Share

Kejahatan Yang Terungkap

last update Last Updated: 2025-05-04 15:45:27

Baim mendongak. "Apa? Bagaimana bisa?"

Yoga menoleh ke Laura sejenak, lalu kembali ke Baim. "Dia memang sudah lama diincar. Tapi selalu lolos karena punya pelindung kuat. Gubernur."

Laura menyambung, suaranya mantap. "Kamu lihat sendiri kan, Mas. Bahkan tanpa ikut permainannya, kita masih bisa bertahan. Ayu nggak perlu lagi jadi korban mereka."

"Benar, Pak. Orang saya bilang, salah satu bandar kecil yang kerja buat Bram akhirnya buka suara. Polisi tinggal menunggu waktu."

Baim menarik napas dalam. Pandangannya kini lebih terang. Ragu-ragu yang tadi menggumpal mulai menguap.

"Terima kasih, Yoga," ucapnya lega. "Ayo, waktunya kita masuk ke ruang jumpa pers." Ia menggandeng tangan Laura mantab.

Hingga akhirnya, jumpa pers itu berjalan tanpa mengikuti tekanan dari Bram.

Kini suara kamera mulai mereda, para wartawan berkemas, beberapa masih sibuk menelepon redaksi.

Tapi di lorong luar, langkah kaki bergemuruh. Bram datang tergesa, matanya menyala seperti bara. Saat ia melihat Baim keluar
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Pendarahan

    "Ya Allah, Mas! Tolong angkat teleponnya ...." Suara Ayu Lestari lirih, nyaris putus asa. Ia adalah seorang ibu rumah tangga yang sedang hamil besar. Ayu berjalan mondar-mandir di ruang tamu yang temaram. Tangan kirinya menekan punggung bawah yang terasa ngilu. Perutnya yang besar hampir menyeret langkahnya, tetapi ia terus mencoba menyeimbangkan diri. Layar ponsel di tangannya kembali redup. Sudah lebih dari sejam ia mencoba menghubungi Jaka Daud, suaminya. Tetapi, hanya nada sambung yang menjawab. Di luar, langit semakin gelap, dan rumah itu terasa kian sepi. Ayu menatap ke bawah, matanya membulat saat melihat darah merembes di antara pahanya. Dingin menyergap tengkuknya. Tapi tidak ada kontraksi. Dadanya naik turun seiring dengan napasnya yang semakin pendek. Ada sesuatu yang tidak beres. Ayu menggigit bibir, menelan rasa takut yang menekan tenggorokannya. Lalu, ia memberanikan diri untuk mengambil keputusan. "Aku harus ke rumah Mama mertua sekarang." Tekad Ayu sudah bula

    Last Updated : 2025-02-07
  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Dirujuk

    Ayu menunduk. "Maaf, Bu. Saya tidak ada biaya untuk melahirkan Caesar. Bisa normal saja, Bu?" Bidan menarik napas panjang, lalu menggenggam tangan Ayu yang dingin. Matanya menyiratkan kekhawatiran yang dalam. "Mbak, ini berbahaya. Sekarang saja tidak ada kontraksi, bagaimana mau lahiran normal? Ayo, saya periksa dulu." Tanpa menunggu jawaban, ia merangkul Ayu masuk ke dalam. Hujan masih deras di luar, tetapi untuk pertama kalinya malam ini, Ayu merasakan sedikit kehangatan. Ayu berbaring di atas ranjang pasien, napasnya tersengal saat asisten bidan membantunya menekuk kaki. Hujan masih terdengar samar di luar, namun dinginnya kini berganti dengan ketegangan yang menggigit. Bidan menarik sarung tangan medis, lalu dengan hati-hati memasukkan jarinya ke liang kemaluan Ayu. Wajahnya mengeras. Hanya cukup satu jari. Tidak ada pembukaan. Bidan menarik tangannya keluar, melepas sarung tangan dengan gerakan cepat. "Mbak, ini tidak ada pembukaan sama sekali, tapi Mbak sudah pendarahan. H

