Embun sendiri hanya bisa meringis menatap Friska.
“Coba kalau kamu diskusikan dulu denganku, aku pasti akan membantumu. Aku bisa mengenalkanmu dengan sepupuku, dan kalian bisa menikah.”
Embun tersenyum tipis. “Semua sepupumu itu sudah dijodohkan.”
Sontak, Friska terdiam. “Iya juga ….”
“Kamu juga akan dijodohkan, 'kan?” tanya Embun untuk mengalihkan topik dari dirinya.
Sesuai rencana Embun, Friska jadi ingat bahwa ia juga dijodohkan. Hal itu pun membuat Friska menggeram dengan ekspresi tidak senang.
Friska dan saudara-saudara sepupunya itu memang berasal dari kalangan atas. Meskipun bukan termasuk keluarga konglomerat, tetapi bisnis keluarganya menjadi salah satu yang layak diperhitungkan di kota ini.
Maka tidak heran jika semua sepupu Friska, termasuk Friska, sudah dijodohkan dengan anak relasi keluarganya. Semua itu demi kepentingan kelancaran dan perkembangan bisnis keluarga.
Namun, Friska menolak mentah-mentah perjodohan yang dilakukan orang tuanya. Dia ingin hidup bebas, tidak terbebani dengan pernikahan yang terjadi tanpa cinta dan konsekuensinya.
Siapa yang menyangka teman baiknya malah berakhir menikah dengan pria yang dijodohkan tanpa runutan yang jelas!?
Mendadak, Friska teringat akan satu hal. “Embun! Kalau kamu menikah hari ini berarti kamu tidak bisa menemaniku pergi ke pesta, bukan?!”
Mata Embun mengerjap. Dia lupa akan janjinya untuk menemani Friska ke pesta ulang tahun kolega bisnis keluarganya. “Memangnya pestanya kapan?”
“Malam ini.”
“Astaga, aku lupa, Fris …,” kata Embun jujur.
Mendengar hal itu, Friska pun tampak sedih, tapi dia paham lantaran temannya itu juga baru saja menikah. “Tidak apa-apa kalau kamu tidak bisa,” balas Friska dengan senyum tipis.
Embun tetap merasa tidak enak mengingkari janjinya pada Friska. Akan tetapi, situasinya saat ini juga sulit karena dirinya sudah menjadi istri seseorang. Dia tidak bisa pergi sesuka hatinya lagi.
Akhirnya, Embun mengeluarkan ponsel dari dalam tas tangannya, mencoba meminta izin pada Kaisar.
[Kaisar, apa saya boleh pergi dengan teman saya malam ini?]
Di ruangannya, Kaisar tampak tertegun setelah membaca isi pesan dari Embun. Ia merasa sangsi dengan istrinya itu. Di hari pertama pernikahan mereka, wanita itu sudah berani meminta izin untuk pergi bersama temannya!
Namun, kemudian Kaisar menggelengkan kepalanya. Dia tersadar seharusnya dia tidak peduli dengan urusan Embun. Mereka memang sudah menikah, tetapi sebelumnya ia meminta Embun untuk tidak mencampuri kehidupan pribadinya. Jadi, pria itu juga harus adil dan membebaskan Embun melakukan apa pun yang dia mau. Tentunya selama wanita itu tidak merepotkannya.
Segera, Kaisar membalas pesan Embun.
[Terserah.]
Di sisi lain, Embun tersenyum lega setelah membaca balasan pesan dari Kasiar, meskipun Kaisar hanya membalas dengan kata, “Terserah.” tetapi Embun tetap menganggap kalau Kaisar mengizinkannya.
[Terima kasih.]
Setelah menerima pesan Embun itu, Kaisar pun meletakkan ponselnya di meja. Tepat pada saat itu, Reza, asisten pribadi Kaisar masuk dan berdiri di depan meja Kaisar.
“Tuan, setelah rapat nanti sore, malamnya ada pesta di Nusantara Ballroom.”
Mendengar hal itu, Kaisar agak kaget. Dia sendiri ternyata lupa telah memiliki janji untuk menghadiri acara pesta ulang tahun dari anak salah satu kolega bisnis keluarga Rahardja. Sebagai pemilik hotel dan perwakilan keluarga Rahardja, Kaisar wajib hadir!
Merasa agak bersalah karena sempat salah sangka dengan Embun, Kaisar melirik ponselnya sesaat. Namun, dia hanya berakhir menghela napas dan menjawab Reza, “Aku mengerti. Usahakan kita selesaikan semua urusan kantor satu jam lebih awal.”
**
Malam itu, Embun menepati janjinya untuk menemani Friska. Akan tetapi, karena tetua dari keluarga Friska sedang berusaha untuk menjodohkan cucunya itu dengan seorang pria kalangan atas di pesta tersebut, Embun pun berakhir seorang diri di pinggir ruang pesta itu.
"Hei! Ayo ke sana! Perwakilan keluarga Rahardja sudah tiba!”
Ucapan salah seorang tamu yang cukup lantang membuat Embun langsung menoleh ke arah pintu masuk.
