“Nggghh ....”
Suara lenguhan keluar dari bibir Rania ketika Bastian mulai menyapu lehernya dengan kecupan yang lebih panas lagi. Desahan itu semakin terdengar jelas ketika bibir basah seorang pria mulai menggelitik bahkan menggigit lembut daun telinga Rania.
Bibir bastian menari-menari di leher dan daun telinga Rania, sementara tangannya mulai melepas sendiri celananya, membuat rongga yang luar biasa hingga sebuah benda yang mulai menegang merasa lega.
Bastian mendorong lembut tubuh Rania hingga rebah ke atas ranjang. Melepas rok span yang dikenakan wanita itu, lalu menarik paksa segi tiga pengaman milik Rania. Basah, itulah yang terasa di tangan Bastian ketika menyentuh segitiga pengaman milik Rania.
Tidak lama, sebuah benda mulai memaksa masuk ke dalam tubuh Rania. Sesuatu yang membuat rasa sakit dan nyeri menguasai bagian bawah miliknya.
“Auuhh ... sakit ...,” lirih Rania. Ia berusaha mendorong tubuh kekar itu.
“Jangan ...,” ucapnya lagi. Rania sadar kalau semua ini tidak boleh terjadi. Setelah dua puluh tiga tahun berhasil mempertahankan kesuciannya, Rania tidak ingin sesuatu yang ia pertahankan selama itu berakhir begitu saja.
Namun sayang, sang pria yang dikuasai gairah yang memuncak, terus mendesak agar benda itu masuk dengan sempurna. Keras dan tegang, tidak bisa untuk ditahan.
“Cukup, hentikan!!” Rania berusaha mendorong dengan kuat, namun tenaganya tidak cukup kuat untuk melakukan hal itu. Tangannya lemah dan tubuhnya goyang karena reaksi alergi yang ia alami saat ini.
Penolakan yang dilakukan oleh Rania, malah membuat sang pria bergejolak. Ia mengunci ke dua tangan Rania dan dengan cepat, ia menghujam pusaka miliknya ke dalam tubuh Rania.
“Aaahhh ...,” teriak Rania. Ke dua matanya membesar ketika menerima hujaman yang sangat menyakitkan.
“Tolong, ini tidak boleh terjadi,” ucap Rania. Manik cokelat terang miliknya berkaca-kaca. Rasa sakit pun masih menguasai bagian bawah tubuhnya.
Rania masih linglung. Bahkan ia tidak tahu, dengan siapa ia bercinta saat ini. Apa lagi suasana kamar masih temaram. Yang ia tahu, semua ini tidak boleh terjadi. Yang ia tahu, saat ini kesuciannya sudah hilang dan itu sangat menyakitkan.
Berbeda dengan pria yang saat ini menindih tubuhnya, pria itu malah menikmati sensasi yang luar biasa. Tempat sempit itu membuat miliknya bergetar hebat dan bergelora.
Rania menangis, berharap Bastian menghentikan kegiatan itu. Namun sayang, bukannya berhenti, sang pria malah mulai menggerakkan tubuhnya. Perlahan tapi pasti, ia mulai memacu gerakannya sehingga rasa sakit yang sebelumnya dirasakan oleh Rania, berubah menjadi sebuah kenikmatan yang luar biasa.
Pada akhirnya, suara erangan dan lenguhan panjang terdengar dari bibir cantik Rania seiringan dengan gerakan yang semakin lama semakin cepat dari sang pria.
Rania tidak mampu lagi untuk menolak. Ia hanya bisa menikmati semua itu. Menikmati pergerakan yang seakan sulit untuk dihentikan. Semakin lama, semakin terasa nikmat hingga pada akhirnya ke duanya pun mengapai tujuannya. Sama-sama terlelap dan terkapar di atas ranjang tanpa sadar dengan siapa mereka bermain saat ini.
