LOGINAmber tetap berdiri anggun. Sorot matanya tetap tenang. Lalu, dia menoleh pelan sambil tersenyum manis. "Sudah selesai menilainya?"
Reyvan kini telah sampai di sisi Amber dan tatapannya mengintimidasi. "Kamu tahu siapa aku?" "Reyvan Kalingga. Putra mahkota Kalingga Grup." Reyvan tertawa pendek kaku. "Dan kamu? Anak tak diakui yang dipaksa berdiri di pelaminan, demi menambal aib orang kaya." Amber menahan napas, dia tidak mau terprovokasi. Sejak dulu, memang belum ada yang memperlakukannya dengan baik. Dia telah terbiasa direndahkan. "Terima kasih atas pujiannya, Reyvan" Reyvan menyeringai. "Dengar baik-baik. Kamu bukan siapa-siapa. Kamu cuma alat. Dan hari ini bisa duduk di pelaminan bukan karena kamu pantas. Tapi karena kamu cukup tak berarti untuk diserahkan padaku." Amber menarik napas dalam-dalam. "Setidaknya aku tahu diri. Dan aku bukan wanita munafik yang butuh status untuk jadi bernilai. Jadi, kamu tenang saja, Rey. Aku akan paham di mana aku seharusnya menempatkan diri, nantinya." Rahang Reyvan mengeras. "Keluargamu sudah berani mempermainkanku. Dan mulai sekarang, kamu akan hidup dalam garis yang aku tentukan." Amber mengangguk kecil. "Dan aku tidak akan mengemis perlakuan baik darimu, Rey. Lakukan saja apa yang mau kamu lakukan." Reyvan menyipitkan mata. Ada sedikit keterkejutan, tapi tertahan oleh gengsi. "Aku akan buat hidupmu cukup nyaman di neraka." "Dan aku akan bertahan, sampai membuatmu frustasi." Amber menatap tajam Reyvan tanpa ragu. Dia bahkan masih mempertahankan senyum manisnya tanpa takut. Lalu, Reyvan menatap lekat wajah Amber. Terbesit rasa penasaran dengan wanita yang sebentar lagi akan jadi istrinya ini. Dia sedikit memajukan wajahnya, hanya beberapa inci dari wajah Amber. "Jangan berharap apa pun dariku. Bahkan nama yang ada di undangan itu pun tidak berarti apa-apa bagiku. Apalagi kamu!" Amber membalas dengan senyuman manis. Hingga membuat sorot mata Reyvan menegang. "Aku paham. Dan sama sekali tidak mengharap apa pun darimu." Pernikahan Reyvan dan Amber benar-benar digelar. Bisik-bisik tamu undangan tidak berhenti sepanjang acara. Nama wanita yang tertera di undangan jelas Viona. Tapi yang berdiri di sisi Reyvan malah nanti bilang 'anak haram'. Meski begitu, pesta tetap berlangsung megah. Saat janji suci terucap, sorak tepuk tangan tetap riuh. Setelah rangkaian acara selesai, Reyvan langsung membawa Amber ke rumah pribadinya. Kini, Amber berdiri di ujung tangga bawah, masih mengenakan gaun pengantinnya. Dia menatap Reyvan yang berdiri satu anak tangga di atasnya sambil melepas dasinya. "Dengar, Amber. Jangan pernah mimpi bisa naik ke ranjangku." Amber menarik sudut bibirnya pelan. "Terima kasih sudah mengingatkan. Tapi aku juga tidak tertarik dengan ranjangmu, Reyvan." Wajah Reyvan menegang. Dia cepat menatap arah lain. "Siska!" Reyvan memanggil salah satu pembantunya. Seorang wanita muncul. "Ya, Tuan." "Antar dia ke kamarnya!" Lalu, Reyvan cepat menaiki tangga. Siska mengangguk, lalu menatap sengit Amber. "Ikut saya, Nyonya." Amber mengikuti langkah Siska menaiki tangga. Mereka berhenti di ujung lantai dua, dan sebuah kamar dibuka. Ruangan itu amat pengap dan berantakan. Debu tebal menutupi lantai dan furniture di sana. Dengan wajah sinisnya, Siska mendorong kasar koper Amber ke dalam ruangan. "Maaf, kami tidak punya waktu