“Bagaimana dengan barang-barangmu? Mau kubantu mengemas?”Embun terdiam. Otaknya tidak bisa berpikir cepat. Baru setelah beberapa detik terlewat, ia bergumam, “Nanti kukemas dulu.”Mendengar itu, Kaisar mengangguk dan menjinjing kembali tas bepergiannya. Pria itu kemudian meminta staf mengantarkan mereka ke kamar yang tadi ditawarkan.“Aku harus mengambil barang dulu,” bisik Embun pada Kaisar. “Setelah ini saja kutemani.” Kaisar membalas. “Cuma sebentar saja.”Kaisar menghela napas. “Baiklah.”Namun, di luar dugaan Embun, alih-alih meninggalkan Embun untuk mengambil barangnya sendiri, Kaisar justru mengatakan pada staf kalau ia berniat mengambil barang sang istri terlebih dahulu di kamar yang lama.Padahal Embun bisa sendiri. Dan ingin sendiri, dengan pikirannya yang macam-macam sekaligus membuatnya tersipu senantiasa tanpa aba-aba tersebut.“Tunggu di sini saja,” ucap Embun di depan kamar lamanya. “Aku tidak akan lama, hanya mengambil barang. Lagi pula, Gina pasti di dalam.”Kaisar
“Ada apa, Embun?”Embun tidak langsung menjawab. Ia kembali termenung, berpikir bahwa ini pertama kalinya ia dan Kaisar berada di dalam satu kamar yang sama. Bukan hanya kamar yang sama, tapi juga tempat tidur yang sama. “Embun?” Dengan hati-hati, Kaisar menyentuh bahu Embun.Wanita itu berkedip sekali, dan tersadar. “Uh, tempat tidurnya hanya satu,” ucapnya pelan, nyaris pada diri sendiri.Kaisar mengangguk. “Iya. Mereka sudah bilang kalau kamar ini menggunakan king bed, kan?”Embun terdiam lagi. Ia tidak dengar bagian ini, tapi setelah diingat-ingat lagi, karyawan di meja penerimaan mengatakan kalau memang kamar ini cocok untuk pasangan suami istri baru yang ingin bulan madu, bukan?“Ya, memang kami pasangan suami istri baru, tapi tidak sedang ingin bulan madu!” omel Embun dalam hati.Ia memang sudah menikah. Pun, sudah melakukan hubungan suami istri, meskipun Embun sama sekali tidak bisa mengingat satu memori pun dari sana. Embun juga paham kalau ia memiliki tugas sebagai istri s
“Bagaimana kalau–”Ketukan pintu membuat ucapan Embun terhenti. Otomatis perhatian sepasang suami istri tersebut terarah ke arah pintu.Kaisar bergegas ke arah pintu dan membukanya, menampilkan sosok Gina yang tengah menenteng satu tas kecil berwarna gelap.“Malam, Kak.” Gina menyapa Kaisar dengan senyum. “Mau mengantarkan barang Kak Embun yang tertinggal. Semoga tidak mengganggu ya.”“Barangku?” Embun menghampiri pintu dan berdiri di samping Kaisar. Gina mengangguk dan menyodorkan tas di tangannya pada Embun, meskipun matanya tidak lepas dari Kaisar.Gadis itu seperti pernah melihat Kaisar, entah di mana. Karena itu, saat ini ia berada di sini untuk memastikan.“... Kak Embun,” bisik Gina pelan. “Suaminya kerja di mana? Kok kayak pernah ketemu.”Alis Embun terangkat satu. Rasanya, ia tidak mengerti maksud Gina bersikap seperti ini. Benarkah hanya rasa penasaran semata, atau memang gadis muda itu sedang mencari perhatian.“Bukankah kamu teman sekamar Embun?” ucap Kaisar saat Embun tid
“Selamat tidur, Embun.” Kalimat itu menjadi hal terakhir yang didengar Embun sebelum ia terlelap hingga keesokan harinya. Tampaknya, setelah hari yang panjang dan jalan-jalan keliling area peternakan bersama Giselle tadi, tubuh Embun menjadi lebih lelah daripada biasanya.Hampir pukul delapan keesokan paginya, Embun baru terbangun. Sepertinya alarm yang Embun pasang tidak berbunyi, karena Embun sama sekali tidak mendengar apa pun dari ponselnya.“Atau jangan-jangan alarmnya sudah berbunyi dan tanpa sadar aku matikan?/” gumam Embun dalam hati. Detik berikutnya, ia teringat satu hal. “Atau, justru Kaisar yang mematikan!?”Wanita itu menoleh ke tempat tidur lipat yang kemarin ada di sebelah ranjang utama. Tidak ada siapa-siapa di sana. Bahkan, tempat tidur lipatnya sendiri pun tidak ada.Namun, kemarin jelas-jelas Embun tidak bermimpi, bukan? Kaisar benar-benar datang ke sini dan bermalam bersamanya?Ah, yang jelas, Embun harus bergegas sekarang! Ia ada jadwal mengajar dalam sepuluh menit
