Sepanjang hidupnya dibenci oleh ibu kandungnya sendiri atas kesalahan yang dia sendiri tidak pernah lakukan. Maudy, meski berusaha menarik perhatian orang tuanya. Tidak ada yang bisa mengembalikan rasa sayang itu seperti dulu. Ketika dirinya berusia 20 tahun. Dia dipaksa untuk menikah dengan seseorang. Rasanya tidak adil ketika dia yang ingin fokus terhadap pendidikannya harus dipaksa menikah dengan pria bernama Leon. “Pernikahan ini hanya sementara, kita akan membuat perjanjian yang tidak akan merugikanmu saat kita bercerai nanti.”
Lihat lebih banyak“Mau sampai kapan papa bakalan biarin anak itu ada di sini?”
“Cukup membahas tentang dia tinggal di sini. Maudy tetap anak kita.” “Anakmu, bukan anakku. Ingat itu baik-baik!” Perlahan Maudy membuka matanya mendengar teriakan demi teriakan yang dilontarkan oleh Ana pagi ini. Tidur larut malam, bangun di pagi hari dengan suasana hati yang selalu sama. Rumah adalah neraka bagi Maudy sepanjang hidupnya. Di usia 20 tahun, kehidupan hangat dalam keluarga seolah mustahil baginya. Tidak ada ketenangan. Tidak ada hal-hal indah di dalam hidupnya yang pernah dia rasakan. Masa kecil, mungkin terbilang suram baginya. Maudy mendaratkan kakinya ke lantai ketika turun dari ranjang. Melangkah menuju kamar mandi dan berencan untuk pergi ke rumah neneknya. Setidaknya, hari Minggu yang seharusnya dia bisa tidur dengan tenang. Teriakan Ana tidak akan pernah lepas sehari saja di telinganya. Rumah seperti neraka, tatapan penuh kebencian dari raut seorang ibu yang seharusnya memberikan cinta untuk anak perempuan mereka. Sayangnya, itu tidak didapatkan oleh Maudy. Keluar dari kamar. Dia membawa pakaian ganti dan juga akan berangkat kuliah dari rumah neneknya besok. Suasana di ruang makan seketika hening ketika Maudy turun. Tidak pernah melanjutkan pertengkaran itu di depan Maudy. Namun semuanya selalu dia dengar. Kata-kata kasar, hinaan demi hinaan yang dilontarkan kepadanya sangat penuh di kepalanya. Cacian yang dilontarkan Ana juga selalu membekas di dalam hatinya. Sesekali, dia ingin memanggil wanita itu dengan sebutan ‘mama’ tapi ternyata sulit untuk dia lontarkan. “Aku akan menginap di rumah nenek. Besok berangkat ke kampus juga dari sana. Aku menginap mungkin dua hari.” “Papa hari ini lumayan senggang. Papa akan antar kamu ke rumah nenek.” Maudy hanya mengangguk dan tidak menjawab apa pun dari papanya. Awalnya Maudy ingin tinggal bersama dengan neneknya. Namun tidak mendapatkan restu dari papanya untuk meninggalkan rumah. Setiap hari, dia harus berusaha keras untuk pura-pura tersenyum dan tidak mendengarkan pertengkaran itu. Maudy adalah anak pembawa sial bagi Ana. Bertahun-tahun, cinta seorang ibu tidak didapatkan oleh Maudy. Di dalam perjalanan menuju rumah neneknya. Maudy hanya menatap lalu lintas yang lalu lalang. “Maudy.” “Ya?” dia menoleh dengan tenaga yang dipaksa untuk melihat papanya yang sedang menyetir. Ekspresi William begitu dingin untuk kali ini. Semoga ada harapan untuk diberikan izin tinggal di rumah neneknya Maudy. “Kamu akan menikah sebentar lagi.” “Menikah?” tanya Maudy dengan raut wajah yang terkejut mendengar itu. “Ya, kamu akan menikah dengan Leon. Setelah Papa pikir panjang. Ini adalah pilihan terbaik untuk keluarga kita.” Maudy menolak untuk dijodohkan. Dia juga tidak siap untuk menikah di usia yang sekarang ini. Dia masih ingin mengejar masa depannya. “Tapi, Pa. Aku belum