Suasana rumah Loren mulai tenang setelah hari ketiga kepergiannya. Pelayat sudah jauh berkurang, hanya beberapa tetangga dan kerabat dekat yang masih sesekali datang untuk menyampaikan doa dan belasungkawa. Di ruang tamu, Taufik, Ernita, Helen, dan Tia duduk dalam keheningan. Aroma bunga tabur yang masih menguar dari luar membuat suasana semakin sendu. Si kembar sedang tidur di kamar bersama Tia, sementara Taufik dan Ernita duduk berdampingan.Tiba-tiba, pintu pagar depan diketuk. Seorang pria berjas abu-abu dengan tas kulit hitam menenteng map masuk perlahan. Helen yang pertama kali melihat langsung berdiri dan menghampiri."Permisi, saya ingin bertemu dengan Pak Taufik," ucap pria itu dengan sopan."Saya Taufik. Ada perlu apa ya, Pak?" Taufik bangkit berdiri, menatap pria tersebut dengan bingung."Begini, saya pengacara pribadi Ibu Loren. Kami sangat akrab sewaktu beliau masih hidup, dan sering bertemu juga. Saya datang membawa surat penting yang perlu dibicarakan secara privat, nam
"Dok, tolong periksa Ibu saya. Cepat, Dok!" Helen berteriak panik sembari berlari keluar ruangan, menyisakan suasana tegang di dalam kamar rumah sakit. Taufik yang berdiri di sisi ranjang ibunya menggenggam tangan Loren erat-erat, berharap masih ada denyut yang bisa ia rasakan, secercah tanda bahwa ibunya belum benar-benar pergi.Tak lama, dokter dan dua perawat masuk dengan langkah cepat. Dokter mengenakan stetoskop dan segera memeriksa denyut nadi serta detak jantung Loren. Semua menahan napas, menanti kepastian. Suasana mendadak menjadi hening, seakan dunia berhenti berputar.Dokter itu menatap layar monitor yang mulai menunjukkan grafik datar. Perlahan, ia melepaskan stetoskop dari telinganya dan menunduk."Innalillahi wa inna ilaihi raji'un," ucap sang dokter lirih.Helen yang baru saja masuk kembali, tubuhnya lunglai seketika. "Apa maksudnya, Dok? Jangan bercanda, tolong katakan kalau ini tidak benar," serunya dengan suara bergetar.Dokter menatap Taufik dan Helen dengan penuh e
Hari-hari berlalu dengan penuh kecemasan di rumah keluarga Helen. Kondisi Loren tidak menunjukkan tanda-tanda membaik. Justru semakin hari, tubuhnya kian lemah, nafsu makan menurun drastis, dan wajahnya semakin pucat. Helen, yang sejak awal berusaha tenang, kini mulai panik. Ia tak bisa lagi bergantung pada perawatan rumah. Akhirnya, sore itu, ia memutuskan untuk membawa Loren ke Rumah Sakit Medikal, tempat terbaik di kota itu.Setelah Loren berhasil ditangani tim medis dan mendapatkan kamar perawatan, Helen duduk di ruang tunggu, menatap layar ponselnya. Ia tahu ini saat yang tepat untuk memberi tahu Taufik. Jari-jarinya gemetar saat mengetik pesan, namun ia memilih untuk menelpon langsung."Halo, Kak?" suara Helen terdengar pelan saat panggilan tersambung."Iya, Hel. Ada apa?""Kak, Ibu udah aku bawa ke rumah sakit. Keadaannya nggak baik. Aku cuma mau ngasih tahu. Dia masuk Medikal, kamar 204."Terdengar jeda di seberang sana. Napas Taufik terdengar berat. "Se-segitu parahnya?""Iya
Malam itu, setelah membersihkan diri, Taufik duduk di ruang keluarga sambil menunggu Ernita yang masih membereskan dapur. Pikiran Taufik dipenuhi dengan wajah ibunya yang terlihat begitu rapuh sore tadi. Wajah itu tidak seperti biasanya, bukan lagi Loren yang tegas, yang tak pernah membiarkan air matanya jatuh di hadapan siapa pun. Tapi kali ini, Loren terlihat seperti seorang ibu yang benar-benar menyesal.Ernita keluar dari dapur sambil mengelap tangan dengan lap kering. Dia duduk di samping Taufik, menyandarkan kepala di bahu suaminya."Kamu kelihatan capek, Mas," ujar Ernita lembut.Taufik mengangguk pelan. "Capek pikiran, bukan badan."Ernita mengangkat kepalanya dan menatap wajah suaminya. "Kamu mikirin Ibu?"Taufik tidak langsung menjawab. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk. "Tadi Ibu minta kita datang ke rumah. Dia mau minta maaf sama kamu dan anak-anak."Ernita langsung memalingkan wajah. Ia terdiam cukup lama. Taufik bisa merasakan tubuh istrinya menjadi tegang."
"Eh, iya, Hel. Besok aku pulang kerja ke rumah, Ibu dirawat di rumah sakit mana?" tanya Taufik dari seberang telepon malam itu."Ibu masih di rumah, Kak. Kata asisten yang jaga, beliau nggak mau dirawat inap. Maunya cuma dibelikan obat dari apotek saja," ucap Helen pelan.Taufik mendengus pelan. "Obat apotek mana manjur kalau memang udah lemah begitu? Ya udah, besok aku pulang. Aku mau lihat langsung kondisinya.""Oke, Kak. Hati-hati di jalan ya besok," sahut Helen.Panggilan pun berakhir. Taufik meletakkan ponsel pelan di meja, lalu menoleh pada Ernita yang duduk di sebelahnya sambil menidurkan Arkaf yang sedang merengek kecil."Kamu denger, kan, Nita? Besok aku harus pulang ke rumah Ibu. Katanya sakitnya cukup parah, tapi masih nggak mau dirawat," ujar Taufik.Ernita mengangguk pelan, membelai rambut Arkaf yang mulai terlelap. "Aku dengar, Mas. Nggak apa-apa. Mas Taufik temui Ibu dulu, aku jagain si kembar di rumah.""Kamu nggak ikut sekalian? Siapa tahu sekarang Ibu udah nggak seke
Sejak pertemuan dengan pengacara kepercayaannya beberapa hari lalu, pikiran Loren tak pernah tenang. Ucapan yang dilontarkan sang pengacara begitu membekas di dalam hatinya. Ia tak bisa melupakan pernyataan yang seolah mencabut seluruh keyakinan yang selama ini ia pegang teguh: bahwa ia telah bertindak benar demi masa depan anaknya. Tapi kini ia mulai sadar, mungkin justru dialah yang selama ini menghambat kebahagiaan Taufik.Setiap pagi Loren terbangun dengan wajah murung. Nafsu makannya menurun drastis. Bahkan teh hangat kesukaannya yang biasanya menemani pagi kini hanya disentuh sekilas, lalu dibiarkan dingin di meja. Para asisten rumah tangganya pun mulai cemas."Bu Loren nggak keluar kamar lagi ya, Mbak?" bisik salah satu pelayan pada rekan kerja di dapur."Iya, kayaknya lagi nggak enak badan. Tapi kemarin-kemarin masih duduk di taman. Sekarang nggak keluar sama sekali."Di dalam kamar, Loren hanya terbaring diam di tempat tidur. Tatapannya kosong, menembus langit-langit kamar. T