Share

5. Dugaanku Benar

Author: Twin_Bolo
last update Last Updated: 2022-09-10 10:57:02

Mita POV

Setelah menyelesaikan semua pekerjaan, kami mengganti seragam kembali dengan baju yang kami kenakan saat tiba di gedung. Reza menawarkan diri mengantarku pulang.

"Ayo aku antar," ajak Reza saat dia mengendarai motornya melewatiku di depan gedung.

Tanpa pikir panjang aku mengiyakan. Hemat biaya tentunya.

Suasana jalan raya tidak terlalu macet sehingga sepuluh menit saja kami tiba di rumah sakit.

"Gak mampir ?" tawarku pada Reza yang kulihat mulai menghidupkan motornya kembali.

"Lain kali saja, salam buat anakmu. Semoga dia cepat sembuh, " ucap Reza dengan tulus.

"Terima kasih," aku melambaikan tangan padanya.

Pandanganku mengikuti berlalunya Reza sampai menghilang di tikungan jalan. Aku bergegas masuk menuju ruang perawatan kelas dua. Pekerjaaan hari ini sangat ringan sehingga aku tidak kelelahan.

Aku berpapasan dengan beberapa perawat yang tersenyum ramah melihatku. Rumah Sakit Umum ini cukup bersih dan para tenaga medisnya sangat ramah dan sopan.

Setelah melewati beberapa ruangan tibalah aku di ruangan dimana anakku di rawat. Rupanya dua pasien di sebelah ranjang anakku sudah keluar, dan tinggallah anakku sendiri bersama ibuku.

"Assalamu 'alaikum," ucapku saat memasuki ruangan.

"Waalaikum salam."

Terdengar jawaban salam dari ibu dan anakku.

"Duh anak mama, sudah makan belum?" tanyaku saat menghampirinya dan mengecup keningnya sesaat.

"Sudah," jawab Tisa pelan.

Aku bahagia melihat wajah anakku yang sudah kembali normal. Aku duduk di samping ibuku di lantai, dan pandangan mataku tak lepas dari wajah Tisa.

Tisa terlihat mulai menguap, aku berdiri dan mengusap-usap kepalanya.

"Kalau Tisa ngantuk, tidurlah. Mama akan menemanimu."

Tak berapa lama Tisa tertidur, aku menarik nafas lega. Lalu duduk kembali disamping ibu.

"Apa kata dokter bu?" tanyaku.

"Kita diminta untuk menyiapkan pendonor tetap, untuk transfusi darah harus dilakukan minimal dua sampai empat minggu sekali."

Aku sedikit tercekat mendengar penuturan ibuku. Penyakit Thalasemia ini sebenarnya penyakit apa ? aku sedikit bingung.

"Bu, apa dalam keluarga kita ada yang menderita penyakit Thalasemia?" tanyaku sambil menatap wajah ibuku.

Ibuku menggelengkan kepalanya, "Ibu sudah bercerita dengan dokter tentang penyakit ini, dari ciri-cirinya sepertinya dari garis keturunan kita tidak pernah mengalami sakit seperti ini."

Aku terdiam, jika bukan dari garis keturunan kami, berarti dari ayahnya. Jika itu benar lalu untuk apa mencari tahu hal itu. Aku bahkan tak mengenal kedua orang tuanya dengan jelas. Saat kami menikah yang hadir hanyalah kakek dan neneknya. Yang aku tahu kedua orang tuanya menentang pernikahan kami.

"Berarti kita harus meminta bantuan kepala desa untuk meminta beberapa warga yang sukarela menjadi pendonor tetap," ujarku.

"Tadi kepala desa datang membesuk, dan kami sudah membicarakannya. Jangan khawatir, kau sekarang fokuslah pada pekerjaanmu."

Ucapan ibuku menenangkan hatiku yang sedang gundah. Aku akan bertanya pada dokter kira-kira sampai kapan anakku tergantung dengan transfusi darah.

Aku membaringkan tubuh lelahku di samping ibu, tidur beralaskan tikar seadanya. Entah sampai kapan kami harus menjalani kehidupan sulit seperfi ini. Bau desinfektan dan obat-obatan seakan membiusku. Aku mulai mengantuk.

