Share

2

Kinar  tidak tahu—kurang memahami—antara nikah siri dan kawin kontrak. Hanya sekadar secara garis besarnya saja. Nikah siri adalah di mana pernikahan tersebut sah secara agama namun tidak tercatat secara negara. Sedangkan kawin kontrak adalah pernikahan terikat waktu yang mana ada tenggang waktunya. Dan dari yang pernah Kinar  temui, beberapa pasangan pernah melakukan perkawinan kontrak entah atas dasar alasan apa.

Yang sedang Kinar  alami saat ini adalah buntu. Sepulangnya bertemu dengan CEO di mana buku barunya harus sudah selesai penandatangan guna segera terbit, nyatanya ngadat lantaran perilaku si pemilik.

Tidak banyak yang bisa Kinar  lakukan selain diam di pojok kamar kostnya dan merenung. Helaan napasnya memberat. Kepalanya penuh dan rasa sakit menghampiri seketika. Kedua mata Kinar  juga memberat namun enggan diajak terpejam.

“Saya akan menjamin kehidupan kamu. Kalau kamu setuju, kita tanda tangani perjanjian yang sudah saya tentukan.”

Ucapan Anan Pradipta terus terngiang di telinganya dan kepala Kinar semakin tercengkeram oleh rasa sakit. Orang kaya memang sebebas itu dalam bertindak. Terkesan arogan dan seenak jidat. Uang yang mereka miliki bisa melakukan apa saja dan membeli apa yang mereka mau. Termasuk kehidupan orang lain.

“Uang? Kamu tidak perlu khawatir. Kamu cuma perlu kawin kontrak sama saya, melayani saya dan menyambut di hari-hari tertentu buat kita ketemu. Kamu bahkan tidak perlu tinggal di kost kamu lagi.”

Bukankah sudah jelas jika selama ini Kinar diintai?

Hoih, membayangkannya saja sudah membuat Kinar  merinding. Terlebih kata 'melayani' di sini membuat otak Kinar  berjalan ke mana-mana. Kinar  nggak bodoh kok. Paham juga ke mana arahnya. Dan kalau itu benar terjadi, bukan hal mustahil untuk Kinar  melakukan tugasnya sebagai istri meskipun hanya kawin kontrak.

“Istri saya suka kamu.”

Ada binaran bahagia yang Anan pancarkan dari wajahnya kala melibatkan istrinya dan Kinar  semakin tidak mengerti dengan cara pikir kedua pasangan ini. Prik banget nggak, sih?

“Dia mau kamu jadi Adiknya dalam ikatan perkawinan.”

Asli, Kinar  masih merekam dengan jelas senyum yang Anan tunjukkan kepada dirinya. Tapi kenapa harus dirinya di antara banyaknya wanita? Kenapa harus Kinar yang biasa-biasa saja dan bukan siapa-siapa padahal istrinya bisa mencari wanita yang lebih mumpuni.

Kinar juga ingin menikah. Ingin punya kehidupan yang isinya cerita bersama pasangan. Tapi kalau konsepnya adalah kawin kontrak ... lidah Kinar  kelu. Itu bukan bagian dari tujuan hidupnya bukan juga kemauannya. Sayangnya itu kehendak Tuhan.

Sekali lagi Kinar  menghela napasnya. Bokongnya yang duduk di pinggiran ranjang mulai Kinar ajak berpindah tempat. Terlalu banyak berpikir, perut Kinar demo karena kelaparan. Sialnya lagi, tadi saat bertemu dengan Anan, Kinar tidak sempat memesan makanan mau pun memakan apa yang ada di dalam kafe.

Fokus Kinar sepenuhnya tersita pada tawaran kawin kontrak yang Anan ajukan. Dan lagi, nominal serta jaminan kehidupannya, Kinar mulai tergiur. Tapi otaknya masih waras atau lebih tepatnya tidak. Kinar  enggan menjalani hidup yang dramatis bak isi dalam novel-novel karyanya. Kinar ingin menikah dengan sah dan di jalur yang benar. Kinar juga ingin hidup dan menjadi bagian dari cerita bersama orang yang dirinya mau.

Menerima tawaran Anan sama saja dengan dirinya menjual diri tidak, sih?

Menggelengkan kepala, Kinar segera duduk di lantai kamar kostnya. Siang hari suasana lingkungan kostnya terbilang sepi. Di samping semua penghuni adalah karyawan, aktivitas lainnya selalu ramai di malam hari. Kawasan Bandung dekat alun-alun selalu ramai saat menjelang sore.

Kinar buka karet pembungkus nasi padangnya. Ini adalah sarapan dan makan siangnya, rapel. Menimang tawaran dari Anan sungguh menguras energinya. Padahal jawabannya cuma ya atau tidak yang sayangnya merugikan bagi Kinar. Maju kena, mundur kena.

Sesuap demi suap nasi yang masuk ke dalam mulut Kinar  dan berakhir di perutnya tidak mengalihkan pikirannya dari tawaran Anan. Sekarang Kinar mempertimbangkan dengan matang. Perihal untung dan ruginya serta perjalanan ke depannya.

Katakanlah Kinar serakah, namun kebutuhan untuk keberlangsungan hidupnya juga perlu dipikirkan. Jika dengan menerima Anan membuat kehidupannya lebih baik lagi, itu bukan suatu kesalahan, ‘kan?

Anggaplah Kinar hanya mujur saja diajak kawin dengan pengusaha tajir. Tidak peduli dengan penilaian orang lain. Toh kita hidup untuk diri sendiri. Walau secara global ada pandangan orang yang menilai perihal tindak-tanduk kita. Namun siapa yang tidak akan tergiur? Kinar tidak memungkiri jika ingin menggantungkan hidupnya pada Anan. Walau hanya sebagai istri siri—katakanlah begitu—pastilah ada banyak keuntungan yang akan Kinar tuai untuk masa depannya. Bisa saja karier menulis Kinar kian cemerlang. Siapa yang tahu, ‘kan tentang nasib seseorang.

Lain halnya dengan Anan yang sudah duduk nyaman di kursi kebesarannya. Beberapa potret foto yang di kirim oleh Teguh—asisten kepercayaannya menyita seluruh waktunya. Siang hari yang terik adalah suatu kondisi yang langka dialami di Bandung.

Anan menggeser satu per satu foto Kinar. Cantik, Anan mengakui itu dan manis meski sikapnya bar-bar. Senyum semili Anan terbit mengingat beberapa potongan obrolan bersama Kinar  beberapa jam yang lalu. Baru kali ini Anan harus pusing kepala dalam mengambil tindakan demi istrinya. Dan hanya Kinar  yang terang-terangan menolak tawarannya.

“Kamu bisa siapkan satu unit apartemen untuk saya?”

Teguh bengong sebentar lalu mengangguk dan mencatat keinginan atasannya di buku notes yang selalu di bawanya. Lelaki jangkung dengan tinggi 175 dan rambut hitam legamnya yang klimis adalah karyawan Anan sejak dua tahun yang lalu.

“Bapak butuh tipe atau asal mewah?”

“Mewah.”

Teguh segera mencari di laman properti kepercayaannya. Ada banyak pilihan di dalamnya yang langsung Teguh sodorkan tabletnya kepada Anan.

“Yang ini aksesnya lebih dekat untuk ke mana saja, Pak.” Sekadar usul saja dari Teguh. “Tapi—“

“Kinar … bagaimana menurut kamu?”

“Ya?” Teguh terkejut dan menggaruk lehernya salah tingkah. “Bu Ivana sangat menyukai Ibu Kinar itu berarti dia pilihan yang paling cocok untuk Bapak.”

Anan mengangguk dan mengusap dagunya.

Ivana Wijaya memang unik. Ada saat di mana Anan menyesali takdir Tuhan yang sudah mempertemukan dirinya dengan Ivana bahkan harus terikat dalam kehidupan rumah tangga. Sayangnya keinginan hati bukan manusia yang bisa mengendalikan. Saat campur tangan Tuhan sudah terjun mengambil alih, Anan bisa apa?

“Saya yang terlalu serakah atau Ivana yang kurang bersyukur?”

Teguh kikuk sendiri mendengar omongan atasannya. Ini bukan kasus baru yang sedang dialami Anan dan istrinya. Karyawan lama yang sudah bekerja di bawah naungan Anan juga tahu masalah apa yang sedang dihadapi keluarganya. Intinya Teguh tidak bisa berkata apa-apa selain menjadi pendengar yang baik.

“Saya suka yang ini.” Anan kembalikan tablet kepada Teguh setelah memberi tahu apartemen mana yang Anan mau. “Urus secepatnya.”

Teguh angguki dan hengkang dari ruangan Anan. Helaan napasnya melonggar. Ini bukan masalah Teguh tapi kepalanya ikut sakit memikirkannya.

“Berat juga hidup orang kaya itu.”

Andai Teguh adalah Ivana, maka yang akan Teguh lakukan adalah menikmati apa yang sudah dijadikan keputusan oleh suaminya. Sayangnya kesempurnaan seorang wanita bukan dinilai dari kepatuhannya semata.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status