selesai kuliah.” “Keluarga Leon tidak permasalahkan itu Maudy. Asalkan kamu bersedia menikah. Mereka akan tetap menerima kamu.” “Pa ....” “Jangan bahas ini di depan nenek. Kamu tahu usia nenekmu bukan muda lagi. Kamu tidak boleh memberikan beban pikiran. Papa menuruti semua kemauan kamu. Jadi, untuk kali ini tolong untuk kerjasama biar kamu nggak usah bahas. Nenek selalu ingin kamu baik-baik saja.” Setelah Ana yang memberikan beban pikiran. Kali ini giliran William yang seolah tidak berpihak lagi padanya. Dari semua orang yang membencinya di dunia ini. Orang yang paling dia harapkan untuk ada di sisinya adalah papanya. Kali ini sudah tidak bisa membelanya lagi. Tiba di kediaman Jena. Keluar dari mobil, Maudy melihat sang nenek yang ada di teras bersama dengan asisten yang disiapkan oleh sang papa. Neneknya memang sudah sangat tua sekali. Bahkan selalu duduk di kursi roda. Meski kadang bisa berdiri, namun agak sedikit kesulitan untuk berjalan. Maudy langsung memeluk sang nenek. Rasanya benci sekali dengan pilihan yang diucapkan oleh sang papa tadi ketika mereka diperjalanan menuju rumah sang nenek. “Bagaimana kabar, Mama?” tanya William ke Jena. “Mama selalu baik.” “Aku mau pulang, Ma. Aku ada janji dengan Ana.” William benar-benar pulang meninggalkan kediamannya Jena. Kali ini giliran Maudy bersama dengan neneknya di teras. Meminta tolong kepada asisten untuk membawakan tasnya. Sementara di mendorong kursi roda sang nenek untuk masuk. “Bagaimana kuliahmu, Maudy?” Pertanyaan itu seolah sedang memberikan isyarat agar Maudy cerita bagaimana perlakuan orang tuanya terhadap dirinya selama ini. Teruatma ketika mendengar bahwa dirinya akan menikah. Usia di mana dia seharusnya produktif. Dipaksa menikah oleh keluarganya. Terutama papanya yang menginginkan pernikahan. Terdengar sangat aneh sekali kalau semisal dirinya benar-benar menikah di usia muda seperti ini. “Kuliahku berjalan seperti biasa. Tidak ada yang spesial.” “Kamu harus punya banyak teman, Maudy. Usiamu sekarang sudah 20 tahun. Setidaknya kamu harus punya banyak koneksi. Itu akan bermanfaat suatu saat nanti untuk mengembangkan bisnis ketika kamu ingin membangun bisnis sendiri.” Maudy duduk di sofa dan bersandar dengan santai. “Aku justru kepikiran untuk menikah muda.” “Jangan ngawur. Nenek nggak bakalan biarin kamu untuk menikah muda.” “Bagaimana kalau aku punya calon?” Tatapan neneknya curiga, tidak ingin mengatakan secara langsung kalau sebenarnya dia dijodohkan oleh papanya tentang ini. Namun, papanya berpesan agar dia tidak cerita apa pun ke neneknya tentang perjodohan itu. “Tergantung dia mencintai kamu atau tidak.” Ini adalah hal paling parah kalau nanti terjadi sesuatu. Pasti Maudy akan ditanya jodohnya mencintai dia atau tidak. Padahal, yang merencanakan pernikahan adalah William sendiri. Menghela napas panjang lalu kemudian dirinya dihidangkan minuman dan makanan oleh asisten rumah tangga neneknya. “Nenek tidak tahu apa yang bikin kamu pengen nikah muda?” “Nggak ada. Cuman pengen nikah aja.” Sementara dia masih memikirkan cara untuk menggagalkan itu. Tapi, dia juga ingin keluar dari neraka yang selama ini sudah menjadi tempat tinggalnya. Siksaan demi siksaan telah dia dapatkan. Bukan hanya luka fisik, batinnya juga sudah tidak bisa diselamatkan lagi bagaimana dirinya terluka sejak kecil. Tidak ada orang tua yang membenci anaknya. Tapi berbeda halnya dengan orang