"Selamat tidur, sayang," ucap Papa dan Mama Viera bergantian sambil mengecup kening putri kesayangan mereka. Ritual pengantar tidur ini sudah menjadi kebiasaan mereka sejak Viera kecil, sebuah tradisi yang menunjukkan betapa besar kasih sayang mereka.
Viera melangkah gontai menuju kamarnya. Kata-kata Papa masih terngiang di telinganya tentang tanggung jawab dan masa depan perusahaan. Ia merebahkan tubuhnya di kasur, menatap langit-langit kamarnya yang dihiasi lampu-lampu kecil berbentuk bintang.
Ding!
Suara notifikasi dari ponselnya membuyarkan lamunan Viera. Jantungnya berdebar lebih kencang saat melihat nama pengirim pesan itu - Felix.
"Hai Viera, besok jam 10 pagi kita ketemu di Kafe Kini Kopi ya? Aku akan ajarin kamu matematika. Kafenya dekat rumahmu kok."
Senyum lebar mengembang di wajah Viera. Beban yang tadi menghimpit dadanya seolah menguap begitu saja. Dengan semangat ia membalas pesan Felix, menyetujui ajakan tersebut. Malam itu Viera tertidur dengan senyuman, tidak sabar menanti esok hari.
Keesokan paginya, aura Viera berubah 180 derajat. Ia turun untuk sarapan dengan wajah berseri-seri, berbeda sekali dengan semalam yang murung dan penuh kesedihan. Papa dan Mama saling berpandangan, heran melihat perubahan mood putri mereka.
"Ada apa nih? Kok kelihatannya senang sekali, Sayang?" tanya Papa sambil menyesap kopi hitamnya.
"Viera mau ke Kafe Kini Kopi, Pa. Mau mengerjakan tugas dengan teman," jawab Viera riang.
"Oh, boleh. Tapi nanti Pak Mamad yang antar ya?"
"Iya, Pa," Viera mengangguk patuh.
Setelah Papa berangkat ke kantor dan Mama pergi ke acara sosialita di restoran tengah kota, Viera bergegas kembali ke kamarnya. Ia membongkar isi lemarinya, bingung memilih pakaian yang tepat. Setelah hampir setengah jam mencoba berbagai outfit, pilihannya jatuh pada dress pendek selutut tanpa lengan berwarna pink dengan motif bunga-bunga kecil. Ia menata rambutnya dalam gaya kuncir kuda, membiarkan poninya teratur membingkai wajahnya.
Jam di dinding menunjukkan pukul 09.45 ketika Viera akhirnya turun menemui Pak Mamad di garasi rumahnya. Sopir setia keluarganya itu sudah siap dengan mobil Alvard Putih di halaman depan. Lima belas menit kemudian, mereka tiba di Kafe Kini Kopi.
"Pak Mamad pulang saja dulu. Nanti kalau Viera mau pulang, Viera telepon," ujar Viera sebelum turun dari mobil.
Begitu memasuki kafe, mata Viera langsung tertuju pada sosok Felix yang duduk di pojok ruangan. Beberapa buku matematika sudah tertata rapi di atas meja. Felix tampak santai namun tetap tampan dengan kaos kasual dan celana jeans panjang.
"Hai Felix," sapa Viera dengan senyum manis.
Felix mengangkat wajahnya dan tersenyum lebar. "Hai Viera! Akhirnya datang juga. Aku udah siapain beberapa soal nih yang mirip sama yang kemarin."
"Aduh, aku jadi nggak enak. Kamu sampai nyiapin segala," Viera duduk di kursi di hadapan Felix.
"Santai aja. Namanya juga belajar bareng," Felix membuka buku catatannya. "Oh ya, mau pesen minum dulu? Biar fokus belajarnya."
"Boleh. Aku Green Tea Latte aja deh."
Felix memanggil pelayan dan memesan minuman untuk mereka berdua. Setelah pelayan datang mengantar pesanan, mereka mulai fokus pada pelajaran.
"Nah, kemarin kamu bilang bingung sama soal yang ini kan?" Felix menunjuk salah satu soal di buku. "Coba kamu kerjain dulu, nanti aku bantu kalau ada yang susah."
Viera mengerutkan kening, mencoba mengerjakan soal tersebut. "Hmm... jadi ini... turunannya y = x² + 3x - 2... berarti... 2x + 3?"
"Nah, betul!" Felix tersenyum bangga. "Tuh kan bisa. Kamu sebenernya pinter, cuma kurang percaya diri aja."
