Dua hari berlalu.
Hari ini adalah pernikahan Rafael, tapi pria itu tak mengatakan apa pun semenjak kejadian itu. Chalista juga selalu menghindar ketika Mayang menyuruhnya untuk kumpul dengan alasan jet lag.
Setelah semua anggota keluarga siap, mereka pun berangkat ke hotel tempat acara berlangsung. Untungnya, Chalista tidak perlu semobil dengan Rafael. Jadi, ia tidak perlu pura-pura melupakan kejadian malam itu.
Chalista tak tau bagaimana harus mendeskripsikan perasaannya hari ini. Semuanya terasa campur aduk, entah sedih, kecewa, atau bahagia.
Prosesi pernikahan berjalan lancar. Rafael sekarang resmi menjadi suami Monika Wardana, putri cantik dari keluarga konglomerat itu.
Setelah acara resepsi tersebut, kedua keluarga memutuskan untuk makan malam yang lebih private. Dan sekarang di sinilah Chalista, duduk dengan perasaan terpaksa di seberang Rafael dan Monika, yang tampak seperti raja dan ratu malam itu.
‘Bagaimana bisa aku menggantikan Kak Monika yang elegan itu?’ lirih Chalista dalam hati, kala mengingat ajakan menikah Rafael waktu itu.
Deg!
Senyum pahitnya langsung menghilang kala tatapannya bertemu dengan Rafael yang duduk di seberangnya. Wajah Chalista seolah disiram air dingin, ia mendadak kaku.
Chalista pun segera menunduk lagi, pura-pura fokus pada pasta di piringnya.
“Kami merasa sangat beruntung, karena Rafael memilih Monika untuk menjadi menantu keluarga Adijaya.” Suara Erina, bunda Monika yang duduk tepat di samping Monika membuat Chalista terpaksa mengangkat pandangannya lagi..
Chalista sebisa mungkin fokus memakan makanannya karena beberapa kali melihat Rafael yang menatap tajam ke arahnya. Chalista merasa sangat tidak nyaman ada di ruangan ini, ia merasa bukan bagian dari mereka.
Meskipun banyak yang memujinya di sini, tetapi Chalista juga dapat melihat beberapa orang mencibirnya. Secantik apa pun dirinya, fakta bahwa dia hanya anak angkat tak akan pernah berubah.
Sampai detik ini, acara keluarga adalah hal yang paling Chalista benci dan berusaha hindari. Tidak ada yang menyukai kehadiran Chalista di sini selain mama angkatnya.
“Mulai sekarang, kamu akan jadi bagian keluarga kami ya, Sayang. Jangan lagi panggil ‘tante’, panggil ‘mama’ mulai sekarang ya, sama kayak Chalista,” sahut Mayang kemudian.
Saat namanya tiba-tiba disebut, Chalista tersedak makanannya. Rafael yang melihat itu dengan sigap langsung menggeser gelas berisi air putih ke arah Chalista.
Mata Chalista melebar. Mungkin bagi orang lain, tindakan Rafael ini biasa saja, tapi tidak dengan Chalista. Ia merasa ketar-ketir, terlebih wajah Rafael begitu dingin.
Dengan cepat, Chalista menyambar gelas yang disodorkan Rafael. “Makasi, Kak Rafa—”
Ucapan Chalista terhenti karena ujung matanya melihat papanya di sisi lain meja sedang menatapnya tajam. Kilatan ketidaksukaan dari papanya terlihat jelas di mata Chalista.
Tubuh Chalista mulai gemetar. Suara dingin papanya 3 tahun lalu kembali terngiang.
“Pergilah ke Amerika, jauhi Rafael dan jangan halangi jalan sukses anakku. Bagaimana pun aku tidak akan menerimamu selain menjadi anak angkat.”
Tangan Chalista terkepal di pahanya ketika mengingat kalimat itu.
“Aku dulu satu sekolah loh sama Chalista pas SMA!” suara Monika mengalun lembut di telinga semua orang yang ada di ruangan itu, termasuk Chalista.
“Kamu inget kan, Cha? Kita pernah satu eskul juga, loh, Raf!” Monika terlihat sangat antusias.
Namun, Monika sama sekali tidak menatap Chalista, melainkan Rafael yang duduk di sebelahnya. Monika juga bergelayut manja di lengan Rafael.
“Oh ya? Kok Mama bisa gak tau ya?” Mayang malah lebih dulu menyela sebelum Chalista sempat berbicara.
“Iya, Ma, Chalista adik kelasku dulu,” jawab Monika, masih dengan senyum elegannya. “Dia memang pendiam. Kalau aja aku gak lihat dia pacaran di kelas sama temanku, pasti aku gak sadar juga kalau kita satu eskul.”
Baru setelah itu, Monika melempar tatapan kepada Chalista. “Kalau gak salah… namanya, Raka kan ya?”
Memang benar, Monika adalah kakak kelas Chalista, dan mereka juga satu ekskul yang sama. Namun, ia tidak pernah berpacaran dengan pria bernama Raka itu. Justru kabarnya dulu, Raka adalah pria yang selalu mengejar Monika.
