Bab5
"Bukan inginku seperti ini, tapi semua kemauan Ibu, kumohon kamu mengerti, El," pinta suamiku.
Aku tidak mau menyahut sama sekali, dasar aku yang lemah, sehingga menerima rasa sakit pernikahan ini begitu saja.
"Lagi pula, jika kamu tidak mandul, semua tidak akan terjadi seperti ini," ucap suamiku dengan lantang.
Oh Allah, dia sungguh tidak tahu apa- apa, sehingga dengan santainya dia berkata.
"Menikahlah, Mas, jika memang itu keputusanmu."
"Ini bukan tentang keputusanku, tapi tentang masa depan kita. Aku ingin memiliki keluarga yang lengkap, dan pernikahan tanpa anak, ini bukan keluarga lengkap."
Aku menghentikan isak tangisku, kemudian aku bangkit dan duduk menghadap mas Andre.
"Benarkah pernikahan tanpa anak itu bukan keluarga lengkap?" tanyaku dengan suara serak.
"Iya, maaf jika aku membuatmu tersinggung. Aku hanya ingin kamu mengerti," katanya lagi meyakinkanku.
"Beri aku waktu satu bulan untuk menerima semua ini. Setelah itu, keputusan ada di tangan Mas," pintaku memohon dan mas Andre menyetujuinya.
"Mas akan katakan ini pada Ibu," katanya, sembari tersenyum padaku.
Aku memilih diam dan membiarkan diri untuk tenang.
Siapa yang mau hidup miskin dan tersingkir begitu saja? Mereka anggap apa aku ini? Mesin pencetak anak yang gagal? Lalu, apakah pantas dibuang kembali ke jalanan seperti itu?
Tidak!! Tidak semudah itu! Aku akan bertahan di rumah ini. Diri ini sudah kenyang melewati hidup miskin. Sekarang, saatnya jadi nyonya. Mencintai suami dengan tulus dan berbakti dengan baik, malah harus tersingkir karena masalah keturunan! Aku salah dan bodoh dulu. Namun, aku kini sadar.
Mereka tidak tahu rahasia yang kupendam selama ini. Akan kutunjukkan pada mereka karma yang harus mereka tuai karena sudah menaburkan rasa pedih di hati ini.
Saat itu, aku dan Mas Andre sedang ke dokter kandungan untuk pemeriksaan kesuburan. Namun, entah mengapa, aku merasa harus menemui Dokter terlebih dahulu saat Mas Andre ke Minimarket.
"Dok, bagaimana hasilnya?"
"Begini, Ibu Eleanor Saraswati dinyatakan sehat-sehat saja semuanya, sedangkan Pak Andre, kemungkinan bermasalah." Lalu Dokter tersebut berhati- hati saat menyodorkan hasil tes nya. Dia menjelaskan dengan detail serta kemungkinan untuk memiliki keturunan sangatlah kecil.
Aku menghela napas pelan, lalu meminta Dokter menukar hasil tes tersebut, meskipun awalnya dokter itu keberatan, aku memohon padanya. Ah, bodohnya aku!
Saat itu, aku tidak ingin Mas Andre sakit hati dan merasa malu dengan kondisinya. Bagaimanapun juga, aku sangat menyayanginya.Namun kenyataannya ... malah akulah yang menjadi korban atas kebohongan yang kuciptakan.
"El," panggil Mas Andre, membuyarkan lamunanku.
"Apa?" tanyaku.
"Jangan terlalu dekat sama Ayah!" pintanya, aku mengernyit.
"Kenapa, ada yang salah?"
"Aku tidak mau, kamu terlalu dekat. Ibu pasti tidak senang," katanya lagi.
Tiba- tiba, pikiran jahat kembali menawarkan sesuatu padaku.
"Sebagai sesama wanita, kurasa kamu paham maksudku."
"Ibu cemburu? Aku ini menantunya, bagaimana bisa dia cemburu padaku? Sedangkan kamu, dia dekatkan sama wanita lain, Mas. Apakah Ibu nggak mikir, bahwa aku juga bisa cemburu?"
Mas Andre lalu menghela napas. "Sudahlah, aku malas berdebat. Yang jelas, sebagai istri kamu harus menurut ucapanku. Jaga harga dirimu."
Aku melongo mendengar ucapannya. Apakah dia benar-benar berubah?