Ya, Bastian dan Rania bahkan tidak tahu jika mereka baru saja bercinta malam ini. Rania yang tanpa sadar salah masuk kamar dan Bastian yang dikuasai alkohol membuat ke duanya linglung dan hilang kendali.
Rania sebelumnya masuk begitu saja ke dalam kamar Bastian, menabrak tubuh Bastian dalam kegelapan. Bastian yang dikuasai alkohol dan birahi, menyambut tubuh cantik itu, mencium aroma wangi yang begitu nikmat hingga tanpa sadar langsung menyapu wajah dan leher Rania dengan ciuman panas.
Bastian, pemilik salah satu hotel bintang lima yang ada di Jakarta. Mantan kekasih sekaligus bos dari wanita cantik yang dulunya pernah diberikan janji manis oleh Bastian. Sayangnya, sebentar lagi Bastian akan menikah. Ia akan menikah dengan mantan sahabat Rania—Maya.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul empat dini hari. Rania tiba-tiba saja terjaga, merasakan linu di sekujur tubuhnya. Ia masih bingung. Badannya masih panas dan kepalanya masih pusing.
Rania memegang kepalanya, mencoba mencerna apa yang sudah terjadi tadi malam. Apa lagi tubuhnya terasa remuk redam. Terlebih bagian penting dari tubuhnya terasa perih dan ngilu. Yang ia ingat, kemarin pagi ia tidak enak badan. Namun ia masih memaksakan diri pergi ke acara pelatihan karena acara itu sangat penting untuk karirnya. Ia sudah minum tablet penurun panas dan ia yakin kalau ia mampu menghadiri acara itu.
Namun sayang, makan malam yang disediakan oleh panitia sebagian besar adalah menu seafood. Rania alergi dengan udang. Apabila ia makan udang, maka kepalanya akan langsung pusing, tubuhnya panas dan sempoyongan. Terkadang reaksinya gata-gatal, tapi sangat jarang terjadi.
Ia sudah mencoba tidak memakan makanan itu, namun teman-temannya tetap memaksa sehingga Rania tidak mampu lagi menolak. Ia pun makan beberapa ekor udang yang membuat tubuhnya tidak stabil.
Rania mencoba duduk, menyibak selimut yang sebelumnya menutupi seluruh tubuhnya. Wanita itu berusaha menggapai sebuah saklar lampu, ia pun menekannya hingga membuat ruangan itu jadi terang benderang.
Tidak, darah apa ini? Kenapa aku seperti ini? Apa yang terjadi? Ah, mana mungkin aku—
Masih membatin, Rania menoleh ke arah samping. Ia semakin terkejut ketika melihat Bastian terlelap nikmat tanpa busana di sampingnya. Dengan cepat, wanita itu kembali menekan saklar lampu utama. Ia hanya menyalakan lampu tidur yang temaram.
Tubuh Rania tiba-tiba bergetar. Air matanya tidak mampu ia bendung. Ia kehilangan kesuciannya. Kesucian yang sudah susah payah ia pertahankan. Di tambah yang merebut kesucian itu adalah lelaki yang sebentar lagi akan menikah. Lelaki yang sampai saat ini masih ada di hatinya, namun begitu sering menyakitinya. Lelaki yang dulu pernah membuatnya begitu spesial, sebelum semuanya berubah seratus delapan puluh derajat.
Bastian. Ya, lelaki itu adalah Bastian. Pemilik hotel bintang lima tempat Rania bekerja. Bos sekaligus mantan kekasih Rania yang dulu sempat menjanjikan cinta. Pria yang pernah mengecup lembut bibir manis wanita itu untuk pertama kalinya. Pria yang dulunya pernah berjanji akan menikah dengannya.
Namun sayang, janji tinggallah janji. Semua itu kandas tiba-tiba karena orang ketiga. Bastian memilih mengikuti permintaan ke dua orang tuanya untuk menikah dengan Maya.
