Share

Rasa Yang Tak Pernah Pudar

Penulis: Libra Syafarika
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-13 10:17:45

Ayu menoleh secepat kilat. Napasnya tercekat.

"Mas Baim?" suaranya nyaris tak terdengar.

Langkah Baim ringan saat mendekat, tapi sorot matanya penuh arti. Bibirnya melengkung lepas, senyum yang tak bisa ditahan.

"Tega banget, ninggalin aku gitu aja."

Ayu mundur setengah langkah, tangan meremas ujung bajunya.

"D-dari mana Mas tahu aku di sini?"

Baim mengangkat alis, setengah mengejek. "Kamu pikir kamu punya banyak tempat buat sembunyi?"

Diam. Ayu menunduk, seperti ada beban berat yang ditahan di tenggorokan. Pandangannya tak berani bertemu mata itu—mata yang dulu, dan mungkin masih, membuatnya lemah.

Baim tak bergerak, hanya berdiri cukup dekat untuk membuat napas Ayu semakin sempit.

"Sampai kapan kamu akan terus menghindar?"

Perlahan, Ayu mendongak. Tatapannya hanya sebentar—cukup untuk mengaduk dadanya. Detak jantungnya jadi gaduh. Ia buru-buru menoleh ke arah lain.

"Ngapain Mas ke sini?" tanyanya, mencoba terdengar datar, tapi suaranya goyah.

"Anak-anak merindukanmu," kata Baim, pel
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Penolakan Yang Berbalut Rindu

    "Menantu bodoh! Siapa yang kamu telepon?" desis Hayati, wajahnya menegang, satu tangan memegangi pergelangan yang memerah.Ayu berdiri tegak. Napasnya memburu, tapi senyum tipis menggantung di bibirnya—bukan senyum manis, melainkan dingin dan sinis."Kenapa? Anda mulai takut?"Langkah cepat terdengar dari arah dapur. Umi Euis datang membawa nampan berisi wedang uwuh, aroma rempah menyeruak seketika. Matanya membesar melihat ketegangan di ruang tamu."Heh... ada apa ini? Kalian bertengkar?"Hayati menunjuk Ayu dengan dagu terangkat."Bilang sama anak yatim ini supaya tahu sopan santun. Dia barusan memelintir tanganku!"Umi Euis tertegun sejenak, lalu buru-buru meletakkan nampan di meja dan menghampiri Ayu."Ayu... ada apa, Nak? Kenapa sampai seperti ini?"Ayu tidak menjawab. Matanya tetap memandang ke depan, tak berkedip. Tapi perlahan, air mata mengalir di pipinya.Hayati mendengus."Ingat Ayu. Kamu masih punya utang sama aku. Kalau kamu nggak nurut, utang itu bakal berlipat!"Lalu ia

  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Pertengkaran Yang Tak Terelakkan

    "Mama?" suara Ayu tercekat.Tubuhnya membeku. Tatapannya terpaku pada sosok Hayati yang berdiri kaku di ambang pintu. Sorot matanya tajam, menyala penuh bara.Langkah Hayati menghentak lantai. Tatapannya menusuk saat melihat Ayu duduk berdekatan dengan Baim."Bagus. Keluarga suamimu sedang dilanda masalah, dan kamu malah enak-enakan bersenang-senang dengan pria lain. Dasar tukang selingkuh!" suaranya melengking, membelah udara.Ayu bangkit. Tangannya mengepal di sisi tubuh."Selingkuh? Dari siapa?" suaranya meninggi. Kesabarannya retak."Mas Jaka? Jadi sekarang Mama mengakuiku sebagai menantu?"Ia tersenyum masam. "Padahal sejak awal, aku ini cuma pembantu buat kalian. Bahkan Mas Jaka lebih sering hamburkan uang buat perempuan jalanan daripada pulang bawa beras."Kening Hayati berkerut. Wajahnya menegang. Matanya memerah, hampir menyala."Tentu saja. Pembantu memang sebutan paling pantas buat kamu. Lalu maumu apa? Dicintai? Kamu itu cuma anak penjual sayur. Jangan mimpi tinggi!"Ayu m