‘Rahardja?’ pikir Embun. Itu nama belakang keluarga Kaisar.
“Ya ampun, tidak sangka akhirnya aku bisa melihat sosok penerus keluarga Rahardja, konglomerat paling berkuasa di kota.”
Mendengar kalimat itu, Embun pun memicingkan matanya. ‘Keluarga konglomerat paling berkuasa di kota?’
Orang-orang ini … tidak mungkin sedang membicarakan keluarga Kaisar, bukan!?
Embun tersenyum tipis dan menggelengkan kepala. Dia yakin keluarga Rahardja yang sedang dibicarakan bukanlah keluarga suaminya. Papa mertuanya dan Kaisar tidak terlihat seperti berasal dari keluarga konglomerat. Walau cara berpakaian mereka cukup mewah, tapi mereka rendah hati dan tidak tampil mencolok. Lagi pula, di negara ini ada banyak nama Rahardja, jadi tidak mungkin jika pewaris Rahardja yang datang ini adalah suaminya. Embun mengangkat bahunya. Kakinya melangkah ke sisi meja tempat makanan disajikan. Gadis itu mengacuhkan kerumunan yang berada di seberang posisinya berada. *** Mengenakan setelan jas hitam dan sepatu kulit mengkilap, Kaisar melangkah dengan mantap memasuki Nusantara Ballroom. Wajah tampan dan kharismatiknya membuat Kaisar menjadi sorotan di pesta itu. “Selamat datang di pesta ulang tahun anak kami, Tuan.” Lelaki setengah baya berjas rapi menyambut kedatangan Kaisar dengan senyum merekah. Kaisar menyambut uluran tangan kolega ayahnya itu dengan senyum sopan
Kaisar memerhatikan wanita di area makanan itu dengan saksama, berhati-hati agar tidak salah mengenali seseorang.Wanita yang sedang asyik memilih makanan seorang diri itu terlihat sangat mirip dengan Embun. Penampilannya yang terlalu sederhana terlihat sangat menonjol dibandingkan tamu undangan lain yang datang.Kaisar tersenyum sopan menyudahi sapaannya pada rekan bisnisnya, dengan dalih hendak menyapa rekan bisnis lainnya. Lalu, Kaisar mengisyaratkan Reza untuk menjauhi kerumunan.“Ada apa, Tuan?” tanya Reza kepada sang atasan.“Pastikan wanita yang aku lihat itu istriku atau bukan! Dan selidiki dengan siapa dia datang!” perintah Kaisar pada Reza. Reza mengikuti arah pandang Kaisar, lalu mendapati sosok serupa Embun yang sedang melahap makanannya dengan santai.Tahu Reza telah melihat apa yang dia lihat, Kaisar pun lanjut bertitah, “Foto segala hal yang dilakukan wanita itu di sini!” Walau perintah tuannya itu terkesan agak berlebihan, tapi Reza tidak memiliki hak untuk bertanya.
“Embun, kamu sedang mencari siapa?” bisik Friska sembari menatap Embun heran, pasalnya sahabatnya itu sedari tadi tampak tengah mencari seseorang.Embun yang sedang mengedarkan pandangannya, menoleh ke arah Friska. Gadis itu memamerkan senyum kecilnya. “Tidak ada. Hanya tadi aku merasa seperti ada seseorang yang sedang memperhatikan kita,” jawab Embun tak kalah lirihnya.Refleks Friska memutar kepalanya. Gadis itu juga ikut memperhatikan sekeliling. Mencari-cari orang yang dimaksud Embun. Merasa tidak menemukan apa yang dicari, Friska kembali menoleh pada Embun. “Mungkin hanya perasaanmu saja. Ada orang yang kamu kenal di pesta ini?” Pertanyaan Friska dijawab gelengan kepala dan senyum canggung Embun. “Pesta kalangan atas sebesar ini? Mana mungkin?”Keduanya pun kembali larut dalam obrolan. Membuat Embun tidak lagi memperhatikan sekelilingnya.Di saat yang bersamaan, lelaki di seberang Embun itu kembali memutar tubuhnya menghadap ke arah Embun. Tubuhnya yang kekar, masih terhalang
Pandangan mata para tamu undangan yang sejak tadi mengelilingi Kaisar nampak terkejut. Bukanlah hal yang biasa jika pewaris Rahardja itu menyapa orang lain terlebih dahulu. Semua tamu undangan di situ tahu jika Kaisar menyapa rekan bisnisnya terlebih dahulu, maka bisnis orang tersebut akan meningkat pesat. Tak bisa dipungkiri, begitu besar pengaruh Kaisar dan keluarganya terhadap dunia bisnis. Rendi terkejut dengan sapaan tak terduga ini, lalu ekspresinya berubah terang. “Tuan Kaisar. Nama Anda tentunya telah saya ketahui!” Kaisar bisa mengetahui namanya, tentu saja Rendi senang! Senyum Rendi begitu mengembang. Disambutnya uluran tangan Kaisar dengan penuh sukacita. Pria itu yakin bisnisnya akan berkembang pesat setelah ini. Dia begitu percaya diri. “Suatu kehormatan bisa bertemu dengan Tuan Kaisar di sini.” Pria itu menambahkan, “Apa kiranya yang ingin Tuan Kaisar bicarakan?” Kaisar diam sesaat menatap Rendi. Dia bisa membaca setiap gerakan pria itu dan tahu bahwa pria tersebut