Rania segera menyeka air mata. Ia bergegas mengenakan kembali pakaiannya dengan baik. Pergi meninggalkan kamar hotel itu tanpa memedulikan Bastian. Ia sangat hancur saat ini.
Rania yang masih berurai air mata, menyetop sebuah taksi dan meminta sang sopir taksi mengantarnya ke apartemen sewaan yang sudah ia tempati semenjak ia bekerja di perusahaan milik Bastian.
“Rania, kenapa pulang pagi buta begini?” tanya Jihan—sepupu Rania yang kini tinggal bersamanya di unit apartemen yang sama.
“Ah, iya ... Aku lupa kalau pagi ini aku harus kerja. Ini adalah hari pertamaku bekerja. Harusnya semalam aku tidak menginap di hotel, tapi karena alergiku kambuh, aku pun istirahat sebentar di kamar hotel. Tapi nggak tahunya malah ketiduran,” ucap Rania seraya tersenyum.
“Bibir dan leher kamu kenapa?” tanya Jihan. Ia memerhatikan leher Rania yang memerah. Bibir wanita itu pun terlihat sedikit bengkak.
“I—ini ... Ah, bukan apa-apa. Ini hanya akibat reaksi alergi. Oiya, aku harus segera mandi. Aku harus bersiap ke kantor. Jika tidak, aku akan dapat masalah nantinya.” Rania berusaha mengalihkan dan segera berlalu menuju kamar mandi.
Jihan memerhatikan sepupunya itu. Ada yang aneh dari cara berjalan Rania, namun Jihan berusaha mengabaikan.
Di kamar mandi, Rania segera menyalakan kran shower sampai batas maksimal. Ia biarkan tubuhnya yang masih berbalut kemeja dan rok span pendek basah oleh guyuran air yang dingin. Rania menangis, terduduk di lantai seraya mengusap rambutnya yang sudah basah. Sesekali ia tarik rambut itu, ia menyesal.
Kenapa semua ini harus terjadi? Kenapa harus Bastian? Kenapa bukan pria lain? Batin Rania. Wanita itu tidak mampu menahan diri. Ia bahkan nyaris menghabiskan semua air matanya di dalam ruangan yang dingin dan pengap itu.
“Rania, kamu ngapain di dalam. Kok lama banget sih? Kamu amankan?” tanya Jihan seraya mengetuk pintu kamar mandi dengan keras.
Rania tersadar. Ia segera mematikan keran lalu berdiri.
“Aku baik-baik saja kok, Jihan. Maaf, aku lagi merenung. Aku takut hari ini sebab ini adalah hari pertamaku masuk di kantor pusat. Apa kamu ingin menggunakan kamar mandi juga?” tanya Rania.
“Nggak sih, tapi aku khawatir sama kamu. Kamu baik-baik sajakan?” tanya Jihan lagi.
“Iya, aku nggak apa-apa kok,” balas Rania.
Rania pun segera melepas pakainnya. Ia bersihkan dirinya dengan cepat lalu ia pun keluar dari kamar mandi setelah mengenakan handuk piyama yang sudah tersedia di dalam kamar mandi.
Rania masuk ke dalam kamar, mengganti pakaiannya dengan kemeja formal khas orang kantoran.
Usai bersiap, Rania pun menatap pergelangan tangan kanannya. Polos, tidak ada benda apa pun yang tersemat di pergelangan tangan Rania. Sebuah gelang yang sangat berharga untuknya. Ia bingung, mencari-cari keberadaan benda kesayangannya. Benda yang sudah ia simpan selama puluhan tahun. Benda yang baru diberikan oleh sang ibu ketika Rania berusia tujuh tahun dan gelang itu selalu ia pakai sampai saat ini.
Rania berusaha mencari. Ia keluarkan semua isi tasnya namun ia tidak menemukan benda yang ia cari.
“Nyari apa, Ran?” tanya Jihan.