Kini semua orang menatap aneh ke arah Chalista, termasuk papanya yang terlihat tak suka dengan topik pembicaraan yang malah membahas Chalista.
“Bener, Cha? Kok kamu gak pernah bilang kalau kamu punya pacar sama Mama?” tanya Mayang penasaran.
“Itu—”
Chalista hendak menjawab namun Monika menyelanya, “Mungkin gara-gara dia pacaran sebentar kali, Ma. Chalista dari dulu banyak yang suka, jadi wajar aja kalau beberapa kali didekati pria.”
“Kamu tau banyak ya tentang aku,ya Kak Mon,” jawab Chalista singkat, tapi mampu membuat ekspresi wajah Monika berubah.
Chalista ingin sekali pergi dari tempat ini sekarang juga. Jika bukan karena mamanya yang memaksa Chalista pasti sudah membuat alasan untuk tidak ikut.
“Monika, apa kamu bakal tetep kerja jadi model setelah ini?” Abimanyu, papa angkat Chalista, tiba-tiba bertanya setelah sedari tadi tak berbicara sama seperti Rafael.
Sepertinya papanya ingin mengalihkan topik karena mereka terlalu fokus pada Chalista. Wanita itu tahu, papanya tidak pernah suka dengan dirinya. Ia selalu berusaha menyingkirkannya dari pandangan semua orang.
Monika tersenyum kembali, seolah senang mendapat lampu sorot itu lagi. “Hm, kayaknya aku bakal tetap bekerja, Pa, sambil lanjut ngerintis bisnisku yang dulu aku bilang sama Papa.”
Mereka langsung memuji Monika. Sebagai wanita karier yang sukses, cantik, terkenal, dan berasal dari keluarga terpandang. Ia memang wanita idaman untuk pria matang seperti Rafael.
Sangat berbeda dengan dirinya. Perasaannya berubah campur aduk. ‘Apa yang aku harapkan dari Kak Rafael ketika dia bilang akan bertanggung jawab? Aku hanya anak angkat, dia pasti lebih memilih Monika daripadaku.’
“Oh iya, Cha,” tiba-tiba saja, Monika kembali berbicara kepada Chalista. “Nanti bantu aku pilih-pilih baju buat honeymoon, ya.”
Wajah memelas itu mungkin ampuh terhadap semua orang, tapi tidak dengan Chalista. Ia bisa merasakan kepalsuan dan kecemburuan di sana. Lagipula, mereka tidak sedekat itu untuk bisa saling memilih pakaian.
Chalista mencoba untuk tersenyum sopan, siap untuk menolak. “Maaf—”
“Chalista pasti mau,” Abimanyu menyela ucapannya sambil melihat ke arah Chalista dengan tatapan datarnya.
Chalista tahu betul apa artinya.
“Lepaskan aku, Rafael,” cicit Chalista yang persis seperti anak kucing ketika ditindih oleh tubuh besar Rafael.3 tahun lalu, tubuh Chalista cukup berisi karena dia baru habis melahirkan namun sekarang karena pekerjaannya Chalista paling menjaga bentuk tubuhnya hingga menjalani diet ketat dan berhasil menjadi selangsing ini sekarang.Sementara Rafael sudah jauh lebih matang dari sebelumnya. Chalista dapat melihat otot otot lengan dan dadanya terdesak di kemeja yang dia pakai. Sepertinya Rafael memang menyalurkan semua kemarahannya melalui olahraga.Saat di posisi intim itu, Rafael benar benar menenggelamkan seluruh tubuh mungil Chalista hingga dia hanya bisa menelan ludah susah payah. Chalista tidak ingin berdekatan dengan pria ini untuk waktu yang lama.Ini bukan hanya sulit bagi Rafael tapi bagi dirinya juga.Namun Rafael hanya menatapnya dengan ekspresi dingin, seolah tidak terganggu sedikit pun oleh perlawanan itu. Ia mencondongkan tubuhnya lebih dekat, menciptakan jarak yang hampi
Malam itu, ruang makan keluarga Marone terasa begitu mewah. Lampu kristal besar menggantung di langit-langit, memancarkan kilauan lembut di atas meja makan panjang yang diisi hidangan mahal nan menggoda. Chalista duduk di sebelah mamanya, sementara Rafael berada di sisi kanan Daddy—posisi yang cukup strategis untuk pembicaraan serius."Bagaimana perjalanan kalian dari Singapura?" tanya Tuan Marone sambil menyisip anggur merah di gelas kristalnya. Suaranya tenang, berwibawa seperti biasanya.Rafael, dengan sikap dinginnya, menoleh sekilas. "Tidak buruk. Saya selalu menikmati perjalanan udara, terutama di kelas utama."Chalista meliriknya diam-diam, mengingat percekcokan kecil di pesawat tadi. Wajah Rafael tetap tanpa ekspresi, tetapi sorot matanya mengandung sesuatu yang sulit diartikan."Ah, perjalanan udara memang melelahkan," sahut Nyonya Marone lembut. "Kau tampak lebih kurus, Sayang. Kau pasti terlalu sibuk bekerja."Chalista hanya tersenyum tipis. Rasanya aneh duduk di meja makan
