Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Bastian terjaga, merasa ada yang ganjal pada dirinya. Tangan kanan pria itu segera menekan saklar lampu utama, membuat kamar yang temaram menjadi terang benderang.
Bastian menyibak selimut. Kaget, ada noda darah segar yang menempel di sprei ranjang yang saat ini ia duduki. Bastian memerhatikan sprei itu, mencoba mengingat kembali apa yang terjadi semalam.
Hanya beberapa detik, lalu pria itu segera berdiri dan merasa tidak peduli. Tapi tiba-tiba kakinya menginjak sesuatu sebuah benda bulat mirip gelang yang terbuat dari batu giok asli.
Bastian menggeser kakinya, mengambil benda yang sangat ia kenali itu. Ya, itu memang gelang. Gelang yang terbuat dari beberapa butir batu giok asli yang dipadu dengan rantai yang terbuat dari emas asli milik Rania. Gelang yang salah satu sisinya ada ukiran bergambar mahkota dengan corak yang khas. Sepertinya hanya Rania saja yang punya ukiran dengan corak demikian.
Bastian sangat tahu jika itu gelang milik Rania sebab dulu ia pernah bersama wanita itu dua tahun lamanya. Menjalin kasih hingga sesuatu pun terjadi, membuat hubungan mereka kandas di tengah jalan.
Bastian mengambil gelang itu, memasukkannya ke dalam saku jas yang ia gantung di dinding bangku yang ada di kamar itu. Kemudian pria itu berlalu ke kamar mandi, membersihkan diri dan pergi dari kamar hotel menuju kantor miliknya.
***
The Lion Hotel Jakarta.
Rania masih sibuk dengan layar komputernya. Sesekali ia melirik jam tangan dan jarum pendek di jam itu menunjukkan pukul sepuluh pagi. Wanita itu tidak sabar menunggu waktu istirahat siang, sebab ia ingin kembali ke hotel tempat ia mengikuti pelatihan, menanyakan ke staf hotel apakah cleaning service di hotel itu menemukan gelang miliknya.
“Rania, ke ruanganku sekarang!” ucap Bastian tiba-tiba. Pria itu baru saja datang dan menyentak konsentrasi Rania.
Rania mengangguk. Sungguh ia tidak nyaman saat ini. Apa lagi mulai saat ini, ia akan sering bertemu dengan Bastian. Hampir setiap hari.
Sebelumnya di kantor cabang, ia tidak terlalu sering melihat bosnya itu karena Bastian memang jarang berada di sana.
Rania bangkit dari duduknya, menekan langkah menuju ruangan direktur utama perusahaan itu. Sebuah hotel berbintang lima yang sangat bonafit di Jakarta.
“Permisi, Pak,” ucap Rania sopan.
“Duduk!” perintah Bastian dengan wajah tegas penuh kesombongan.
Rania berusaha tersenyum walau sebenarnya ia sangat enggan melakukan hal itu. Rania berjalan mendekat, lalu duduk di kursi yang berhadapan dengan Bastian.
Bastian menekan sebuah remot. Remot yang berfungsi untuk membuka tutup pintu secara otomatis, bahkan bisa membuka dan mengunci pintu secara otomatis juga. Bastian ingin memastikan kalau pintu itu sudah terkunci dengan aman.
“Ada apa anda memanggil saya, Pak?” tanya Rania, sopan. Masih membekas di otaknya wajah polos Bastian yang terlelap nikmat di kamar hotel tadi malam, namun berusaha ditepis oleh wanita itu.
Bastian hanya diam. Tatapannya sangat tajam seolah ingin menerkam wanita cantik yang kini duduk di hadapannya.
“Maaf, Pak?” ucap Rania. Ia sedikit mengernyit.
Bastian menghela napas. Ia ambil sesuatu dari dalam saku jasnya lalu ia lempar dengan lembut sebuah benda ke atas meja hingga berhenti tepat di hadapan Rania.