“Gelang aku, kok nggak ada?” Rania terlihat bingung.
“Gelang hijau itu?” taya Jihan.
“Iya. Gelang yang diberikan ibu itu lo. Kamu tahukan kalau aku nggak pernah lepas gelang itu sejak ibu memberikannya padaku,” jawab Rania.
“Jangan-jangan ketinggalan di kamar hotel tempat kamu menginap semalam,” ucap Jihan.
“Ya, mungkin saja. Tapi aku tidak punya banyak waktu utnuk mengeceknya ke sana. Aku akan cari nanti,” ucap Rania. Wanita itu segera meninggalkan unit apartemen. Berusaha mengabaikan sebentar gelangnya karena hari ini adalah hari pertamanya. Jadi ia tidak boleh membuat masalah.
Beberapa minggu terakhir yang ia habiskan bersama Bastian, justru membuat malam ini terasa begitu canggung bagi Rania. Ia menatap putranya yang sudah terlelap di atas ranjang besar miliknya. Rania memang enggan berpisah dengan Bintang, sebab itu ia memutuskan agar anak semata wayangnya itu tetap tidur di kamar pribadinya malam ini.Perlahan, Rania merebahkan tubuh di samping sang buah hati. Ia mencoba memejamkan mata, berharap bisa ikut terlelap. Namun sayangnya, kelopak matanya seolah menolak untuk tertutup. Ada perasaan ganjil, sebuah rindu yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata.Akhirnya, ia bangkit. Melangkah pelan menuju dinding kaca di sisi kamar. Ia membuka pintu geser itu, lalu keluar ke balkon. Berdiri menyandarkan kedua tangannya di pagar besi, seraya memandangi taman belakang rumahnya yang terlihat tenang dan indah diterpa cahaya lampu taman.Kenapa Mama tidak menikah saja dengan Papa?Pertanyaan Bintang yang terlontar di rumah sakit beberapa hari lalu kembali terngiang di
“Selamat pagi, Bintang…” Dengan senyum merekah, Nora dan Prakas datang dengan sebuah buket bunga berukuran besar. Mereka sengaja memesan buket khusus untuk cucu mereka yang kini kondisinya sudah jauh lebih baik.“Terima kasih, Oma,” balas Bintang.“Bintang sekarang sudah segar ya, sudah ganteng. Hari ini, kita akan pulang ke rumah. Tapi oma sedih deh, karena nggak akan bisa bebas lagi bertemu dengan Bintang.” Nora sedikit cemberut. Namun manyun itu malah membuat Bintang tertawa.“Siapa bilang jeng Nora dan mas Prakas tidak bisa bebas datang ke rumah. Kalian bisa datang kapan pun untuk bertemu dengan Bintang. Selama di rumah sakit, kami sadar kalau ikatan darah tidak dapat dipisahkan begitu saja,” ucap Rita.“Iya, Tante. Tante dan om boleh kok datang kapan saja dan bertemu dengan Bintang.” Rania menggenggam lembut tangan kanan Nora.Nora tersenyum lembut. Ia belai pipi Rania sekali, lalu ia pun kembali mengalihkan pandangan ke arah Bintang. “Terima kasih, Rania. Kamu memang sangat baik
Setelah beberapa jam berada di ruang observasi pascaoperasi, Bastian dan Bintang akhirnya dipindahkan ke ruang rawat inap. Mereka ditempatkan di satu ruangan yang sama, kamar VVIP terbaik di rumah sakit itu, yang telah disiapkan sebelumnya oleh keluarga mereka. Meski keduanya sudah sadar, kondisi mereka masih sangat lemah. Namun, Bastian terlihat lebih baik dibandingkan dengan Bintang yang masih tampak pucat dan lemah.Rania duduk di samping tempat tidur Bintang, menggenggam tangan kecil putranya dengan lembut. Matanya berkaca-kaca melihat kondisi anaknya yang masih begitu rapuh. Sesekali, ia mengusap rambut Bintang dengan penuh kasih sayang. Di tempat tidur sebelah, Bastian menatap ke arah mereka dengan senyum tipis. Meski tubuhnya masih terasa nyeri akibat operasi, hatinya terasa lebih ringan karena telah melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan putranya.“Bagaimana perasaanmu?” tanya Rania lirih, suaranya penuh perhatian.Bastian mengangguk pelan. “Aku baik-baik saja. Jangan khaw