tuanya Maudy, justru sejak kecil dirinya telah dibenci. Berbeda halnya dengan sang kakak yang selalu dibanggakan apa saja yang dilakukan oleh kakaknya itu. Sedari kecil, dia tidak pernah mendapatkan pujian dari Ana. Anak laki-laki yang di keluarga mereka, meski kadang kelakuannya merugikan. Pasti akan tetap dibela oleh kedua orang tuanya. “Aku menginap di sini dua hari, Nek.” “Kamu jangan terlalu sering keluyuran. Nggak baik kalau nginap terus di sini. Orang tua kamu pasti juga pengen ada waktu bareng sama kamu.” Tidak, neneknya tidak pernah tahu bagaimana Maudy dibenci dari kecil oleh Ana. Semua yang diperlihatkan oleh Ana di depan Jena adalah kepalsuan. Kalimat yang paling melukai Maudy keluar dari mulutnya Ana yang menyebut bahwa “Maudy adalah pemb*n*h.”“Apa yang kamu inginkan dari hadiah perpisahan kita suatu saat nanti, Maudy?” Pertanyaan itu terlontar dari mulutnya Leon beberapa hari lalu. Hari ini, mereka berdua telah berdiri di sini sebagai sepasang suami istri yang sedang melangsungkan pernikahan. Hari di mana dia resmi menjadi istri untuk sementara waktu. Bersanding dengan pria yang mungkin terdengar asing sekali di telinganya. Pernikahan yang begitu singkat sekali persiapannya. Namun mampu membuat Maudy yakin kalau dia bisa merasa jauh lebih tenang ketika berhadapan langsung dengan Leon. Membahas tentang hadiah yang diinginkan Maudy. Waktu itu dia telah memikirkan bahwa dia menginginkan rumah sebagai hadiah dari perpisahan mereka. Maudy mungkin sudah bisa mandiri ketika diceraikan oleh suaminya nanti. Memang waktunya tidak ditentukan, namun pastinya tidak akan berjalan dengan singkat. Leon yang memiliki kehidupan super sibuk untuk sekarang. Mungkin juga Maudy bisa memaklumi itu. Tidak kalah dengan dirinya yang sibuk kulia
“Pernikahan kita tinggal menghitung hari.” “Lalu?” Leon melepaskan sabuk pengaman ketika mereka tiba di rumah yang akan mereka tempati. “Di pernikahan nanti. Setidaknya kita berciuman.” “Berciuman?” tanya Maudy dengan panik. “Ya, tentu saja itu akan terjadi. Tidak mungkin kita menikah lalu setelah itu selesai begitu saja. Orang tuaku dan orang tuamu tidak akan percaya dengan pernikahan kita. Mereka akan curiga tentang rencana kita di belakang.” “Kita sudah sepakat kalau kita tidak ada kontak fisik.” Leon menggeleng. “Tidak. Kita hanya sepakat tidak seranjang. Bukan berarti tidak ada kontak fisik seperti ciuman. Ini hanya terjadi saat di pesta pernikahan saja, Maudy.” Maudy tidak dipaksa untuk membahas tentang itu. Juga tidak melanjutkan obrolan tentang ciuman. Mereka turun dari mobilnya Leon. Rumah Leon jauh lebih besar dibandingkan dengan rumah orang tuanya Maudy. “Apakah orang tuamu juga di sini?” “Tentu saja tidak. Ini rumah untuk kita berdua. Orang tuaku tidak tinggal di
“Bareng?” tanya Vanesa ketika mereka keluar dari kelas di saat sudah waktunya untuk jam pulang. Maudy menerima pesan. Dia membuka ponselnya dan melihat ada chat dari nomor baru. “Aku Leon. Di luar kampusmu sudah ada anak buahku yang menjemputmu.” Disusul oleh chat baru yang berisikan foto anak buahnya dan juga mobil yang digunakan. Dia menoleh ke arah Vanesa. “Aku pulang duluan, ya.” Entah bagaimana ceritanya pria itu langsung mengirimkan anak buah begitu saja tanpa persetujuan dari Maudy sendiri. Padahal dia juga belum sempat untuk memberitahu bahwa dia bisa pulang sendiri atau dijemput oleh anak buah papanya. Saat dia keluar, benar saja kalau ada tiga pria yang berdiri di luar mobil sembari mengobrol. Maudy langsung mendekat dan memberikan bukti chat dari Leon barusan. Dia dibukakan pintu mobil dan langsung masuk. “Aku akan di bawa ke mana?” tanya Maudy ketika mobil sudah melaju. “Kita akan pergi ke kantor pak Leon.” Tidak lama setelah anak buahnya Leon memberitahukan. Tem