Rania terkejut melihat benda yang ada di hadapannya. Sebuah gelang yang sudah ia rawat dan jaga dengan baik selama ini. Gelang yang diberikan oleh ibunya sedari ia kecil.
“Dari mana anda mendapatkan gelang ini, Pak?” tanya Rania dengan senyum sumringah. Ia sangat bahagia, sebab gelang itu benar-benar sangat berharga baginya.
Bastian berdecak. Tampak emosi namun masih saja diam.
“Terima kasih sudah mengembalikan gelang ini. Apa ada lagi yang bisa saya lakukan, Pak? Jika tidak ada, saya akan kembali bekerja,” ucap Rania.
“Mengapa kamu melakukannya?” Tiba-tiba sebuah kalimat keluar dari bibir Bastian. Pria itu bahkan tidak menoleh sama sekali ke arah Rania.
Rania gelagapan. Ia tahu maksud pertanyaan Bastian. Wanita yang pintar bicara itu tiba-tiba saja kehilangan kata-kata.
“M—maaf, Pak. Ini semua hanya salah paham. Saya tidak tahu kenapa saya bisa berada di dalam kamar anda tadi malam. Sa—saya ... Saya tidak enak badan karena alergi.” Rania berucap seraya menunduk.
Bastian menghela napas, “Kamu tahu kalau saya akan menikah,” ucap Bastian.
“Iya, saya tahu ... Saya sungguh tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi semalam.” Rania tiba-tiba saja terdiam.
Bastian bangkit dari duduknya, berjalan perlahan lalu kini menyandarkan bokongnya di tepi meja tepat di samping Rania.
“Jangan sampai Maya tahu, atau kamu akan dapat masalah besar,” ucap Bastian.
“I—iya, saya akan pastikan kalau bu Maya atau siapa pun tidak akan tahu,” ucap Rania seraya tergagap.
Tiba-tiba saja Bastian memegang lengan kiri Rania, menarik wanita itu dengan kasar lalu menyandarkannya ke dinding ruangan.
“Pak, apa yang akan anda lakukan?” tanya Rania.
Bastian sama sekali tidak menjawab. Pria itu seketika mendaratkan bibirnya dengan kasar ke bibir Rania. Ia kulum bibir manis Rania dengan paksa.
“Auh, sakit!” lirih Rania seraya memegang bibirnya yang berdarah.
Ya, Bastian membuat bibir itu terluka. Bastian menggigitnya dengan kasar hingga menyisakan luka menganga di bibir cantik Rania.
Bastian menyentuh bibirnya sesaat, membersihkan sisa darah yang menempel di bibirnya. Pria itu seketika membetulkan jasnya, menekan kembali remot pintu dan pergi begitu saja meninggalkan ruangan itu.
Rania masih terpaku. Bibirnya terasa perih dan berdarah. Ia tidak tahu, kenapa Bastian tiba-tiba melakukan hal itu. Ia memang merindukan ciuman manis dari Bastian, tapi bukan ciuman yang seperti itu. Ciuman yang dirindukannya adalah ciuman penuh kelembutan yang sering mereka lakukan dulunya ketika mereka masih menjalin kasih. Ciuman penuh cinta.
Namun yang Rania dapatkan saat ini malah sebaliknya. Bastian menyakitinya, menciumnya dengan brutal dan membuat luka menganga di bibir Rania. Membuat Rania seolah tidak punya harga diri di depan Bastain.
Rania segera meninggalkan ruangan bos besarnya itu. Ia berlari menuju kamar mandi. Ia seka air mata dan juga bibirnya yang terluka. Ia marah dan kecewa dengan Bastian.
Kenapa kamu lakukan semua ini padaku, Tian? Apa salahku padamu? Bukankah kamu yang sudah memutuskan hubungan kita dulunya. Kamu yang meninggalkan aku dan memilih Maya. Lalu kenapa kamu melakukan semua ini kepadaku? Rania membatin seraya terisak.
