Share

06. Jangan Jadi Pelakor!

"Sekali lagi makasih banyak sudah mau mengantar saya ke makam mama saya, apalagi sampai pulang ditraktir dulu dan sekarang diantarkan pulang," ucap Adora.

"Nggak masalah, Bu Rara. Saya yang harusnya makasih sama Ibu karena sudah jagain Valerie sebelum saya jemput. Maaf, kalau nantinya mungkin malah jadi langganan saya repotin Ibu, apalagi kalau kerjaan saja lagi agak banyak," sahut Brandon.

"Nggak apa-apa, Pak. Saya kalau diminta nungguin Valerie lama-lama juga betah, Pak. Anaknya baik, nggak rewelan juga," kata Adora sambil tertawa kecil diakhir perkataannya.

"Syukurlah kalau begitu. Saya pamit, ya, Bu. Kasihan Valerie sudah kecapekan, sampai rumah pasti tetap pulas tidurnya," pamit Brandon.

Valerie memang di perjalanan menuju hunian Adora sudah terlelap. Perutnya kenyang karena pada akhirnya dia menghabiskan dua donat miliknya dan juga seporsi kentang goreng beserta potongan sosis. Maka dari itu, ia tidak ikut turun dari mobil.

"Iya, Pak. Hati-hati di jalan!" pesan Adora.

Brandon pun mengangguk, lalu ia pun kembali masuk ke dalam mobil dan melajukan lagi kendaraannya itu untuk menuju kediamannya. Sedangkan Adora baru membuka gerbang dan memasuki kawasan kost yang cukup elit itu setelah memastikan bahwa mobil milik Brandon tak terlihat lagi dari jangkauan pandangannya.

Setelah papanya menikah lagi dan memutuskan untuk pindah ke Sydney, Adora memang memilih tinggal sendiri dan menyewa sebuah kamar kost yang letaknya tidak begitu jauh dari tempat ia mengajar. Rumah yang mereka tempati dulu sudah dijual untuk digunakan sebagai modal usaha membuka restoran oleh papanya. Kebetulan papanya adalah mantan kepala koki di salah satu hotel ternama, maka dengan penuh pertimbangan, ia pun memilih untuk membuka usahanya di negeri orang.

***

Malam tiba, setelah tadi hujan sempat reda saat petang hampir tiba, kini tetesan air dari langit itu pun mulai berjatuhan kembali. Jendela kamar kost Adora terbuka, sehingga aroma tanah yang basah karena air hujan pun tercium oleh wanita itu. Adora menyukai hujan, tapi tidak dengan kilat dan petir yang menyambar. Ia pun benci ketika hujan turun, lampu padam tanpa aba-aba.

Bagi Adora keadaan itu justru akan terasa sesak dan tak nyaman. Ia merasa pikirannya akan melanglang jauh memikirkan segala kesedihan yang di masa lalu sudah menimpanya. Jika hanya hujan, terbayang layaknya alunan musik yang menangkan, apalagi jika itu terjadi di malam hari.

Adora duduk di kursi yang menghadap langsung ke arah jendela kamar yang terbuka. Di depannya juga ada meja yang terdapat secangkir teh hijau dengan asap yang mengudara.

"Sedang apa kamu di sana? Apa kita sama menyukai hujan juga?" batinnya.

Suara ketukan di pintu membuat lamunannya buyar. Adora bangkit dari kursi dan membukakan pintu kamarnya. Terlihat seorang wanita dengan ikatan kuncir kuda berdiri di depannya sekarang. Ia mengangkat bungkusan plastik bening yang berisikan dua lipatan kertas nasi yang entah membungkus makanan apa. Giginya terlihat berjejer rapi saat wanita itu tersenyum lebar ke arah pemilik kamar tersebut.

"Bawa apa, Jen?" tanya Adora.

Jenny, tetangga kost yang memang dekat dengan Adora itu pun langsung masuk ke dalam kamar tanpa menjawab terlebih dahulu pertanyaan temannya itu. Adora langsung menutup pintu kamarnya, lalu ia pun ikut duduk bersila di atas karpet dengan Jenny.

"Sariawan kamu, Jen? Aku tanya malah nggak jawab," sindir Adora.

Jenny pun tertawa dan baru menyadari bahwa memang ia belum memberikan jawaban untuk temannya itu. "Iya, juga. Ini aku beli bihun goreng kesukaan kita. Hujan gini enaknya 'kan makan yang pedas-pedas."