    Last Updated : 2025-02-07
  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Meja Operasi

    "Itu urusanmu!" Hayati memutar bola matanya, lalu mengibaskan tangan seolah tak peduli. "Lagian, kenapa kamu miskin? Sudah, cepat tanda tangani ini!" Hayati melempar selembar kertas bermaterai ke atas perut Ayu. Dengan tangan gemetar, Ayu mengambilnya. Matanya bergerak cepat membaca isi dokumen. Dadanya seketika terasa sesak. "I—ini?" Dalam surat itu tertulis bahwa semua biaya rumah sakit akan dianggap sebagai utang piutang oleh Ibu mertuanya. Tidak hanya itu, Ayu juga tak boleh menuntut apapun dari Jaka. Bahkan, jika suatu hari Jaka berniat menikah lagi. Air mata Ayu terjatuh. Ia menatap Hayati dengan mata membulat, hatinya mencelos. "Apa maksud surat ini, Ma?" Hayati menatapnya dingin. "Sudah, tanda tangani saja! Kamu masih ingin hidup, kan?" Hayati terus berbicara, "Kalau kamu nggak mau tanda tangan, aku juga nggak akan tanda tangan dokumen rumah sakit." Ayu terisak, kepalanya berputar dalam ketakutan. Ini benar-benar tidak adil! Ayu tahu, dirinya sedang ditipu. Ta

    Last Updated : 2025-02-07
  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Ketegangan

    "Merasakan apa, Bu?" Gerakan di ruang operasi terhenti seketika. Dokter anestesi menoleh. Suaranya tetap tenang, tapi ada sedikit ketegangan di balik nadanya.Ayu menelan ludah. "Dingin, Dok. Saya masih bisa merasakannya," katanya tergagap, napasnya mulai tersengal."Apakah sakit?" dokter anestesi kembali mencubit pahanya.Ayu menggeleng cepat. "Enggak, Dok. Tapi saya bisa merasakannya. Saya tahu, ada sesuatu menyentuh kulit saya!"Dokter kandungan berpaling. "Kalau begitu, coba angkat kaki Ibu!" perintahnya. Matanya mengamati Ayu dengan cermat.Ayu mengerahkan seluruh tenaganya, berusaha menggerakkan kakinya. Tapi tidak ada yang terjadi. Ia tetap kaku. Napasnya menjadi semakin berat."Enggak bisa, Dok," suaranya gemetar. "Tapi saya sesak, Dok. Enggak bisa napas."Panik mulai menyelimuti dirinya. Tangannya mencengkeram kain operasi lebih erat, tubuhnya bergetar hebat. Ayu mulai menangis. "Mbak, nggak perlu takut! Operasinya nggak lama kok," suara bidan Terbit terdengar lembut, tapi

    Last Updated : 2025-02-07
  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Bayi Malang

    Alat penyedot bekerja, mengeluarkan cairan dari paru-paru mungil itu. Namun, tetap tak ada suara."Pasang oksigen!" perintah dokter tanpa ragu.Seorang perawat segera menempelkan sungkup kecil di wajah bayi, mengalirkan oksigen ke paru-parunya yang masih berjuang untuk bekerja.Tetap sunyi.Dada dokter anak mulai terasa sesak. Ia tahu detik-detik ini sangat berharga.Tanpa membuang waktu, ia menempelkan dua jari di dada bayi dan mulai melakukan kompresi kecil—tepat di atas jantung mungil yang masih terlalu lemah. Tekanan ringan, berulang, namun penuh harapan.Setiap dorongan adalah perjuangan.Setiap dorongan adalah doa.Lalu, ia mengambil alat ventilasi dan mulai memberikan bantuan napas. Udara dialirkan perlahan, berharap paru-paru bayi itu mau bekerja.Detik-detik berlalu seperti selamanya.Semua orang di ruangan itu menunggu—menunggu satu suara kecil yang bisa mengubah segalanya.Tangisan.Namun, keheningan masih menggantung di udara."Belum menangis, Dok!" suara bidan memecah ket