Bab6 "Mas, jika kamu yang mandul bagaimana?" tanyaku. Mas Andre menghela napas dan terlihat begitu malas berbincang denganku. "Apa'an sih, El. Sudahlah, faktanya sekarang kamu yang mandul. Mas terima kamu apa adanya," tegas mas Andre sembari mendengkus kemudian berdiri. "Mas." Aku memegang tangannya, agar dia tidak pergi begitu saja. "Apa?" Wajah mas Andre terlihat begitu malas menatapku. "Bagaimana jika kamu yang mandul, aku serius, Mas ...." "Aku?" Mas Andre tertawa, seolah meremehkanku. "El, sudahlah, nggak usah bahas hal ini lagi. Lagi pula jika aku mandul, Ibu pasti tetap akan menikahkan aku lagi." "Kenapa?" "Karena faktanya memang kamu yang mandul, dan tentang pertanyaan jika aku yang mandul, itu hanya omong kosong," tegas mas Andre, sembari melepaskan pegangan tanganku dan menjauh meninggalkan kamar. Beginilah dahsyatnya efek dari sebuah kebohongan, aku nyaris tersingkir. Aku menyesal rasanya. Tapi setidaknya aku tahu, rupanya tidak ada ketulusan dalam pernikahan kam
Bab7Entah mengapa, Ayah tiba- tiba kembali ke rumah lagi dan membuat Ibu semakin murka padaku.Bahkan, Ibu tidak keluar kamar sama sekali, hingga menjelang sore, Ayah dan mas Andre pulang kerja."Ibu mana El?" tanya Ayah ketika aku yang bukain pintu untuk mereka.Aku menyalami keduanya. "Ibu mengurung diri, Yah. Nggak mau keluar," sahutku."Memangnya Ibu kenapa, El?" tanya Mas Andre, yang memang tidak tahu apa- apa."Ada selisih paham sama Ayah," sahut ayah mertua.Mas Andre menatap dingin ke arahku. Kemudian tanpa bersuara, dia masuk ke dalam kamar.Aku menyusulnya, ketika Ayah menaiki anak tangga.Ketika mas Andre memasuki kamar mandi, ponselnya yang terletak di atas nakas terus bergetar. Aku melirik dan menemukan nama Delia terus melakukan panggilan telepon.Aku meraih benda pipih itu, dan menolak panggilan dari wanita itu. Dengan tangan gemetar, aku membuka ponsel mas Andre.Tujuanku langsung ke pesan W******. Lalu, nama Delia menjadi urutan atas dari W**** mas Andre. Dadaku be
Bab8Mas Andre berdehem. "Ehem, Ayah. Andre yakin, tidak mungkin itu terjadi."Ucapan mas Andre seakan meremehkanku.Kening Ayah mengernyit, nampaknya dia enggan menghentikan obrolan yang tidak nyaman ini."Kamu yakin, Ndre?" Ayah nampak memastikan."Yakinlah, Yah. Lagi pula, maaf. El ini terlalu biasa."Maksudnya apa? Aku melebarkan mata, menatap mas Andre tak percaya, bisa berkata seperti itu."Hidupnya di habiskan dengan memasak, mencuci dan mengurus Andre. Bau badannya, khas bau bawang dan bumbu dapur lainnya. Dan pakaiannya, seperti emak- emak anak 1," kekehnya membaca kekuranganku.Ayah tersenyum menanggapinya. "Setiap wanita itu cantik, jika dia berada di tangan yang tepat, contohnya Ibu kamu," sahut Ayah.Menarik, ini obrolan mereka semakin menarik.Biarlah aku layaknya patung tidak bertelinga, tidak bersuara, dan anggaplah aku setan, antara ada dan tiada.Mendengar Ayah mencontohkan Ibunya, mas Andre nampak tidak senang pada ayahnya itu."Ibu cantik dari dulu, jauh sebelum Ay
Menjadi Istri Kedua Mantan MertuaBab9"Apa maksud Ayah? Ayah mau anak kita selamanya tidak punya keturunan?" Ayah mendengkus. "Semua pasti karena pengaruh wanita ini. Itu makanya, Ibu tidak senang Ayah dekat sama dia," tunjuk Ibu kepadaku.Entah mengapa, apapun yang aku lakukan, maupun yang tidak aku lakukan, selalu salah saja di mata Ibu Delima."Jangan suka menyalahkan orang lain, seharusnya Andre bersukur memiliki Istri sebaik Elea. Selain ramah, Elea bahkan tidak pernah melawan Ibu."Ibu mendengkus, membuatku semakin tidak nyaman karena pembelaan Ayah."Ayah sudahlah, ini rumah tangga Andre, Andre bisa mengatasinya sendiri," timpal mas Andre menenangahi. Sedangkan aku? Masih saja diam membisu, menampung semua rasa sakit yang mereka ciptakan di hati ini."Kalau kamu merasa dewasa, bangunlah rumah tangga yang sehat. Rumah tangga yang sehat itu, tidak saling menyakiti. Jika saling menyakiti, itu bukan lagi rumah tangga, tapi tepatnya rumah duka. Tugas lelaki beristri, itu membahag
