"Mau apa kamu memanggilku malam begini?"
Reyvan menutup laptop perlahan, lalu menatap Amber sambil menegakkan tubuhnya. Tatapannya begitu tajam. "Kenapa kamu tidak makan malam? Kamu kira rumah ini kekurangan makanan hanya karena bertambah satu orang? Atau nona muda Dinata biasa dilayani bak ratu?" Senyumnya miring sinis. Amber meremas jemarinya sendiri, menahan gemuruh di dadanya. Jelas tidak ada yang memanggilnya untuk makan malam. Lalu Amber tersenyum tipis. "Aku kira rumah seorang Tuan muda yang sebesar ini tidak punya acara makan malam, jadi aku tidak keluar. Atau Tuan rumahnya terlalu sibuk untuk makan sendiri sampai lupa kalau ada penghuni baru?" Reyvan membelalak kecil, sedikit terkejut dengan jawaban itu. Namun, buru-buru menyembunyikannya dengan senyum remeh. "Selain licik, ternyata keluarga Dinata juga menurunkan bakat membual." Amber menarik napas tajam. Rasa sakit itu kembali menjalari dadanya. "Kalau ada hal penting, cepat katakan. Aku lelah. Mau tidur dan berharap cepat pergi dari dunia nyata." Reyvan terkekeh, remeh. "Seindah apa mimpimu sampai buru-buru mau pergi? Tapi sayang sekali, setelah masuk rumah ini, kamu tidak akan pernah punya mimpi indah lagi. Bahkan tidur pun tidak akan pernah tenang." Amber menatap tajam, rahangnya mengeras. Masih memaksakan senyum tipis. Reyvan melirik Prama. Prama mengangguk. "Amber Madina. Dua puluh enam tahun. Karyawan bagian keuangan di Kalingga Corp, selama dua tahun terakhir." Reyvan menyeringai kecil, menatap Amber dengan sorot mengejek. "Kamu bahkan tidak bisa pakai nama Dinata. Tidak bisa masuk perusahaan keluarga sendiri. Tapi ayahmu, dengan penuh percaya diri menyerahkan anak buangannya pada pewaris keluarga Kalingga. Sungguh membuatku terkesan." Amber mengepal. "Kalau bisa memutar waktu, aku tidak akan datang ke hotel itu. Dan tidak sudi menikah dengan pria angkuh sepertimu." "Kamu!" Reyvan membelalak tajam dengan rahang mengeras. Lalu sekian detik, terbit senyum tipis di satu sudut bibirnya. Seumur-umur belum ada wanita yang mengatakan hal seperti itu padanya. Selama ini para wanita selalu memuja dan berusaha menarik perhatiannya dengan cara apa pun. Amber menghela napas berat. "Jangan bertele-tele lagi. Sebenarnya yang mau kamu bicarakan?" Reyvan mendengkus. "Aku akan bicara soal pernikahan kita yang di luar dugaan. Kita akan tidur di kamar terpisah. Meski begitu, di depan publik, terutama opa, kita harus tampak seperti pasangan pengantin biasa. Mesra, harmonis, saling mendukung dan saling perhatian. Karena pernikahan kita disaksikan publik." Amber tertawa kecil. "Dan aku harus menuruti semua itu? Bagaimana saat di kantor? Aku harus menganggapmu atasan dan aku bawahan, atau aku sebagai nyonya Kalingga?" Sorot mata Reyvan menajam. Dalam diam, dia kesal sendiri. Kenapa Amber harus bekerja di kantornya? "Kalau begitu, resign saja. Kamu cukup di rumah. Mau apa di rumah, terserah. Aku jamin hidupmu tidak akan kekurangan." Amber sontak menggeleng. "Aku tetap mau kerja. Kalau keluar dari perusahaanmu, aku akan cari tempat kerja lain." Reyvan mendesis. "Tugasmu juga termasuk menjaga nama baik suamimu, Amber. Apa kamu paham artinya bekerja di perusahaan lain setelah