"Kamu—"
Belum sempat Baim menyelesaikan kata-katanya, Laura melangkah maju dengan langkah tajam. Tangannya mencengkeram kerah kemeja Baim, menariknya mendekat—dan tanpa memberi ruang untuk berpikir, bibirnya menabrak bibir suaminya.
Ciuman itu bukan cerminan rindu, melainkan ledakan kepemilikan yang membara. Lidahnya menelusup liar, menuntut, mendesak, seolah ingin membakar semua keraguan. Ia mencium Baim bukan hanya untuk merasakan, tapi untuk menunjukkan sebuah kekuasaan pada Ayu.
Ayu berdiri mematung, dadanya terasa sesak. Ada sesuatu yang dingin mengalir pelan dari dadanya ke perut—rasa yang tak ia ingin kenali, tapi tak bisa ia tolak: cemburu. Matanya membeku, namun tak bisa berpaling. Ciuman itu mengiris, menusuk lembut seperti belati yang tersenyum. Di balik gairah yang memekik dari bibir Laura, Ayu bisa melihatnya—tatapan singkat, penuh kemenangan.
Laura menarik diri perlahan, membiarkan suara ciuman yang basah dan provokat
"Aku ini ibu dari anak-anakmu, Mas..." Suara Laura meninggi, nyaris pecah di ujung kalimat.Langkah Baim terhenti mendadak. Ia membalikkan tubuh dengan gerakan tajam, matanya menghujam Laura tanpa ampun."Ya, kamu ibu mereka," ujarnya pelan, tapi nadanya tegas—dingin dan menusuk, lebih tajam dari teriakan. "Dan itu seharusnya jadi alasanmu untuk pulang. Tapi kenyataannya… bukan mereka yang membuatmu kembali, kan?"Tatapan Laura yang semula menantang perlahan meredup. Bahunya jatuh sedikit, dan sorot matanya mulai menampakkan retakan yang selama ini ia sembunyikan. Ia melangkah mendekat, lalu memeluk tubuh Baim—erat, rapuh—seolah ingin menghapus jarak yang pernah ia ciptakan sendiri."Aku salah, Mas… Aku tahu," bisiknya, suaranya pecah di dada Baim. "Tapi… apa aku salah kalau aku takut kehilangan kamu?"Pelukannya menguat, putus
Ciuman Laura mendarat perlahan di dada Baim—lembap, hangat—meninggalkan jejak yang seolah membakar kulit… dan hati. Jemarinya menelusuri sisi tubuh pria itu, seakan ingin mengingat kembali setiap lekuk yang dulu pernah menjadi miliknya.Namun dalam benak Baim, wajah Ayu perlahan muncul. Tatapan matanya yang jernih. Suara lembutnya saat berbicara. Dan kepolosannya yang selalu berhasil menggugah naluri Baim untuk melindungi.Seketika, dadanya terasa sesak. Antara raga yang disentuh godaan… dan jiwa yang ingin melarikan diri.Bibir Laura semakin intens menyusuri dada dan lehernya—pelan, menggoda. Tapi tubuh Baim tetap kaku. Tak ada reaksi. Seolah setiap sentuhan itu gagal menyalakan bara di dalam dirinya. Ia memejamkan mata, berusaha memanggil hasrat yang dulu pernah ada. Tapi yang ia temukan hanyalah kehampaan."Kenapa aku gak bisa merasakan apa-apa?" batinnya bertanya, getir.Laur
Fatma memutar badan. Langkahnya terhenti mendadak. Di ambang pintu, Laura berdiri tegak, di sampingnya Baim menyusul pelan. Tanpa diminta, Fatma menunduk dalam."Bu…" ucapnya pelan, nyaris seperti minta ampun.Senyum Ayu meredup, seperti cahaya lampu yang dipadamkan mendadak. Pelukannya pada Srikandi menguat, seolah dunia bisa runtuh kapan saja dan hanya tubuh kecil itu yang membuatnya tetap berdiri.Langkah Laura masuk penuh wibawa dan dingin. "Kami yang akan membawa mereka jalan-jalan," ujarnya tajam, tatapannya menusuk lurus ke arah Ayu. "Kamu gak lupa perintahku kemarin, kan? Jangan terlalu dekat sama si kembar. Kamu cuma ibu susunya, Ayu. Bukan ibu kandung."Ayu berdiri perlahan, namun sikapnya tak lagi tunduk. Srikandi masih dalam pelukannya, dilindungi seperti sesuatu yang tak ternilai. Suaranya tenang, tapi ada bara dalam nada itu. "Memang bukan. Tapi darah saya mengalir d