Tiba-tiba saja seseorang masuk. Rania dengan cepat mencuci mukanya dan menyeka pipinya untuk menyembunyikan air mata yang tadinya mengalir tanpa bisa dicegah.
“Rania, bibir kamu kenapa?” tanya Inaya—rekan kerja Rania.
“Oh ini ... aku sariawan, berusaha memencetnya tapi nggak tahunya malah kena kuku dan jadinya luka,” bohong Rania.
“Ya Ampun, Rania ... Tajam sekali kukumu sehingga membuat luka robekan seperti itu. Mau aku ambilkan plester?” tawar Inaya.
“Tidak, aku nggak apa-apa kok. Aku mau ke ruangan dulu,” ucap Rania.
Inaya mengangguk. Wanita itu terus memerhatikan langkah kaki Rania. Setelah Rania menghilang dari pandangan, Inaya pun langsung menghubungi seseorang.
***
Flowerina Resto and Cafe.
Rania masuk ke resto itu, berjalan menuju sebuah meja. Di salah satu kursi, sudah duduk seorang wanita cantik yang dulunya sangat berarti bagi Rania. Namun sayang, kini wanita itu tidak lebih dari musuh.
“Ada apa kamu memanggilku ke sini?” tanya Rania. Kini ia sudah duduk di salah satu kursi tepat di depan Maya. Maya sengaja memanggilnya datang ke sana dan mengajaknya berbincang empat mata.
“Ada apa dengan bibirmu?” tanya Maya dengan tatapan sinis.
“Oh, ini ... Aku tidak sengaja melukainya sendiri. Kena kuku ketika aku ingin memencet sariawanku,” bohong Rania.
“Aku harap kamu tidak bohong.” Maya menatap ke dua netra Rania dengan tajam.
“Buat apa aku bohong?” balas Rania.
“Entahlah ... Rania, kamu tahukan kalau sebentar lagi aku akan menikah dengan Bastian. Dua minggu lagi aku jadi nyonya besar di keluarga Bastian.” Maya menatap Rania dengan tajam.
“Iya, aku tahu itu dan aku ucapkan selamat akan hal itu,” balas Rania.
“Jadi aku harap kamu jangan macam-macam terhadapku, Rania. Aku tahu, kamu dulu adalah mantan kekasihnya Bastian, namun itu dulu. Sekarang Bastian adalah milikku. Aku sudah bertunangan dengannya dan dua minggu lagi aku akan menikah dengan Bastian. Jadi aku harap, kamu jangan membuat gara-gara. Aku tidak akan segan-segan mencelakaimu jika kamu berani menggoda Bastian.” Maya mencoba mengancam.
“Apa maksudmu, Maya? Aku sama sekali tidak pernah menggoda Bastian. Lagi pula Bastian adalah masa laluku. Aku sudah melupakannya sejak lama, bahkan sejak ia memutuskan hubungan denganku dan lebih memilih kamu untuk melanjutkan hidupnya.” Rania memalingkan wajah sesaat.
“Baguslah kalau kamu mengerti. Aku hanya ingin mengingatkan. Jangan sampai nanti kamu menyesal karena sudah berani membuat masalah denganku.” Kembali Maya menatap tajam ke dua netra cokelat terang milik Rania.
Rania terdiam. Ia sadar kalau dirinya bukanlah apa-apa jika dibandingkan dengan Maya. Ia tidak punya kuasa apa pun. Berbeda dengan Maya yang merupakan anak seorang terpandang yang merupakan rekan bisnis keluarga Bastian. Apa pun yang ia inginkan, pasti bisa ia lakukan.
“Dua minggu lagi aku akan menikah dengan Bastian. Tolong kamu jangan mengacau di sana.” Maya berdiri, meninggalkan begitu saja minuman yang sudah ia pesan tanpa menyentuhnya.