Viera tersipu mendengar pujian Felix. "Ah, biasa aja. Ini juga gara-gara kamu yang ngajarin. Pak Ian jelasinnya bikin pusing."
"Ya makanya, kalau ada yang nggak ngerti langsung tanya aja sama aku," Felix menatap Viera, membuat gadis itu salah tingkah. "Eh, ngomong-ngomong... rambutmu hari ini beda ya? Cocok deh dikuncir gitu."
"Masa sih?" Viera refleks memegang rambutnya, jantungnya berdebar kencang. "Cuma dikuncir biasa kok."
"Tapi beneran cocok. Jadi keliatan..." Felix terdiam sejenak, seperti mencari kata yang tepat. "...manis."
Wajah Viera memerah. Ia buru-buru mengalihkan pembicaraan. "Eh, lanjut ke soal berikutnya deh. Yang ini nih, aku masih bingung cara nyelesainnya."
Felix terkekeh melihat tingkah Viera yang salah tingkah. "Oke, oke. Jadi gini, kalau soal kayak gini, pertama kita harus..."
Mereka melanjutkan belajar dengan serius. Felix menjelaskan dengan sabar setiap soal yang tidak Viera pahami, sesekali diselingi candaan ringan yang membuat suasana tidak tegang.
"Felix," panggil Viera di sela-sela mengerjakan soal.
"Hmm?"
"Makasih ya, udah mau ngajarin aku. Padahal pasti banyak yang lebih penting yang bisa kamu lakuin di hari Minggu gini."
Felix menggeleng pelan. "Nggak ada yang lebih penting kok. Lagian..." ia menatap Viera lekat-lekat, "...aku seneng bisa bantuin kamu."
Viera menunduk, menyembunyikan senyumnya. Sesekali ia mencuri pandang ke arah Felix yang kembali fokus menjelaskan rumus-rumus matematika. Ada sesuatu dalam cara Felix menjelaskan yang membuat Viera betah berlama-lama belajar dengannya. Mungkin karena kesabarannya, atau mungkin juga karena...
Waktu berlalu begitu cepat. Viera merasa otaknya mulai bisa mencerna materi yang Felix ajarkan. Namun keasyikan mereka terganggu ketika pintu kafe terbuka. Viera mengangkat wajahnya dan seketika membeku. Matanya melebar melihat sosok yang baru saja masuk.
Di sana, dengan setelan jas rapi dan tatapan dinginnya yang khas, berdiri Ian - calon suaminya. Dan yang membuat Viera semakin terkejut, Ian tidak sendirian. Di sampingnya berdiri seorang gadis cantik yang terlihat sangat akrab dengannya.
Dua bulan berlalu seperti angin, membawa Viera pada hari yang selama ini hanya bisa dibayangkannya dalam mimpi. Katedral Santo Andreas berdiri megah dengan pilar-pilar tinggi dan jendela kaca patri yang memantulkan sinar matahari dalam spektrum warna-warni. Meski tamu undangan terbatas hanya pada keluarga terdekat, suasana khidmat terasa begitu kental memenuhi ruangan. Viera berdiri di depan pintu gereja, bergandengan tangan dengan Papanya. Gaun putih mewah dan elegan membalut tubuhnya, dengan renda halus di bagian leher dan lengan. Rambut hitamnya disanggul rapi dengan hiasan bunga jasmin putih kecil. Di tangannya, sebuket mawar putih dan baby's breath tergenggam erat. "Kau siap, Sayang?" bisik Papanya, meremas lembut tangan Viera. Viera mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Lebih dari siap, Pa." Pintu gereja terbuka perlahan. Alunan piano lembut memenuhi ruangan saat Viera melangkah masuk bersama Papanya. Di ujung altar, Ian berdiri tegap dalam balutan jas hitam formal. Matanya tida
Viera memeriksa kembali semua jawabannya, memastikan tidak ada yang terlewat. Setelah yakin, dia menekan tombol "Kirim" dan menunggu sistem memproses jawabannya. Layar berkedip sejenak, kemudian muncul pesan konfirmasi bahwa ujiannya telah berhasil disimpan dan terkirim.Viera menghela napas lega, melepas headset, dan bersandar di kursinya. Satu ujian telah selesai, masih ada beberapa lagi yang menunggu. Tapi setidaknya, yang pertama telah dilewati dengan baik.Setelah waktu ujian habis, para siswa diizinkan meninggalkan ruangan. Viera bertemu dengan Renna dan Fanny di koridor."Gimana?" tanya Fanny, wajahnya terlihat lelah tapi puas."Tidak buruk," jawab Viera. "Bagaimana dengan kalian?""Soal nomor 35 hampir bikin gue menangis," keluh Renna. "Tapi sisanya oke."Mereka berjalan bersama menuju kantin untuk makan siang sebelum kembali untuk ujian Bahasa Indonesia di sesi siang. Di tengah jalan, Viera merasakan ponselnya bergetar. Pesan dari Ian."Semoga ujian pertamamu lancar. Percaya
