"Lagi, Sayang ...."
Seorang wanita mematung dan membeliak kaget saat mendengar suara wanita lain di kamar calon suaminya. Dadanya berdenyut nyeri bak tersayat duri. "Dion, kamu sudah melamar anak haram itu, serius mau menikahinya?" "Aku menikahinya? Buat apa? Aku bertahan sama dia selama ini cuma buat kamu, Vio. Bukannya kamu mau lihat dia hancur? Aku buat dia jatuh cinta sampai gila, lalu aku lamar, dan setelah itu aku buang." Tawa mereka langsung menyatu di tengah deru napas panas. Desahan dua insan terdengar jelas saat wanita itu diam-diam masuk ke apartemen kekasihnya. Amber-wanita 26 tahun itu kini telah berdiri di ruang tamu apartemen kekasihnya. "Dion? Viona?" Amber tajamkan rungunya, berharap suara-suara itu hanya ilusi, tapi ternyata ... nyata. Amber membawa satu kotak cake kecil yang dia hias sendiri. Dua tahun bersama dan malam ini, sebenarnya dia ingin memberi kejutan kecil untuk kekasih yang juga bisa dibilang calon suaminya. Akan tetapi, yang menyambut bukan pelukan hangat, melainkan suara ranjang dan suara perpaduan napas terengah. Langkah Amber pelan, berusaha tanpa suara. Dia mendekat ke pintu kamar yang tidak ditutup rapat. Suara desahan itu jadi semakin jelas dan membuatnya merinding. Dua tangannya terkepal kuat. "Dion, apa kamu pernah menikmati tubuh Amber?" "Jangan bercanda. Aku nggak bergairah sama wanita seperti Amber." Amber terdiam di balik tembok sebelah pintu. Napasnya tertahan. Tangannya mencengkram kuat kotak cake. 'Bukannya Viona hampir menikah? Apa calon suaminya tahu soal apa yang saat ini Viona lakukan?' batin Amber. Viona adalah kakak tirinya. Wanita yang selalu menatapnya seperti duri, kalau berbicara padanya selalu tajam. Dan bila tersenyum, seperti racun. Suara lenguhan dari dalam menghantam keras hati Amber. Amber mendorong kuat pintu kamar itu, membuat daun pintu membentur tembok. "Bagus! Luar biasa! Kalian memang pasangan brengsek!" Dion sontak melotot kaget. "Amber! Bagaimana kamu bisa ada di sini?!" Dion cepat melepaskan diri dari Viona, berguling turun dari ranjang, memungut celana yang tergeletak di lantai lalu mengenakannya tergesa. Amber menyipitkan mata, terkekeh sinis. "Jangan buru-buru, Dion. Nikmati saja hasil kebusukan kalian." Viona menggeram keras sambil menarik selimut menutupi tubuhnya. "Dasar wanita nggak tahu malu! Ganggu kesenangan orang saja!" Lalu, Dion mendekat cepat. "Sejak kapan kamu datang, Amber?" Amber tersenyum miring, sorot matanya tajam. "Sejak aku sadar kalau kamu adalah pria terbrengsek di dunia ini yang tidur dengan calon ipar." Dion melotot diam. "Ini buat waktu dan ketulusanku yang aku buang selama ini!" Tangan Amber langsung terangkat. Satu tamparan keras mendarat di pipi Dion hingga meninggalkan bekas merah menyala. "Amber!" Dion meraung geram, memegang pipinya. Dada Amber naik turun menatap tajam. "Apa?" Saat tangan Dion terangkat ingin membalas, tapi Amber cepat mengambil box cake yang tadi dia bawa. Dengan cepat cake itu dilemparkan tepat ke wajah Dion. "Ini aku bawa spesial buat kamu!" Wajah Dion seketika berlumur cream. Viona menjerit. "Amber! Kurang ajar kamu!" Amber tersenyum getir, matanya menatap Viona yang hendak bangkit, tapi urung karena tubuhnya masih tak berbalut kain. Dia memungut sisa cake yang tercecer, lalu melemparkan ke arah Viona. "Ini juga spesial buat wanita tak tahu diri sepertimu!" Viona menjerit makin kesal. "Amber! Aku pasti akan membalasmu nanti!" Amber menatap dingin. "Silakan. Aku justru menunggu kapan kamu berani keluar dari sarang tikusmu!" Lalu, Amber cepat berbalik. "Silahkan lanjutkan permainan kalian!" Dia melangkah pergi. Dion mencoba menahan tangan Amber saat dia hendak pergi. "Amber, tunggu dulu!" Amber menghempaskan tangan Dion kasar. "Lepas! Mulai sekarang, kita nggak ada hubungan apa pun lagi. Nggak akan ada juga pernikahan!" Wanita itu melanjutkan langkahnya menuju pintu. Sesaat sebelum melangkah keluar, dia menoleh sedikit. "Vio, ambil sampah itu. Aku nggak butuh pecundang seperti dia!" Setelah