerie yang kini mengerucutkan bibirnya karena kesal anak yang ia tanyakan tidak ikut.

"Ngapain juga Tante ajak dia? Ribet, tukang rewel, lagian dia bukan anak Tante, jadi nggak perlulah dia ikut ke sini," jawab Laluna seenaknya.

"Luna!" Brandon pun menegur adiknya itu.

"Loh, bukannya Jay anak Tante sama Om ganteng, ya?" Valerie pun bingung.

Brandon pun berjongkok dan memegang kedua pipi putrinya. "Riri tadi bilang mau tempel gambar yang kamu buat di sekolah, kan?"

"Oh, iya. Aku lupa! Kalau gitu aku ke kamal dulu, ya. Bye, Papa! Bye Tante nyebelin!" Anak itu langsung berlari menuju kamarnya sebelum Laluna kesal karena ucapannya barusan.

Brandon kemudian menghampiri adiknya. Ia duduk di sofa dan menatap tajam ke arah Laluna. Berulang kali ia ingatkan agar wanita itu tidak pernah membahas asal usul mengenai Jayden di hadapan anaknya. Hal tersebut akan membuat Valerie bingung karena yang ia tahu bahwa Jayden adalah anak Laluna dengan suaminya.

"Apa? Mau marah lagi kamu, Kak?" tanya Laluna yang sudah paham betul apa yang akan terjadi.

"Kamu ini kenapa, sih? Ini sudah tiga tahun, loh! Susah banget buat kamu terima anak itu?" heran Brandon.

Laluna melipat kedua tangannya di depan dada, dengan kaki menyilang ia pun menatap sinis kakaknya. "Ya, memang kenyataannya begitu. Dia bukan anak aku, jadi buat apa aku pura-pura terima dia?"

"Lun, kamu ini cinta 'kan sama suamimu? Kalau iya, kenapa susah banget buat kamu terima Jayden jadi anak kamu? Nggak ada manusia yang sempurna, mulus tanpa dosa, Lun. Lagian Jonathan juga sudah jadi suami kamu," kata Brandon mengingatkan adiknya.

Wanita itu pun menjawab, "urusan cinta nggak ada sangkut pautnya sama anak haram itu, Kak! Aku mungkin menang atas kepemilikan Jonathan yang sekarang jadi suami aku, tapi kamu nggak tahu 'kan selama tiga tahun ini, gimana aku yang mati-matian berjuang ingin punya anak dari dia? Dia malah asik sama anak yang dibuang ibunya sendiri di depan rumahku."

Brandon sempat menghela napasnya untuk beberapa saat. Ia tidak mengerti dengan pola pikir adiknya itu. Kejadiannya sudah berlalu sekitar tiga tahun lamanya, tapi sampai detik ini wanita itu belum bisa menerima kehadiran anak dari Jonathan dan mantan kekasihnya dulu.

"Begini saja, posisikan dirimu sebentar saja jadi dia. Apa kamu bakalan lakuin hal yang sama?" tanya Brandon.

Laluna menggeleng. "Tidak! Aku nggak mau lakuin hal yang sama kayak dia. Lebih baik aku gugurin kehamilan aku pas tahu kalau calon suami aku malah nikah sama cewek lain. Lebih baik begitu, dari pada mengandung, melahirkan, eh ... anaknya malah dikasih sama mantannya. Nggak habis pikir, padahal dia tahu kalau mantannya sudah punya istri dan kehidupan baru!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status