Langit Singapura yang cerah terasa tak selaras dengan suasana hati Chalista pagi itu. Koper-koper besar telah disusun rapi oleh timnya di lobi hotel mewah. Gadis itu mengenakan setelan kasual berwarna cream yang membalut tubuhnya dengan sempurna, ditambah kacamata hitam besar yang menutupi separuh wajahnya. Namun, meski tampil sempurna seperti biasa, amarah tersembunyi masih mendidih dalam hatinya.“Clara, pastikan semua jadwal pemotretan dengan perusahaan Rafael ditunda.” Suara Chalista terdengar tegas, meskipun ada sedikit kelelahan di dalamnya. “Aku harus pulang sekarang. Daddy memaksa.”Clara, asistennya yang setia, mengangguk cepat sambil sibuk mengetik di ponselnya. “Kami sedang bernegosiasi, Chal. Tapi pihak Rafael—”“Biarkan saja,” potong Chalista, berjalan melewati koridor hotel menuju pintu depan. “Nanti kalau mereka keberatan, aku sendiri yang akan berurusan dengan mereka. Dan sebisa mungkin minimalisir denda yang akan mereka ajukan atau, ini memang terkesan tidak profession
Kilauan lampu blitz dari para fotografer menerangi area karpet merah. Kilapnya hampir setara dengan cahaya bintang-bintang yang berserakan di langit malam. Tapi tidak ada yang lebih mencolok dibandingkan wanita yang baru saja turun dari mobil mewah berwarna hitam mengkilap itu.Chalista Marone.Wanita itu melangkah dengan penuh percaya diri, gaunnya telah ia modifikasi dengan cerdas. Gaun berwarna terang yang tadinya tertutup rapi kini memiliki belahan tinggi hingga paha, membingkai kakinya yang jenjang dengan sempurna. Bagian atasnya sengaja dibuat terbuka namun tetap elegan, memperlihatkan bahunya yang halus dan lekuk tubuhnya yang mematikan. Kainnya berkilauan di bawah sorotan lampu, seakan Chalista adalah dewi dari dunia lain.Setiap langkahnya begitu anggun, setiap tatapan yang tertuju padanya tidak bisa berpaling. Para fotografer berebut mengambil gambarnya, blitz kamera berpijar seperti kembang api.“Nona Marone, lihat ke sini!” “Nona, senyum sedikit!” “Ya, pose itu luar biasa!
Pagi itu, di taman belakang rumah Rafael, Chalista berdiri dengan dagu terangkat, mencoba mempertahankan wajah angkuhnya meskipun di dalam hati ada gemuruh amarah. Dia menunjuk Rafael dengan jari telunjuknya, nadanya penuh ancaman.“Aku benar benar akan melaporkanmu ke polisi,” katanya tajam. “Kau tau keluargaku kan, kau tidak akan bisa lolos dari tuduhan ini.”Rafael, yang berdiri bersandar santai pada pagar taman, hanya menatapnya dengan senyum mengejek. Mata cokelatnya yang tajam memancarkan rasa percaya diri yang mengintimidasi. “Tuduhan apa, Chalista? Tuduhan yang bahkan kau sendiri tidak tahu dasarnya?”Chalista memerah, tetapi tidak menyerah. “Aku tidak tahu apa yang kau lakukan padaku semalam, tapi aku tahu kau pasti berniat buruk. Daddyku akan memastikan kau membayar untuk itu.”Rafael tertawa kecil, suaranya rendah dan penuh ejekan. “Maksudmu ayahmu? Aku tidak takut pada siapa pun di dunia ini, Chalista, termasuk ayahmu. Kau benar-benar tidak ingat apa yang terjadi semalam?”
Pagi itu, suara dering telepon memecah keheningan kamar. Chalista meringkuk di bawah selimut, mengerang pelan saat suara telepon terus berbunyi. Dengan setengah sadar, dia meraih ponsel yang tergeletak di meja samping tempat tidur.“Halo?” gumamnya dengan suara serak, matanya masih tertutup rapat. Nyawanya bahkan belum terkumpul sepenuhnya tapi dering telpon kali ini benar benar sudah mencapai batas kesabarannya.Dia ingin tidur sebentar saja apa tidak bisa?“Chalista,” suara berat yang sangat ia kenali membuat nyawanya langsung terkumpul. Papa Chalista, Tuan Macron Marone, terdengar tegas di seberang. “Honey, dua minggu lagi kamu harus kembali ke Prancis. Ada acara penting keluarga yang tidak bisa ditunda, kamu harus hadir ya. I’m missing you so much.”Chalista hanya menggumamkan jawaban singkat. “Yes, Dad. Aku pasti segera pulang setelah proyek pemotretan ini berakhir. Tapi bukankah acara dinner biasanya di bulan Agustus, Dad mau mengajakku kemana?” tanya Chalista sebenarnya dia pena