keluar dari apartemen, Amber cepat masuk lift. Beruntung hanya ada dia seorang. Dia lekas mengangkat dagunya agar hatinya lebih kuat. Sorot matanya kosong. Dia berdiri mematung. Punggungnya pelan bersabar lemas, lalu perlahan merosot. "Dion ... Viona ... Akhhh. Kalian benar-benar tak tahu malu." Dia memukul-mukul dadanya sendiri. "Aku benar-benar bodoh! Bodoh sampai tidak paham dengan gelagat kalian berdua!" Napasnya pendek-pendek, bak tercekik di tenggorokan. Jantungnya berdetak terlalu keras, dadanya terasa makin sesak. "Anak haram?" Amber tertawa miris ditengah derai air matanya. Amber adalah anak dari istri siri ayahnya. Dan masuk keluar itu dengan status anak angkat. Miris bukan, tapi demi ibunya, dia diam menahan penghinaan selama ini. Yang lebih menyesakkan. Dion--pria yang dia pikir akan jadi pelabuhan terakhirnya. Pria yang dia percaya, dia pertahankan, bahkan saat semua orang bilang Dion hanya numpang hidup di hati dan dompetnya. Kini malah menertawakannya dari balik selimut bersama Viona. ------ Seorang pria tampan berbadan tegap berdiri di depan cermin tinggi. Setelan jas pengantin hitam arang membingkai tubuhnya yang sempurna. Tangannya merapikan jasnya. Sorot matanya tajam pada pantulan dirinya. Sang asisten masuk mendekat dan berbisik, "Pak Rey, pengantin wanitanya kabur." Tangan Reyvan, pria 30 tahun itu berhenti di dua sisi jas. Tatapannya tidak bergeser dan makin tajam. Atmosfer mendadak menegang. "Ulangi!" Suaranya rendah menekan. "Tuan besar memutuskan pernikahan tetap berjalan, tapi mempelai wanita akan diganti." Mata Reyvan melirik tajam. "Siapa?" "Anak angkat keluarga Dinata." Senyum sinis tipis muncul di bibir Reyvan. "Anak haram itu?" Prama mengangguk. "Bukan anak haram, tapi hasil pernikahan siri Tuan Dinata yang tak diakui." Reyvan menahan napasnya tiga detik. Lalu mendesis pelan. "Jadi mereka pikir aku ini boneka keluarga Dinata yang bisa seenaknya saja mereka permainkan? Heh! Mengganti mempelai?" "Tuan besar ingin menjaga kehormatan keluarga, Pak." Reyvan membalikkan tubuhnya. Tanpa kata lagi, dia keluar kamar dan berjalan menuju kamar mempelai wanita. Dan tanpa mengetuk, dia membuka pintu. Seorang wanita kaget dan sontak menatap arah pintu. Matanya menatapku lekat pria tampan yang kini juga menatapnya intens tajam. Amber tahu dia siapa. Reyvan Kalingga--CEO di perusahaan tempat dia bekerja. Amber memang dilarang bekerja di perusahaan keluarganya sendiri karena Viona. Dia dianggap akan merebut harta kekayaan keluarga Dinata. Sorot mata tajam Reyvan langsung memindai sisi ruang. Lalu, dia tersenyum tipis. "Kenapa kalian masih di sini?" Tuan muda Reyvan menatap tajam pada mua di sana, dan tak butuh waktu lama mereka keluar tergesa. Hanya tersisa wanita dengan wajah datar dan tatapan kosong. Amber kini berdiri anggun dengan balutan gaun pengantin warna putih menjuntai anggun. Dia diam menatap pantulan wajahnya. Dari cermin itu, dia dapat melihat sosok Reyvan yang pelan mendekatInya. "Bagus. Jadi ini yang katanya pengganti pengganti?""Kenapa masih diam? Cepat kancingkan? Atau aku-" "Ya!" ketusnya. Amber menghentak napasnya. Matanya menajam. Bibirnya mengatup rapat menahan kesal. Lalu dengan cepat, tangannya meraih sisi kanan dan kiri kemeja Reyvan. Satu per satu, kancing itu dia kaitkan, sampai semua terpasang rapi. Reyvan diam. Reaksi Amber membuatnya terkejut. Ada sensasi aneh saat tangan kecil itu tanpa sengaja menyentuh dadanya. Sejenak, dia sendiri seperti kehilangan kata. Amber selesai mengancingkan semuanya. Lalu, dia menatap wajah suaminya yang masih mendadak kaku. "Sudah. Apalagi? Jangan aneh-aneh!" Reyvan menarik napas panjang. "Tunggu aku di bawah." "Hem." Amber berbalik dan keluar dengan langkah cepat. Begitu keluar dan menutup pintu kamar itu, Amber langsung menyentuh dadanya. Dia menunduk dan menghembuskan napas berat. Huufff .... Jantungnya masih berdebar. Tadi dia berusaha sekuat mungkin agar tidak goyah. Tapi, aroma tubuh Reyvan sempat membuatnya hampir kacau. "Amber!" panggil ses