menyambut tamu tak diundang. Silahkan bersihkan sendiri, karena kami sangat sibuk." Lalu, dia pergi begitu saja. Amber tersenyum miris tipis menatap punggung seorang pembantu yang bahkan tak punya hormat padanya. "Huhh ….." Amber membuang napasnya. Dia menyapu sisi ruang. Keningnya mengernyit. Lalu, dia menarik napas dalam. "Aku tidak akan kalah dengan permainan ini. Viona, di mana kamu sebenarnya?" gumamnya. Lalu, dia membuka koper dan mengambil pakaian ganti. Setelah mengganti pakaiannya, dia mulai merapikan kamar. Kamar itu tak terlalu besar, tapi cukup melelahkan untuk membersihkan sendiri. Malam harinya pun, tak ada yang menyuruhnya turun untuk makan, Amber pun juga tak berniat untuk turun. Selepas mandi, dia hanya duduk di sisi ranjang sambil menatap kosong memikirkan nasibnya saat ini. Jemarinya mencengkram kuat. Pikirannya melayang ke pagi itu. Jordi Dinata, ayah kandungnya yang selama ini tak peduli dengannya, tiba-tiba datang menemuinya di apartemen. "Besok pagi kamu harus datang ke Hotel Magnella. Jangan lebih dari jam delapan pagi. Jangan banyak tanya. Kalau kamu menolak, ibumu keluar dari rumah hari itu juga." Amber membeku. Entah sejak kapan ibunya gila harta. Dia bahkan lupa dengan kebahagiaan anaknya sendiri. Jika sampai diusir dari kediaman, maka akan menggila. "Papa bahkan nggak pernah anggapku anak. Dan jika aku nggak datang ke pernikahan, bukannya malah bagus." "Papa tidak peduli perasaanmu. Papa hanya butuh kamu berguna sekali ini saja. Dan soal pacarmu itu, ... Lupakan!" "Baiklah, asal Papa bahagia saja." Amber menurut, tanpa curiga. Dia juga tidak berminat untuk menjelaskan kalau Viona selingkuh dengan Dion. Alasannya-malas, tidak lagi peduli dengan kehidupan Viona dan Dion. Dan saat dia tiba di hotel, semua di luar dugaannya. "Ma, apa maksudnya ini? Kenapa aku harus pakai gaun pengantin ini? Mana Viona?" Diana, ibu kandung Amber menggenggam tangannya erat. Wajahnya tersenyum lebar, tapi matanya tajam. "Viona hilang. Keluarga Kalingga nggak boleh dikecewakan. Kamu anak Dinata juga. Dan kamu tidak punya kesempatan untuk menolak." Amber menggeleng cepat. "Aku bukan boneka, Ma. Dan aku nggak tertarik dengan pernikahan ini. Aku juga nggak tertarik dengan kekayaan keluarga Dinata ataupun Kalingga!" Diana menarik napas dalam. Tangannya mencengkeram bahu Amber. "Justru Ini kesempatan emas agar kamu dapat pengakuan, Amber!" Bahkan ibu kandungnya sendiri pun sanggup mengorbankan kebahagiaannya. Lamunan Amber buyar saat pintu kamarnya dibuka kasar. Amber gegas berdiri. Siska sudah berdiri dengan tangan menyilang dan alis terangkat tinggi. "Nyonya Amber, ditunggu Tuan di ruang kerjanya, sekarang. Jangan lama-lama!" ketusnya dengan sorot mata tajam. Tanpa menunggu reaksi Amber, Siska langsung membalikkan badan dan berjalan cepat keluar dengan langkah sewot. Amber menatap punggung Siska dengan dahi mengernyit. Mendadak sesak itu datang lagi. Dia menghela panjang. Dan meraih ikat rambut dari meja rias, lalu berjalan keluar sambil menguncir rambutnya ke atas. "Mana ruang kerjanya?" Amber bahkan belum tahu yang mana. Rumah itu terlalu besar. Dia hanya bisa menebak-nebak, menyusuri satu demi satu pintunya. Hingga suara pintu berderit pelan membuatnya menoleh. Seorang pria keluar dari sebuah ruangan. Dia Prama. "Prama," ucap Amber lirih, mengangguk