"Aku yakin, kalian bisa menolong ku." Sherly berkata dengan wajah frustasi. Saat ini hanya Albert dan Nathan, yang bisa membantunya. Kedua pria itu sangat berpengaruh dan berkuasa.“Kedatangan kami ke sini bukan untuk sengaja melihat kondisimu,” ujar Albert dengan nada tegas. “Terus terang, kami datang ke Tokyo untuk urusan bisnis. Tapi kami tidak bisa berbuat banyak untukmu. Semua bergantung pada keputusan pihak Jepang, apakah mereka akan memindahkanmu ke Prancis atau tidak. Kamu sudah menjadi tahanan internasional. Negara yang menangkapmu berhak mengadilimu.”Albert sadar, jika ia mencoba menyelamatkan Sherly, itu sama saja memancing permusuhan dengan orang-orang berpengaruh yang pernah disinggung wanita itu. Taruhannya bukan hanya bisnis, tapi juga keselamatan keluarganya. Ia tak bisa gegabah.Tubuh Sherly seketika terasa lemas. Tuduhan yang dihadapinya jelas bukan kriminal biasa. Mempertanggungjawabkan semuanya seakan di luar kemampuannya. Jika hanya penjara lima tahun, mungkin i
Kata-katanya di perjelas, hingga membuat Sherly paham. Pria ini hanya bisa memberikan perlindungan dari narapidana yang lainnya, namun bukan pria China yang dengan sengaja menyusupkan seorang wanita untuk menghajarnya seperti ini.Sherly tersenyum tipis. Dari tatapan matanya saja, ia sudah tahu apa yang diinginkan pria itu. Saat ini, yang terpenting baginya adalah bertahan hidup. Ia tak akan sanggup jika terus disiksa seperti kemarin.“Aku paham… makanan lezat seperti ini, tentu tidak gratis.”Pria itu tertawa pendek. “Jam terbangmu sudah tinggi. Aku tidak perlu menjelaskan seperti pada gadis polos.”Sherly menatapnya datar. “Tapi… kondisiku sekarang?”Ia melirik cairan infus yang masih menetes di tangannya. Dengan tubuh penuh lebam dan luka, jika pria itu meminta ‘bayaran’ sekarang, ia tidak akan sanggup.Pria itu mengamati wajahnya lama-lama. Meski babak belur, Sherly tetap terlihat cantik.“Aku tahu. Aku tidak akan ‘menyentuh’ tubuh selemah ini. Takutnya, kau mati di bawahku.”Sher
Sherly terbangun dengan tubuh kaku dan rasa nyeri yang menjalar dari punggung hingga leher. Napasnya berat, seperti paru-parunya menolak bekerja sama. Cahaya lampu redup di sudut ruangan menusuk matanya, membuat pandangannya buram sejenak.Butuh beberapa detik sebelum benar-benar menyadari bahwa dirinya berada di kamar rawat tahanan. Dindingnya kusam, catnya terkelupas, dan bau obat antiseptik bercampur aroma lembap penjara menusuk hidung.“Aku… masih hidup,” bisiknya pelan, seolah tak percaya.Namun ingatan semalam kembali menghantamnya. Wajah-wajah bengis para napi yang mengepungnya, tangan-tangan kasar yang menarik rambutnya, pukulan yang menghantam wajah dan tubuhnya, lalu sepatu-sepatu kotor yang menghujani punggungnya. Ia bahkan sempat berpikir malam itu adalah akhir hidupnya.Air mata panas menetes di pipi pucatnya. Sherly menggigit bibirnya sendiri, menahan rasa perih sekaligus rasa malu. Sherly, yang selama ini selalu tampil anggun dan berkuasa, kini hanya seorang tahanan yan
Awalnya, Aruna mengira kepergian Albert bukan masalah besar. Pria itu memang sering bolak-balik untuk urusan bisnis, dan hidupnya akan tetap berjalan seperti biasa.Namun, pagi pertama tanpa suara baritonnya yang selalu menyapa hangat, “Pagi, Aruna”, terasa begitu hampa.“Ternyata sepi juga tanpa dia,” gumam Aruna sambil menutup pintu apartemennya.Ia berniat berangkat ke kampus dengan motor matic kesayangannya. Tapi sebelum sampai di parkiran, seorang pria muda tiba-tiba berdiri di hadapannya.“Halo, Nona Aruna. Saya Ari, sopir pribadi Anda.”Aruna mengerutkan dahi, lalu tersenyum sopan. “Maaf, saya pakai motor,” ujarnya sambil mengangkat kunci motor di tangannya.“Saya diperintahkan Tuan Albert untuk menjadi sopir pribadi Anda selama beliau tidak ada di Indonesia,” jawab Ari dengan nada sopan.“Tapi saya memang biasa pakai motor, bukan mobil.”Ari tersenyum canggung. “Maaf, Nona. Saya hanya menjalankan tugas. Saya mohon, terimalah saya. Istri saya sedang hamil, kami butuh uang untuk
Albert sangat menikmati detik-detik bersama dengan Aruna. Albert menggulung lengan bajunya, berdiri di dapur kecil Aruna. “Aku cuci sayurnya, kamu potong bumbunya, ya,” katanya sambil membawa baskom berisi cabai, bawang, dan sayur segar ke bak cuci.Aruna melirik sekilas. “Kamu yakin bisa?” tanyanya, nada suaranya setengah menggoda.Albert terkekeh pelan. “Kalau untuk kamu, aku bisa apa saja.”Aruna pura-pura tidak menanggapi, tapi sudut bibirnya terangkat. Ia mengambil pisau, mulai mengiris bawang merah. Albert, yang sedang mencuci sayur, diam-diam memperhatikannya. Setiap kali Aruna menunduk, rambutnya yang lembut jatuh menutupi wajah, membuatnya terlihat semakin manis.“Baunya harum banget,” ujar Albert sambil menghirup aroma bawang yang sedang ditumis.“Itu bawang, bukan aku,” jawab Aruna cepat, tapi pipinya memerah.Albert tersenyum nakal, lalu berpura-pura sibuk meniriskan sayur. Sesekali, tangan mereka bersentuhan saat memindahkan bahan-bahan, dan setiap kali itu terjadi, kedu
Udara di penjara perempuan Jepang itu menusuk tulang. Bukan hanya dingin yang merayap dari lantai beton lembab, tapi juga dingin yang memancar dari tatapan para narapidana. Tatapan yang diam-diam menguliti keberanian Sherly sedikit demi sedikit. Matahari siang memang masih tinggi, tapi di dalam sini, cahaya hanya menjadi hiasan yang tak mampu mengusir kelam.Langkah Sherly terdengar ragu ketika melewati lorong sempit. Sudut-sudut penjara seperti memiliki mata sendiri, mengintainya dari kegelapan. Ia terbiasa hidup dalam kemewahan, diapit bodyguard, dilindungi oleh tembok kaca dan mobil mahal. Tapi di sini, kemewahan itu tak ada artinya. Yang ada hanyalah rasa takut yang menggerogoti napas.Rambutnya tiba-tiba ditarik keras ke belakang."Aah… sakit!" jerit Sherly, napasnya terputus."Hai… wanita binal," suara berat terdengar di belakangnya. Aroma rokok basi bercampur keringat menyusup ke hidungnya.Sherly berusaha menoleh, tapi cengkraman di rambutnya terlalu kuat. Wajahnya pucat, kaki