“Hasilnya..." dokter berhenti sejenak, melihat ekspresi cemas mereka. Semua orang yang ada di ruangan itu menahan napas, menunggu kelanjutan dari kalimat dokter."Bastian cocok menjadi donor untuk Bintang."Ruangan itu seketika dipenuhi helaan napas lega. Rania menutup wajahnya dengan tangan, menangis tanpa suara. Bastian mengangguk mantap, matanya berkaca-kaca. Namun, dokter belum selesai. "Namun, ada beberapa hal yang perlu kita diskusikan lebih lanjut. Operasi ini harus dilakukan secepat mungkin."Rania menghapus air matanya dengan cepat. "Secepat mungkin? Seberapa cepat, Dok?""Idealnya, dalam 24 jam ke depan. Kondisi Bintang semakin melemah. Jika kita menunda lebih lama, risiko kegagalan akan semakin besar. Kami akan segera menyiapkan jadwal operasi dan memastikan semua persiapan berjalan lancar."Bastian langsung mengangguk. "Saya siap, Dok. Kapan pun operasi akan dilakukan, saya siap."Dokter tersenyum tipis. "Baik. Kami akan segera mempersiapkan ruang operasi dan tim bedah. Un
Di dalam ruangan dokter, suasana terasa begitu tegang. Rania menggenggam jemarinya sendiri, sementara Bastian duduk dengan wajah serius menatap dokter ahli yang akan menangani transplantasi hati Bintang."Sebelum kita melanjutkan ke tahap pemeriksaan, saya ingin menjelaskan terlebih dahulu risiko yang mungkin terjadi dalam operasi ini," ujar dokter dengan nada hati-hati.Bastian mengangguk mantap. "Tolong jelaskan, Dok. Saya ingin tahu semua risikonya."Dokter menarik napas sejenak sebelum mulai berbicara. "Pertama, operasi transplantasi hati merupakan prosedur besar yang memiliki risiko komplikasi. Bagi pasien penerima, dalam hal ini Bintang, ada kemungkinan tubuhnya menolak organ baru meskipun sudah cocok secara medis. Jika ini terjadi, kita harus segera mengambil langkah medis tambahan untuk mengatasinya."Rania menelan ludah, hatinya semakin gelisah. "Lalu bagaimana dengan risiko untuk pendonor? Maksud saya... untuk Bastian?"Dokter menatap keduanya dengan tenang. "Sebagai pendono
Ruangan rumah sakit dipenuhi keheningan yang mencekam. Jam dinding menunjukkan pukul dua siang ketika pintu kamar terbuka dan seorang dokter spesialis masuk dengan raut wajah serius. Semua mata langsung tertuju padanya.Dokter itu berjalan mendekati ranjang tempat Bintang terbaring lemah. Ia memeriksa kondisi bocah itu dengan seksama, mencatat beberapa hal di berkasnya sebelum akhirnya menatap seluruh keluarga yang berkumpul di dalam ruangan.“Saya ingin membicarakan hasil pemeriksaan terbaru Bintang,” kata dokter dengan suara tenang namun tegas.Rania menggenggam tangan kecil putranya yang terasa dingin. Hatinya berdebar kencang. Begitu pula dengan Rita, Boby, Nora, Prakas, dan tentu saja Bastian yang berdiri dengan wajah tegang di sudut ruangan.Dokter menarik napas dalam, lalu berkata, “Hasil menunjukkan bahwa Bintang mengalami gagal hati akut. Kondisinya cukup serius, dan kami harus bertindak cepat untuk menyelamatkannya.”Ruangan kembali sunyi. Pernyataan itu seperti petir di sia