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Setelah satu minggu istirahat dan persiapan intensif, ujian akhir resmi di SMA Internasional Nusantara dimulai. Berbeda dengan sekolah konvensional, sekolah mereka menggunakan sistem ujian berbasis komputer—salah satu keunggulan dari sekolah internasional yang sering dibanggakan oleh kepala sekolah di setiap kesempatan. Pagi itu, Viera tiba di sekolah lebih awal dari biasanya. Koridor-koridor masih sepi, hanya ada beberapa siswa yang tampak sama gugupnya dengan dirinya, membawa buku dan catatan untuk dibaca sekali lagi sebelum ujian dimulai. "Pagi, Ra!" sapa Renna yang berlari kecil mendekatinya. "Siap untuk hari ini?" Viera tersenyum tipis. "Sebisa mungkin. Bagaimana denganmu?" "Rasanya seperti otak mau meledak," keluh Renna sambil memegang kepalanya secara dramatis. "Terlalu banyak yang harus diingat." "Kalian berdua terlalu tegang," Fanny muncul dari belakang, menepuk bahu kedua temannya. "Ini cuma ujian, bukan akhir dunia." "Kata seseo
Mereka menghabiskan sisa waktu mereka berbicara tentang hal-hal yang lebih ringan—bagaimana ujian simulasi berjalan, buku baru yang Ian baca, film yang ingin ditonton Viera. Mencoba untuk tidak tenggelam dalam kekhawatiran tentang masa depan, mencoba untuk hidup dalam momen ini.Ketika waktu berpisah tiba, Ian tidak menawarkan untuk mengantar Viera pulang seperti biasanya. Mereka berdua tahu bahwa untuk saat ini, mereka harus lebih berhati-hati."Jaga dirimu," kata Ian saat mereka berdiri di depan kafe. "Fokus pada ujianmu. Setelah itu...""Setelah itu, kita akan mencari jalan," Viera melanjutkan kalimat Ian.Ian tersenyum, matanya memancarkan kelembutan dan janji. "Ya. Kita akan mencari jalan."Mereka berpisah tanpa sentuhan, tanpa bisikan, hanya dengan tatapan yang menyimpan ribuan kata tak terucap. Viera berjalan pulang sendiri, hatinya berat tapi tekadnya kuat.Dia tahu bahwa jalan yang mereka pilih tidak akan mudah. Sudah sejak awal dia menyadarinya. Tapi dia juga tahu bahwa bebe
Balasan Ian datang beberapa detik kemudian. "Tidak ada masalah. Hanya ingin berbicara. Kafe biasa, jam 4?" "Oke. Sampai bertemu nanti." Viera memasukkan ponselnya ke saku, perasaan was-was aneh menyelimuti hatinya. Meskipun Ian bilang tidak ada masalah, ada sesuatu dalam perkataannya yang terasa... berbeda. Atau mungkin itu hanya kekhawatirannya saja? *** Kafe Masa Lalu terlihat lebih ramai dari biasanya. Mungkin karena hari Jumat, atau mungkin karena banyak siswa yang merayakan berakhirnya ujian simulasi. Viera duduk di sudut yang sedikit terpisah, tempat favorit mereka, segelas matcha latte di hadapannya. Ian terlambat sepuluh menit, hal yang sangat tidak biasa untuk seseorang yang selalu tepat waktu seperti dirinya. Ketika akhirnya dia muncul, wajahnya terlihat sedikit pucat dan ada lingkaran hitam tipis di bawah matanya. "Maaf membuatmu menunggu," katanya, duduk di hadapan Viera. "Rapat guru berlangsung lebih lama dari yang kukira." "Tidak apa-apa," Viera tersenyum ke