Bab10Langkahku urung menuju ke belakang rumah. Aku putuskan untuk ke ruang keluarga saja. Ingin sekali hati mengetuk pintu kamar Bibi dan bertanya. Mengapa tangisnya begitu terdengar pilu? Tapi hatiku saja sedang tidak baik. Aku tidak ingin bertanding nasib padanya saat ini. Biarlah kuputuskan untuk pergi dan seolah tidak tahu apa- apa.Bukan tidak perduli, tapi lebih kepada memberi waktu, untuk Bibi meluapkan perasaannya dengan menangis.Di ruang keluarga, kubiarkan diri di selimuti kegelapan. Tidak ada niat di hati untuk ke kamar, langkah ini terasa berat, untuk tidur di samping mas Andre.Terlalu dalam, diri ini dihina, diremehkan dan tidak di perdulikan olehnya."Allah, aku tidak meminta banyak hal dalam hidup, hanya memohon kuatkan diri ini." Ingin sekali rasanya aku menangis kencang, membiarkan segala rasa sakit dalam hati menguap keluar. Tapi itu tidak mungkin kulakukan, hingga hanya bisa terisak pelan, menikmati rasa sakit yang kuciptakan sendiri, karena diri begitu bodoh
Bab11Langkahku tergesa, menuju ke kamar kami, agrrhhh, berani sekali dia.Sesampainya aku di depan pintu kamar kami yang terbuka, terlihat sosok wanita itu, berdiri di depan meja rias milikku."Ngapain kamu di kamar kami? Lancang sekali," ucapku, mengejutkan wanita itu.Aku memandangnya dari atas hingga bawah. Delia mengenakan celana leging hitam ketat, juga bra sport, dan jaket yang tidak dia kancing.Sepertinya dia ingin mengajak suamiku jogging."Aku ingin membangunkan calon suamiku," sahutnya santai, sembari berjalan, menuju ke arah kasur, tempat mas Andre masih terlelap."Keluar!" bentakku. "Dasar wanita tidak tahu malu," lanjutku tersulut emosi.Wanita itu bukannya keluar, malah tersenyum menyeringai, seolah sedang mengejekku."Mas," ucapnya sembari berniat duduk di kasur, samping suamiku terlelap.Dengan cepat, aku menarik lengannya dengan kasar dan mendorong wanita itu hingga terjatuh."Keluar! Dasar tidak tahu malu," teriakku lagi dengan keras, membuat mas Andre terbangun da
Bab12"Dasar lebay," ejek Ibu lagi."Kamu, bisa nggak sih menciptakan rumah ini sedikit saja ketenangan? Selalu saja membuat masalah sama El, heran." Ibu tercengang mendengar ucapan Ayah. "Wanita mandul ini yang mulai, pagi- pagi sudah bertengkar sama Delia, sampai berani mendorong Delia dengan kasar," jelas Ibu, tidak mau Ayah membelaku.Aku semakin terisak dengan sengaja. "Ayah maafkan aku. Aku hanya tidak senang, Delia begitu lancang memasuki kamar kami tanpa izin. Biar bagaimana pun juga, kamar adalah privasi, yang tidak boleh sembarang orang memasukinya," jawabku lemah tanpa daya.Ayah nampak menatap Delia."Hey, dia bukan orang sembarangan! Delia calon istri Andre, menantu di rumah ini," bela Ibu Delima dengan suara keras padaku."Del, pulang!" titah Ayah, membuat Ibu kembali terkejut, begitu juga dengan Delia dan mas Andre."Sebagai perempuan baik- baik, seharusnya kamu tahu batasan dan adab dalam bertamu ke rumah orang," lanjut Ayah nampak kesal. Mampus kau Delia."Belain sa
Bab13"Ibu, ada apa?" Terdengar suara teriakkan mas Andre. Aku bangkit dari dudukku dan berjalan cepat ke ruang utama yang menghubungkan tangga menuju kamar Ibu.Aku melihat ke lantai 2, terlihat mas Andre sedang berdiri di depan pintu kamar orang tuanya. Kemudian pintu kamar terbuka, muncul sosok Ibu yang begitu sangat emosi."Kamu ceraikan dia sekarang juga! Atau Ibu akan coret nama kamu dari kartu keluarga!" ancam Ibu kepada mas Andre.Aku masih terdiam, kemudian terdengar langkah kaki, mendekat ke arahku. Aku menoleh, terlihat Ayah dengan santai berjalan."Wanita mandul itu hanya benalu bagi keluarga ini, ceraikan dia," tegas suara Ibu. "El," sapa Ayah. Aku menoleh ke arahnya dengan mata berkaca- kaca."Iya, Yah."Kami berdua berdiri di depan tangga. "Kamu yakin tetap bertahan?" tanya Ayah, dengan lekat menatapku.Entah mengapa, Ayah begitu peduli padaku. "Apapun keputusan mas Andre, kali ini El akan ikuti," jawabku."Termasuk bercerai?" "Ya." Aku mengangguk pelan.Kemudian te