    Last Updated : 2025-02-07
  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Kesendirian

    Bayi-bayi itu menggeliat pelan, jemari mereka yang kecil mengepal seakan mencari sesuatu yang tak kasat mata. Kulit mereka tipis, hampir transparan di bawah cahaya lampu inkubator. Kering, bersisik, seolah tubuh mungil mereka masih belum siap menghadapi dunia luar.Baim menelan ludah. "Mereka begitu kecil. Terlalu kecil," batinnya.Mereka lahir prematur seminggu yang lalu, dengan berat tak lebih dari sekantong gula pasir. Tubuh mereka masih bertarung untuk bertahan, paru-paru mereka belum sepenuhnya matang.Meski sudah mengenakan masker dan sarung tangan, ia tahu ia tak bisa menyentuh mereka. Lapisan tipis plastik inkubator menjadi penghalang antara dirinya dan anak-anaknya. Bukan sekadar jarak fisik, tapi juga ketakutan—ketakutan bahwa sentuhan sekecil apa pun bisa membawa bahaya, bisa mengundang infeksi yang bisa merenggut mereka dari genggamannya."Papa di sini, Nak… Papa janji, kalian akan baik-baik saja."Namun, janjinya terasa hampa jika ia tak segera menemukan donor ASI.Baim m

    Last Updated : 2025-02-07
  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Terabaikan

    Seorang perawat yang tengah memeriksa pasien lain segera berbalik, lalu bergegas ke sisi Ayu. Dengan cekatan, ia melepas corong oksigen dan memiringkan tubuh Ayu ke samping.Sesaat kemudian, cairan muntahan keluar dari mulut Ayu. Perawat menepuk punggungnya perlahan, memastikan semuanya keluar dengan lancar.Ayu terengah-engah, tubuhnya terasa lebih ringan, tapi juga lebih lemah dari sebelumnya.Perawat meraih tisu, menyeka sisa cairan di sudut bibir Ayu, lalu menatapnya dengan sorot mata penuh pertanyaan."Keluarganya di mana, Bu?" tanyanya, suaranya lembut, tapi ada nada heran di dalamnya.Ayu hanya bisa menatap kosong ke langit-langit. Tenggorokannya masih terasa kering, dan ada sesuatu yang lebih menyakitkan dari sekadar muntah—kenyataan bahwa ia benar-benar sendirian."Enggak ada," jawab Ayu lirih."Suami?" tanya perawat, suaranya lembut tapi menusuk.Ayu menggeleng pelan. Bibirnya sedikit bergetar, tapi tak ada kata yang keluar. Dadanya terasa sesak, seolah ada beban berat yang

    Last Updated : 2025-02-07
  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Kabar Buruk

    Mata perawat itu membulat. "Apa? Jadi yang kemarin Bu Hayati ke sini itu untuk dia?""Ya... Begitulah.""Terus pergi lagi?"Bidan Terbit mengangguk, ekspresinya datar. "Kamu tahu sendiri, keluarga Gubernur itu seperti apa."Perawat itu mendengus. "Suka pamer harta dan anaknya yang cowok doyan main cewek."Bidan Terbit mencibir. "Padahal Ayu itu cuma penjual sayur di pasar. Kamu pasti bisa bayangkan, kan, bagaimana perlakuan mereka padanya?"Perawat itu menghela napas, lalu menggeleng pelan. "Tapi kalau begitu, kenapa mereka memilih menantu miskin?"Bidan Terbit hanya mengangkat bahu. "Itu aku nggak tahu. Udah, sekarang lebih baik kamu pindahkan Ayu ke ruang perawatan. Nggak usah terlalu jauh mengurusi hidup pasien.""Iya, Bu. Cuma penasaran. He-he-he..."Bidan Terbit tak menanggapi. Tangannya sudah meraih ponsel, menekan nomor Hayati. Wajahnya serius. Ada sesuatu yang harus dipastikan.Sementara itu, perawat kembali ke ruang pemulihan. Ia mendorong ranjang Ayu perlahan hingga memasuki