Dulu saat pertama kali aku menikah dengan ayah Tisa, hidup kami terasa bahagia. Walau hanya tinggal di rumah sederhana namun tak membuat kami mengeluh.

Azhar adalah suami yang sangat penyayang, bahkan disaat orang tuanya menolakku, dia terus-terusan membelaku. Aku ingat ketika diajak ke rumah mertua, dia menunjukkan pembelaannya.

"Mama, aku mencintai Mita. Tolong restui kami," pinta Azhar kala itu.

Mertuaku malah membuang muka dan tak pernah sekalipun menganggapku ada. Akhirnya Azhar tak tega melihatku diperlakukan buruk, dia mengajakku untuk kembali tinggal di desa. Setiap hari dia selalu ke kota untuk bekerja dan pulang pada malam hari. Sampai aku tak tega melihatnya kelelahan pulang pergi, aku menyuruhnya untuk tinggal saja di kota dan pulang ke desa sabtu minggu saja.

Awalnya dia menolak namun karena desakanku akhirnya dia menerimanya. Kami sangat bahagia apalagi ketika dia tahu aku hamil, dia semakin menyayangiku.

Sampai tibalah kandunganku memasuki usia tujuh bulan, tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba dia menghilang. Selama sebulan aku masih memakluminya, mungkin pekerjaannya menumpuk sehingga tak kembali ke desa. Namun saat aku hendak melahirkan, sejak itu pula kuputuskan untuk melupakannya selamanya. Dan tepat anakku berusia lima bulan duniaku seakan berputar. Aku resmi bercerai dari suamiku tanpa melihat wajahnya seperti apa setelah berpisah selama delapan bulan lamanya.

Sejak itu, aku berjuang untuk menghidupi anakku seorang diri. Berbagai lamaran datang dari para pemuda yang bersedia menjadi ayah sambung Tisa, namun semua kutolak mentah-mentah.

Mengingat masa lalu hanya membuatku semakin sakit, sebaiknya aku tidur dan melupakan segalanya.

Pagi hari seperti biasa aku ke kantor menggunakan gojek. Aku tiba tepat waktu dimana Faijah dan Reza baru saja memasuki ruangan untuk mengganti pakaian seragam.

"Jangan lupa, kau cukup bekerja di dalam ruangan," ucapan Faijah mengingatkanku akan tugas yang diberikan nyonya Alisha.

Aku mengangguk dan tersenyum, "Jangan khawatir," kukedipkan sebelah mataku pada Faijah dan Reza yang sudah terlihat rapi dengan seragamnya.

Setelah memakai seragam, aku mengambil alat pembersih lantai dan memulai pekerjaanku dari ruang personalia. Aku hanya akan membersihkan dua ruangan, dan ini terasa ringan. Karena aku tak mungkin membersihkan ruangan saat para karyawan sudah tiba kecuali jika mereka sendiri yang memanggilku untuk membersihkan ruangannya.

Kini aku pindah ke ruangan umum yang berseberangan dengan lift khusus pimpinan. Dinding ruangan terbuat dari kaca sehingga siapa saja yang lewat akan kelihatan dari dalam ruangan.

Aku mempercepat tugasku karena karyawan sudah mulai terlihat berdatangan. Saat aku membersihkan dinding kaca tak sengaja mataku menangkap bayangan seorang pria yang tak asing lagi bagiku. Pria itu berjalan didampingi seorang pria lain yang tak ku kenal. Aku adalah pekerja baru sehingga aku tak mengenal semua karyawan di gedung ini.

Pria itu mirip ayah Tisa, dia menggunakan setelan jas mahal, tangannya menenteng sebuah tas tangan berwarna hitam. Sesekali dia bercakap-cakap dengan pria di sebelahnya. Pria itu terlihat sangat patuh.

Keningku mengernyit, apakah itu Azhar ? Lima tahun lamanya tak bertemu bukan berarti aku tak bisa lagi mengenali wajahnya. Atau jangan-jangan hanya kebetulan mirip.

Kulihat Faijah di ujung sana sedang menatap kedua laki-laki yang berhenti di lift pimpinan itu dengan tak berkedip. Aku segera menyelesaikan pekerjaanku dan akan bertanya pada Faijah, siapa kedua laki-laki itu.

