Share

Menjadi Istri Kedua CEO
Menjadi Istri Kedua CEO
Penulis: Lavender

1

“Kamu mau nggak nikah sama saya?”

“Ya!?”

“Sorry ralat, maksudnya kawin kontrak sama saya. Kita pakai jangka waktu yang sudah saya tentukan.”

“Hah?”

“Saya butuh jawaban kamu bukan malah hah-heh saja. Jawab!”

“Gila!”

“Kamu!?”

Ini siapa yang tidak mau bereaksi seperti itu jika secara tiba-tiba diajak kawin, kontrak pula. Kinar Dewi mana pernah membayangkan hidupnya akan menemui ujian seperti ini.

CEO penerbitan di mana buku-buku karyanya dicetak, mungkin ada kesalahan di otaknya sewaktu menyettingnya. Ini pertemuan pertama keduanya dan ada adegan lamaran yang tidak romantis sama sekali. Lamaran romantis yang selalu Kinar tulis di dalam novel-novelnya faktanya tidak terjadi di kehidupan nyatanya. Yang benar saja!

“Saya serius.”

Perkataannya membuat Kinar tertegun. Maksudnya apa, sih? Kinar benar-benar tidak mengerti dengan cara pikir manusia ganteng yang ada di hadapannya saat ini.

“Saya tidak punya pilihan lain selain kamu.”

“Maksud Bapak apa, ya? Saya pilihan terakhir Bapak? Why?”

Kedua bahunya mengedik dengan wajah super datar. Tapi sorot matanya melukiskan sejuta harapan terlebih jawaban dari Kinar.

“Kita kawin kontrak sesuai persetujuan saya. Kamu hanya perlu mengikuti alurnya.”

“Tunggu!” Kinar berteriak meski tidak kencang. “Saya belum memberi jawaban untuk menerima atau pun menolak.”

“Dan saya tidak menerima penolakan!”

Tegas dan lugas. Kinar ingin mengamuk tapi ditahannya. Ini tempat umum dan lagi pula bukan gayanya untuk marah-marah di muka umum. Urat malu Kinar masih berfungsi. Tidak seperti pria yang saat ini tengah menatapnya penuh minat ini. Risih, sih tapi perasaan semakin tertantang justru bangkit tanpa bisa Kinar ketahui apa sebabnya. Sial!

“Saya berhak menerima dan menolak karena ini menyangkut kehidupan saya.” Kinar mencoba bernegosiasi. “Kenapa saya harus menerima Bapak di saat saya bahkan belum pernah bertemu dengan Bapak atau kita mengenal secara personal. Ini aneh.”

“Kita tidak perlu saling mengenal dan kamu tidak perlu khawatir soal hidup kamu. Berapa yang kamu mau?”

Wajah Kinar menunjukkan ekspresi konyol dengan alis menukik ke atas. Pria di hadapannya sungguh aneh. Dan helaan napas Kinar memberat. Perjalanan hidup yang 27 tahun dirinya jalani mendadak menjadi sebuah drama bak di film-film dan novel yang dirinya tulis. Tidak bisa Kinar jelaskan, otaknya macet persis seperti kondisi lalu lintas Kota Bandung di pagi hari.

“Kamu bisa menyebutkan berapa pun nominalnya tapi saya tidak menerima penolakan. Kamu harus menikah dengan saya, kawin kontrak lebih tepatnya.”

Ya, dan kalimat kawin kontrak terus terucap dari bibirnya yang semakin membuat Kinar geram namun tidak ada daya untuk melawannya. Benar-benar dramatis sekali hidup Kinar ini.

“Tujuan Bapak apa?” tanya Kinar pelan. Bahkan kepribadian Kinar yang terlalu mencintai uang saat di tanya berapa nominal yang dirinya mau pun seketika menguap entah ke mana.

“Nanti akan saya jelaskan. Sekarang kamu hanya perlu menerima dan menyebutkan berapa jumlah uang yang kamu mau atau ada sesuatu lain yang kamu mau? Bilang, akan saya turuti asal kamu mau menikah dengan saya.”

“Gila!”

Kedua kalinya dan kepala Kinar menggeleng disertai senyuman penuh ejekan.

“Ya saya gila dan saya tidak punya waktu untuk dibuang sia-sia seperti ini. Jadi apa jawaban kamu?”

“Tidak!” Kinar menolak dengan tegas. “Saya tidak mau menikah dengan Bapak apa lagi kawin kontrak. Setahu saya, Bapak sudah menikah—“

“Saya sudah menikah atau belum, itu bukan urusan kamu. Kamu dilarang keras melibatkan perasaan bahkan kamu dilarang jatuh cinta ke saya.”

“Wah, saya kagum dengan kepercayaan diri Bapak. Tapi maaf, saya tetap menolak. Saya di sini dan duduk di hadapan Bapak hanya sekadar bisnis. Barangkali Bapak salah atau lupa bahwa kontrak yang kita maksud adalah mengenai perjanjian kerja sama kita dan saya menerbitkan buku-buku saya di perusahaan Bapak. Bukan kontrak dalam konsep perkawinan. Permisi.”

“Jika kamu menolak saya ...” Langkah Kinar sempat limbung mendengar vokal si pemilik penerbitan. Terdengar dingin dengan kesan kehampaan. “Saya tarik kembali semua karya kamu dan kamu membayar pinalti yang sudah kita sepakati.”

“Kenapa?” Kinar diserang frustrasi. Rasa panik dan cemas bercampur jadi satu.

“Sudah saya katakan bahwa saya tidak menerima penolakan.”

“Bapak ...”

“Pradipta. Anan Pradipta.”

Kinar sudah sering mendengar nama si pemilik penerbitan namun ini adalah pertemuan pertama keduanya yang berkesan tidak manis sama sekali.

“Bapak Anan Pradipta yang terhormat, ini bukan sesuatu yang bisa Bapak kehendaki sesuka hati—“

“Kenapa tidak bisa jika perusahaan ini adalah milik saya dan saya bebas memiliki apa yang saya mau termasuk kamu.”

“Hidup saya milik saya—“

“Dan saya membeli kamu.”

Kasar sekali tidak, sih?

Kinar terbengong di tempatnya berdiri. Kedua tangannya mendadak tremor padahal ini bukan sesuatu yang rumit. Hanya butuh jawaban ya atau tidak. Dan menolak bukan sesuatu yang bagus untuk Kinar  jadikan jalan. Keberlangsungan hidupnya hanya berasal dari menulis dan saat semua kontraknya tercabut, Kinar akan kehilangan sumber penghasilannya.

Kembali duduk adalah satu-satunya cara yang Kinar lalukan. Menyeruput es kopinya yang mulai tidak dingin. Kerongkongan Kinar kering kerontang seolah dirinya sedang berdiri di padang pasir. Dan tatapan sang CEO tidak lepas barang sedetik pun. Terlalu intens dan Kinar mulai membayangkan hal-hal aneh yang akan terjadi antara dirinya dan sang CEO.

Wah, dampak terlalu lama menjomblo membuat Kinar bergairah hanya karena sebuah tatapan. Ayolah otak, tolong kerja samanya.

“Kenapa saya?” tanya Kinar entah kenapa.

“Karena saya mau.” Dan jawaban Anan Pradipta benar-benar di luar nalar. Manusia normal takkan mau memberikan jawaban yang sederhana.

“Kenapa?” ulang Kinar karena memang belum mengerti kenapa harus dirinya di saat sang CEO sudah menikah.

Apakah kehidupan rumah tangganya tidak bahagia?

Tidak mungkin!

Kinar tahu persis desas-desus yang beredar. Sang CEO terlalu mencintai istrinya dan begitu pun sebaliknya. Kalau jawaban ‘karena saya suka’ semua orang juga bisa, ‘kan?

“Kamu berisik!”

“Apa?”

“Kamu harusnya tinggal bilang ya dan semuanya selesai. Kamu tidak perlu tanya ini dan itu yang buang-buang waktu.”

“Kalau begitu, tidak seharusnya Bapak berada di sini dan membeli saya.” Kinar  menekankan dengan wajah sinis. “Saya juga bukan barang yang bisa seenaknya Bapak tawar.”

“Saya rasa itu adalah hak saya karena saya mampu. Kinar ...” panggil Anan dengan suaranya yang serak-serak basah. “Apa pun itu kamu harus mau kawin kontrak dengan saya. Saya butuh kamu.”

“Kenapa?”

“Kamu cerewet dan terlalu banyak tanya!” Anan berdecak kesal. Kaum wanita memang dari dulu selalu ribet. Tidak bisa diajak kerja sama guna memangkas waktu.

“Ini menyangkut hidup saya.”

“Dan saya menjamin kehidupan kamu. Ke depannya kamu bahkan tidak perlu khawatir soal keuangan. Segala kebutuhan kamu saya menanggungnya. Bahkan keluarga kamu juga.”

“Tunggu—“

“Saya tidak bisa menunggu lagi. Jawab ya dan semuanya akan selesai detik ini juga. Saya berjanji dan menjamin semuanya.”

Kinar diam. Otaknya kosong seakan membeku mendengar jawaban Anan. Tawaran yang Anan ajukan sungguh menggiurkan. Tidak ada wanita yang tidak terlena. Tapi untuk Kinar  yang keras kepala, menjadi sangat mandiri sudah sejak dulu dirinya lakukan. Dan menjalani kawin kontrak terlebih menjadi istri kedua bukan hal yang Kinar  bayangkan.

“Bisa tidak, sih Bapak jangan membuat hidup saya sulit? Saya sudah sangat kesulitan dalam berbagai hal bukan hanya ekonomi. Ada banyak beban dan tanggung jawab yang harus saya pikul. Dan lagi pula, Bapak konyol.”

“Bagian mana yang konyol?”

“Bapak sudah menikah, kenapa masih harus—“

“Itu bukan urusan kamu!”

“Ini hidup saya!” Kinar terengah-engah.

“Oke ini hidup kamu. Menikah dengan saya dan kamu masih bisa menikmati kehidupan kamu yang sesungguhnya.”

Ya Tuhan!

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Uijk Ani
ceritanya menarik saya suka
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status