    Last Updated : 2025-03-01

Latest chapter

  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Kejahatan Yang Terungkap

    Baim mendongak. "Apa? Bagaimana bisa?"Yoga menoleh ke Laura sejenak, lalu kembali ke Baim. "Dia memang sudah lama diincar. Tapi selalu lolos karena punya pelindung kuat. Gubernur."Laura menyambung, suaranya mantap. "Kamu lihat sendiri kan, Mas. Bahkan tanpa ikut permainannya, kita masih bisa bertahan. Ayu nggak perlu lagi jadi korban mereka.""Benar, Pak. Orang saya bilang, salah satu bandar kecil yang kerja buat Bram akhirnya buka suara. Polisi tinggal menunggu waktu."Baim menarik napas dalam. Pandangannya kini lebih terang. Ragu-ragu yang tadi menggumpal mulai menguap."Terima kasih, Yoga," ucapnya lega. "Ayo, waktunya kita masuk ke ruang jumpa pers." Ia menggandeng tangan Laura mantab.Hingga akhirnya, jumpa pers itu berjalan tanpa mengikuti tekanan dari Bram. Kini suara kamera mulai mereda, para wartawan berkemas, beberapa masih sibuk menelepon redaksi.Tapi di lorong luar, langkah kaki bergemuruh. Bram datang tergesa, matanya menyala seperti bara. Saat ia melihat Baim keluar

  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Diam-diam Melawan

    "Lalu ke mana ibunya saat itu? Kenapa bukan dia yang memberi ASI anak kalian?"  Seorang wartawan mengangkat tangan di antara kerumunan, lalu bertanya lantang—menyayat keheningan yang baru saja terbentuk.Pertanyaan itu membuat Laura tersentak pelan. Ia menunduk, menahan gelombang emosi yang nyaris tumpah. Lalu, dengan napas dalam, ia angkat wajahnya. Matanya basah, tapi suaranya jelas."Ya... itu salahku," ucap Laura pelan, tapi suaranya cukup menggema memenuhi ruangan."Saat itu, aku mengalami baby blues. Aku... aku memilih pergi ke Jerman. Meninggalkan anakku sesaat setelah mereka dilahirkan."Laura menarik napas dalam. Tangannya bergetar saat menyentuh dada, mencoba meredakan rasa bersalah yang terus menghantui."Aku sangat berterima kasih pada Ayu," lanjutnya. "Kalau bukan karena dia... mungkin anakku nggak akan selamat."Suasana ruangan menegang, namun bukan karena kecurigaan—melainkan karena rasa haru yang makin nyata.

  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Malaikat Tak Bersayap

    Bram tertawa pendek, puas. "Tentu saja. Pria sehebat kamu, masa iya mau mengorbankan semuanya hanya demi... wanita penjual sayur." Ia melirik Laura, lalu menambahkan, "Apalagi istrimu secantik dan seanggun ini. Ah, Ayu... mana mungkin bisa menandingi."Laura hanya tersenyum tipis, tanpa menanggapi. Ia dan Baim saling menatap, sebuah kesepahaman diam tercipta di antara mereka—entah apa isi dari kesepakatan itu."Baiklah, Pak," kata Baim, melirik jam tangannya sekilas. "Saya harus segera masuk. Media sudah menunggu.""Silakan," balas Bram dengan anggukan ringan. "Aku tunggu kejutanmu di atas podium."Baim melangkah pergi bersama Laura. Sorot matanya masih tajam, namun kini menyimpan sesuatu yang lain. Bukan keraguan. Tapi rencana.Baim dan Laura melanjutkan langkah mereka menuju ruang jumpa pers. Kamera sudah mengarah ke podium. Lampu sorot menyilaukan. Suara bisik-bisik dari para wartawan memenuhi ruangan. Sorotan publik sedang tertuju pada mereka, dan tak ada tempat untuk bersembunyi

