Maaf ya pembaca-pembaca, author updatenya masih lama dan mungkin nggak terlalu banyak. Doain author bisa update cepat dan banyak, ya!>< Jika menyukai buku ini terus berikan like, vote dan comment, ya! Author menghargai semua dukungan yang diberikan untuk buku ini, terima kasih!
Beberapa saat yang lalu .... "Selamat pagi, Pak Kaisar." Kaisar mengangguk pada sekretarisnya dan masuk ke dalam kantornya, sementara si sekretaris mengikuti di belakang pria tersebut dengan tablet di tangan. "Ibu Anda menghubungi saya untuk menjadwalkan makan siang bersama, Pak," lapor sekretaris pemilik Asthana Hotel tersebut. "Beliau mengatakan bahwa nomor Bapak tidak bisa dihubungi." "Saya tidak akan sempat," ucap Kaisar sembari duduk di kursi kebesarannya. Di belakangnya terbentang jendela yang menampilkan pemandangan gedung-gedung perkotaan. "Jadi kamu bisa menolaknya." Sebenarnya, Kaisar akan selalu mampu membuat waktu luang jika memang benar-benar dibutuhkan. Hanya saja, memang hubungannya dengan sang ibu tidak baik. Apalagi sejak terakhir kali ibunya datang berkunjung ke apartemennya dan Embun. Meskipun keluarga, ibu Kaisar tampaknya benar-benar tidak dapat menghargai istrinya. Dan hal itu menyinggung Kaisar. "Baik." Si sekretaris mengangguk. "Kemudian hari ini ... ya
"Begitu?" Kaisar menanggapi. "Namun, apakah Anda setidaknya sudah mengecek kafe tersebut?" Si manajer hotel kembali terdiam, merasa ketakutan. Ia awalnya berpikir ini soal remeh. Rekomendasi dari pusat, baik, akan dia cek nanti. Ia tidak menyangka bahwa penundaan tersebut akan membawa Kaisar ke kantornya dan menegurnya langsung! Diamnya si manajer hotel membuat Kaisar menghela napas. Pria itu kemudian berdiri dan mengancingkan bagian depan jasnya. "Pak Heru," ucapnya. Suaranya terdengar tegas dan penuh kharisma. "Persoalan kafe pengganti ini bukan hal remeh. Terlebih untuk saya, kerja sama ini lebih penting dari apa pun juga." Si manajer hotel buru-buru mengangguk. "Baik, Pak. Saya akan langsung menghubungi pemilik kafe tersebut setelah ini." "Saya harap Pak Heru tahu letak kesalahan Bapak," kata Kaisar lagi. "Lalu, saya yang akan menghubungi pemilik kafe tersebut. Pastikan setelahnya Bapak menangani kerja sama ini dengan baik." Usai menyampaikan itu, Kaisar keluar ruangan untu
"--Bu Embun?" Embun berkedip, seperti baru sadar ada yang memanggilnya. Dengan segera wanita berambut sebahu tersebut menoleh pada Heru, manajer Asthana Hotel yang tengah bersamanya. Pak Heru tampak heran. Pria paruh baya itu sudah beberapa kali memanggil nama Embun, tetapi wanita itu tidak menyahut dan hanya fokus ke grup lima orang tak jauh dari mereka. "Maaf, Pak Heru," ucap Embun, terdengar menyesal. Ia tidak ingin pria di depannya ini berpikir bahwa Embun tidak menghargainya. "Bagaimana?" Meskipun tampak heran, Pak Heru mengulang pertanyaannya, "Apa Bu Embun mau menyapa Pak Kaisar?" Manajer hotel itu berpikir, jika ia bisa sekalian menunjukkan bagaimana sikap baiknya pada Embun setelah teguran Kaisar tadi, pandangan bosnya itu akan lebih baik. Pak Heru tidak mau dipandang sebagai manajer yang lambat bekerja dan suka menunda-nunda pekerjaan. Sementara itu, pertanyaan Pak Heru membuat Embun kembali mengalihkan pandangannya pada Kaisar dan beberapa orang yang bersamanya, term
“Kalau begitu, apakah sudah pasti Ibu Embun ini menerima tawaran kerja samanya?” Nicholas bertanya lagi. Ekspresinya tampak main-main lagi saat menyebut ‘Ibu Embun’, membuat Embun tersenyum kecil. Nicholas benar-benar santai dan tidak kaku seperti Kaisar. Mungkin juga karena usianya yang jauh lebih muda dibandingkan dengan Kaisar, pikir Embun. “Iya,” ucap Embun dengan suara lembutnya. “Justru saya harus berterima kasih karena sudah ditawari kerja sama ini.” Setelah dipikir-pikir, meskipun Kaisar kaku dan kadang bersikap dingin pada Embun, namun pria itu sebenarnya adalah seseorang yang perhatian. Buktinya ya seperti sekarang, tawaran kerja sama dengan hotel besar ini. Mengingat Kaisar ternyata mampu membuat Embun tersenyum diam-diam. Mendengar hal itu, Nicholas mengangguk-angguk sebentar. Kemudian ia menoleh pada Pak Heru. “Kalau begitu, berkasnya harus segera diurus ya, Pak?” Nicholas kemudian melanjutkan lagi, “Jangan biarkan Ibu Embun menunggu terlalu lama.” Pak Heru men
