Selamat membaca semuanya :)
“Kamu populer ya ternyata. Sesuai dugaan.”Embun mengernyit mendengar komentar suaminya. “Apa maksudnya itu?” tanyanya.Namun, Kaisar tidak menjelaskan lebih jauh. Ia hanya membetulkan posisi Giselle dalam gendongannya sembari tersenyum pada Embun.Pada akhirnya, Embun tidak menuntut jawaban lebih dan hanya mengehela napas. Ia menatap ke arah Giselle dan mengelus rambut gadis kecil itu pelan.“Oke. Sekarang kamu mau ke mana, Cantik?” tanya Embun.Suara perut Giselle menjadi jawaban dari pertanyaan Embun, membuat wanita berambut sebahu itu menahan senyumnya, khawatir kalau-kalau Giselle berpikir bahwa Embun tengah mentertawakannya.“Mau makan?” Embun bertanya lagi.Giselle mengangguk, sementara Embun masih mengelus rambut gadis itu yang berwarna kecokelatan..Pemandangan ketiga orang itu benar-benar terlihat seperti sebuah keluarga bahagia.“... Paman, mau turun,” gumam Giselle pada Kaisar saat keduanya hampir sampai di restoran di lahan tersebut. “Yakin?” balas Kaisar, sedikit sangs
“Mereka adalah penculik putri kami!” Embun terkejut mendengar tuduhan itu, terlebih saat sepasang manusia itu menyerbu ke arah mereka. Seorang pria yang tampak garang bahkan berniat menyentuh Embun, tapi Kaisar dengan segera menghalangi pria tersebut. “Lepaskan saya!” Pria asing itu membentak. Kemarahan tercermin dalam tatapan serta suaranya. “Mari kita bicara baik-baik,” ucap Kaisar dengan suara rendah. Namun, wanita yang datang bersama pria asing itu berhasil menggapai Embun dan mendorong istri Kaisar tersebut ke samping. Embun yang terkejut nyaris saja terjatuh jika ia terlambat menyeimbangkan diri. Sementara itu, si wanita asing dengan penampilan glamor tersebut langsung saja memeluk Giselle. “Nyonya–” “Diam kamu, dasar penculik!” sergah si wanita asing, membentak Embun. Pelukannya pada Giselle semakin erat hingga gadis kecil itu tampak tidak nyaman. “Perempuan jahat!” “Nyonya, sebaiknya Anda jaga bicara Anda pada istri saya.” Kaisar menegur. Sepasang mata hitamnya menyorot
Ada yang aneh pada sorot mata Kaisar saat mereka bertukar pandangan. Namun, Embun tidak tahu apa itu, karena Kaisar langsung mengalihkan pandangan ke pria asing di hadapan mereka. Manik cokelat Embun mengikutinya, sementara ia terus memeluk Giselle yang masih terisak. “Beliau sudah tidak tampak marah,” batin Embun, merujuk pada ayah Giselle. Kini, pria itu bahkan terlihat bersalah dan kecewa. Embun mengalihkan pandangannya pada ibu Giselle. Wanita itu kini melangkah mendekati suaminya dan mengatakan sesuatu yang tidak bisa Embun dengar. “... Kak, aku tidak mau pulang,” bisik Giselle saat itu, membuat Embun kembali memfokuskan perhatiannya pada gadis kecil dalam pelukan. “... Karena kamu berpikir kalau Mama dan Papa kamu tidak ingin kamu ada bersama mereka?” tanya Embun dengan lembut. Ucapannya membuat isakan Giselle lebih keras saat gadis itu mengangguk pelan. “Tapi, Cantik,” ucap Embun lagi. “Kalau Mama dan Papa tidak ingin bersama dengan kamu, mereka tidak mungkin ada di sini.