keluar dari perusahaan suamimu?" Amber menegakkan bahu. "Ya sudah. Kalau gitu aku akan tetap kerja seperti biasa. Dan katakan saja bagaimana aku harus bersikap di kantor. Apa juga harus berpura-pura mesra?" "Di kantor, kita seperti biasa. Tidak ada kemesraan. Jangan tanggapi omongan publik. Fokus saja kerja dan diam." Amber mengangguk. "Lalu, apa lagi?" Reyvan menatap dingin. "Di rumah ini, kamu harus hati-hati. Banyak mata-mata opa di sini. Kamu harus tetap jalankan peran sebagai istri. Siapkan makan, urus keseharianku. Soal kamar, kita memang sudah dapat izin tidur terpisah. Karena kamu istri dadakan." Amber menarik napas panjang. "Paham. Cuma itu?" Reyvan menyandarkan punggung. "Kalau begitu, keluar. Aku masih ada kerjaan. Ingat, besok bangun pagi sekali. Tanya pembantu apa saja yang harus kamu lakukan." Tanpa berkata-kata lagi, Amber berdiri. Tapi sebelum melangkah pergi, dia sempat berbalik. "Aku mungkin cuma istri dadakan, tapi kamu juga BUKAN suami idamanku." Amber cepat keluar. "Hish! Wanita ini!" Reyvan mendengkus keras. Tangan kirinya mencengkeram kuat. Reyvan meradang. Dia berdiri menatap arah pintu sambil menunjuk, tapi sorot matanya tajam pada Prama. "Kamu lihat, Pram! Lihat seperti apa wanita buangan yang dikirim keluarga Dinata padaku? Janji nikah macam apa ini? Padahal kakek Dinata sudah meninggal, kenapa opa masih repot menikahkan cucunya denganku? Konyol!" Deru napas Reyvan berat memburu. Lalu dia kembali menghentakkan tubuhnya ke sofa. Meremas rambutnya kuat. "Argghh!" Prama duduk di seberang Reyvan. "Maaf, jika saya lancang, Pak Rey. Amber ini kalau di kantor diam dan jarang bergaul dengan yang lain. Tapi soal pekerjaan, dia selalu profesional dan cakap. Entah kenapa di depan Anda dia berani kurang ajar." Reyvan terkekeh geli menatap Prama. "Dia pendiam?" Prama mengangguk. "Kalau Anda ingin saya melakukan sesuatu pada Amber, katakan saja. Saya pasti tidak akan membiarkan wanita itu menyakiti dan membuat Anda terganggu." Reyvan mendesah berat. "Sudahlah, kamu bisa pulang atau istirahat di rumah ini malam ini. Besok kita akan tetap masuk kerja." "Tapi, Opa bilang kalau tiga hari ini Anda di rumah saja." "Aku nggak peduli. Kenapa aku harus di rumah? Menjaga wanita itu?" Reyvan menghentakkan napasnya. Pagi harinya. Masih gelap ketika Amber membuka matanya, Bahkan matahari pun belum menampakkan sinarnya. Dia terus ingat perkataan Reyvan semalam, harus memerankan istri sesungguhnya. Amber menarik napas dalam. Di rumah ini, semua mata mengawasinya. Dan dia harus tahu siapa yang harus diwaspadai. Selesai mandi, Amber menatap cermin besar di kamar. Rambutnya disisir rapi ke belakang, dikuncir setengah, dengan make up tipis dan natural. Dress rumahan warna abu-abu lembut membingkai siluet tubuhnya, tapi cukup menonjolkan kesan anggun. Wajahnya juga tampak cantik dan manis. Dia turun ke dapur. Aroma roti panggang dan suara alat masak terdengar lebih dulu sebelum pandangan matanya menangkap tiga wanita berseragam rumah tangga. Satu berdiri di depan kompor, satu menyiapkan lainnya, dan satu lagi yang berdiri paling tegak dan berwajah paling ketus-Siska. Amber melangkah pelan, mendekat. "Selamat pagi," ucapnya