Rania menghela napas. Ia tatap minuman yang ada di hadapannya yang sama sekali belum ia sentuh.
Maya mengancamku. Aku tahu ia tidak main-main dengan ancamannya. Ah, bagaimana kalau Maya tahu semalam aku tidur dengan tunangannya? Tidak, maya tidak boleh tahu. Karir dan reputasiku di kantor akan hancur jika Maya mengetahuinya. Rania membatin.
Rania bergegas meninggalkan resto itu. Sungguh, ia tidak ingin mendapat masalah karena pasti akan sangat berpengaruh untuk karirnya.
Beberapa minggu terakhir yang ia habiskan bersama Bastian, justru membuat malam ini terasa begitu canggung bagi Rania. Ia menatap putranya yang sudah terlelap di atas ranjang besar miliknya. Rania memang enggan berpisah dengan Bintang, sebab itu ia memutuskan agar anak semata wayangnya itu tetap tidur di kamar pribadinya malam ini.Perlahan, Rania merebahkan tubuh di samping sang buah hati. Ia mencoba memejamkan mata, berharap bisa ikut terlelap. Namun sayangnya, kelopak matanya seolah menolak untuk tertutup. Ada perasaan ganjil, sebuah rindu yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata.Akhirnya, ia bangkit. Melangkah pelan menuju dinding kaca di sisi kamar. Ia membuka pintu geser itu, lalu keluar ke balkon. Berdiri menyandarkan kedua tangannya di pagar besi, seraya memandangi taman belakang rumahnya yang terlihat tenang dan indah diterpa cahaya lampu taman.Kenapa Mama tidak menikah saja dengan Papa?Pertanyaan Bintang yang terlontar di rumah sakit beberapa hari lalu kembali terngiang di
“Selamat pagi, Bintang…” Dengan senyum merekah, Nora dan Prakas datang dengan sebuah buket bunga berukuran besar. Mereka sengaja memesan buket khusus untuk cucu mereka yang kini kondisinya sudah jauh lebih baik.“Terima kasih, Oma,” balas Bintang.“Bintang sekarang sudah segar ya, sudah ganteng. Hari ini, kita akan pulang ke rumah. Tapi oma sedih deh, karena nggak akan bisa bebas lagi bertemu dengan Bintang.” Nora sedikit cemberut. Namun manyun itu malah membuat Bintang tertawa.“Siapa bilang jeng Nora dan mas Prakas tidak bisa bebas datang ke rumah. Kalian bisa datang kapan pun untuk bertemu dengan Bintang. Selama di rumah sakit, kami sadar kalau ikatan darah tidak dapat dipisahkan begitu saja,” ucap Rita.“Iya, Tante. Tante dan om boleh kok datang kapan saja dan bertemu dengan Bintang.” Rania menggenggam lembut tangan kanan Nora.Nora tersenyum lembut. Ia belai pipi Rania sekali, lalu ia pun kembali mengalihkan pandangan ke arah Bintang. “Terima kasih, Rania. Kamu memang sangat baik
Setelah beberapa jam berada di ruang observasi pascaoperasi, Bastian dan Bintang akhirnya dipindahkan ke ruang rawat inap. Mereka ditempatkan di satu ruangan yang sama, kamar VVIP terbaik di rumah sakit itu, yang telah disiapkan sebelumnya oleh keluarga mereka. Meski keduanya sudah sadar, kondisi mereka masih sangat lemah. Namun, Bastian terlihat lebih baik dibandingkan dengan Bintang yang masih tampak pucat dan lemah.Rania duduk di samping tempat tidur Bintang, menggenggam tangan kecil putranya dengan lembut. Matanya berkaca-kaca melihat kondisi anaknya yang masih begitu rapuh. Sesekali, ia mengusap rambut Bintang dengan penuh kasih sayang. Di tempat tidur sebelah, Bastian menatap ke arah mereka dengan senyum tipis. Meski tubuhnya masih terasa nyeri akibat operasi, hatinya terasa lebih ringan karena telah melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan putranya.“Bagaimana perasaanmu?” tanya Rania lirih, suaranya penuh perhatian.Bastian mengangguk pelan. “Aku baik-baik saja. Jangan khaw
