Sore itu, cuaca begitu bersahabat. Langit tampak bersih dan matahari sore menyinari dengan hangat, menyelinap masuk melalui jendela besar rumah megah milik Reza. Pintu utama rumah tiba-tiba terbuka perlahan dan masuklah sepasang suami istri paruh baya dengan penampilan rapi dan elegan. Wajah mereka penuh senyum bahagia. Koper-koper tertata rapi di belakang, dibawa oleh supir yang setia melayani mereka sejak dari bandara."Halo!" seru wanita itu dengan nada ceria.Reza yang tengah duduk di ruang tamu, nyaris tersedak kopi sore yang baru saja ia teguk. Ia cepat-cepat berdiri, matanya melebar tak percaya. "Mama? Papa?"Maria, wanita anggun berambut sebahu itu tersenyum lebar dan langsung memeluk putranya."Lho, mama sama papa pulang nggak ngabarin dulu," ujar Reza masih setengah kaget.Sanjaya, sang ayah yang berdiri di samping Maria, hanya tertawa kecil. "Kita mau kasih kejutan, Rez," ujarnya tenang."Iya benar, kalau kita ngabarin dulu, namanya bukan kejutan," sambung Maria sambil tert
Di sebuah rumah, suasana sore itu terasa hangat. Si kembar, Asrul dan Arkaf, tengah duduk santai di ruang tengah bersama Reza. Pria itu sudah mengganti pakaiannya dengan kaos oblong dan celana pendek, sementara si kembar tampak nyaman mengenakan baju baru pemberian Reza. Di atas meja, beberapa bungkus es krim yang sudah habis masih berserakan, bukti betapa mereka menikmatinya.Reza menatap kedua anak itu dengan ekspresi lembut, tapi dalam hatinya, ia dipenuhi tanda tanya. Siapa sebenarnya mereka? Ia mencoba untuk menggalinya secara perlahan."Apa kalian masih ingat sekolah kalian di mana?" tanya Reza hati-hati sambil duduk bersila di depan mereka.Asrul dan Arkaf saling berpandangan sejenak, seolah mencari jawaban di mata satu sama lain. Namun akhirnya mereka menggelengkan kepala bersamaan."Nggak tau, Om," ujar Asrul."Iya, Om, aku juga nggak inget," sambung Arkaf.Reza tersenyum tipis, berusaha tak memperlihatkan rasa kecewanya. "Atau gini aja, nama sekolah kalian apa? Mungkin masih
Sore itu, cuaca terlihat cerah, langit biru tak berawan membentang indah di atas kota yang sibuk. Setelah seharian bekerja, Taufik akhirnya sampai di rumah. Tubuhnya memang lelah, tetapi pikirannya tak kunjung tenang. Seperti hari-hari sebelumnya, wajah si kembar masih terus menghantui benaknya. Namun kali ini, Ernita menyambutnya dengan ajakan yang sedikit berbeda."Mas, ayo kita keluar sebentar, keliling kota, siapa tahu kita bisa nemu petunjuk apa pun soal anak-anak," ajak Ernita dengan raut yang sudah sedikit lebih segar. Rupanya, ia mencoba untuk tidak larut dalam kesedihan.Taufik sempat ragu. "Sekarang? Kamu yakin nggak capek, Nit?""Justru aku makin gelisah kalau cuma duduk di rumah. Kita keliling saja, mungkin takdir lagi baik hati sama kita hari ini."Melihat tekad di wajah istrinya, Taufik akhirnya mengangguk. "Oke. Aku mandi dulu, habis itu kita berangkat."Tak lama, mereka sudah berada di dalam mobil, menyusuri jalanan kota. Suara mesin mobil terdengar lembut, menyatu den
Di tempat lain, Gudel tampak berjalan mondar-mandir di dalam ruang kerjanya yang sepi dan dipenuhi oleh aroma kopi yang sudah dingin. Wajahnya terlihat gelisah. Kerutan di dahinya semakin dalam, dan tangannya beberapa kali mengepal kuat. Rasa tak tenang menggeliat di dadanya seperti ular yang mencari jalan keluar."Ke mana sebenarnya anak-anak itu?" gumamnya pelan, namun penuh kemarahan dan kekhawatiran.Ia berhenti sejenak di depan jendela besar ruangannya. Menatap keluar, tetapi pikirannya tak benar-benar melihat apa pun. Semua hanya bayangan samar dalam pikirannya. Dua wajah kecil itu, Asrul dan Arkaf terus muncul di benaknya."Kalau mereka sudah pulang ke rumah, pasti Taufik nggak akan sempat-sempatnya datang menanyakan mereka ke kantorku. Dia bahkan berani mengobrak-abrik ruanganku, berarti jelas dia belum nemu anak-anaknya," lanjut Gudel berbicara pada dirinya sendiri.Ia menepuk dahinya keras. "Tapi kalau bukan di rumah Taufik, terus ke mana mereka? Apa mungkin ada orang lain y
Sore itu, langit tampak merona jingga ketika Helen tiba di rumah kakaknya, Taufik. Ia turun dari mobil sambil membawa sekotak kue yang baru saja dibelinya di toko langganan. Setibanya di depan pintu, ia disambut ramah oleh Tia yang mengenakan apron dengan noda saus di bagian bawahnya."Selamat sore, Mbak Helen. Ayo, silakan masuk. Nyonya Ernita ada di ruang tamu," ujar Tia sopan sambil membukakan pintu.Helen mengangguk, masuk dengan langkah ringan. Di ruang tamu, Ernita duduk di sofa sambil memegang cangkir teh hangat. Senyuman merekah saat melihat kedatangan adik iparnya."Wah, Helen, tumben mampir?" sapa Ernita."Iya, aku lagi pengen ngobrol aja, Mbak. Di rumah sendirian tuh rasanya kayak sumpek," ucap Helen sembari meletakkan kotak kue di atas meja.Mereka pun duduk dan mulai berbincang ringan tentang berbagai hal, mulai dari pekerjaan Helen sebagai bendahara perusahaan, sampai resep masakan yang baru dipelajari Tia dari internet.Beberapa saat kemudian, Taufik muncul dari dalam r
Angin semilir menyapu dedaunan di taman kota yang ramai pagi itu. Anak-anak berlarian di sekitar lapangan, beberapa duduk bersama keluarga, sementara sebagian lainnya asyik bermain di wahana. Suasana Minggu benar-benar hidup.Reza menepuk-nepuk celana jeansnya setelah duduk di bangku taman. Ia meluruskan kaki, matanya terus mengikuti langkah Asrul dan Arkaf yang tengah berlari kecil menuju toko jajanan di ujung jalur pejalan kaki. Ia tersenyum, merasa tenang. Meski tak tahu pasti asal-usul mereka, Reza sudah menganggap si kembar seperti keluarga sendiri. Sejak pertama kali bertemu, ada koneksi emosional aneh yang membuatnya ingin melindungi mereka.Tak lama kemudian, sebuah suara membuyarkan lamunannya."Mas Reza?"Dengan reflek, Reza menoleh. "Helen!" serunya.Di hadapannya berdiri seorang perempuan dengan blouse warna biru muda dan celana kulot putih, rambutnya dikuncir rapi, senyumnya ramah, dan matanya berbinar cerah."Ya ampun, kamu beneran Helen?""Iya, Mas. Dunia ini sempit ban