datar tapi terdengar ramah. Ketiganya sontak menoleh. Tapi hanya Siska yang maju. "Pagi-pagi sudah ke dapur? Ada perlu, Nyonya?" ketus Siska, tanpa basa-basi. Amber tetap berdiri tegak. "Aku mau tahu soal kebiasaan suamiku di rumah dan lainnya. Selera pakaiannya, makanan favoritnya, apa yang tidak dia suka, dan mungkin kalau ada alergi. Aku butuh semua informasi itu." Siska tersenyum culas.Amber duduk bersandar headboard di sisi suaminya. Dia penasaran apa yang akan dikatakan mertuanya, lebih penasaran lagi dengan apa yang akan dikatakan Reyvan. Apa akan jujur kalau mereka sudah- “Kenapa kemarin tidak menemui Mama? Mama sudah menunggumu saat di kediaman, dan sekarang pun Mama sedang ada di rumahmu, tapi kamu di mana?!” teriak Tania melengking. Amber menegang, tangannya mencengkeram selimut. Dadanya sedikit sesak. Hidup dengan Reyvan tanpa restu, apakah mungkin? Bagaimana jika keluarga besar Kalingga akan selamanya menolaknya? Akh, tidak bisa. Pasti ada caranya. 'Pesona apa yang tidak bisa mereka tolak?' batin Amber. Mulai berpikir keras. Reyvan malah tenang, suaranya pun datar. “Oh, lagi ngadon ....” Mata Amber membelalak tegang. Enteng banget suaminya bilang. Di sana, mata Tania melotot. “Ngadon apaan? Ngomong yang benar! Cepat temui Mama sekarang!” teriaknya. Tawa pendek keluar dari Reyvan. “Bulan madu, Ma. Sekalian bikin adonan cicit, sesuai pesanan Opa.” Ambe
Amber berdiri gugup di tengah kamar dengan lingerie tipis yang melekat di tubuhnya. Cahaya temaram lilin menyorot lekuk siluetnya, membuat wajahnya semakin memerah. Jantungnya berdebar hebat, hampir tak sanggup menahan gelombang rasa malu bercampur gugup.Tatapan Reyvan membeku. Matanya menyapu setiap inci tubuh istrinya dengan gejolak yang ditahan. Nafasnya tercekat. Lingerie itu … entah bagaimana Amber bisa mau memakainya, tapi kini sosok istrinya begitu mempesona dan menggoda di depan mata.Tak bisa mengendalikan diri lagi, Reyvan pelan mendekat. Dalam satu gerakan, bibirnya menyambar bibir Amber.Ciuman itu begitu dalam, membuat Amber terbelalak sesaat, lalu matanya terpejam mengikuti arus. Tubuhnya bergetar, tangannya refleks menempel pada dada bidang suaminya.Dengan gerakan pelan, Reyvan meraih pinggang Amber dan mengangkat tubuh istrinya.Amber terperanjat, kedua tangannya mencengkeram bahu Reyvan erat. Lalu, pria itu membaringkannya perlahan di atas ranjang. Sorot mata Reyva
Amber menutup mulutnya yang ternganga, matanya membelalak tak percaya saat pintu kamar resort terbuka.Honeymoon suite itu seakan membuat napasnya berhenti sejenak. Ruangan luas dengan jendela kaca menampilkan laut biru yang berkilau di bawah sinar matahari senja. Ranjang king-size, di atasnya tertabur kelopak mawar merah yang membentuk hati. Balkon terbuka langsung menghadap pantai dengan suara debur ombak yang menenangkan. Amber tercengang, hatinya bergetar haru, matanya berkaca-kaca, dan senyum lebarnya tak mampu dia sembunyikan.Reyvan menatap puas wajah istrinya yang bersinar. Senyum samar melintas di bibir pria itu.Lalu, Reyvan mendekat, kedua lengannya melingkari pinggang Amber dari belakang. “Kamu suka?”Amber menoleh sedikit, menatap wajah tampan suaminya yang kini bertumpu di atas pundaknya. Dia mengangguk. “Makasih, aku suka.”Pelukan itu terurai perlahan, berganti dengan tatapan dalam. “Istirahatlah sebentar. Nanti akan kuajak keliling tempat ini.”Amber mengangguk. Tubu