Langkah Baim dan Laura menjauh, dan suara tawa Laura terdengar sayup, menggema di ruang yang kini terasa kosong bagi Ayu. Satu-satunya yang tersisa hanyalah keheningan—dan lengan Ayu yang masih terasa hangat meski tak lagi memeluk siapa pun.Mereka akhirnya berangkat menuju Playtopia di Senayan Park. Kedua pengasuh, Fatma dan Sari, berjalan di belakang sambil menggendong si kembar yang masih terlelap.Sesaat sebelum masuk ke mobil, Baim melirik ke arah mereka. "Aku rasa... Fatma dan Sari nggak perlu ikut."Laura menoleh cepat. "Loh, kenapa, Mas? Nanti aku jadi repot dong kalau gak ada mereka.""Kamu yang bilang ingin lebih dekat dengan anak-anak," ujar Baim pelan, nada suaranya cerminan kesabaran yang mulai tipis. "Kalau memang serius, ya harus siap repot, Laura."Laura menghela napas panjang, lalu menoleh padanya sambil tersenyum manis—senyum yang tidak menjangkau matanya. "Mas…
"Benar, kan, Pak Baim? Anda yang menyebabkan Ayu meninggalkan rumah?" tanya salah satu awak media, lantang.Seketika, Laura menoleh pada Baim. Tatapannya menuntut penjelasan. Ada ribuan pertanyaan yang tak pernah terucap, namun semuanya terpancar jelas dari sorot matanya."Mas... apa benar yang mereka katakan?" tanya Laura lirih.Baim membeku. Napasnya tertahan. Wajahnya tegang, tapi bibirnya enggan bergerak."Maaf..." ucapnya akhirnya, pelan nyaris tak terdengar. "Kalian keliru."Tanpa memberi ruang untuk pertanyaan lanjutan, Baim menggenggam tangan Laura dan menariknya pergi. "Ayo, Laura. Kita pergi sekarang."Suara kamera menjepret dan teriakan wartawan memburu langkah mereka, tapi Baim tak menghentikan langkah.Laura menoleh sejenak, bibirnya tertutup rapat. Bukan karena malu, melainkan karena ingin tahu—apakah kali ini Mas Baim akan kembali melindungi Ayu?Namun kerumunan awak media belum menyerah. Mereka t
"Kamu mau ninggalin aku gitu aja, Mas?" Laura berteriak, berharap Baim menghentikan langkahnya."Mas Baim... Berhenti!"Namun Baim terus berjalan. Tanpa menoleh, tanpa sedikit pun memberi isyarat bahwa ia mendengar. Seolah suara Laura hanyalah angin lalu.Seketika, dunia Laura terasa sunyi. Yang tersisa hanya bayangan punggung suaminya yang menjauh—dan keheningan yang menyakitkan."Mas... Aku bilang gak mau pulang!"Meski begitu, ia masih terus berteriak sembari berlari kecil mengikuti langkah Baim yang semakin menjauh.Ia berteriak sembari setengah berlari mengejar Baim, langkahnya terantuk emosi. Tapi gerakannya terhenti mendadak saat getaran ponsel terasa di dalam tas.Satu pesan masuk.Matanya menyipit, bibirnya tertarik membentuk senyum tipis—senyum yang bukan bahagia, tapi mengandung api
"Apa? Selingkuh?" seru Fatma, terperangah. "Jangan asal tuduh, Indri. Fitnah itu berat!"Indri segera menarik tubuhnya ke belakang. Wajahnya menunjukkan kekecewaan. "Ya… siapa tahu, kan? Kalau bukan karena itu, terus mereka bertengkar gara-gara apa?"Sari menoleh dengan ekspresi malas menanggapi, tapi akhirnya berkata, "Tadi mereka sempat debat. Bu Laura maksa main sendiri. Dia gak mau gendong si kembar bareng Ayu. Bapak kelihatan jengkel."Fatma mengangguk setuju, menurunkan suaranya meski tak ada siapa-siapa lagi di dalam rumah. "Iya, kayaknya Bu Laura gak tulus deh, ingin dekat sama si kembar. Dia mungkin cuma ngerasa kalah aja sama Ayu. Makanya si kembar direbut terus, biar nggak terlalu deket sama Ayu."Indri berkedip cepat, tak yakin. "Ah masa sih Bu Laura begitu, sih?"Sari menyandarkan diri ke kursi, matanya menatap kosong ke arah pintu depan. "Awalnya