Perlahan Embun menghampiri Kaisar yang tengah duduk di sofa dengan tenang dengan kaki bersilang. Punggung pria itu tampak sedang menyandar nyaman di sandaran sofa. Lelaki itu memandangi kedatangan Embun dengan tajam, membuat gadis itu menelan ludah ketika melihat wajah suaminya itu terlihat sangat masam. Tak ada senyum tersungging di bibir Kaisar. Wajah kaku dan dingin seperti yang dilihat Embun tadi pagi saat pertama kali bertemu. Apakah suaminya itu marah padanya karena dia baru saja pulang? Ada rasa tak enak menjalar di hati Embun. Dia bersalah karena sudah pulang lebih lambat dari suaminya itu. “Maaf, saya pulang terlambat,” cicit Embun mencoba memecah kebekuan di antara mereka. Tak ada respon apa pun dari Kaisar. Langkah kaki Embun mengitari sofa dan duduk di seberang Kaisar, sambil menaruh bungkusan makanan yang dia bawa dari luar ke atas meja kaca di hadapan mereka. “Waktu pulang tadi saya melewati kedai martabak yang terkenal. Jadi saya beli satu untuk kita makan berd
“Kamu … tidak bisa lebih hati-hati lagi?” tanya Kaisar pada akhirnya sebelum melepaskan pegangannya dari pinggang Embun. Embun pun tersenyum tak berdaya, agak malu karena kecerobohannya. “Maaf, terburu-buru.” Setelah melepaskan Embun, Kaisar pun meraih botol air yang dia jatuhkan ke lantai untuk kemudian dilap dengan tisu, dibuka segel penutup botolnya, dan diberikan kepada Embun. Hal yang sama dia lakukan pada botol air satu lagi yang akhirnya dia teguk sendiri hingga tersisa setengahnya. “Terima kasih,” ucap Embun sembari meneguk air tersebut. Jujur, jantungnya masih berdebar keras karena kedekatannya dengan Kaisar tadi. Ditambah dengan perlakuan manis memberikan dan membukakan botol air oleh pria tersebut, Embun tak tahan untuk mengulum senyum malu. Ada perasaan aneh di hatinya. Guna menghalau perasaan di hatinya, juga memecah suasana canggung, Embun langsung memulai topik pembicaraan baru. “Kaisar, saya sudah membeli cincin pernikahan seperti yang kamu minta. Tapi, belum sa
“Apa itu penting?” tanya Kaisar dengan wajah tenangnya. Embun terdiam sesaat. Tangannya saling meremas seolah sedang memikirkan sesuatu. “Jika kamu dan Papa memang berasal dari keluarga konglomerat, kurasa akan sulit untuk saya menerimanya,” ucap Embun pelan. Kaisar memusatkan perhatiannya pada Embun. “Kamu tidak senang jika kami berasal dari keluarga seperti itu?” Embun meraih botol air mineralnya di atas meja, diteguknya air itu beberapa kali. Embun memainkan botol air mineral yang ada di genggamannya, setelahnya barulah dia menjawab pertanyaan Kaisar. Embun menghela napas sebelum menjawab, “Kehidupan keluarga konglomerat adalah kehidupan yang tidak kumengerti. Saya sudah menyukai kehidupan sederhana yang tenang ini.” Ada jeda dari ucapan Embun untuk beberapa saat. “Jadi, saya hanya berharap kamu bukan berasal dari keluarga Rahardja yang di pesta tadi.” Embun tersenyum tipis. Kaisar diam menatap Embun, cukup lama hingga Embun tidak bisa membaca pikiran dan ekspresi pria di
Kaisar yang masih setengah sadar terkejut mendengar sebuah teriakan. Sisa kantuknya langsung sirna menyadari ada seorang perempuan yang berdiri di hadapannya tengah berteriak dan memalingkan wajah darinya. Sial! Lelaki itu mengumpat dalam hati ketika melihat dada dan perutnya terekspos tanpa sehelai benang pun yang menempel di sana. Gegas Kaisar berjalan kembali ke kamarnya, dan mengenakan kaos abu-abu berlengan pendek sebelum lelaki itu kembali ke dapur. Kaisar terbiasa hidup sendiri dan jarang mengenakan atasan ketika tidur, kini ia meringis kecil mengingat jika dia telah berstatus menjadi suami, dan ada seorang perempuan muda yang sekarang ikut tinggal bersamanya dengan status sebagai istrinya. Sebenarnya secara hukum, Embun berhak saja melihatnya tanpa pakaian, tetapi Kaisar masih belum terbiasa ada orang lain yang melihatnya dalam keadaan ‘buruk’ seperti tadi. Selesai berpakaian lengkap, Kaisar kembali ke dapur. “Ekhem,” deham Kaisar saat membuka lemari pendingin dan mengambi