kecil. "Reyvan di mana?" Prama juga mengangguk sopan. "Pak Rey ada di dalam. Saya memang disuruh jemput." Tanpa banyak bicara, Prama membuka pintu itu lagi. Lalu, Amber melangkah masuk, sambil menahan napas. Begitu masuk, Amber mengedar sisi ruang. Ruangan itu luas, modern, tapi begitu dingin seperti pemiliknya. Reyvan sedang duduk di sofa panjang, dengan laptop terbuka di hadapannya. Di sisi mejanya ada beberapa map dan lembaran-lembaran kertas. Reyvan hanya melirik sekilas saat Amber masuk, lalu kembali ke layar laptop. Prama menunjuk sofa di seberang. “Silakan duduk, Amber.” Lalu, Amber duduk perlahan sambil terus menatap Reyvan. "Ada apa kamu memanggilku malam-malam?""Kita selesaikan yang tadi tertunda." David mengusap lembut pipi istrinya. "Vid, jangan di sini. Nanti ada yang ganggu lagi. Aku malu lagi." Irish kembali tersipu malu. Dia tak mengangguk dan tak menggeleng."Nggak akan ada lagi yang menganggu kita. Bocah biang kerok sudah diamankan." Pelan David memajukan wajahnya dengan menahan senyum. Dadanya sudah bergejolak tak karuan. Sedang Irish memegang kuat dua sisi kemeja suaminya. Dia juga tak mau menahan diri lagi. Dua wajah itu makin dekat, hingga sapuan napas David bisa dia rasakan. Membuat jantungnya berdetak cepat.Tapi--"Pak, Maaf--" Seorang perawat masuk begitu saja, karena pintu memang tak ditutup rapat. Dia menelan ludahnya susah saat terjebak melihat adegan yang tak seharusnya dia lihat. Wajahnya pucat karena takut, tapi kalau mundur, ada nyawa orang yang tak bisa ditunda-tunda lagi.Deg! David mengatup matanya, belum menoleh. Kenapa masih ada saja yang berani menganggunya. Rasanya ingin melempar orang itu.Irish memalingkan
Sebuah toples kaca kecil berisi ratusan bintang origami warna-warni tampak berkilau diterpa cahaya lampu ruangan yang temaram.'Hadiah yang dia siapkan sudah kulempar jauh, aku mau lihat hadiah receh apalagi yang dibuat bocah ini, yang pasti nggak akan bisa menyaingi hadiah dariku. Dan satu hal paling tidak bisa bocah demit ini dapatkan, dia tidak akan bisa lagi jadi yang pertama memberikan hadiah pada istriku,' batin David, sedikit menyeringai angkuh. Merasa sudah menang.Galaxy menghentak napasnya sambil memicing tajam. "Ya ampun Om David, ini kesalahan fatal pada seorang pahlawan yang sudah melakukan banyak hal spesial untuk Tante cantikku. Air susu dibalas dengan air tuba. Tante Irish, suami Tante sungguh menyedihkan, nggak paham soal membalas kebaikkan."Irish tertawa kecil dengan melirik suaminya. "Vid, kapan dan di mana kamu beli air tubanya?" bisiknya.Mata David melotot tajam dengan deru napas berat. Dia sudah siap melayangkan geraman dan umpatan mautnya pada si bocah demit k
"Di mana Tuan muda Demit-mu, Pram? Dia benar-benar biang onar." Napas Boy naik turun sambil mencari jejak. Matanya liar tajam ke beberapa lorong koridor. "Bukannya arah ke ruangan itu belok kanan, kenapa tadi dia belok kiri?" DUK! Prama menendang kaki Boy. "Tuan muda apa? Mulutmu kumasukin cabe sekilo." Mata Prama tajam pada sahabatnya itu. Jelas tak terima Tuan mudanya dijuluki semena-mena. "Hish. Cepat cari! Nggak usah cari jejaknya, langsung ke ruangan itu saja. Gawat kalau moment romantis Bosku kacau." Boy kembali lari. Prama membuang napasnya dan menyusul lari. Di depan pintu kamar. Tangan kecil Galaxy sudah terangkat hendak memegang handle pintu. Wajahnya kecut cemberut dengan napas naik turun. Tadi dia sengaja ambil haluan beda. Baru sehari saja di rumah sakit sudah paham tata letak dan jalur koridor. Dia ambil jalan yang lebih cepat untuk sampai ruangan itu. Galaxy mengeluarkan sebuah toples kaca kecil yang tadi dia ambil dari persembunyian. Sebuah kado spesial untuk T