"Malam, Pak Baim," sapa para karyawan hampir bersamaan.Di ruang TV, mereka sedang duduk, berselonjor santai di karpet sambil menikmati tayangan ringan."Malam," jawab Baim singkat, lalu menoleh ke arah Fatma yang duduk di ujung sofa. "Laura sudah pulang?"Fatma menggeleng pelan. "Belum, Pak."Baim melirik jam dinding yang berdetak pelan di ruang tengah, menandai pukul sembilan malam lewat sepuluh menit.Sekilas raut kecewa terlintas di wajahnya, tapi ia menyembunyikan itu dengan anggukannya yang tenang."Si kembar sudah tidur?"Sari, yang baru muncul dari dapur, menjawab sambil menyeka tangannya dengan serbet. "Tidur di kamar Ayu, Pak. Tadi Ayu minta... katanya cuma malam ini."Baim tidak berkata apa-apa. Tapi senyum kecil sempat muncul, nyaris tak terlihat. "Baiklah. Nikmati waktu santai kalian."Ia melangkah naik ke lantai dua. Rumah terasa semakin sunyi saat suara langkahnya menjauh dari ruang bawah
Narendra menurunkan jendela mobil. "Mau apa kalian?""Tuan Sambo meminta Anda segera menemuinya," jawab pria itu datar.Narendra mengisap rokoknya sekali lagi, lalu melemparkannya keluar. "Sudah kubilang, aku akan menemuinya setelah ini."Tatapan pria itu mengeras. "Di mana wanita itu?"Narendra menyipitkan mata, nadanya tajam. "Kalian mau rebut bonus itu untuk diri kalian sendiri? Aku yang akan menyerahkannya langsung ke Papa. Sekarang minggir."Ia menutup jendela, mendorong knop transmisi, lalu menancap gas, meninggalkan tempat gelap itu dalam kepulan debu.Sementara itu di rumah Baim. Kamar yang remang, cahaya dari layar ponsel menyala terang di wajah Laura. Alisnya bertaut, rahangnya mengeras. Ia menggulir layar cepat-cepat, lalu berhenti pada satu unggahan yang tengah ramai dibagikan. Teks di bawahnya menyala tegas: "Surat Perjanjian Pernikahan Ayu, Bocor ke Publik."Matanya membelalak. Ponsel itu bergetar ringan di tangannya yang gemetar."Enggak mungkin..." bisiknya. Ia berdir
"Apa maksudnya Mas Rendra? Jangan-jangan dari awal dia cuma disuruh Papa?" Ayu menggenggam ponselnya erat, jantungnya berdebar tak karuan.Malam itu, kabut tipis menggantung di antara deretan pepohonan. Ayu duduk kaku di jok penumpang, jemarinya meremas ujung dress. Cahaya ponsel di pangkuannya terus menyala—pesan tanpa nama itu terus ia baca, kata-katanya membuat resah dan khawatir.Narendra diam di balik kemudi, sorot matanya fokus menembus gelap.Aspal di depan membentang hitam dan kosong, tapi Ayu tak menatapnya—matanya lebih sering melirik Narendra, lalu ke jalan, lalu kembali lagi. Ada sesuatu yang mencurigakan mengusik pikirannya.Saat mobil berbelok di perempatan kecil, masuk ke jalan sempit yang hanya cukup untuk satu mobil, Ayu langsung duduk lebih tegak."Mas, kok kita lewat sini?" Suaranya tercekat, hampir tak terdengar."Biar kita nggak gampang dilacak. Di jalan besar, orang-orang Papa bisa mengenali mobil ini."Jawabannya masuk akal, tapi Ayu tak bisa mengusir gemuruh di