“Atas nama Bapak William?” Seorang pelayan wanita menghampiri mereka ketika baru saja masuk ke dalam restoran. “Benar.” Senyuman diberikan oleh wanita itu. “Mari ikuti saya!” Mereka dipandu oleh pelayan itu ke salah satu ruangan eksklusif di restoran tempat janji temu itu dilakukan. Setelah tiba di ruangan yang dimaksudkan. Mereka bertiga masuk ke dalam ruangan itu. Kakaknya Maudy tidak ikut. Hanya pertemuan yang melibatkan anak yang akan dijodohkan dan orang tua saja. Sosok pria yang berdiri di ujung sana sambil menelepon. Kemudian pria itu menutup teleponnya. Begitu berbalik, Maudy melihat raut wajah yang begitu dingin ketika mata mereka bertemu. Dia yakin, kalau pria itu adalah Leon. Orang yang dimaksud oleh William. “Leon, lihat calon istrimu. Dia cantik sekali,” ujar seorang pria yang dia yakini akan menjadi calon mertuanya nanti. Pria itu mempersilakan mereka bertiga untuk duduk. Beberapa menit kemudian hidangan makan malam mereka pun akhirnya tiba. Maudy yang tadinya mer
“Sorry, aku telat,” Maudy menoleh ketika melihat temannya datang terlambat ketika mereka sudah janjian untuk bertemu. Maudy tidak mempermasalahkan temannya yang datang terlambat. Dia hanya merasa takut sendirian kalau semisal dirinya sendirian di kafe. Vanesa datang meski terlambat. Duduk di depan Maudy kemudian memberikan kode untuk Maudy. “Lihat belakang! Itu orang yang mau aku kenalin ke kamu. Dia yang punya kafe ini.” Matanya Maudy melotot mendengar perkataan Vanesa. Sementara dia telah memiliki calon suami yang sebentar lagi pasti akan dikenalkan oleh orang tuanya. Sebentar lagi dia akan menikah dan menjadi istri orang yang tidak dikenal sebelumnya. “Please, Vanesa! Ini bencana baru buat aku kalau sampai kamu kenalin aku laki-laki lain. Aku sudah punya calon suami.” “Hah?” mata Vanesa melotot mendengar pernyataan yang keluar dari mulutnya Maudy. Meski sebenarnya dia masih ragu soal itu. Namun, perlahan juga akan memberikan penjelasan pada Vanesa. Maudy memberikan anggukkan s
“Mau sampai kapan papa bakalan biarin anak itu ada di sini?” “Cukup membahas tentang dia tinggal di sini. Maudy tetap anak kita.” “Anakmu, bukan anakku. Ingat itu baik-baik!” Perlahan Maudy membuka matanya mendengar teriakan demi teriakan yang dilontarkan oleh Ana pagi ini.Tidur larut malam, bangun di pagi hari dengan suasana hati yang selalu sama. Rumah adalah neraka bagi Maudy sepanjang hidupnya. Di usia 20 tahun, kehidupan hangat dalam keluarga seolah mustahil baginya. Tidak ada ketenangan. Tidak ada hal-hal indah di dalam hidupnya yang pernah dia rasakan. Masa kecil, mungkin terbilang suram baginya. Maudy mendaratkan kakinya ke lantai ketika turun dari ranjang. Melangkah menuju kamar mandi dan berencan untuk pergi ke rumah neneknya. Setidaknya, hari Minggu yang seharusnya dia bisa tidur dengan tenang. Teriakan Ana tidak akan pernah lepas sehari saja di telinganya. Rumah seperti neraka, tatapan penuh kebencian dari raut seorang ibu yang seharusnya memberikan cinta untuk ana
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen