Share

5. Dugaanku Benar

Mita POV

Setelah menyelesaikan semua pekerjaan, kami mengganti seragam kembali dengan baju yang kami kenakan saat tiba di gedung. Reza menawarkan diri mengantarku pulang.

"Ayo aku antar," ajak Reza saat dia mengendarai motornya melewatiku di depan gedung.

Tanpa pikir panjang aku mengiyakan. Hemat biaya tentunya.

Suasana jalan raya tidak terlalu macet sehingga sepuluh menit saja kami tiba di rumah sakit.

"Gak mampir ?" tawarku pada Reza yang kulihat mulai menghidupkan motornya kembali.

"Lain kali saja, salam buat anakmu. Semoga dia cepat sembuh, " ucap Reza dengan tulus.

"Terima kasih," aku melambaikan tangan padanya.

Pandanganku mengikuti berlalunya Reza sampai menghilang di tikungan jalan. Aku bergegas masuk menuju ruang perawatan kelas dua. Pekerjaaan hari ini sangat ringan sehingga aku tidak kelelahan.

Aku berpapasan dengan beberapa perawat yang tersenyum ramah melihatku. Rumah Sakit Umum ini cukup bersih dan para tenaga medisnya sangat ramah dan sopan.

Setelah melewati beberapa ruangan tibalah aku di ruangan dimana anakku di rawat. Rupanya dua pasien di sebelah ranjang anakku sudah keluar, dan tinggallah anakku sendiri bersama ibuku.

"Assalamu 'alaikum," ucapku saat memasuki ruangan.

"Waalaikum salam."

Terdengar jawaban salam dari ibu dan anakku.

"Duh anak mama, sudah makan belum?" tanyaku saat menghampirinya dan mengecup keningnya sesaat.

"Sudah," jawab Tisa pelan.

Aku bahagia melihat wajah anakku yang sudah kembali normal. Aku duduk di samping ibuku di lantai, dan pandangan mataku tak lepas dari wajah Tisa.

Tisa terlihat mulai menguap, aku berdiri dan mengusap-usap kepalanya.

"Kalau Tisa ngantuk, tidurlah. Mama akan menemanimu."

Tak berapa lama Tisa tertidur, aku menarik nafas lega. Lalu duduk kembali disamping ibu.

"Apa kata dokter bu?" tanyaku.

"Kita diminta untuk menyiapkan pendonor tetap, untuk transfusi darah harus dilakukan minimal dua sampai empat minggu sekali."

Aku sedikit tercekat mendengar penuturan ibuku. Penyakit Thalasemia ini sebenarnya penyakit apa ? aku sedikit bingung.

"Bu, apa dalam keluarga kita ada yang menderita penyakit Thalasemia?" tanyaku sambil menatap wajah ibuku.

Ibuku menggelengkan kepalanya, "Ibu sudah bercerita dengan dokter tentang penyakit ini, dari ciri-cirinya sepertinya dari garis keturunan kita tidak pernah mengalami sakit seperti ini."

Aku terdiam, jika bukan dari garis keturunan kami, berarti dari ayahnya. Jika itu benar lalu untuk apa mencari tahu hal itu. Aku bahkan tak mengenal kedua orang tuanya dengan jelas. Saat kami menikah yang hadir hanyalah kakek dan neneknya. Yang aku tahu kedua orang tuanya menentang pernikahan kami.

"Berarti kita harus meminta bantuan kepala desa untuk meminta beberapa warga yang sukarela menjadi pendonor tetap," ujarku.

"Tadi kepala desa datang membesuk, dan kami sudah membicarakannya. Jangan khawatir, kau sekarang fokuslah pada pekerjaanmu."

Ucapan ibuku menenangkan hatiku yang sedang gundah. Aku akan bertanya pada dokter kira-kira sampai kapan anakku tergantung dengan transfusi darah.

Aku membaringkan tubuh lelahku di samping ibu, tidur beralaskan tikar seadanya. Entah sampai kapan kami harus menjalani kehidupan sulit seperfi ini. Bau desinfektan dan obat-obatan seakan membiusku. Aku mulai mengantuk.

Dulu saat pertama kali aku menikah dengan ayah Tisa, hidup kami terasa bahagia. Walau hanya tinggal di rumah sederhana namun tak membuat kami mengeluh.

Azhar adalah suami yang sangat penyayang, bahkan disaat orang tuanya menolakku, dia terus-terusan membelaku. Aku ingat ketika diajak ke rumah mertua, dia menunjukkan pembelaannya.

"Mama, aku mencintai Mita. Tolong restui kami," pinta Azhar kala itu.

Mertuaku malah membuang muka dan tak pernah sekalipun menganggapku ada. Akhirnya Azhar tak tega melihatku diperlakukan buruk, dia mengajakku untuk kembali tinggal di desa. Setiap hari dia selalu ke kota untuk bekerja dan pulang pada malam hari. Sampai aku tak tega melihatnya kelelahan pulang pergi, aku menyuruhnya untuk tinggal saja di kota dan pulang ke desa sabtu minggu saja.

Awalnya dia menolak namun karena desakanku akhirnya dia menerimanya. Kami sangat bahagia apalagi ketika dia tahu aku hamil, dia semakin menyayangiku.

Sampai tibalah kandunganku memasuki usia tujuh bulan, tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba dia menghilang. Selama sebulan aku masih memakluminya, mungkin pekerjaannya menumpuk sehingga tak kembali ke desa. Namun saat aku hendak melahirkan, sejak itu pula kuputuskan untuk melupakannya selamanya. Dan tepat anakku berusia lima bulan duniaku seakan berputar. Aku resmi bercerai dari suamiku tanpa melihat wajahnya seperti apa setelah berpisah selama delapan bulan lamanya.

Sejak itu, aku berjuang untuk menghidupi anakku seorang diri. Berbagai lamaran datang dari para pemuda yang bersedia menjadi ayah sambung Tisa, namun semua kutolak mentah-mentah.

Mengingat masa lalu hanya membuatku semakin sakit, sebaiknya aku tidur dan melupakan segalanya.

Pagi hari seperti biasa aku ke kantor menggunakan gojek. Aku tiba tepat waktu dimana Faijah dan Reza baru saja memasuki ruangan untuk mengganti pakaian seragam.

"Jangan lupa, kau cukup bekerja di dalam ruangan," ucapan Faijah mengingatkanku akan tugas yang diberikan nyonya Alisha.

Aku mengangguk dan tersenyum, "Jangan khawatir," kukedipkan sebelah mataku pada Faijah dan Reza yang sudah terlihat rapi dengan seragamnya.

Setelah memakai seragam, aku mengambil alat pembersih lantai dan memulai pekerjaanku dari ruang personalia. Aku hanya akan membersihkan dua ruangan, dan ini terasa ringan. Karena aku tak mungkin membersihkan ruangan saat para karyawan sudah tiba kecuali jika mereka sendiri yang memanggilku untuk membersihkan ruangannya.

Kini aku pindah ke ruangan umum yang berseberangan dengan lift khusus pimpinan. Dinding ruangan terbuat dari kaca sehingga siapa saja yang lewat akan kelihatan dari dalam ruangan.

Aku mempercepat tugasku karena karyawan sudah mulai terlihat berdatangan. Saat aku membersihkan dinding kaca tak sengaja mataku menangkap bayangan seorang pria yang tak asing lagi bagiku. Pria itu berjalan didampingi seorang pria lain yang tak ku kenal. Aku adalah pekerja baru sehingga aku tak mengenal semua karyawan di gedung ini.

Pria itu mirip ayah Tisa, dia menggunakan setelan jas mahal, tangannya menenteng sebuah tas tangan berwarna hitam. Sesekali dia bercakap-cakap dengan pria di sebelahnya. Pria itu terlihat sangat patuh.

Keningku mengernyit, apakah itu Azhar ? Lima tahun lamanya tak bertemu bukan berarti aku tak bisa lagi mengenali wajahnya. Atau jangan-jangan hanya kebetulan mirip.

Kulihat Faijah di ujung sana sedang menatap kedua laki-laki yang berhenti di lift pimpinan itu dengan tak berkedip. Aku segera menyelesaikan pekerjaanku dan akan bertanya pada Faijah, siapa kedua laki-laki itu.

Setelah yakin ruangannya bersih, aku segera membawa pembersih lantai dan masuk ke ruang khusus cleaning service. Aku duduk dengan gugup menunggu Faijah menyelesaikan pekerjaannya. Melihat tatapan Faijah seperti tadi membuatku yakin jika dia mengenali pria itu. Aku duduk dengan gelisah, sesekali mataku menatap lurus ke arah pintu.

Dan ternyata dugaanku benar, saat apel sore itu aku benar-benar melihat pria yang pernah mengisi hari-hariku ternyata adalah bosku sendiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status