  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Rasa Yang Tak Pernah Pudar

    Ayu menoleh secepat kilat. Napasnya tercekat."Mas Baim?" suaranya nyaris tak terdengar.Langkah Baim ringan saat mendekat, tapi sorot matanya penuh arti. Bibirnya melengkung lepas, senyum yang tak bisa ditahan."Tega banget, ninggalin aku gitu aja."Ayu mundur setengah langkah, tangan meremas ujung bajunya."D-dari mana Mas tahu aku di sini?"Baim mengangkat alis, setengah mengejek. "Kamu pikir kamu punya banyak tempat buat sembunyi?"Diam. Ayu menunduk, seperti ada beban berat yang ditahan di tenggorokan. Pandangannya tak berani bertemu mata itu—mata yang dulu, dan mungkin masih, membuatnya lemah.Baim tak bergerak, hanya berdiri cukup dekat untuk membuat napas Ayu semakin sempit."Sampai kapan kamu akan terus menghindar?"Perlahan, Ayu mendongak. Tatapannya hanya sebentar—cukup untuk mengaduk dadanya. Detak jantungnya jadi gaduh. Ia buru-buru menoleh ke arah lain."Ngapain Mas ke sini?" tanyanya, mencoba terdengar datar, tapi suaranya goyah."Anak-anak merindukanmu," kata Baim, pel

  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Ada Rasa Yang Belum Usai

    "Kamu masih belum percaya sama aku?" Narendra tersenyum tipis, dingin, tanpa hangat sedikit pun di matanya.Ayu terdiam. Pandangannya terkunci pada wajah itu—bukan karena rindu, tapi karena asingnya. Tatapan mata Narendra bukan seperti yang biasa ia kenal. Ada sesuatu yang gelap, seperti kabut yang menyelimuti."Tatapan ini... persis seperti pertama kali kami bertemu," batinnya.Kilasan itu datang tanpa permisi.—Dua tahun lalu. Di antara keramaian pasar Glodok, suara teriakan pedagang dan aroma bawang putih bercampur keringat. Ayu—gadis lugu dengan celemek lusuh—menenteng dua kantong sayuran, terburu-buru menuju lapak orang tuanya.Bruk!Tubuhnya bertabrakan dengan seseorang. Plastik di tangannya robek, tomat-tomat berserakan di tanah. Lelaki itu, berdasi tapi berkemeja santai, buru-buru membungkuk."Maaf… maaf banget. Aku nggak lihat jalan."Ayu hanya menunduk, canggung. Tapi lelaki itu menatapnya cukup lama. Sorot matanya menyala—bukan karena empati, tapi rasa tertarik yang belum

  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Rencana Tersembunyi

    "Kalau begitu, kami pamit."Salah satu petugas KPK mengangguk singkat, lalu berbalik meninggalkan ruang tamu. Anggota lainnya mengikuti, membawa berkas dan beberapa barang bukti dalam kotak coklat.Begitu pintu terbuka, suara gemuruh langsung menyergap. Blitz kamera menyala, mikrofon terulur liar."Apakah benar Sambo menyembunyikan Jaka sebagai pembunuh orang tua Ayu?""Apakah Pak Sambo akan ditahan?""Apa benar Jaka menikahi Ayu agar terbebas dari jerat hukum?"Beberapa wartawan mencoba menyelinap masuk, mendorong tubuh mereka ke celah pintu yang masih setengah terbuka. Namun para pengawal Sambo bergerak cepat, membentuk barikade hidup. Sikut bersentuhan, tubuh berbenturan, namun rumah tetap tertutup rapat dari mata publik.Di dalam, Sambo ambruk bersimpuh di lantai marmer. Tubuhnya lunglai, kepalanya tertunduk dalam. Ia mencengkeram rambutnya, mencakar pelipisnya sendiri. "Hancur… semuanya hancur…" gumamnya lirih, hampir tak terdengar.Hayati berlari mendekat, lututnya jatuh di sam

  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Kawan Atau Lawan?

    "Sari... Fatma," suara Baim terdengar pelan tapi jelas. "Ayu pernah cerita soal surat perjanjian itu ke kalian?"Keheningan menggantung. Hanya suara napas bayi dan detak jam dinding yang menemani. Fatma dan Sari saling pandang, lalu Sari menjawab hati-hati, "Nggak, Pak. Ayu nggak pernah cerita hal-hal pribadi ke kami."Baim mengembuskan napas panjang. Pandangannya beralih ke sekitar. "Kira-kira... surat itu mungkin ada di rumah ini?"Fatma tampak mengernyit, lalu seolah sesuatu menyentak ingatannya. "Eh... saya jadi ingat, Pak. Dulu Indri pernah bilang, katanya dia nemu surat perjanjian di lemari Ayu.""Indri?" alis Baim terangkat. "Jadi... surat itu benar-benar ada?""Iya, Pak. Katanya sih begitu. Bahkan dia pernah motret suratnya juga," ujar Fatma.Laura yang sejak tadi diam, menegang. Kalau Mas Baim tanya langsung ke Indri... pikirnya. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Selama ini cuma aku dan Indri yang tahu surat itu. Jangan-jangan... dia yang bocorin ke media?Baim mengangguk pelan.