Setelah yakin ruangannya bersih, aku segera membawa pembersih lantai dan masuk ke ruang khusus cleaning service. Aku duduk dengan gugup menunggu Faijah menyelesaikan pekerjaannya. Melihat tatapan Faijah seperti tadi membuatku yakin jika dia mengenali pria itu. Aku duduk dengan gelisah, sesekali mataku menatap lurus ke arah pintu.

Dan ternyata dugaanku benar, saat apel sore itu aku benar-benar melihat pria yang pernah mengisi hari-hariku ternyata adalah bosku sendiri.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menjadi Istri Kedua Mantan Suamiku   57. Bodyguard

    Ternyata tamu yang dimaksud Nabila adalah pemuda yang kulihat saat di sekolah Tisa. Mereka adalah orang suruhan suamiku yang memantau keberadaan kami dari jauh."Maaf atas kedatangan kami ini bu, seharusnya kami memberitahu ibu lebih dulu," seorang pria bertubuh tinggi menjabat tanganku."Tidak apa-apa, mari silakan duduk," ucapku sambil mempersilakan mereka duduk."Kenalkan nama saya Ivan dan ini teman saya namanya Jeck," Ivan yang bertubuh tinggi memperkenalkan diri. Aku mengingatnya karena dia yang terus-terusan memperhatikan aku di depan sekolah Tisa. Kami berbincang panjang lebar, kurasa upaya suamiku untuk melindungi kami terlalu berlebihan, terpikir olehku untuk menyambangi Alisha sekedar bersilaturahmi karena dia dalam keadaan sakit. Aku ingin membawakannya makanan atau bingkisan yang tentunya membuat orang yang di besuk merasa senang."Terima kasih sudah menjaga kami, sepertinya kalian terlalu berlebihan melindungi kami," ucapku."Maaf bu, kami hanya menjalankan perintah, ta

  • Menjadi Istri Kedua Mantan Suamiku   56. Gambar Tisa

    Aku memilih untuk memendam sendiri apa yang kualami hari ini, aku tak ingin membuat heboh seisi rumah dengan ceritaku."Tadi ayah Tisa menelpon, katanya nomor ponselmu sejak tadi dihubungi tidak aktif," Salsa menyampaikan pesan ayah Tisa padaku.Aku merogoh tas tanganku, kulihat ponselku ternyata off. Mungkin aku tak sengaja memencet tombolnya."Oh ternyata ponselku mati!" kataku sambil mengajak Tisa masuk ke dalam kamar.Aku mengganti baju sekolah Tisa dengan pakaian rumah. "Tisa mau makan ?""Aku masih kenyang ma ntar lagi, aku mau menggambar lagi," jawab Tisa.Aku hanya mengiyakan saja, menggambar bukanlah pekerjaan yang berat tapi aku harus mendampinginya agar tak kelelahan.Tak berapa lama setelah ponsel ku nyalakan, tiba-tiba berdering, aku tak perlu melihat lagi siapa penelponnya karena aku sudah menaruh nada dering khusus untuk suamiku."Hallo, iya maaf aku baru tiba di rumah, tadi ponselku kehabisan baterai," kilahku saat Azhar menelpon dengan segudang protesnya."Aku baru s

  • Menjadi Istri Kedua Mantan Suamiku   55. Nyaris ditabrak mobil

    Mita POVSuasana kompleks perumahan sudah di ramaikan dengan pedagang keliling yang menjalankan dagangannya. Aku berdiri di tepi jalan menanti kedatangan Tisa yang di jemput Salsa. Awalnya aku merasa ragu untuk mengizinkan Tisa menginap di rumah Alisha, namun demi alasan kemanusiaan aku mengizinkannya.Dari kejauhan aku melihat mobil Salsa memasuki area kompleks, akhirnya hati ini tentram. Aku bernafas lega, tak berapa lama mobil itu berhenti tepat di sampingku."Mama....!" Teriak Tisa saat melihatku dari jendela mobil.Aku membukakan pintu untuknya dan segera memeluknya dengan erat. Aku membimbing Tisa masuk ke rumah. Aku telah menyiapkan buku catatan yang akan di bawanya ke sekolah. "Tisa sudah sarapan ?" tanyaku lalu memakaikan tas ransel sekolah di bahunya."Sudah !" Jawab Tisa."Ayo mama antar ke sekolah, ceritanya nanti pulang sekolah saja,," ucapku saat melihat Tisa yang ingin mengatakan sesuatu.Kemudian kami bergegas keluar dan berpamitan pada ibuku dan Salsa. Nabila tak ter

  • Menjadi Istri Kedua Mantan Suamiku   54.. Belum Jelas

    Aku tak tahu apa yang harus kulakukan sekarang, senyum sinis Alisha mengganggu pikiranku. Aku segera menekan pedal gas agar langsung tiba secepatnya di kantor.Ketika memasuki area parkiran gedung kantor kulihat mobil Erwin sudah terparkir lebih dulu. Aku bergegas menuju ke lantai tujuh. Sapaan para karyawan kubalas dengan anggukan kepala."Tuan Erwin sudah menunggu di dalam tuan," lapor sekretarisku.Aku hanya mengangguk lalu masuk ke dalam ruangan, kulihat Erwin sedang duduk menyilangkan kedua kakinya di kursi sofa. Aku menaruh tas kantor di meja lalu menghampiri Erwin."Sudah lama ?" tanyaku."Lumayan," jawab Erwin tersenyum."Ah kamu, jangan membohongiku. Bagaimana hasil pertemuanmu dengan dokter spesialis di Rumah Sakit ?" tanyaku dengan tak sabar."Maaf, aku hanya berbincang-bincang dengan adikku. Menurut penuturannya, terkadang pasien yang memiliki sakit seperti itu sulit terdeteksi kecuali pasien yang sakit itu datang berobat. Cobalah untuk mengajak isterimu berobat, penyakit i

  • Menjadi Istri Kedua Mantan Suamiku   53. Porsi Cinta

    Aku dan Tisa keluar dari kamar saat Alisha mengetuk pintu kamar, aku mengedipkan sebelah mataku pada Tisa. Rupanya Alisha sudah menyiapkan sarapan pagi. Aku berusaha melirik ke arah dapur, ingin memastikan apakah dia yang masak atau hanya sekedar menyiapkan di meja saja."Ayo sarapan pa," ajak Alisha."Ayo Tisa sarapan yuk," Alisha mengajak Tisa dan menggandengnya menuju meja makan."Maaf bunda, aku mau mandi dulu," tolak Tisa, dia lalu menoleh padaku."Oh ayo bunda mandiin," Alisha tak jadi menuju ruang makan dan berbalik menggandeng tangan Tisa menuju kamar mandi.Kesempatan itu aku gunakan untuk mandi juga, aku bergegas ke dalam kamar, mempersiapkan segala sesuatunya. Aku tak ingin berlama-lama di dalam kamar mandi, setelah memastikan tubuhku sudah bersih, aku segera keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit di pinggang. Aku memakai pakaian kantor, rencanaku setelah sarapan langsung pergi ke kantor. Setelah rapi aku segera keluar kamar, kulihat Alisha dan Tisa juga baru keluar

  • Menjadi Istri Kedua Mantan Suamiku   52. Remaja yang Kasmaran

    Malam ini aku tertidur di samping Tisa, aku bahkan tak tahu jika mertuaku sudah pulang dan sempat menyaksikan diriku yang tidur memeluk erat puteri kecilku ini. Aku terbangun ketika merasakan sesorang menyelimuti kami berdua. Karena lampu masih menyala aku masih sempat melihat bayangan Alisha keluar dari kamar dan menutup pintu. Jika melihat gerakan Alisha sepertinya dia dalam keadaan segar bugar, aku ingin menghubungi Erwin dan memintanya untuk menyelidiki penyakit Alisha. Untunglah aku sempat membawa ponselku masuk ke dalam kamar, sehingga aku amsih bisa menghubungi Erwin tanpa sepengetahuan Alisha. Aku bangun perlahan dari tempat tidur dan mengunci pintu kamar. Aku tak ingin Alisha masuk lagi ke kamar ini, lalu kumatikan lampu. Biarlah kamar ini nampak gelap, aku yakin Tisa tak akan bangun.Aku mengecup kening puteriku lalu mengirim pesan pada Erwin. Tingkahku malam ini layaknya seorang kekasih yang sedang mencuri waktu untuk saling berkirim pesan. Pesanku terkirim lalu Erwin mene

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status