“Hasilnya..." dokter berhenti sejenak, melihat ekspresi cemas mereka. Semua orang yang ada di ruangan itu menahan napas, menunggu kelanjutan dari kalimat dokter."Bastian cocok menjadi donor untuk Bintang."Ruangan itu seketika dipenuhi helaan napas lega. Rania menutup wajahnya dengan tangan, menangis tanpa suara. Bastian mengangguk mantap, matanya berkaca-kaca. Namun, dokter belum selesai. "Namun, ada beberapa hal yang perlu kita diskusikan lebih lanjut. Operasi ini harus dilakukan secepat mungkin."Rania menghapus air matanya dengan cepat. "Secepat mungkin? Seberapa cepat, Dok?""Idealnya, dalam 24 jam ke depan. Kondisi Bintang semakin melemah. Jika kita menunda lebih lama, risiko kegagalan akan semakin besar. Kami akan segera menyiapkan jadwal operasi dan memastikan semua persiapan berjalan lancar."Bastian langsung mengangguk. "Saya siap, Dok. Kapan pun operasi akan dilakukan, saya siap."Dokter tersenyum tipis. "Baik. Kami akan segera mempersiapkan ruang operasi dan tim bedah. Un
Di dalam ruangan dokter, suasana terasa begitu tegang. Rania menggenggam jemarinya sendiri, sementara Bastian duduk dengan wajah serius menatap dokter ahli yang akan menangani transplantasi hati Bintang."Sebelum kita melanjutkan ke tahap pemeriksaan, saya ingin menjelaskan terlebih dahulu risiko yang mungkin terjadi dalam operasi ini," ujar dokter dengan nada hati-hati.Bastian mengangguk mantap. "Tolong jelaskan, Dok. Saya ingin tahu semua risikonya."Dokter menarik napas sejenak sebelum mulai berbicara. "Pertama, operasi transplantasi hati merupakan prosedur besar yang memiliki risiko komplikasi. Bagi pasien penerima, dalam hal ini Bintang, ada kemungkinan tubuhnya menolak organ baru meskipun sudah cocok secara medis. Jika ini terjadi, kita harus segera mengambil langkah medis tambahan untuk mengatasinya."Rania menelan ludah, hatinya semakin gelisah. "Lalu bagaimana dengan risiko untuk pendonor? Maksud saya... untuk Bastian?"Dokter menatap keduanya dengan tenang. "Sebagai pendono
Ruangan rumah sakit dipenuhi keheningan yang mencekam. Jam dinding menunjukkan pukul dua siang ketika pintu kamar terbuka dan seorang dokter spesialis masuk dengan raut wajah serius. Semua mata langsung tertuju padanya.Dokter itu berjalan mendekati ranjang tempat Bintang terbaring lemah. Ia memeriksa kondisi bocah itu dengan seksama, mencatat beberapa hal di berkasnya sebelum akhirnya menatap seluruh keluarga yang berkumpul di dalam ruangan.“Saya ingin membicarakan hasil pemeriksaan terbaru Bintang,” kata dokter dengan suara tenang namun tegas.Rania menggenggam tangan kecil putranya yang terasa dingin. Hatinya berdebar kencang. Begitu pula dengan Rita, Boby, Nora, Prakas, dan tentu saja Bastian yang berdiri dengan wajah tegang di sudut ruangan.Dokter menarik napas dalam, lalu berkata, “Hasil menunjukkan bahwa Bintang mengalami gagal hati akut. Kondisinya cukup serius, dan kami harus bertindak cepat untuk menyelamatkannya.”Ruangan kembali sunyi. Pernyataan itu seperti petir di sia