Pagi itu, udara rumah sakit masih terasa dingin. Rita dan Boby tiba lebih awal dari biasanya, membawa sekantong penuh buah segar dan makanan untuk Rania. Keduanya berjalan menuju kamar tempat Bintang dirawat dengan hati yang dipenuhi kecemasan.Saat mereka masuk, mata mereka langsung tertuju pada sosok Bastian yang tertidur di sofa dengan posisi yang terlihat tidak nyaman. Tubuhnya sedikit membungkuk, kepalanya bertumpu pada lengannya, dan nafasnya terdengar teratur namun lelah. Selimut tipis yang diberikan perawat tadi malam masih membungkus tubuhnya.Rania yang sedang duduk di tepi tempat tidur Bintang, menoleh dan tersenyum lemah melihat kedua orang tuanya.“Dia tidak tidur semalaman,” bisik Rania, sebelum mereka sempat bertanya.Rita menghela napas panjang. Meski dalam hatinya masih ada sedikit ganjalan terhadap Bastian, ia tidak bisa menyangkal bahwa lelaki itu benar-benar peduli terhadap anaknya.“Bagaimana keadaan Bintang?” tanya Boby, suaranya lirih.Rania menatap buah hatinya
Satria berdiri di sudut ruangan, memperhatikan bagaimana Bastian duduk di samping tempat tidur Bintang, menggenggam tangan kecilnya dengan penuh kepedulian. Ada sesuatu dalam tatapan Bastian—ketulusan, ketakutan, sekaligus rasa tanggung jawab yang begitu besar. Hal yang selama ini Satria ingin berikan untuk Rania dan Bintang, namun nyatanya, dia hanya orang luar dalam kisah ini.Ia menghela napas panjang. Melawan perasaannya sendiri, ia akhirnya memilih untuk mundur. Untuk saat ini, Bintang memang membutuhkan orang tua kandungnya. Tidak ada ruang untuknya di sini. Dengan langkah pelan, ia mendekati Rita dan Boby yang masih berdiri di dekat pintu.“Tante, Om... Aku pamit dulu,” katanya dengan suara rendah.Rita menatapnya dengan sorot mata penuh pengertian. “Terima kasih sudah datang, Satria. Kami sangat menghargainya.”Satria tersenyum tipis. “Tidak masalah, Tante. Jika ada yang bisa aku bantu, aku selalu siap.”Boby menepuk pundaknya dengan ringan, tanda penghormatan dan terima kasih
Suasana di rumah sakit masih dipenuhi kecemasan. Setelah diputuskan untuk dirawat inap, Bintang kini berada di kamar VVIP dengan perawatan terbaik. Monitor di samping tempat tidurnya terus berbunyi pelan, menampilkan angka-angka yang mengukur kondisi tubuhnya. Rania tak bergeming dari sisi putranya, menggenggam tangan mungil itu dengan erat. Di wajahnya tergambar kelelahan, namun ia tak ingin pergi barang sejenak pun.Di ruang tunggu rumah sakit, Prakas dan Nora berdiri dengan gelisah. Sesekali, Prakas melirik jam tangannya, menanti kedatangan Bastian yang sudah dalam perjalanan dari Singapura. Nora memeluk dirinya sendiri, berusaha menenangkan diri meski hatinya terus bergetar memikirkan cucunya.Tak lama, langkah cepat terdengar dari arah pintu masuk. Bastian muncul dengan wajah yang penuh kecemasan, masih mengenakan pakaian dari penerbangannya yang terburu-buru. Matanya langsung mencari kedua orang tuanya. Begitu melihat mereka, ia berjalan cepat dan langsung bertanya,“Mami, Papi!