  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Separuh Jiwa Telah Pergi

    "Aku menyuruhnya pergi demi kamu, Mas," kata Laura. Suaranya nyaris bergetar. Wajahnya menegang, bukan karena malu, tapi karena amarah yang ia tahan. Tatapannya tajam, menantang Baim untuk membantah."Kalau dia masih tinggal di sini, semua gosip itu akan dianggap benar. Dia menantu Gubernur, Mas. Kita bukan siapa-siapa."Baim menunduk, lalu menggeleng pelan. Pandangannya kosong."Tapi kenapa harus kamu usir, Laura?" suaranya serak. "Aku berutang banyak pada Ayu. Dia yang selamatkan anak-anak kita. Setidaknya, biarkan aku bicara sebelum dia pergi."Ia terdiam sejenak, sebelum menatap Laura tajam. "Lalu anak-anak... bagaimana dengan mereka? Tidakkah kamu memikirkan mereka sebelum bertindak?"Laura menunduk. "Aku tahu, Mas. Aku salah. Aku terlalu emosi... Maafkan aku. Aku janji akan menjadi ibu yang lebih baik. Aku akan mencari ASIP. Kalau perlu, ke seluruh rumah sakit di Jakarta."Baim memejamkan mata. Tangannya mencengkeram pinggiran bathtub. Suhu air hangat yang tadinya menenangkan ki

  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Permohonan Yang Tak Diharapkan

    "Laura... Ada yang ingin aku sampaikan." Baim menatap wajah istrinya dalam-dalam, mencoba memahami isi hatinya sebelum ledakan yang tak terhindarkan itu datang."Mas... nanti aja, ya. Ayo tenangkan badan dulu."Laura menggandeng tangan Baim menuju kamar mandi. Baim menurut, langkahnya berat seperti orang yang kehilangan arah.Ia melangkah masuk ke dalam bathtub, membiarkan tubuhnya tenggelam perlahan ke air hangat penuh busa. Uap naik lembut dari permukaan, menenangkan otot-ototnya yang tegang. Untuk sesaat, dunia seolah diam.Di samping bathtub, Laura duduk tenang. Ia menyusun potongan buah di piring kecil, menuang jus ke dalam gelas, lalu meletakkannya di meja mungil di samping mereka. Setiap gerakannya penuh perhatian—nyaris seperti perawat yang menjaga pasien.Baim memandangi wajahnya. Tak ada kemarahan, tak ada ketegangan seperti hari-hari sebelumnya. Hanya ketenangan... dan sesuatu yang menyerupai ketulusan.Namun justru itu yang membuat hati Baim semakin kacau. Ia menelan luda

  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Ketegangan Yang Menyelimuti

    "M-Maksud Papa?"Ayu membeku. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar terancam—bukan hanya secara fisik, tapi juga secara batin.Ia tak tahu… apakah barusan ia telah membuka pintu menuju jurang yang lebih dalam."Kamu tidak punya siapa-siapa di Jakarta, kan? Kedua orang tuamu juga sudah meninggal. Aku harap kamu tetap polos. Dan jangan sekali-kali mencoba melawanku."Ayu menelan ludah. Ia tak berani menatap Sambo. Ia sadar, ucapan mertuanya itu bukan sekadar ancaman kosong."Ya sudah, Papa pulang dulu. Ayo, Ma.""Baik, Pa." Hayati mengikutinya dari belakang, namun sorot matanya masih tajam mengarah ke Ayu.Ayu berdiri, merasa tidak nyaman dengan tekanan yang semakin berat. Namun ia tak melawan. Ia hanya menghela napas panjang.Setelah mereka keluar, percakapan di antara Sambo dan Hayati ternyata belum berakhir."Ma... cari cara agar Ayu menyerahkan surat itu ke kita," suara Sambo terdengar dari luar, semakin lama semakin cemas. "Papa nggak tenang kalau surat itu masih ada. Kita h