“Selamat pagi, Bu Embun, Pak Kaisar.”“Selamat pagi,” balas Embun, nyaris bersamaan dengan Kaisar saat mendengar menerima sapaan dari pegawai restoran tersebut. Sosok itu kemudian mencoret nomor kamar Kaisar di daftar sebelum kembali tersenyum pada sepasang suami istri di hadapan.“Silakan mengambil sarapan sesuai selera, Pak, Bu,” ucap pegawai tersebut. “Masih ada banyak menu yang tersaji di meja.”Embun tersenyum. “Terima kasih,” jawabnya. Ia mengalihkan perhatian di meja buffet yang menyajikan sederet menu sarapan, mulai dari gaya barat dengan roti, sereal, telur, dan sebagainya, hingga menu Indonesia berupa nasi goreng, bakmi, dan masih banyak lagi. Tak lupa mereka juga menyajikan berbagai olahan susu–baik dalam bentuk kue, lauk, maupun minuman. Embun juga melihat banyak buah tersaji di meja.Kaisar mengangsurkan sebuah piring pada Embun sebelum ia mengambil satu untuk dirinya sendiri.“Kamu mau makan apa?” tanya Embun, saat Kaisar tidak kunjung beranjak dari tempatnya. “Sereal
“Tidurmu nyenyak?”Embun sedang menyuap nasi gorengnya ketika Dion menanyakan itu dengan kasual. Beruntung, Embun jadi bisa menjawab pertanyaan tersebut dengan senyum saja karena sejujurnya wanita itu bingung harus menanggapi bagaimana.Kemarin, ia memang melihat Kaisar dan Dion mengobrol, meskipun Dionlah yang aktif mendominasi percakapan dan Embun tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Namun, merasakan betapa tidak nyamannya suasana di meja makan ini, Embun tahu, bahwa sang suami masih tidak menyukai pemilik tempat ini tersebut.Dan Embun tidak mau memancing konflik tambahan dengan Kaisar. Tidak setelah mereka berdamai kemarin.“Selamat pagi. Ini pesanan telurnya.” Tiba-tiba seorang pelayan penginapan mendatangi meja dan mengangsurkan dua piring telur kepada Kaisar, satu telur mata sapi dan satu lagi telur urak-arik.“Terima kasih,” ucap Kaisar. Ia meletakkan dua piring berisi telur tersebut di depan Embun. “Sebagai pendamping nasi gorengmu, Embun.” Pria itu berkata.Embun menoleh ke
“Pokoknya aku tidak mau tahu! Makanan sampah, siapa yang membuat ini, hah!?”Salah seorang pelanggan di restoran tersebut marah-marah, bahkan hingga memukul meja. Suaranya bahkan terdengar hingga tempat duduk Embun. Awalnya, Embun tidak mengatakan apa pun terkait hal tersebut. Namun, karena keributan tak kunjung usai, pada akhirnya, Embun menatap Dion.“Pak Dion, sepertinya kamu perlu ke sana,” ucap Embun. Apalagi, ia mulai menyadari bahwa ada beberapa pelanggan yang diam-diam mengarahkan kamera mereka ke pusat keributan. “Sepertinya manajer restoranmu tidak hadir. Jadi harus kamu yang turun tangan.”Dion menatap Embun sejenak, sebelum perhatiannya teralihkan oleh tindakan Kaisar yang mengangsurkan setengah potong telur mata sapi yang tersisa ke piring Embun. Suami Embun itu tidak mengatakan apa pun, tapi tindak tanduknya seperti pemenang yang jumawa. Seakan sedang mengejek Dion.Dengan emosi tertahan, Dion berdiri. “Aku akan segera kembali, Embun,” ucapnya.Embun melihat kepergian
“Pak Dion, apa maksudnya ini!?”Sang kepala koki tampak marah dan tersinggung, menatap Dion yang berdiri di depannya. Pria itu barus aja melayangkan tangan padanya. Sepasang mata Dion masih menatap sang koki dengan nyalang. Semua emosi yang ada dalam diri pria itu terpampang nyata.Dion tampak tidak peduli dengan keterkejutan semua karyawan yang menyaksikannya melakukan itu.“Apakah bayaran Anda di sini kurang?” tanya Dion pada sang kepala koki. “Sampai-sampai Anda memilih untuk mempermalukan restoran ini dibanding meminta maaf dan mengakui kesalahan Anda?”Si koki tampak tersinggung. Wajahnya memerah dan itu tidak ada kaitannya dengan tamparan yang diberikan Dion padanya beberapa detik yang lalu.“Saya tidak salah,” tandas koki tersebut. “Masakan saya disajikan sesuai resep yang ada, bahkan memenuhi peraturan kesehatan! Saua tidak bersedia mengakui kesalahan yang tidak pernah saya lakukan.”Prang!Tanpa bisa diduga, Dion membanting setumpuk piring yang ada di dekatnya hingga pecah be