“Sebenarnya, untuk apa kamu ke sini, Kaisar?”Embun tidak dapat menahan pertanyaan tersebut agar tidak keluar dari bibirnya, membuat Kaisar tertegun. Dan Embun bisa melihatnya.Namun, wanita itu penasaran.Dengan alasan apa Kaisar datang ke sini? Apakah untuk mengecek kebenaran Embun bekerja sama dengan Dion? Atau apa?Sementara itu, saat mendengar pertanyaan dari Embun, Kaisar merasa terusik. Untuk apa? Memangnya harus ada alasan bagi seorang suami untuk menemui istrinya? Istri yang begitu sibuk dan jarang ditemuinya ini? Kenapa Embun harus menanyakan pertanyaan yang sudah jelas-jelas ia tahu alasannya apa?“Kaisar?” panggil Embun lagi karena Kaisar tidak kunjung menjawab. “Apa kamu ke sini untuk mengecek apakah aku benar bekerja atau tidak?”“Tidak,” balas Kaisar pada akhirnya, langsung detik itu juga, Sejak awal, bukan itu alasan ia memutuskan untuk mengajukan cuti dan datang kemari, meskipun saat sampai, Kaisar tidak tahan untuk tidak mengecek tempat kerja Embun dan keseriusa
“Aku merindukanmu, Embun.” Ada sesuatu yang asing saat Embun mendengar pengakuan Kaisar tersebut, sebuah perasaan yang hinggap di hatinya, lalu merambat naik ke wajahnya. Membuat kedua pipi wanita berambut sebahu itu memanas. Ia berdeham, lalu mengalihkan pandangan tanpa mengatakan apa pun karena sepasang mata hitam Kaisar yang menatapnya dengan serius justru makin membuat dadanya berdebar. “Kenapa dia tiba-tiba mengatakan hal itu?” batin Embun sembari berusaha menenangkan dirinya. Sebenarnya, selama ini kesibukan Embun memang wanita itu gunakan untuk mengalihkan dirinya agar tidak memikirkan ataupun merasakan hal-hal yang Embun nilai mampu mendistraksi atau mengganggu dirinya. Ia sedang dilanda masalah bertubi-tubi. Embun tidak bisa membiarkan dirinya terbawa arus begitu saja. Nanti ia bisa gila. Namun, memang, ia mengakui ada sebuah perasaan asing ketika ia jarang bertemu dengan Kaisar beberapa bulan belakangan. Meskipun awalnya ia sangkal, setelah mendengar pengakuan Kaisar …
“Kalau begitu, aku akan tinggal di sini sampai kontrakmu selesai. Menemanimu.” Tatapan Kaisar terarah lurus pada Embun. “Bagaimana?” Ucapan Kaisar itu di luar dugaan Embun, membuat wanita tersebut sedikit terkejut. Bukan apa-apa. Embun jelas tahu kalau suaminya itu punya pekerjaan utama, meskipun kakaknya mengira kalau Kaisar ini adalah pemilik kontrakan saja. Setiap hari kerja Kaisar selalu pergi dan pulang sesuai jam kantor–yang seringnya lembur juga belakangan. Seperti karyawan pada umumnya. Jadi, Embun tahu kalau pria ini sebenarnya pegawai kantoran. Apalagi dengan sekilas info mengenai proyek-proyek itu. Memangnya pegawai kantoran boleh izin selama itu? “Bagaimana dengan pekerjaanmu?” tanya Embun. Kaisar tidak langsung menjawab. Sepasang mata hitamnya memandang sekeliling terlebih dahulu, seperti sedang mengecek sesuatu, sebelum kemudian kembali menatap Embun. Pria itu kembali tersenyum. “Jangan khawatir. Aku sudah mengajukan cuti,” katanya kemudian. “Apakah tidak mas
“Kamu sendiri menginap di mana?”Kaisar dan Embun sedang berjalan kaki berdua menuju tempat penginapan Embun saat wanita berambut sebahu itu bertanya pada sang suami. Sebelumnya, Kaisar menawarkan untuk mengantar Embun kembali ke penginapan–yang mana tidak dapat ditolak Embun.Lagi pula, memangnya Embun bisa menolak dengan alasan apa?“Barang-barangku masih di dalam mobil.” Kaisar justru mengatakan itu sebagai jawaban.Embun terkejut. Ia menoleh pada pria yang sedang berjalan di sebelahnya. “Jadi kamu belum memesan kamar atau penginapan?” tanyanya lagi.“Aku tadi langsung ke tempatmu.”Helaan napas keluar dari bibir Embun.“Ya sudah,” ucap wanita itu kemudian. “Nanti pesan kamar di penginapanku sekalian saja. Mobil kamu di mana, Kaisar?”“Ada di parkiran utama.”“Kalau begitu, kita ke sana dulu, baru ke penginapan. Ya?”Kaisar menggangguk. Ia menuruti semua usul Embun. Dengan sengaja, tentunya.Di samping itu, pria ini bersyukur karena ia telah memarkir mobilnya di parkiran utama tadi
“Kaisar …? Ada apa?”Suara Embun menyadarkan Kaisar dari lamunannya. Pria itu menyadari kebingungan di wajah Embun dan tiba-tiba saja merasa malu akan pemikirannya barusan.Bagaimana bisa Kaisar justru teringat akan kejadian malam itu di momen seperti ini?Suami Embun tersebut berdeham. “Tidak apa-apa. Hanya teringat sesuatu,” ucapnya.“O … ke?” Embun masih tampak bingung, tapi tidak bertanya lebih lanjut. “Oke. Kembali sekarang?”Kiasar mengangguk, meski otaknya masih memproses alasan kenapa tiba-tiba ia teringat pada momen itu.Saat itu dia panik, ya. Ia peduli pada Embun. Namun, jika bukan–Jika Kaisar tidak mencintai Embun, ia pasti tidak akan melakukannya. Dan tidak akan membekas seperti ini. Benar begitu, bukan?Rasanya Kaisar sudah bisa mengakui perasaannya pada dirinya sendiri sekarang.Namun, bagaimana dengan Embun?“Oh ya, melanjutkan obrolan tadi,” kata Embun, kembali menarik perhatian Kaisar kepadanya. “Soal anak-anak. Kamu juga bisa mengobrol. Aku lihat kamu dan Giselle