“Honeymoon. Kita akan berangkat sekarang ke luar negeri.”Dada Amber langsung mendesir tak karuan. Rasanya bak tersengat energi yang menciptakan gelenyar-gelenyar rasa berbunga-bunga, tapi gugup tak karuan. Sedang Reyvan menghela napas panjang dengan wajah tenang, aura cool tetap dia jaga. Tatapannya datar, seolah biasa saja. Padahal di dalam kantong celana, tangannya meremas-remas gugup tak terkendali.Belum ada jawaban. Istrinya itu malah mematung, membuat pria itu semakin gelisah.“Jangan kecewakan Opa. Di usianya itu, harusnya beliau sudah punya cicit minimal lima. Tapi satu pun belum ada. Aku sebagai cucunya merasa bersalah. Dan aku .…” Napas Reyvan tersendat, sorot matanya menatap lurus pada Amber, dengan segudang perasaan tak karuan. “Mohon bantuanmu. Karena aku tidak bisa mengabulkan keinginan Opa sendirian.”Ya jelaslah, Reyvan tidak bisa membuat adonan cicit seorang diri. Itu bukan pekerjaan yang bisa dilakukan solo. Harus ada pasangannya. Harus ada Amber.“Bu-bulan madu?”
Lalu, Viona kembali menjerit histeris. “Tolong! Tolong! Aku di sini!” Namun belum sempat suaranya mereda, lift tiba-tiba kembali terjun bebas. Tubuhnya terpental ke udara. Jeritannya menggema. BRAKKK “Akkkkk!” Belum sampai lantai dasar, lift berhenti lagi dengan hentakan keras. Tubuh Viona terhempas ke lantai. Kepala dan tubuhnya menghantam keras. Mata terbelalak, nafasnya tertahan, lalu gelap. Viona sudah tidak sadarkan diri, nafasnya sangat lemah. Lift itu kini terdiam sunyi, hanya menyisakan tubuh wanita yang kini tergeletak tak berdaya di dalamnya. -- Sedang Dion baru saja selesai sarapan. Lalu, dia menyambar ponselnya matanya membulat tegang. [Dion, cepat jemput aku di sini. Aku kirim alamatnya. Aku lagi sama orang yang kita suruh mencelakai Amber. Mereka bawa bukti dan ingin minta bayaran lebih.] Seketika rahang Dion mengeras. "Hish! Preman kampung saja mau bertingkah. Dia belum tahu aku siapa!" Dia merebahkan kepalanya kedua sisi, dan melemaskan dua pundaknya. Lalu,
Amber dan Reyvan sudah duduk di meja makan. Di atas meja tersaji roti bakar, telur ceplok, segelas susu hangat untuk Amber, dan secangkir kopi hitam untuk Reyvan.Sederhana, bukan? Tapi saat si tuan muda angkuh itu membuatnya, sudah menggemparkan seisi rumah. Untung saja saat itu istrinya tidak terbangun. Karena Reyvan terus menggeram dan teriak kesal saat telur yang dia buat gosong atau tak berbentuk cantik.Reyvan menarik kursi untuk istrinya. “Duduklah. Bagaimana, apa kamu terharu?”Amber duduk, matanya menatap hasil usaha suaminya. Dia mengangguk kecil, senyumnya tipis. “Amazing. Sungguh suatu kehormatan, bisa menikmati masakan tuan angkuh ini.”Reyvan mendecih kecil. “Istriku memang sangat manis.” Dia menyuap roti, matanya tak lepas dari wajah Amber.“Siang nanti kita akan ke rumah Opa. Apa kamu baik-baik saja?”Amber terdiam sesaat, lalu mengangguk. "Memangnya aku kenapa? Aku sangat baik. Aku terlalu tangguh untuk terus terpuruk. Tenang saja, Rey, kamu ini punya istri yang begit