  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Siapa Penyebar Surat Itu?

    Narendra menurunkan jendela mobil. "Mau apa kalian?""Tuan Sambo meminta Anda segera menemuinya," jawab pria itu datar.Narendra mengisap rokoknya sekali lagi, lalu melemparkannya keluar. "Sudah kubilang, aku akan menemuinya setelah ini."Tatapan pria itu mengeras. "Di mana wanita itu?"Narendra menyipitkan mata, nadanya tajam. "Kalian mau rebut bonus itu untuk diri kalian sendiri? Aku yang akan menyerahkannya langsung ke Papa. Sekarang minggir."Ia menutup jendela, mendorong knop transmisi, lalu menancap gas, meninggalkan tempat gelap itu dalam kepulan debu.Sementara itu di rumah Baim. Kamar yang remang, cahaya dari layar ponsel menyala terang di wajah Laura. Alisnya bertaut, rahangnya mengeras. Ia menggulir layar cepat-cepat, lalu berhenti pada satu unggahan yang tengah ramai dibagikan. Teks di bawahnya menyala tegas: "Surat Perjanjian Pernikahan Ayu, Bocor ke Publik."Matanya membelalak. Ponsel itu bergetar ringan di tangannya yang gemetar."Enggak mungkin..." bisiknya. Ia berdir

  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Tidak Benar-benar Aman

    "Apa maksudnya Mas Rendra? Jangan-jangan dari awal dia cuma disuruh Papa?" Ayu menggenggam ponselnya erat, jantungnya berdebar tak karuan.Malam itu, kabut tipis menggantung di antara deretan pepohonan. Ayu duduk kaku di jok penumpang, jemarinya meremas ujung dress. Cahaya ponsel di pangkuannya terus menyala—pesan tanpa nama itu terus ia baca, kata-katanya membuat resah dan khawatir.Narendra diam di balik kemudi, sorot matanya fokus menembus gelap.Aspal di depan membentang hitam dan kosong, tapi Ayu tak menatapnya—matanya lebih sering melirik Narendra, lalu ke jalan, lalu kembali lagi. Ada sesuatu yang mencurigakan mengusik pikirannya.Saat mobil berbelok di perempatan kecil, masuk ke jalan sempit yang hanya cukup untuk satu mobil, Ayu langsung duduk lebih tegak."Mas, kok kita lewat sini?" Suaranya tercekat, hampir tak terdengar."Biar kita nggak gampang dilacak. Di jalan besar, orang-orang Papa bisa mengenali mobil ini."Jawabannya masuk akal, tapi Ayu tak bisa mengusir gemuruh di

  • Menjadi Ibu Susu Bayi Kembar CEO   Keraguan Yang Terselip

    "Papa ngirim pesan..." Suara Narendra terdengar panik.Mata Ayu membulat. "Apa? Mungkinkah itu orang suruhan Papa?"Narendra kembali melirik spion, lalu menggeleng pelan. "Nggak tahu."Beberapa detik kemudian, getaran panggilan masuk dari Sambo membuat ponselnya bergerak."Papa nelpon, Mas!" seru Ayu panik.Narendra spontan menoleh ke arah ponsel. Pegangannya di setir mulai goyah."Apa Papa tahu aku bawa Ayu kabur?" batinnya.Ayu melirik spion dengan napas tak teratur. "Mas, van hitam itu masih ngikutin kita. Gimana dong?""Di depan ada pom bensin. Aku akan masuk ke sana."Narendra membanting setir, lalu menepi ke area pom. Dari kaca spion, ia melihat van itu menyalip dan terus melaju.Ayu menghela napas panjang. Matanya terpejam sebentar."Syukurlah... Van itu udah nggak ngikutin kita."Narendra mengangguk kecil. "Aku angkat telepon dari Papa. Kamu tenang dulu, ya."Ayu mengangguk cepat. "Iya, Mas..."Narendra menekan tombol hijau. Ia menarik napas panjang sebelum berbicara."Halo,

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status