Siska, pembantu itu tersenyum miring, samar. "Baru sehari sudah sok mau atur-atur rumah. Anda memang Nyonya. Tapi tidak diakui di keluarga ini. Urusan Tuan Rey, dari dulu saya yang tangani. Lebih baik jaga sikap. Jangan sampai bikin Tuan marah di awal." Amber menatapnya lama. "Kalau kamu tidak mau kasih tahu, tidak masalah. Aku tinggal tanya langsung sama Reyvan atau Opa. Nanti biar mereka yang nilai, pembantu rumah ini melawan perintah istri sah Reyvan Kalingga. Dan asal kamu tahu, semua ini juga perintah dari mereka." Siska menegang, matanya membelalak. Senyum kecut langsung terbit, menahan geram. "Ikut saya!" Amber mengikuti Siska menuju meja kecil dekat dapur. Siska duduk lebih dulu, menyilangkan kaki, lalu mulai bicara dengan ritme cepat. "Tuan Rey suka warna gelap seperti hitam, biru navy, abu-abu tua. Bajunya harus disetrika kering, kancing dicek satu-satu. Dasi harus cocok sama warna jam tangannya, bukan bajunya. Sepatu ganti setiap hari, sesuai kegiatan. Tapi jangan pernah
"Mau apa kamu memanggilku malam begini?" Reyvan menutup laptop perlahan, lalu menatap Amber sambil menegakkan tubuhnya. Tatapannya begitu tajam. "Kenapa kamu tidak makan malam? Kamu kira rumah ini kekurangan makanan hanya karena bertambah satu orang? Atau nona muda Dinata biasa dilayani bak ratu?" Senyumnya miring sinis. Amber meremas jemarinya sendiri, menahan gemuruh di dadanya. Jelas tidak ada yang memanggilnya untuk makan malam. Lalu Amber tersenyum tipis. "Aku kira rumah seorang Tuan muda yang sebesar ini tidak punya acara makan malam, jadi aku tidak keluar. Atau Tuan rumahnya terlalu sibuk untuk makan sendiri sampai lupa kalau ada penghuni baru?" Reyvan membelalak kecil, sedikit terkejut dengan jawaban itu. Namun, buru-buru menyembunyikannya dengan senyum remeh. "Selain licik, ternyata keluarga Dinata juga menurunkan bakat membual." Amber menarik napas tajam. Rasa sakit itu kembali menjalari dadanya. "Kalau ada hal penting, cepat katakan. Aku lelah. Mau tidur dan berharap
Amber tetap berdiri anggun. Sorot matanya tetap tenang. Lalu, dia menoleh pelan sambil tersenyum manis. "Sudah selesai menilainya?" Reyvan kini telah sampai di sisi Amber dan tatapannya mengintimidasi. "Kamu tahu siapa aku?" "Reyvan Kalingga. Putra mahkota Kalingga Grup." Reyvan tertawa pendek kaku. "Dan kamu? Anak tak diakui yang dipaksa berdiri di pelaminan, demi menambal aib orang kaya." Amber menahan napas, tapi dia tidak mau terprovokasi. Sejak dulu, memang belum ada yang memperlakukannya dengan baik. Dia telah terbiasa direndahkan. "Terima kasih atas pujiannya, Reyvan" Reyvan menyeringai. "Dengar baik-baik. Kamu bukan siapa-siapa. Kamu cuma alat. Dan hari ini bisa duduk di pelaminan bukan karena kamu pantas. Tapi karena kamu cukup tak berarti untuk diserahkan padaku." Amber menarik napas dalam-dalam. "Setidaknya aku tahu diri. Dan aku bukan wanita munafik yang butuh status untuk jadi bernilai. Jadi, kamu tenang saja, Rey. Aku akan paham di mana aku seharusnya menempatkan d
"Lagi, Sayang ...." Seorang wanita mematung dan membeliak kaget saat mendengar suara wanita lain di kamar calon suaminya. Dadanya berdenyut nyeri bak tersayat duri. "Dion, kamu sudah melamar anak haram itu, serius mau menikahinya?" "Aku menikahinya? Buat apa? Aku bertahan sama dia selama ini cuma buat kamu, Vio. Bukannya kamu mau lihat dia hancur? Aku buat dia jatuh cinta sampai gila, lalu aku lamar, dan setelah itu aku buang." Tawa mereka langsung menyatu di tengah deru napas panas. Desahan dua insan terdengar jelas saat wanita itu diam-diam masuk ke apartemen kekasihnya. Amber-wanita 26 tahun itu kini telah berdiri di ruang tamu apartemen kekasihnya. "Dion? Viona?" Amber tajamkan rungunya, berharap suara-suara itu hanya ilusi, tapi ternyata ... nyata. Amber membawa satu kotak cake kecil yang dia hias sendiri. Dua tahun bersama dan malam ini, sebenarnya dia ingin memberi kejutan kecil untuk kekasih yang juga bisa dibilang calon suaminya. Akan tetapi, yang menyambut bukan pel