"Selamat ulang tahun, Cintaku. Terima kasih sudah lahir ke dunia, dan terima kasih sudah memilih untuk tetap berada di samping pria tampan ini. Semoga kamu bahagia selalu. Semoga kamu bahagia. Dan semoga kamu bahagia selamanya di sisiku." Irish memejamkan matanya rapat-rapat di depan pendar lilin itu. Dalam hati, dia merapalkan doa, 'Berkatilah hubungan kami. Biarkan kebahagiaan ini menjadi selamanya, dan jangan biarkan ada yang memisahkan kami lagi.' Huhhhh .... Irish meniup lilinnya. David mengecup kening Irish sedikit lama. Tak berhenti di situ, David merogoh saku dan mengeluarkan sebuah kotak beludru. Saat kotak itu terbuka, sebuah cincin dengan berlian tunggal tampak berkilau. Mata Irish kembali berkaca-kaca. Perasaannya meluap-luap. Rasa haru, cinta, dan syukur bercampur menjadi satu hingga dia merasa sesak karena terlalu bahagia. David mengambil tangan kanan Irish, lalu perlahan menyematkan cincin itu di jari manisnya. "Cincin ini simbol jika aku telah menyerahkan selur
'To the Queen of our Heart, Happy Birthday Irish.'Untuk Ratu Hati Kami, Selamat Ulang Tahun IrishDavid dan Irish menatap layar itu tanpa melepaskan pelukan. Irish tersenyum di tengah tangisnya.Lalu, David menunduk, menatap wajah Irish yang kini memerah layaknya kelopak mawar. Jemarinya mengusap lembut pipi sang istri, sementara animasi di dinding masih berputar."Lihat di sana. Kamu terlihat sangat ingin melarikan diri dariku, tapi matamu nggak bisa berbohong kalau kamu terpesona dengan ketampananku," bisik David menggoda, bibirnya tepat di dekat telinga Irish.Irish mencubit pelan pinggang David, membuatnya sedikit meringis, tapi tetap tertawa kecil. "Percaya diri sekali. Aku cuma lagi mikir, bagaimana bisa ada pria seangkuh kamu di dunia ini? Tapi siapa sangka, pria angkuh itu sekarang malah memberikan kejutan semanis ini.""Karena pria angkuh ini sudah benar-benar terjatuh, Irish. Terjatuh di hatimu. Dan ke depannya, aku tidak keberatan jika harus terus jatuh setiap hari asal ka
"Ingat, apa pun yang nanti terjadi. Jangan pergi!" bisik Amber.Pintu berderit dan terbuka perlahan. Jantung Irish sudah berdetak cepat.Gelap. Irish tertegun dan tak paham. Mana suaminya? Sama sekali tak ada pergerakan.Irish kaget saat Amber mendorong kursi rodanya masuk ke dalam ruangan yang gelap gulita.Belum sempat dia bertanya, Amber sudah melangkah mundur dan menutup pintu dengan cepat, meninggalkannya sendirian dalam kebisuan yang mencekam."Amber! Kamu-" Irish cepat menoleh dan tak terkejar. Amber pergi.Jantungnya makin berdetak cepat, napasnya kian berat. Tak mungkin Amber menipunya atau menjebaknya. Tapi apa ini? Kenapa seperti mempermainkannya?Mau tak mau. Berani tidak berani. Dia harus tetap di sana mencari apa benar suaminya ada di sana? Kalau benar, di mana?Irish mengedar kegelapan."Vid .... David!" panggil Irish, suaranya bergetar karena cemas. Pikirannya masih dipenuhi bayangan David yang sedang mengamuk karena luka di punggungnya dan tak mau diobati."David, kam