"Papa ngirim pesan..." Suara Narendra terdengar panik.Mata Ayu membulat. "Apa? Mungkinkah itu orang suruhan Papa?"Narendra kembali melirik spion, lalu menggeleng pelan. "Nggak tahu."Beberapa detik kemudian, getaran panggilan masuk dari Sambo membuat ponselnya bergerak."Papa nelpon, Mas!" seru Ayu panik.Narendra spontan menoleh ke arah ponsel. Pegangannya di setir mulai goyah."Apa Papa tahu aku bawa Ayu kabur?" batinnya.Ayu melirik spion dengan napas tak teratur. "Mas, van hitam itu masih ngikutin kita. Gimana dong?""Di depan ada pom bensin. Aku akan masuk ke sana."Narendra membanting setir, lalu menepi ke area pom. Dari kaca spion, ia melihat van itu menyalip dan terus melaju.Ayu menghela napas panjang. Matanya terpejam sebentar."Syukurlah... Van itu udah nggak ngikutin kita."Narendra mengangguk kecil. "Aku angkat telepon dari Papa. Kamu tenang dulu, ya."Ayu mengangguk cepat. "Iya, Mas..."Narendra menekan tombol hijau. Ia menarik napas panjang sebelum berbicara."Halo,
Mata Ayu membelalak. Nafasnya tertahan saat melihat sosok di ambang pintu. Degup jantungnya melambat—bukan karena takut, tapi lega."Mas Rendra..." suaranya lirih, nyaris seperti bisikan yang tercekat. Ia bergegas membuka pintu.Narendra masuk tanpa basa-basi. Tangannya meraih gagang pintu dan membantingnya hingga tertutup rapat. Tatapannya tajam, nadanya nyaris membentak."Kamu yang menyebarkan surat itu? Kenapa kamu gegabah, Ayu?"Ayu tersentak, lalu buru-buru menggeleng. "Bukan aku, Mas. Sumpah. Aku bahkan nggak tahu siapa yang—""Ini gawat." Narendra menyapu ruangan dengan pandangan waspada. Matanya menyipit."Kamu bisa dalam bahaya. Siapapun yang menyebarkan, yang jelas isi perjanjian itu sudah terungkap ke publik. Papa Sambo nggak akan membiarkan kamu muncul dan bicara.""Kenapa, Mas? Aku bisa menyangkal. Berpura-pura perjanjian itu nggak benar.""Karena kamu itu ancaman, Ayu. Dari awal!"Narendra mendekat, matanya menyala marah—bukan padanya, tapi pada kebenaran yang selama ini
"Baik, Pak. Di mana posisi target sekarang?" Suara dalam ponsel itu terdengar datar. "Di rumah. Dia tidak ke mana-mana." Sambo melirik ke arah jendela, seolah bisa menembus dinding dengan tatapan. "Lenyapkan dia. Malam ini." "Siap, Pak." Telepon berakhir dengan bunyi klik. Sambo menatap layar ponsel yang mati, lalu mengepalkannya hingga sendi jarinya memutih. "Bangsat!" gumamnya pelan namun penuh geram. Ia melempar ponsel ke sofa, lalu menghantam meja kecil di sampingnya dengan kepalan tangan. "Anak itu benar-benar tidak bisa diajak bicara baik-baik. Sudah kuperingatkan. Tapi dia tetap melawan." Dari dalam rumah, langkah cepat terdengar. Hayati muncul dengan napas tersengal, wajahnya pucat. "Pa... barusan itu wartawan? Suaranya ramai sekali." Sambo memutar tubuhnya, sorot matanya gelap. "Mereka menanyakan surat itu. Memaksa aku mengakui perbuatan Jaka. Dan sekarang... mereka ingin Ayu tampil di jumpa pers." Hayati menutup mulutnya dengan tangan. "Ya Tuhan... Pa, aku sudah cob
"Nggak masuk akal, menantu Gubernur adalah penjual sayur. Mereka pasti sengaja menyembunyikan sesuatu, agar nama Gubernur tetap bersih." Polisi itu menjabat tangan Baim, lalu melangkah pergi. Baim membeku. Pandangannya kosong, bahunya kaku, dan wajahnya pucat. Melihat itu, Yoga buru-buru menghampiri. "Pak? Anda baik-baik saja?" Baim mengangkat kepala perlahan. Suaranya parau. "Yoga, aku nggak begitu paham maksud polisi tadi. Aku bingung." Yoga mengeluarkan ponselnya. Ia membuka unggahan yang sedang viral, menampakkan surat perjanjian bermaterai. Komentar-komentar menghujani layar, sebagian besar berisi kemarahan. "Ini, Pak. Surat ini sudah tersebar ke mana-mana. Banyak yang menuntut Gubernur diperiksa KPK. Rakyat marah karena kasus ini ditutupi. Mereka menyuarakan keadilan untuk Ayu." Baim membaca cepat. Sorot matanya tajam, lalu berubah nanar saat melihat nama Ayu dan Jaka tertera jelas dalam perjanjian itu. "Jadi... orangtua Ayu...?" "Iya, Pak. Jaka menabraknya saat mabuk. Ibu