  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Sebuah Ancaman

    "Maaf, Nyonya. Saya harus mengepel lantai ini lagi. Permisi..."Tanpa membantah, Ayu mulai bekerja. Ia mengepel lantai dengan tenang, seolah tanpa emosi—meskipun di dalam hatinya, mungkin ia sedang menyusun balasan yang rapi dan penuh perhitungan.Semua orang di ruangan itu terdiam, tercengang. Tak seorang pun tahu apa yang sebenarnya dipikirkan Ayu.Rani mendekati ibunya, Hayati, lalu berbisik pelan,"Ada apa dengan Ayu, Ma? Tumben dia nggak melawan. Padahal tadi kelihatan banget dia siap berperang."Hayati mengerutkan kening, matanya terus mengikuti gerakan Ayu yang sibuk mengepel."Mama juga nggak tahu. Apa mungkin berita itu membuatnya berubah?""Oh... iya. Sekarang semua orang balik menyalahkannya," ujar Rani, tampak berpikir. "Jangan-jangan dia nyesel sudah sok berani di pesta Jaka kemarin."Tak lama kemudian, Sambo datang dengan langkah perlahan."Ayu... kamu sudah kembali?"Ayu berdiri. Tubuhnya menegang mendengar suara Sambo. "Tumben dia bertanya. Ada drama apalagi kali ini?"

  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Mokondo Percaya Diri

    "Apaan sih, Mas..."Sentuhan itu nyaris kena, tapi Ayu lebih cepat menghindar. Tubuhnya bergeser tanpa banyak usaha, menolak Jaka tanpa perlu tenaga.Jaka menyeringai kecil. "Yakin nggak mau? Nindi aja ketagihan.""Aku nggak sebodoh dia, Mas," desis Ayu. Matanya menusuk, pandangan dingin penuh penghinaan. "Mau-maunya melayani cowok mokondo."Seketika itu juga, pintu kamar terbuka.Nindi muncul, setengah berlari, memeluk Jaka dari belakang. Kain tipis membalut tubuhnya, nyaris transparan, memperlihatkan kulit bersih yang seperti sengaja dipamerkan."Mas Jaka... Ayolah. Aku masih mau lagi," suara Nindi terdengar manja.Jaka menggenggam tangan Nindi yang melingkar di pinggangnya. Ia terkekeh kecil, seolah pamer."Sayang... Kita kedatangan tamu," katanya sambil melirik Ayu.Nindi mengerucutkan bibir. "Dia itu bukan tamu, Mas. Dia juga istri kamu, kan? Suruh aja dia masuk. Pas banget rumah kita kayak kapal pecah. Biar

  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Hari Menyebalkan

    "Aku gak nyangka. Hidup Ayu setragis ini," bisik Laura. Kelopak matanya jatuh. Matanya berkaca-kaca. "Tragis? Memangnya Ayu kenapa, Bu?" tanya Indri, penasaran. Laura tak langsung menjawab. Ia menurunkan surat itu sedikit, lalu membalik halaman terakhir. Di sana, stempel kepolisian tampak samar, tapi jelas. "Ini… sepertinya surat perjanjian dengan suaminya. Dikeluarkan oleh kepolisian," gumamnya. Suara Laura terdengar jauh lebih pelan. Bukan karena ragu—melainkan karena beban. Amarah yang tadi menyulut-nyulut kini seolah meleleh begitu saja. Tatapannya tidak lagi membenci. Justru ada sesuatu yang menyerupai iba di sana. "Dikeluarkan oleh kepolisian? Memangnya itu surat apa, Bu?" Laura menarik napas dalam, menggeleng pelan. "Indri…" panggilnya, dengan nada yang lebih lembut daripada sebelumnya. "Jangan pernah ceritakan soal ini pada siapa pun. Termasuk Mas Bai

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status