"Paling pengertian memang. Makasih, loh!" Adora bangkit dan berjalan ke bagian tempat penyimpanan alat makan untuk mengambil dua piring beserta sendoknya.

Wanita itu dengan cepat kembali duduk dan memberikan satu piring berserta sendoknya kepada Jenny. Mereka berdua pun menjadikan piring itu sebagai alas untuk menyimpan makanannya. Dua porsi bihung goreng ekstra pedas yang dilengkapi dengan acar, sayuran serta kerupuk pun kini tersaji di hadapan mereka.

"Gimana kerjaanmu di tempat baru, Jen?" tanya Adora sambil mulai memasukkan satu suapan bihun gorengnya itu.

"Lumayanlah, selain nggak begitu jauh, orangnya cukup asik. Beda banget sama di kantor lama. Oh, ya. Tahun ajaran baru seru, nggak?" tanya balik Jenny.

Adora mengangguk. "Seru, sih. Muridnya tambah banyak. Nggak banyak yang drama pas awal masuk, lebih banyak yang kalem sebenarnya. Cuma nggak tahu ke depannya gimana, bisa saja mereka masih malu-malu gitu."

"Nggak heran, sih. Anak-anak memang gitu. Cuma salutnya aku sama kamu, bisa sabar gitu menghadapi berbagai macam tingkah laku anak-anak. Buat aku yang sabarnya setipis tisu, sudahlah nyerah duluan," jujur Jenny.

Adora menyimpan sendoknya. Lengkungan ke atas dari bibirnya pun ia tunjukkan kepada Jenny. "Mereka itu kayak obat dari segala kesedihan, kekecewaan sama bisa ngusir rasa sepi kita, Jen. Dengan tingkah yang menggemaskan, senyuman yang manis dan celotehan jujur mereka itu bakalan buat hati kita hangat pas melihatnya."

"Itu buat kamu, Ra. Aku belum sampai sana pemikirannya. Oh, ya. Tadi kata pak Abraham, kamu diantar pulang sama cowok, ya? Mana mobilnya mewah bener lagi, siapa itu? Gak mau cerita sama tetanggamu sendiri, nih?" Jenny baru teringat kalau tadi saat menerima pesanan bihun goreng yang ia pesan dari aplikasi online, satpam di tempat kost memang sempat bilang hal itu kepadanya.

Adora mengernyit. "Pak Abraham memang jagonya gosip, deh. Tadi aku pulang diantar sama orang tua murid. Anaknya memang suka paling terakhir dijemput pulang. Kebetulan juga aku mau ke makam mama, mungkin karena gak enak, dia nawarin buat nganter aku."

"Tunggu!" Jenny mencerna kata-kata temannya barusan karena agak membingungkan baginya. "Jadi dia antar kamu ke makam, habis itu kamu diantarkan pulang, gitu?"

"Iya." Adora mengangguk.

"Ra, ih jangan jadi pelakor! Dosa, ingat Tuhan kamu!" Raut wajah Jenny terlihat begitu serius kali ini.

"Hah? Apa, sih?" Adora justru malah bingung dengan respon yang diberikan Jenny kepadanya.

Jenny menyilangkan kedua tangannya di dada. Posisi kakinya ia benarkan agar menyilang dengan baik, badan pun ia tegakkan. "Dia itu suami orang, sudah punya anak. Hati-hati, bisa saja itu cowok modus biar bisa dapatkan kamu! Ingat kasus tahun kemarin itu, loh! Jangan sampai keulang lagi, aku bilang gini karena peduli sama kamu, ya."

Adora malah tertawa terbahak-bahak. Membuat Jenny menjadi keheranan.

"Dih, ini anak dibilangin malah ketawa. Memang ada yang lucu?" tanya Jenny sambil geleng-geleng kepala.

"Nggak ada, sih. Cuma nggak usah khawatir. Aku juga tahu batasan, Jen. Lagian pak Brandon itu duda. Kalau dia beristri juga mana mau aku diantarkan tadi. Pasti aku tolak. Terus kamu pikir semua cowok itu tertarik sama aku? Aku nggak secantik dan semenarik itu, Jen. Tenang saja," terang Adora.

"Dia duda, Ra? Wah, kalau gitu gebet saja sudah!" ide gila pun akhirnya muncul dari mulut manis Jenny yang tentu membuat Adora tak habis pikir.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status