"Kenapa, Kak?" Perhatian Embun kembali ke Nicholas. Pria muda itu mengikuti arah pandang Embun, tapi tidak menemukan apa pun di sana. "Tidak." Embun kembali tersenyum. "Jadi, menu apa yang kamu rekomendasikan?" "Hm ... rigatoni truffle mushroom, nama menunya." Nicholas membawa Embun ke restoran di sebelah lobi. Meski sudah putus kontrak, kafe sebelumnya masih melayani pengunjung hotel hingga kafe pengganti sudah siap. "Kakak suka makanan seperti apa, omong-omong?" Embun tampak berpikir sejenak. "Sebenarnya, aku bukan orang yang pemilih dalam hal makanan," ucap wanita itu. "Jadi aku tidak ada masalah dengan jenis makanan apa pun." Nicholas mengangguk-angguk. "Kalau kafe Kak Embun sendiri apakah fokus ke jenis makanan khusus?" tanya Nicholas kemudian. Ia menanyakan hal tersebut karena ia belum pernah berkunjung ke kafe Embun. Mungkin sekali-sekali Nicholas harus berkunjumg ke sana, begitulah pikir pria itu. "Aku justru merasa menu makanan di kafeku cukup luas." Jawaban Embun mem
Embun meletakkan cangkir kopinya ke atas meja dan beralih mengambil air putih. Dia meminumnya dengan agak banyak, seperti ingin menghilangkan rasa yang ada di mulutnya. "Ada masalah, Kak?" tanya Nicholas. Ia heran melihat reaksi Embun setelah minum kopi. Namun, Embun hanya menggeleng dan mengatakan, "Tidak apa-apa." Sebenarnya, tidak tepat jika dikatakan tidak ada masalah. Namun, menurut Embun, ini bukan hal yang perlu dibesar-besarkan. Hanya saja, kopi yang baru saja dia minum rasanya sama sekali tidak menyegarkan, cenderung terlalu pahit dan pekat. Embun menduga ada kesalahan suhu saat membuatnya. Dan seharusnya ada yang menyadari hal ini. Karena bisa bahaya kalau sampai pelanggan yang menyadarinya lebih awal. Namun, bukan ranahnya untuk mengomentari hal tersebut. Embun di sini hanya sebagai seorang pelanggan saja. Tidak lama kemudian, makanan yang Nicholas pesan datang dan mereka berdua langsung mencobanya. Untuk hidangan satu ini, Embun harus mengakui bahwa ia menikmatin
"Maaf, Pak Heru… Bukannya--" Pada akhirnya, karena Pak Heru tampak tidak menyadari kecerobohannya, Embun hendak menegurnya. Namun ucapannya disela oleh Nicholas. "Kak, sepertinya aku harus pergi sekarang." Tiba-tiba Nicholas berucap. Pria itu tampak mengernyit sembari menatap ponsel di tangan. "Aku harus kembali ke kantor." Dan seperti ingin menjelaskan lebih lanjut, Nicholas menambahkan, “Ada beberapa masalah yang harus segera diurus, kak.” Embun berkedip sekali, agak terkejut. "Ah, baik, Nic. Hati-hati, ya." Nicholas mengangguk dengan senyum lebar pada Embun, kemudian berdiri. Melihat itu, Pak Heru ikut berdiri dan sedikit menunduk saat menyalami Nicholas. Pak Heru ingin memberikan kesan baik kepada semua anggota keluarga Rahardja, termasuk Nicholas. Menjadi seorang manajer di hotel ini adalah suatu pencapaian yang luar biasa, dan pria itu tidak ingin mengacaukannya. Nicholas tersenyum tipis pada Pak Heru dan berbisik dengan suara rendah agar Embun tidak bisa mendengar mer
"Saya percaya pada pria itu." Pak Heru sempat ingin bertanya lebih lanjut mengenai ucapan Embun tersebut, terutama mengenai atasannya dan hubungan mereka berdua. Namun, kemudian ia urung. Manajer hotel tersebut khawatir itu akan memengaruhi kerja sama mereka. Di kepala pria paruh baya tersebut terngiang ucapan Kaisar bahwa kerja sama ini lebih penting dari apa pun. Nicholas juga khusus berpesan padanya agar memastikan kalau kesepakatan ini berjalan lancar. Oleh karena itu, Pak Heru tidak bertanya apa pun dan mengulurkan tangan pada Embun. Keduanya berjabat tangan, menandakan bahwa kesepakatan mereka berdua dimulai saat itu. “Mohon kerja samanya, Bu Embun.” Embun mengangguk dan tersenyum. “Semoga kerja sama kita lancar ya, Pak.” Karena tidak ada hal lain untuk didiskusikan lagi, Embun berniat untuk pulang. "Terima kasih atas waktunya, Pak Heru," ucap Embun disertai senyum. Ia kemudian berpamitan kepada Pak Heru. Sepeninggal Embun, Pak Heru buru-buru menelepon Kaisar. Wajahny