Baim mendongak. "Apa? Bagaimana bisa?"Yoga menoleh ke Laura sejenak, lalu kembali ke Baim. "Dia memang sudah lama diincar. Tapi selalu lolos karena punya pelindung kuat. Gubernur."Laura menyambung, suaranya mantap. "Kamu lihat sendiri kan, Mas. Bahkan tanpa ikut permainannya, kita masih bisa bertahan. Ayu nggak perlu lagi jadi korban mereka.""Benar, Pak. Orang saya bilang, salah satu bandar kecil yang kerja buat Bram akhirnya buka suara. Polisi tinggal menunggu waktu."Baim menarik napas dalam. Pandangannya kini lebih terang. Ragu-ragu yang tadi menggumpal mulai menguap."Terima kasih, Yoga," ucapnya lega. "Ayo, waktunya kita masuk ke ruang jumpa pers." Ia menggandeng tangan Laura mantab.Hingga akhirnya, jumpa pers itu berjalan tanpa mengikuti tekanan dari Bram. Kini suara kamera mulai mereda, para wartawan berkemas, beberapa masih sibuk menelepon redaksi.Tapi di lorong luar, langkah kaki bergemuruh. Bram datang tergesa, matanya menyala seperti bara. Saat ia melihat Baim keluar
"Lalu ke mana ibunya saat itu? Kenapa bukan dia yang memberi ASI anak kalian?" Seorang wartawan mengangkat tangan di antara kerumunan, lalu bertanya lantang—menyayat keheningan yang baru saja terbentuk.Pertanyaan itu membuat Laura tersentak pelan. Ia menunduk, menahan gelombang emosi yang nyaris tumpah. Lalu, dengan napas dalam, ia angkat wajahnya. Matanya basah, tapi suaranya jelas."Ya... itu salahku," ucap Laura pelan, tapi suaranya cukup menggema memenuhi ruangan."Saat itu, aku mengalami baby blues. Aku... aku memilih pergi ke Jerman. Meninggalkan anakku sesaat setelah mereka dilahirkan."Laura menarik napas dalam. Tangannya bergetar saat menyentuh dada, mencoba meredakan rasa bersalah yang terus menghantui."Aku sangat berterima kasih pada Ayu," lanjutnya. "Kalau bukan karena dia... mungkin anakku nggak akan selamat."Suasana ruangan menegang, namun bukan karena kecurigaan—melainkan karena rasa haru yang makin nyata.
Bram tertawa pendek, puas. "Tentu saja. Pria sehebat kamu, masa iya mau mengorbankan semuanya hanya demi... wanita penjual sayur." Ia melirik Laura, lalu menambahkan, "Apalagi istrimu secantik dan seanggun ini. Ah, Ayu... mana mungkin bisa menandingi."Laura hanya tersenyum tipis, tanpa menanggapi. Ia dan Baim saling menatap, sebuah kesepahaman diam tercipta di antara mereka—entah apa isi dari kesepakatan itu."Baiklah, Pak," kata Baim, melirik jam tangannya sekilas. "Saya harus segera masuk. Media sudah menunggu.""Silakan," balas Bram dengan anggukan ringan. "Aku tunggu kejutanmu di atas podium."Baim melangkah pergi bersama Laura. Sorot matanya masih tajam, namun kini menyimpan sesuatu yang lain. Bukan keraguan. Tapi rencana.Baim dan Laura melanjutkan langkah mereka menuju ruang jumpa pers. Kamera sudah mengarah ke podium. Lampu sorot menyilaukan. Suara bisik-bisik dari para wartawan memenuhi ruangan. Sorotan publik sedang tertuju pada mereka, dan tak ada tempat untuk bersembunyi