Hari-hari berlalu dengan cepat dalam rutinitas ujian simulasi yang melelahkan. Setiap pagi, Viera bangun dengan kecemasan yang sama—apakah dia cukup belajar, apakah dia siap, apakah dia akan mengecewakan dirinya sendiri, orang tuanya, atau Ian. Setiap malam, dia tertidur dengan kelelahan yang sama—otaknya penuh dengan rumus, teori, dan fakta-fakta yang harus diingat.Tapi hari ini berbeda. Hari ini adalah hari terakhir ujian simulasi, dan atmosfer di sekolah terasa lebih ringan. Meski masih ada ketegangan, ada juga harapan—ujian simulasi akan berakhir, dan mereka akan punya waktu singkat untuk bernapas sebelum ujian sesungguhnya dimulai."Loe kelihatan lebih segar," komentar Renna saat mereka berjalan bersama di koridor sekolah menuju kelas terakhir—Bahasa Inggris.Viera tersenyum kecil. "Gue rasa karena ini hari terakhir. Dan Bahasa Inggris selalu menjadi pelajaran favorit gue.""Bukan karena semalam loe dapat telepon dari Pak guru matematika?" goda Fanny yang berjalan di sisi lain V
"Tapi kamu menyukai guru matematika itu," balas Ian, dan Viera bisa membayangkan senyuman kecil di wajahnya saat mengetik pesan itu."Ya," Viera mengetik, tersenyum pada dirinya sendiri. "Sangat.""Tidurlah, Viera. Besok akan jadi hari yang panjang.""Oke. Selamat malam.""Selamat malam. Mimpi indah."Viera meletakkan ponselnya, mematikan lampu tidur, dan menarik selimut hingga menutupi dagunya. Di luar, angin malam berbisik di antara dedaunan, menciptakan melodi tidur yang lembut dan menenangkan.Besok adalah ujian simulasi. Lalu ujian sebenarnya. Lalu kelulusan. Lalu...Dalam kegelapan kamarnya, di bawah bintang-bintang plastik yang memudar, Viera memejamkan mata. Untuk saat ini, dia akan mengikuti saran Ian. Tidak berpikir terlalu jauh.Besok adalah besok. Hari ini, setidaknya, dunianya sedikit lebih utuh dari kemarin.***Kelas terasa hening meski dipenuhi oleh puluhan siswa. Hanya suara goresan pensil di atas kertas dan sesekali desahan frustrasi yang terdengar. Ujian simulasi ma
Viera mengangguk, mengeratkan genggamannya pada tangan Ian. "Langkah demi langkah."Mereka berdiam dalam keheningan yang nyaman untuk beberapa saat, menikmati kedekatan yang jarang bisa mereka rasakan di tempat umum."Kamu harus masuk," akhirnya Ian berkata. "Sudah malam."Viera menghela napas, tidak ingin momen itu berakhir, tapi tahu bahwa Ian benar. "Ya, aku tahu."Sebelum keluar dari mobil, Viera berbalik dan menatap Ian. "Terima kasih untuk hari ini. Untuk... membuat duniaku sedikit lebih utuh."Ian tersenyum, matanya berkilau di bawah cahaya temaram. "Terima kasih kembali. Untuk membiarkanku masuk ke dalamnya."Dengan satu anggukan terakhir, Viera keluar dari mobil dan berjalan pulang. Langkahnya terasa ringan, seolah beban yang selama ini dia pikul sedikit terangkat. Di belakangnya, mobil Ian menunggu sampai dia berbelok menuju rumahnya sebelum perlahan melaju pergi, membawa serta bayangan-bayangan yang kini terasa lebih jelas, lebih nyata, dalam kehidupan Viera.Sesampainya di
Dengan itu, suasana canggung mulai mencair. Ian ternyata tidak hanya ahli matematika, tapi juga memiliki pemahaman yang baik tentang ekonomi. Dia menjelaskan konsep-konsep sulit dengan cara yang mudah dipahami, menggunakan contoh-contoh dari kehidupan nyata. "Jadi, rumusnya bisa dikerjakan seperti ini seperti ini," Ian menulis rumus sederhana di kertas. Viera memperhatikan dengan kagum bagaimana teman-temannya perlahan-lahan mulai nyaman dibimbing oleh Ian. Fanny bahkan sudah berani bercanda, sementara Renna menunjukkan ketertarikannya dengan rumus yang mudah dihafal. Sesi belajar itu berlangsung sampai malam. Ketika akhirnya mereka memutuskan untuk pulang, Viera merasakan campuran emosi yang aneh—bangga melihat Ian berinteraksi baik dengan teman-temannya, tapi juga sedikit cemas. Seolah dua dunianya yang terpisah kini mulai bertabrakan. "Terima kasih untuk bantuannya, Pak Ian," Fanny berkata saat mereka berpisah di depan kafe. "Kamu—maksudku Anda—guru yang hebat." Ian tersenyum